Daftar Blog Saya

Minggu, 19 Mei 2013

Puisi Sitok Srengenge


KOTA TUA

Debu-debu menyulam sayap dengan riuh jalanan
berhamburan dan hinggap di gedung-gedung kusam
burung-burung yang bungkam tentang letup senapan
berguguran sebagai kenangan

Barangkali kau tak pernah tahu
akulah satu di antara beribu butir debu itu
angin iseng menerbangkanku ke ranah asing
di rumpang ruang temali rindu pantang melenting

Lalu aku menukik ke lubuk lukamu
seperti hujan dini hari yang kuyup oleh air matanya sendiri
kudamba geliatmu merekahkan rahim musim semi
demi kutemu celah untuk melesapkan sisa ilusi

Pada tiap kerut kulitmu kubaca kisah dan lambang
gema suara yang dilupakan, gurat-gurat riwayat usang
lampu yang padam di tepi kolam
kali yang tersumbat lendir hitam

Ombak bergiring-giring serupa serdadu Istana Waktu
meninggalkan busut-busut pasir sepanjang pesisir
alun racun dari tahun ke tahun dalam tubuhmu
menimbun maut sebutir demi sebutir

Mungkin waktu tak mengarus, tapi menggenang
tak membuat kehadiran aus, tapi membusuk pelahan
ia bukan dermawan, segala keceriaan yang ia tawarkan
kelak harus kita tebus dengan kesedihan

Bacalah hitungan hutang pada kaca memburam
lubang angin yang menjerat udara bagai tawanan
kereta yang melaju jauh, menghindar dari jangkau ajal
ternyata cuma berputar dan kembali ke stasiun awal

Mereka memberimu mimpi pualam
agar kau lena bagai remaja di suatu Sabtu malam
berbaringlah, akan kulekapkan kupingku di pusarmu
ingin kusimak sayup suara para pelintas masa lalu

Di jalan lengang: kecipak kaki hantu berlari kecil
dihardik hujan Januari, cuaca menggigil di tudung kandil
regang rantai dan pedal sepeda, sengal kanal, kelepak lelawa
ketipak ladam kuda, derap uap tapioka, keluh peluh para pekerja

Cahaya murung di ruang dansa yang suwung
di bawah lelangit lengkung dan lelampu gantung
masih bergema gesekan sepatu pada lantai bebongkah batu
sentuhan kulit pipi dan pinggul, gemerisik gaun, dengus cerutu

Bercak merah kecoklatan pada tembok yang krowak
anggur yang tumpah di perjamuan atau jejak darah budak
di balik jendela kaca yang pecah, jalan setapak berlumut
merentang jebakan ke entah, mungkin ke sarang maut

Berdirilah, sesaat lagi, sebelum kau runtuh
bersama seluruh kenangan yang tak sanggup kaurengkuh
biar cahaya suar menggambar tubuhku di tubuhmu
dan ngengat waktu mengerati bagian lembab bayangku

Relakan segala yang luruh, mereka tak bisa kembali
bahkan ingatan tak pernah utuh dan tak abadi
sebagian mungkin tersemat di bait-bait ini
semoga selamat dan bangkit berkali-kali

1989

Tidak ada komentar: