Percakapan Imajiner
: kawan njoto
bung,
selepas kulihat kerut merut di dahimu
ketika kau di belakang meja
betapa runtuh sudah pemikiranku
akan kebudayaan borjuasi
yang selama ini ngendon dalam
kepala seniman kabir
ah,
tentu saja ini bukan karena lengking tiupan saxophonmu
atau catatan-catatan segar yang belepotan dalam lacimu
bahkan seteguk bir setelah usai kita nikmati bersama
kian tak berarti apa-apa selain sedetik
melepas kesumat
kini aku berdiri di belakangmu
menadah selaksa hujatan
yang kemudian menjelma guguran kelopak melati
mewangi di setiap ayun riang langkahmu
yang tak pernah gamang
menatap ke depan
Barang siapa masih berkata juga bahwa seni itu ‘non-politik’,
sesungguhnja dia itu reaksioner
katamu
dan tentu saja masih diantara sayatan
saxophone
lantas aku terguguk memandang langit hitam
hanya ada satu bulan arit
lirih menyanyikan genjer-genjer
nyaris tak ada kata bagaimana aku melukiskanmu
anak manusia yang sadar
gemilang di tengah pertikaian antar kawan
tak menunduk meski dibuang
ah, bung
nyata hari telah lunas malam
bulan arit berangsur ke barat
menanti cahaya merah bintang pagi
sumber nafas esok hari
usaikan saja percakapan rumit kita
sebab kini kita bertemu sebagai lelaki
dan ijinkan aku berkata:
aku naksir anakmu
….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar