Catatan Emha Ainun Najib

Korupsi Sebagai Kasus Penyakit Jiwa
Korupsi di mana-mana. Korupsi di hampir semua lapisan. Dari pamong-pamong desa hingga yang paling atas.
Korupsi di hampir semua petak-petak di mana uang mengalir, bahkan pun
sampai di sekitar koper dan surban ratusan ribu para calon haji.
Korupsi di setiap tahun, bulan, hari, dan mungkin juga jam, menit, dan detik.
Korupsi menjadi salah satu "sahabat" sehari-hari kita. Korupsi menjadi
salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang
selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesarbesarkan dirinya
ini.
Korupsi atas uang orang banyak.
Korupsi otoritas birokrasi yang sesungguhnya merupakan amanat.
Korupsi hak-hak, yang asal-usul asasinya bahkan dari Allah langsung.
Korupsi kewenangan, di mana para petugas yang digaji rakyat merasa
"GR", tak tahu diri dan bahkan yakin bahwa mereka adalah atasannya
rakyat.
Korupsi makna atas ratusan kalimat filosofi kebangsaan,
prinsip-prinsip dasar kenegaraan, undang-undang, konsep dan
aturanaturan.
Korupsi interpretasi di kantor-kantor para buruh rakyat, serta juga di sel-sel dan jaringan otak mereka.
Korupsi penafsiran dalam penataran-penataran, instruksi dan "petunjuk".
Kegilaan nasional kita semua dalam menggunakan kosakata "petunjuk"--tak
lain tak bukan--adalah perbuatan takabur kepada Tuhan, pemilik tunggal
hidayah.
Korupsi keragaman menjadi ketunggalan. Disuruh bersatu
tetapi tak boleh ada dua atau tiga. Padahal kalau hanya ada satu maka
tak diperlukan persatuan atau pun kesatuan.
Korupsi atas hal-hal yang paling kasar, wadag, materi sampai korupsi atas kasunyatan yang lembut, yang amat.
Korupsi atas batu sungai, tambang tembaga, kata-kata mutiara,
gelondongan kayu, sampai korupsi atas informasi mengenai para nabi dan
Tuhan.
Korupsi informasi tak hanya di koran-koran yang memasang jargon maha indah di leher penampilannya.
Korupsi dari tingkat yang halus ringan dan hanya merugikan nilai itu
sendiri serta yang bersangkutan, sampai korupsi yang besar-besaran yang
memotong usus nasib berjuta-juta orang.
Korupsi d kantor kelurahan,
kecamatan, kabupaten, gubernur, di rombongan kloter sekian di
hotel-hotel Madinah, di batok kepala orang-orang yang setiap saat
dijunjung-junjung sebagai pemimpin--sampai si terjunjung sampai percaya
bahwa ia memang benar-benar manusia yang tak pernah korup dan layak
dijunjung-junjung, dipikul dhuwur dan kelak dipendhem jero.
Korupsi
tak terasa korupsi karena milik bersama, dilakukan bersama, ditutupi
dengan alibi-alibi bersama, ditaburi harum wewangian retorika dan
excusing yang bisa didaftar berpuluh-puluh dari berbagai sudut, sisi,
dan disiplin.
Korupsi menjadi kecenderungan sehari-hari.
Menjadi "naluri alamiah" tradisi kebudayaan kita.
Menjadi makanan pokok sehari-hari.
Menjadi candu yang membuat orang merasa rugi kalau tak melakukannya.
Baik karena candu itu sudah menjadi potensialitas kerakusan pribadi,
maupun karena secara kolektif tak pernah ada jaminan bahwa kalau
seseorang tidak korup maka lainnya pun tidak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar