Daftar Blog Saya

Jumat, 05 Desember 2014

Oleh Dwi Cipta

panen jagung di Pegunungan Kendeng utara (foto Gunawan Budi Susanto)



Dwi Cipta
10 Agustus 2014 pukul 20:51

: Untuk Darmanto Oloan Sitompul

Pendahuluan: Angka-angka yang Membingungkan Petani
Ada dua predikat bagi Indonesia yang sampai sekarang dipercayai penduduknya dari anak-anak hingga yang akan masuk ke liang lahat: Indonesia adalah negara agraris dan negara maritim. Predikat sebagai negara agraris berangkat dari kenyataan sangat luas lahan-lahan pertanian konkret dan potensial membentang dari Sabang sampai Merauke. Predikat negara maritim berangkat dari kenyataan posisi geografis Indonesia yang diapit dua samudra (Pasifik dan Hindia), sementara pulau-pulaunya dihubungkan (bukan dipisahkan) oleh laut. Dengan dua predikat itu, umumnya diterima negeri ini berlimpah hasil pangan, baik di darat maupun di laut. Pertanyaan logisnya: apakah kita memiliki kebutuhan untuk mengimpor bahan pangan dari luar?

Namun data BPS tahun 2013 menjadi cermin betapa Pemerintah Indonesia -- yang bermain mata dengan para pengusaha atau importir -- telah secara culas membohongi rakyat. Pada 5 Februari 2014, BPS merilis catatan impor beras dari setiap negara. Dari total 472.000 ton beras senilai 246 juta dolar Amerika Serikat (AS) yang diimpor, Vietnam mendominasi dengan pengiriman 171.286 ton atau senilai 97,3 juta dolar AS. Thailand pada urutan kedua dalam mengekspor beras ke Indonesia. Selama 2013, Negeri Gajah Putih mengirim 194.633 ton beras senilai 61,7 juta dolar AS. India pada urutan ketiga, pada 2013 tercatat mengekspor 107.538 ton beras senilai 44,9 juta dolar AS ke Indonesia. Pakistan tercatat sebagai negara asal 75.813 ton beras impor Indonesia dengan nilai 29,9 juta dolar AS. Myanmar paada urutan kelima negara pemasok beras terbanyak bagi Indonesia pada 2013 dengan 18.450 ton atau 6,5 juta dolar AS (http://www.tempo.co/read/news/2014/02/05/090551264/Tahun-lalu-Indonesia-Impor-Beras-dari-Lima-Negara).

Agar lebih adil, mari kita bandingkan dengan produksi beras dalam negeri sepanjang tahun 2013. Pada 8 Juli 2014, Kementerian Pertanian -- lewat Kepala Badan Ketahanan Pangan Ahmad Suryana -- mengklaim produksi beras 2013 sebesar 39 juta ton gabah kering. Angka itu sama artinya dengan surplus produksi 5 juta ton, mengingat total kebutuhan dalam negeri 34 juta ton (http://finance.detik.com/read/2013/07/08/114029/2295368/4/produksi-beras-ri-surplus-5-juta-ton-tahun-ini-tapi-kok-masih-impor). Angka yang dirilis BPS bisa dijadikan bandingan dengan data yang diklaim Departemen Pertanian. Menurut rilis BPS, produksi padi pada 2013 (ASEM) 71,29 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 2,24 juta ton (3,24 persen) dari 2012. Kenaikan produksi itu terjadi di Jawa 0,97 juta ton dan di luar Jawa 1,27 juta ton. Kenaikan produksi terjadi karena kenaikan luas panen seluas 391.690 hektare (2,91 persen) dan kenaikan produktivitas 0,16 kuintal/hektare atau 0,31 persen (http://www.bps.go.id/brs_file/asem_03mar14.pdf). Dengan angka-angka meyakinkan tersebut, hampir tak bisa diterima alasan yang diajukan Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Pertanian, untuk mengimpor beras dari luar. Dengan kata lain, pemerintah dan importir beras telah secara meyakinkan -- dan di depan mata kita -- berniat membunuh para petani lokal negeri ini!

Apakah pemerintah dan para importir itu bermain sendiri dalam kebijakan impor beras Indonesia? Tentu tidak. Ada perangkat-perangkat lain yang secara bersama-sama bersekutu dengan pemerintah dan para importir agar kita terus-menerus mengalami ketergantungan. Hitung-hitungan makro di atas -- antara impor dan produksi beras dalam negeri -- ketika bertemu dengan perkiraan atau ramalan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 2014 yang baru dirilis Mei 2014 makin membuktikan kita memang didesain agar terus mengalami ketergantungan pangan. Secara meyakinkan, perangkat-perangkat dari luar itu melegitimasi kebutuhan pangan kita dengan memberikan angka-angka yang membuat para petani lokal makin nelangsa. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) memperkirakan Pemerintah Indonesia bakal mengimpor beras 1,2 juta ton sepanjang 2014. Jumlah tersebut naik sekitar 70 persen dari 705.880 ton yang diimpor sepanjang tahun lalu. Sementara itu, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memprediksi Indonesia akan mengimpor 1,5 juta ton beras sepanjang 2014. Itu karena USDA menaksir, Badan Urusan Logistik (Bulog) tidak akan mampu memenuhi target produksi beras 3,85 juta ton pada akhir tahun ini. Dengan demikian, volume impor beras Indonesia dapat naik lebih dari dua kali lipat total impor pada 2013 yang mencapai total 650 ton (www.Oryza.com).

Jadi, apabila pemerintah dan importir disalahkan atas terus pelaksanaan kebijakan impor beras, mereka tinggal menunjukkan perkiraan atau perhitungan yang telah dibuat FAO dan USDA tersebut. Siapa berani melawan lembaga sekaliber FAO dan USDA tersebut, sekalipun angka-angka yang mereka rilis adalah kebohongan terstruktur dan sistematis? Apakah presiden dan wakil presiden baru yang terpilih berani bertarung melawan rezim korporasi global yang telanjur menggurita? Apakah para sukarelawannya, terutama kaum kelas menengah, mau secara serius menciptakan mekanisme yang efektif agar petani lokal tidak terus-menerus dijadikan sapi perah politik setiap pemilu tetapi hidup mereka terus dikorbankan? Sekali lagi, pesimisme saya menyeruak. Sejak berdiri rezim otoriter-birokratik-militeristik Soeharto hingga rezim politik SBY -- dengan perkecualian rezim politik Gus Dur yang berumur pendek -- kita terus-menerus dididik menjadi manusia kerdil, yang begitu takut pada institusi-institusi besar seperti FAO, WTO, AFTA, Zona Perdagangan Bebas Tiongkok-ASEAN, Amerika Serikat, China, dan korporasi-korporasi global yang kemaruk. Kelas menengah Indonesia yang kemarin memenangkan Joko Widodo dan Mohammad Jusuf Kalla masih terlena dengan terus-menerus mengolok-olok Prabowo Subianto dan koalisi politiknya. Perilaku ngehek itu sungguh memalukan, mengingat mereka senang melekatkan predikat “terdidik,” “kritis,” dan “progresif” pada diri mereka. Inilah jenis kelas menengah yang masih mengalami distopia akibat begitu kuat pengaruh rezim otoriter-birokratik-militeristik Soeharto. Mereka baru aktif dalam melakukan kerja-kerja penalaran, tetapi begitu tak bertenaga saat harus bergerak secara nyata. Kalau semua predikat hebat itu tak mampu diwujudkan dalam agenda kerja yang jelas, yang jelas berkeringat, selamanya kelas menengah semacam itu akan menjadi kelas menengah yang mudah terpukau pada figur baru dan pengolok-olok yang menjijikkan! Dan, sekali lagi, yang mengambil keuntungan, adalah rezim perdagangan bebas global, korporasi besar, politikus oportunis yang meloloskan kebijakan impor, dan jaringan importir dalam negeri yang kemaruk.

Realitas Pahit Petani Kecil
Setelah kita mengerti gambaran-gambaran besar tentang contoh persoalan dunia pertanian Indonesia, mari kita turun ke persoalan-persoalan konkret para petani kecil kita. Kenyataan-kenyataan ini disusun sebagai sinyal-sinyal merah baik oleh presiden dan wakil presiden terpilih yang akan memegang tongkat komando tertinggi di bidang pertanian, Departemen Pertanian, kaum kelas menengah Indonesia yang tengah kebingungan dalam menentukan arah gerak yang konkret dalam mengawal pemerintahan baru, dan kelompok-kelompok tani progresif yang tengah memperjuangkan nasib petani. Tentu saja banyak fakta mengenaskan yang tidak bisa saya masukkan di sini mengingat keterbatasan akses informasi. Namun semoga fakta-fakta kecil ini bisa memicu kerja yang lebih konkret dan sistematis dalam melakukan kemandirian pangan Indonesia.

Pada akhir Mei, saya dan kawan-kawan Gerakan Literasi Indonesia (GLI) mengadakan perjalanan menemui para petani di Wonosobo. Dalam sebuah perbincangan yang dalam, terungkap fakta menarik: beberapa petani di kaki gunung di Wonosobo tak mau memanen cabai mereka akibat harga hasil pertanian mereka meluncur turun dengan deras. Padahal, mereka sudah menghabiskan banyak biaya penanaman dan perawatan. Kehancuran harga cabai petani lokal itu akibat ulah para importir avonturir yang membanjiri pasar dalam negeri dengan cabai impor dari Vietnam, India, dan Tiongkok. Fakta menyedihkan itu diperkuat oleh temuan Muhammad Sofwan Hadi, aktivis Gerakan Literasi Indonesia (GLI), yang juga berbincang tentang pertanian cabai dengan para petani di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta. Menurut pengakuan para petani itu, mereka tak mau memanen cabai rawit seharian dan hanya memperoleh uang Rp 20.000, sementara uang yang telah mereka keluarkan untuk merawat tanaman cabai jauh lebih besar daripada uang yang mereka terima. Tindakan bunuh diri semacam itu dilakukan di bawah tawa para importir, pejabat Departemen Pertanian, dan petugas bea cukai yang meloloskan impor cabai ke dalam pasar dalam negeri.

Dua fakta konyol tersebut tampaknya sepadan dengan kekonyolan lain yang dilakukan petani apel Malang. Dalam suatu unjuk rasa yang dilakukan di Kementerian Perdagangan, 23 Februari 2014, para pengunjuk rasa langsung menumpahkan apel-apel dari kantong dan menyebarkan di jalan depan kantor Muhammad Lutfi itu.  Selain menyebar apel, ada pula aksi teatrikal dengan dua “pocong” berbaring di atas apel-apel. Tidak hanya itu, para pendemo melempari kantor kementerian dengan apel. Ada sekitar 1,5 ton apel yang mereka buang dalam aksi demonstrasi tersebut. Tindakan itu mereka lakukan karena Indonesia kebanjiran apel impor, sehingga harga apel lokal terus jatuh hingga kisaran Rp 2.500 per kilogram di tingkat eceran. Kejatuhan harga itu membuat 70 persen lahan perkebunan saat ini sudah beralih fungsi menjadi tempat hiburan, agrowisata, dan perkebunan tebu (http://bintangnews.com/politik/1321-demo-di-kemendag,-petani-malang-lempar-1,5-ton-apel.html).

Apakah faka-fakta tersebut bias Jawa? Bagaimana dengan para petani di luar Jawa? Untuk menyanggah anggapan demikian, berikut adalah faka-fakta segar lain yang harus dihadapi pemerintahan terpilih begitu mulai bekerja nanti. Pengalaman yang dialami Darmanto Oloan Sitompul, petualang sunyi yang hidup bertani di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menemukan kesejajaran dengan para petani Wonosobo, kaki Gunung Merapi, Yogyakarta, dan Malang. Beberapa bulan lalu dia berbincang-bincang lama dengan petani yang pernah terpaksa menjual kentang hasil panen seharga Rp 900 per kg (baca: sembilan ratus rupiah per kilogram) ke pedagang pengumpul. Saat itu, setahu dia, pemerintah memasukkan kentang impor dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia lewat Pelabuhan Belawan, yang dilepas ke pasaran dengan harga Rp 2.000 per kg (dua rebu perak sekilo!). Dalam pemahaman dia, kentang impor bisa jauh lebih bagus sebab ukuran dan bentuknya lebih seragam. Tidak perlu ditanya berapa kerugiannya, yang pasti kerja tiga-empat bulan (untuk menanam kentang) tak kelihatan hasilnya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kelak petani-petani lokal akan bertahan saat perdagangan bebas Tiongkok-ASEAN resmi berjalan.

Dalam kasus petani kopi, apa yang telah ditulis Yusran Dharmawan bisa menjadi indikator kenapa nasib petani kopi kita tak pernah membaik. Pada beberapa kali pertemuan dengan petani kopi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dia memperoleh keterangan tentang harga kopi yang terus jatuh di Tanah Air. Kata mereka, harga kopi di tingkat petani hanya antara Rp 3.500 dan Rp 4.000 per kilogram. Padahal di Amerika, secangkir kopi bisa dihargai 5 dolar AS atau sekitar Rp 45.000 (dengan asumsi 1 dolar AS sama dengan Rp 9.000). Kesenjangan luar biasa itu bisa terjadi karena perusahaan multinasional, seperti Starbucks, Kraft, Nestle, Sara Lee, serta Procter & Gamble. Mereka datang ke petani, lalu membeli dengan harga murah, kemudian menjual ke mancanegara. Beberapa perusahaan multinasional mengejar untung berlipat-lipat dengan cara mendatangi langsung para petani (http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/05/06/kopi-sumatra-kopi-termahal-di-amerika-553276.html).

Pelajaran dari Naga Timur yang Bersiap Mencaplok Petani Indonesia
Dengan fakta-fakta tersebut, bisakah kita belajar justru dari ancaman dari luar yang sedang bersiap menelan nasib petani kita pada masa datang? Saya hanya menghadirkan salah satu sinyal merah potensial yang akan menjadi ancaman bagi para petani kita kalau kita tak bisa menyiasati dengan baik. Selain satu ancaman yang akan saya paparkan di bawah ini, ancaman paling dekat justru dari negara satu kawasan kita, seperti Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Mari kita simak pelajaran dari Naga Timur yang sedang menggeliat dan mengibaskan ekor ekspansi produk pertanian hingga sampai ke kepulauan Nusantara ini.

Sejak 1971, Tiongkok telah berhasil memproduksi pangan lebih besar dari India, meski India memakai teknologi modern dan Tiongkok masih dengan teknologi sederhana. FAO mengetahui jumlah luar biasa produksi pangan Tiongkok. Namun karena FAO, sebagaimana lembaga PBB lain, berada dalam dominasi Eropa Barat dan Amerika Serikat yang secara ideologis berbeda dari Tiongkok, mereka tak mau melaporkan kemajuan produksi pangan Tiongkok. Lewat media massa elektronik dan cetak, hingga awal 1990-an, mereka justru memberitakan warga Tiongkok masih banyak yang kelaparan. Kalau kita mau menelisik lebih jauh, keberhasilan strategi ketahanan pangan Tiongkok, revolusi kebudayaan yang diluncurkan Tuan Mao Tse Tung adalah kuncinya. Mereka mengirimkan intelektual dan kaum terpelajar kota ke pedesaan untuk bersatu dengan massa rakyat. Memang korbannya banyak, tetapi kebanyakan adalah orang-orang kota dan intelektual pemalas. Selebihnya adalah keberhasilan Tiongkok untuk menjadikan intelektual dan kaum terpelajar lebih realistis dengan kondisi alam, latar belakang sejarah dan sosial negerinya, dan mencari jalan masa depannya sendiri. Sementara kita di Indonesia dicekoki dengan wacana mengerikan tentang revolusi kebudayaan Ketua Mao, di Tiongkok para petani bekerja sama dengan kaum intelektual perkotaan dalam menciptakan teknologi tepat guna yang bisa meningkatkan produksi pertanian mereka.

Efek revolusi kebudayaan Tiongkok terhadap bidang pertanian memang tak serta-merta. Sejak paruh kedua 1960-an sampai paruh pertama 1970-an, Tiongkok berkesan menutup diri dari luar. Dalam setting perang dingin masa itu, penghancuran Indonesia oleh kaum nekolim lewat kudeta merangkak Jenderal Soeharto yang didukung CIA nampaknya jadi pelajaran berharga. Kebijakan menutup diri mereka lakukan untuk menangkal berbagai pengaruh buruk dari luar yang berpotensi memecah-belah negeri komunis itu. Perlu waktu satu dasawarsa lebih bagi mereka untuk membuka diri dan siap menerima berbagai pengaruh dari luar. Ketika Ketua Mao meninggal dan Deng Xiao Ping naik ke puncak kekuasaan, jalan bagi kemajuan pertanian Tiongkok mulai menampakkan hasil. Pada 1978-2012, Tiongkok menunjukkan pola pertumbuhan yang stabil, sebagian akibat dari reforma ekonomi di wilayah pedesaan dan perubahan-perubahan dalam kebijakan pemerintah Tiongkok terhadap produksi pertanian dan taraf hidup petani. Pada 1978-2012, misalnya, produksi gandum Tiongkok naik 41,1 kali lipat! Sejak 2000-2012, produksi susu naik 3,5 kali lipat, sedangkan produksi minyak sayur naik 17,64%.

Nampaknya Tiongkok sadar betul, perkembangan masyarakat tidak bisa melompat. Satu dekade sejak revolusi kebudayaan pertama diluncurkan, mereka hanya menggunakan teknologi tepat guna yang bisa dipahami dan seluruh komponen bisa diperoleh oleh petani. Ketika mereka telah siap dengan mekanisasi alat-alat pertanian secara terintegrasi, barulah kebijakan mekanisasi alat-alat pertanian terintegrasi dilakukan. Hasilnya, sejak 1978 sampai 2012, Tiongkok mengalami kenaikan tingkat mekanisasi terintegrasi dari 18,8% menjadi 56,6%. Tingkat mekanisasi terintegrasi itulah yang menjadi faktor penting dari pertumbuhan produksi pertanian yang berlangsung stabil (China Statistical Yearbook, 1978-2012). Pada periode yang sama, sektor pertanian juga menjadi saksi dari perluasan sistem irigasi yang efektif. Hasil dari perluasan sistem irigasi itu adalah lonjakan lahan yang teraliri air dari 45 juta hektare pada 1978 menjadi 61,68 hektare pada 2011 (China Statistical Yearbook, 2012).

Kelebihan lain dari pembangunan sektor pertanian Tiongkok adalah perencanaan pembangunan pertanian khusus berdasarkan kekhasan wilayah. Model konsentrasi produksi pertanian itu mereka terapkan agar memudahkan pengaturan dari hulu sampai hilir terhadap produk-produk pertanian tertentu. Misalnya, kontribusi 13 provinsi penghasil padi meningkat signifikan dari sebelum dan sesudah revolusi kebudayaan (Li Zhou, China’s Agricultural Development: Achievements and Challenges). Pada 1949-1959, kontribusi 13 provinsi di China dalam menghasilkan padi 69,21%, lalu meningkat menjadi 75,15% pada periode 2000-2009, dan naik lagi menjadi 77,78% pada 2010-2012. Zona produksi kedelai dan jagung dipusatkan di wilayah timurlaut, produksi kacang-kacangan dan gandum di wilayah Huang-Huai-Hai, biji minyak dipusatkan di wilayah sepanjang Sungai Yangtze, sedangkan katun dipusatkan di sepanjang Sungai Kuning (Sungai Huangho) dan wilayah baratlaut. Semua itu didukung keseluruhan produksi faktor (total factor production) yang naik 1% sepanjang tahun 1985-2010. Berdasarkan informasi yang dirilis Kementerian Pertanian, kontribusi kemajuan teknologi bagi pertumbuhan pertanian Tiongkok 54,5% pada 2012. Pertumbuhan tahunan efisiensi teknis pertanian Tiongkok naik konstan sekitar 1%, sedangkan kemajuan teknologi naik tetap 1% (China Statistical Yearbook, 1986-2011).

Seluruh kebijakan pertanian yang sistematis itu selama setengah abad telah membuat para petani Tiongkok memiliki martabat yang sama dengan warga yang tinggal di perkotaan --bandingkan dengan keminderan para petani kita pada orang-orang kota. Sejak 1978 (pertama berkuasanya Deng Xiao Ping) sampai 2012, pendapatan per kapita petani naik 10,77 kali lipat (dari 133,6 yuan menjadi 7.917 yuan) (Li Zhou, China’s Agricultural Development: Achievements and Challenges). Yang hebat lagi, kenaikan pendapatan per kapita antara petani dan penduduk perkotaan nyaris sama pada periode yang sama. Efeknya, sedikit ketimpangan yang tercipta antara petani dan penduduk perkotaan biasa. Tentu saja fakta itu mengabaikan pertimbangan bahwa tingkat absolut pendapatan per kapita antara pedesaan dan perkotaan berbeda. Dua tahun terakhir, tingkat pertumbuhan pendapatan antara penduduk pedesaan dan penduduk perkotaan justru lebih tinggi pedesaan (bandingkan dengan Indonesia yang berkebalikan 180 derajat!). Faktor berikutnya adalah distorsi harga produk-produk pertanian lenyap oleh reformasi dan liberalisasi harga. Lalu pajak pertanian sejak 2005 dihapuskan (bagaimana dengan di Indonesia?). Pada saat bersamaan, sejak 2005, subsidi pemerintah ke bidang pertanian justru meningkat. Semua fasilitas dan kebijakan negara yang mendukung pertanian itu membuat para petani Tiongkok percaya diri bahwa seberapa besar pun produksi mereka akan ada pasar yang menyerap. Itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan Tiongkok sejak 2001 yang mewajibkan penduduk Tiongkok yang berada di luar negeri mencarikan pasar bagi produk-produk dalam negeri (wajib bro, bayangkan betapa terintegrasi kebijakan antardepartemen mereka). Jadi tidak salah kalau para pengamat pertanian yang mau melek sedikit sadar bahwa Tiongkoklah penguasa pasar pertanian dunia sekarang.

Dalam perencanaan pembangunan 25 tahun ke depan, mereka bahkan sudah membuat grand design tentang pembagian jumlah penduduk secara gila-gilaan: 500 juta di perkotaan, 500 juta di pinggiran kota, dan 500 juta di pedesaan. Jumlah penduduk dan pembagian di setiap wilayah itu berangkat dari asumsi bahwa 25 tahun yang akan datang, jumlah penduduk Tiongkok 1,5 miliar (berangkat dari sensus penduduk terakhir tahun 2011, jumlah penduduk Tiongkok 1,2 miliar).  Penduduk di desa-desa rencananya disatukan di sebuah lokasi untuk menghemat air dan listrik serta kebutuhan-kebutuhan publik. Efek bagusnya, lahan pertanian dan pembangunan lain tak berkurang. Barangkali tidak ada sebuah negara adidaya yang memiliki rencana seambisius Tiongkok itu. Dengan perencanaan pembangunan semacam itu, lahan pangan tetap berlimpah, sementara negara-negara lain merasa kekurangan lahan karena perumahan tersebar, boros listrik dan air. Pengembangan bioteknologi dan nano teknologi mereka sekarang nomor satu di dunia, dengan limpahan dana yang bisa membikin para peneliti hidup dan berkarya dengan nyaman. Kalau di Amerika dan Eropa seorang peneliti utama atau profesor hanya memperoleh satu atau paling banter tiga asisten ahli, di Tiongkok mereka bisa memiliki lima-enam asisten ahli. Dengan semua infrastruktur seperti itu, tak berlebihan kiranya Tiongkok disebut sebagai penguasa pangan dunia pada masa datang. Perencanaan pembangunan semesta semacam Tiongkok itu semestinya membuat kita waspada dan belajar.

Agenda Kawal Kebijakan Pertanian Presiden Baru
Saat mengunjungi area persawahan di Desa Tanjungsari, Cariu, Bogor, Jawa Barat, Joko Widodo (Jokowi) membeberkan enam kebijakan yang akan diterapkan kepada petani jika terpilih menjadi presiden. Pertama, lahan pertanian produktif jangan sampai dikonversi untuk kegunaan yang lain. Kedua, Jokowi menyoroti pendampingan terhadap petani, khususnya dalam pengelolaan tanah pertanian. Dia mengatakan para petani jangan diarahkan menggunakan bibit impor ataupun pupuk kimia, dan sebisa mungkin menggunakan pupuk organik dan benih sendiri. Ketiga, infrastruktur pertanian dari bendungan sampai saluran tersier harus dibenahi. Keempat, ketersediaan air bersih bagi para petani. Bendungan air yang digunakan para petani untuk mengairi lahan dan sawah harus terbebas dari limbah industri. Kelima, pasar dan teknologi harus memberikan keuntungan pada petani. Pascapanen juga belum menyentuh petani. Keenam, modal. Posisi petani kekurangan modal. Butuh akses permodalan. Bank pertanian harus didirikan khusus bagi petani (http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2042442/dekati-petani-jokowi-beberkan-6-kebijakan-terkait-pertanian).

Enam poin kebijakan pertanian Joko Widodo itu sekilas memang hebat dan menguntungkan petani. Namun kalau dikuliti satu per satu, kebijakan-kebijakan itu berpotensi menjadi omong kosong dan bombasme politik elektoral kita yang sejak kejatuhan rezim Soeharto menjelma kebohongan yang pahit bagi petani. Mari kita lihat satu per satu enam kebijakan Joko Widodo yang berpotensi menjadi bombasme selanjutnya dari politik elektoral kita.

Pertama, soal imbauan agar lahan pertanian produktif tak dikonversi untuk kegunaan lain. Meletusnya konflik agraria di Kebumen, Rembang, Wonogiri, Batang, dan Karawang adalah contoh pengonversian lahan pertanian produktif di depan mata Joko Widodo dan Jusuf Kalla di samping makin merebak pembangunan perumahan yang memangsa lahan pertanian produktif di kota-kota menengah dan kecil. Lahan di Kebumen diserobot militer dan menjadi latihan perang, Pegunungan Kendeng Utara yang meliputi Pati, Tuban, dan Rembang dimangsa pabrik semen, dan pertanian subur di wilayah Karawang akan dibangun perumahan megah oleh Agung Podomoro, meski kita semua tahu Karawang telah berabad-abad menjadi salah satu lumbung padi di Jawa. Belum lagi kita menghitung lahan-lahan pertanian produktif yang dikonversi oleh pengusaha real estate untuk memenuhi kebutuhan perumahan di Jawa yang terus meningkat. Bagaimana Jokowi akan berhadapan dengan militer, pengusaha perumahan, korporasi seperti pabrik semen, dan industri-industri lain yang memangsa lahan produktif itu?

Sekarang Indonesia malah punya proyek tidak jelas berupa pembukaan lahan untuk sawah sebesar 2 juta hektare di luar Jawa (Papua) di mana pemilik lahan itu bukan petani-petani kecil atau buruh tani yang bertransmigrasi, melainkan pengusaha papan atas yang hanya berpikir soal keuntungan tanpa memedulikan kelestarian alam dan lingkungan. Kebijakan tolol dari para politikus dan ahli ekonomi yang tidak paham soal kondisi alam, demografi, dan faktor-faktor sosial dan budaya masyarakatnya itu selain hanya menguntungkan pengusaha besar juga tak memberikan partisipasi dari warga kelas menengah ke bawah dalam aktivitas produksi pertanian. Pengawasan kebijakan pembukaan lahan pertanian yang luas di luar Jawa itu seharusnya menjadi momentum yang bagus dari pelaksanaan kebijakan reforma agraria dan transmigrasi yang dulu diimpikan Presiden Soekarno. Sekali lagi, di sinilah kelemahan kelas menengah Indonesia yang sejak penghitungan suara versi hitung cepat lembaga survei lebih suka berceloteh di media sosial untuk mengolok-olok calon presiden pecundang. Mereka tak sigap bergerak dengan melakukan agenda aksi yang konkret untuk memuluskan (atau menelanjangi?) kebijakan yang dicanangkan Joko Widodo.

Kebijakan kedua, berupa pendampingan petani dan arah agar tidak memakai bibit impor dan pupuk kimia, akan menghadapkan Jokowi pada berbagai pihak-pihak yang kelak dirugikan dari kebijakan kedua itu. Pendampingan petani barangkali akan lebih mudah, mengingat jumlah para sukarelawan Jokowi yang berlimpah dan bisa menjadi kekuatan pendamping yang hebat apabila bisa membuat master plan pendampingan yang efektif. Namun penggunaan benih buatan sendiri serta pupuk organik adalah kebijakan yang terasa mengawang-awang. Para produsen pupuk kimia dan importir benih yang selama ini beroperasi tentu saja tak akan tinggal diam. Mekanisme macam apa yang akan dilakukan Joko Widodo agar kebijakannya yang kelihatan “wah” itu bisa terwujud? Sebagai anak petani kecil, sudah sejak paruh kedua 1990-an saya tak menyaksikan lagi ketelatenan para petani kecil hingga menengah kita dalam melakukan proses pembibitan yang begitu bertele-tele. Kehadiran bibit-bibit impor dan pembibitan padi yang siap tanam telah membuat para petani mengalami ketergantungan yang akut terhadap bibit dari luar diri sendiri. Sudah sejak hulu produksi mereka dibuat begitu tak berdaya. Sekarang, dengan kebijakannya itu, Joko Widodo dan pemerintahan baru akan membangun infrastruktur pembibitan yang sudah jelas akan memakan energi dan biaya besar. Hal serupa terjadi dengan persoalan penggunaan pupuk. Setelah bertahun-tahun petani kecil dan menengah mengalami ketergantungan pada pupuk anorganik, bagaimana bisa kebijakan agar petani menggunakan pupuk organik bisa berjalan? Ketersediaan bahan untuk membuat pupuk organik, alat-alatnya, kemampuannya untuk bersaing dengan pupuk anorganik buatan pabrik, dan daya serap tanaman yang tak serta-merta ketika dikasih pupuk organik adalah persoalan nyata yang menanti di depan mata Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Kebijakan ketiga dan keempat -- perbaikan sarana irigasi dari bendungan sampai saluran tersier dan menjaga keberhasilan air untuk produksi pertanian -- mungkin tak akan mendapatkan hambatan berarti. Program itu jauh lebih mudah diterapkan. Hanya kota-kota besar atau menengah tempat beroperasi industri yang punya limbah buang cair yang harus memperoleh prioritas besar.

Pada kebijakan kelimalah tantangan paling besar yang harus dihadapi Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Saya tidak akan membahas soal teknologi yang mendukung dunia pertanian. Seiring dengan kemeluasan akses internet hingga ke pedesaan, teknologi bukan lagi persoalan nyata yang dihadapi para petani. Internet hampir memerdekakan para petani tanpa bantuan yang signifikan dalam hal teknologi pertanian. Kalaupun pemerintah mau secara serius membantu petani, barangkali yang lebih nyata adalah bagaimana pemerintah bisa membangun mekanisme penyaluran bantuan teknologi yang mendukung produksi pertanian itu sampai ke tangan yang lebih berhak. Butuh data yang kukuh tentang petani kecil (dengan luas lahan kurang dari 1 hektare) dan menengah yang layak menerima bantuan dan sistem pengawasan yang kuat.

Bagaimana agar pasar bisa menguntungkan petani? Data BPS, Departemen Perdagangan, serta Departemen Pertanian secara telak telah menunjukkan sejak dulu pasar tak pernah berpihak secara nyata pada para petani. Kita tak memperoleh cukup penjelasan tentang formula yang akan dilakukan Jokowi untuk memproteksi produk-produk pertanian dalam negeri. Kita juga tak mengetahui bagaimana sistem distribusi bagi berbagai produk pertanian itu agar bisa memastikan tidak atau ada permainan harga yang merugikan para petani kecil. Musuh Jokowi bukan hanya para petualang di Departemen Pertanian dan Perdagangan yang menjual lisensi impor, melainkan juga para korporasi besar, importir, rezim perdagangan bebas ASEAN (AFTA), ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), dan negara-negara eksportir produksi pertanian seperti China, India, Vietnam, Pakistan, Thailand, dan Australia. Importir-importir itu sebagian besar adalah para pengusaha yang memperoleh lisensi dari departemen terkait dan berafiliasi atau punya hubungan baik dengan partai. Sementara itu, meyakinkan rezim AFTA, ACFTA, dan negara-negara ekportir produk pertanian membutuhkan kemampuan diplomasi yang hebat. Dengan sumber daya diplomat-diplomat kita yang tak punya cukup nyali di forum-forum internasional, tanpa menyisakan ruang bagi pertumbuhan harapan, kemampuan rezim Joko Widodo dalam mengamankan pasar dalam negeri dari tekanan luar sangatlah kecil. Maka sangat layak kita menyangsikan kejituan Joko Widodo dan pemerintahan yang nanti berkuasa dalam mengamankan pasar bagi produk pertanian dalam negeri.

Bagian terakhir dari kebijakan pertanian yang dicanangkan Jokowi adalah modal bagi para petani. Itu persoalan klasik yang sampai sekarang tak pernah terpecahkan oleh rezim politik sejak zaman Soeharto hingga sekarang. Gembar-gembor soal modal untuk usaha pertanian, tetapi dalam pelaksanaan yang bisa mengakses modal itu tetap saja mereka yang memiliki kedekatan dengan penguasa politik atau birokrat. Para petani kecil seperti di sepanjang pantai utara Jawa hingga kaki gunung di Wonosobo justru sering membiarkan lahan pertanian tidak tergarap karena ketiadaan modal yang cukup untuk menggarap. Dan, seandainya Joko Widodo dan Jusuf Kalla nanti benar-benar meluncurkan kebijakan injeksi modal pertanian pada petani kecil yang berjumlah lebih dari 26 juta jiwa, apa yang menjadi jaminan bagi modal yang diinjeksikan oleh pemerintah itu? Kalau tanah mereka yang menjadi jaminan, hampir dipastikan kebijakan itu tak akan berjalan. Pelajaran berharga dari pengoperasian bank-bank yang memberi pinjaman pada petani di pedesaan adalah lahan produktif mereka melayang ke pihak bank akibat ketidakmampuan membayar pinjaman ketika panen gagal. Dan, kalau modal itu diberikan secara cuma-cuma, apa yang menjadi jaminan bahwa modal tak diselewengkan oleh petani kecil yang telah diimpit oleh berbagai kebutuhan lain yang mendesak? Kalau pemerintah meluncurkan program kredit rakyat kecil untuk para petani seperti yang dilakukan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh bisa saja kebijakan itu menjelma jadi wajah lain dari pengisapan rakyat kecil yang menyerahkan diri secara abadi pada belenggu utang. Siapakah perekayasa ekonomi dan sosial (economic and social engineer) yang bisa membuat kebijakan permodalan bagi para petani lebih operatif dan menemukan sasaran yang tepat adalah tugas besar yang harus dipecahkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla kalau tidak ingin kebijakan mereka di bidang pertanian tak jatuh dalam bombasme dan kebohongan politik elektoral seperti para pendahulunya.

Paparan singkat dan bersifat makro soal tantangan dan ancaman yang harus dihadapi pemerintahan baru itu hanya sebuah isyarat atau sinyal-sinyal merah dunia pertanian untuk Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Jika selama ini kebijakan pertanian kita selalu berkiblat ke negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang secara historis, sosiologis, dan kultural tidak sama dengan kita, tidak ada salahnya kini mereka berpaling ke Tiongkok, India, dan negara-negara Amerika Latin yang secara historis, sosiologis, dan kultural hampir mirip dengan kita. Uraian tentang China di atas bukan hanya dimaksudkan untuk memberi isyarat berbahaya, melainkan juga limpahan pelajaran berharga tentang bagaimana negara sebesar dan sekompleks Tiongkok bisa membangun dan menjalankan kebijakan pertanian yang tak merugikan petani kecil mereka. India dan Tiongkok kini mengintip pasaran produksi pangan Asia dan Afrika berkat kemampuan memproduksi secara massal hasil pertanian mereka. Luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar berhasil dimanfaatkan menjadi faktor pendukung bagi peningkatan produksi pangan.

Pada era ketika informasi dari lingkaran elite bisa sampai ke masyarakat paling bawah dalam hitungan jam oleh bantuan internet, pada era ketika masyarakat paling bawah sedang mengalami pertumbuhan kesadaran kritis, pada era ketika masyarakat tengah mengalami gelombang pasang harapan untuk tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan besar, menelurkan kebijakan yang bersifat “pemanis mulut” adalah tindakan berbahaya. Rezim yang semula dipenuhi harapan ini bisa dalam hitungan tahun menjadi rezim yang dicaci-maki atau malah digulingkan karena tak mampu memenuhi harapan kelompok-kelompok tertindas seperti petani dan buruh tani. Persis di sinilah Joko Widodo sedang dituntut mengubah sinyal-sinyal merah menjadi sinyal hijau.

Yogyakarta, 10 Agustus 2014

Dwi Cipta anak petani kecil.

Kamis, 04 Desember 2014

Sejarah Freeport masuk ke Indonesia

Beberapa bulan setelah secara de-facto berkuasa, Presiden Soeharto menggadaikan nyaris seluruh kekayaan alam negeri ini kepada blok imperialisme asing. Salah satu cerita yang paling menyedihkan adalah tentang gunung emas di Papua Barat. Gunung emas yang sekarang secara salah kaprah disebut sebagai Tembagapura, merupakan sebuah gunung dimana cadangan tembaga dan emas berada di atas tanahnya, tersebar dan siap dipungut dalam radius yang amat luas.
Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya.
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.
Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut.
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.
Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut.
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!
Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.
Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport.
Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.
Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.
Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.
Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.
Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal Soeharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya.
Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?
Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasionil mereka.
Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto adalah Freeport. Inilah kali pertama kontrak perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan Indonesia.
Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.
Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang.
Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai sekarang.

Kamis, 28 Agustus 2014

PESAN PERJUANGAN PROF. WIDJAJONO PARTOWIDAGDO (ALM) -- SOAL BBM, DAN KACAUNYA KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA

PESAN PERJUANGAN PROF. WIDJAJONO PARTOWIDAGDO (ALM) -- SOAL BBM, DAN KACAUNYA KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA

Sumber foto: Republika.co.id
Copas via Nurman Diah (via Forum Pembaca The Global Review):

Pesan Perjuangan dari seorang Prof. Widjajono Partowidagdo demi Kedaulatan, Kemandirian dan Ketahanan Energi Republik Indonesia:

"Indonesia merupakan negara yang lucu. Pasalnya, Indonesia memiliki sumber energi murah yaitu batubara, tetapi justru batubara tersebut malah diekspor. Sedangkan Indonesia memilih impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harganya lebih mahal. ”Indonesia negara lucu, ekspor yang murah, tapi impor yang mahal. Orang yang gak kaya minyak tapi pakai yang mahal. Orang miskin kalau pakai yang mahal maka akan susah hidupnya,” tegas Widjajono saat ditemui di Ballroom Hotel Kempinski Jakarta, Jumat (30/3/2012).

Widjajono heran dengan kultur masyarakat Indonesia yang justru bangga dengan jumlah mobil yang banyak meskipun bahan bakarnya masih disubsidi. “Mobil di Singapura itu 5 tahun ganti, tapi di Indonesia malah bangga mobil tambah meskipun BBM-nya disubsidi,” pungkasnya (detikFinance.com, 30/3/12).

Lebih dari itu, negara ini juga pas disebut negara aneh. Pasalnya memang banyak keanehan dalam pengaturan negara ini. Berikut sebagian diantara keanehan yang terjadi di negeri ini:

Pertama, semua orang di dunia akan sangat takjub dengan melimpahnya kekayaan negeri ini. Hampir semua bentuk kekayaan alam ada di negeri ini. Namun anehnya, kekayaan itu tidak bisa membuat rakyatnya hidup makmur.
Menurut data BPS: (http://www.bps.go.id/tab_sub/ view.php?tabel=1&daftar=1&id_ subyek=23&notab=1 ) pada tahun 2011 orang miskin di negeri ini masih ada 11.046.750 orang di kota, ada 18.972.180 orang di desa dan secara total di negeri ini masih ada 30.018.930 orang miskin. Itu pun dengan ukuran garis kemiskinan di kota Rp 253.016,- per bulan, di desa Rp 213.395,- perbulan dan secara gabungan ukuran garis kemiskinan jika pengeluaran Rp 233.740,- perbulan. Orang yang disebut miskin di negeri ini jika pengeluarannya kurang dari Rp 7.790,- perhari. Padahal dengan pengeluaran sebesar itu per hari hanya cukup untuk sekali makan dengan lauk ala kadarnya.

Kedua, dengan melimpahnya kekayaan negeri ini, ternyata pendapatan negeri ini termasuk dari hasil pengelolaan bermacam kekayaan alam itu tidak cukup untuk membiayai belanja negara sehingga kekurangannya ditutup dengan mencari utang baik dari dalam negeri dalam bentuk Surat Berharga Negara dan dari luar negeri. Jumlah utang pada akhir Januari 2012 yang telah mencapai Rp 1837,39 triliun. Jumlah itu jika dibagi dengan jumlah penduduk 239 juta maka tiap orang penduduk temasuk bayi yang baru lahir sekalipun terbebani utang sebesar Rp 7,688 juta.
Keanehan ini makin menjadi. Negara ini sangat patuh dalam membayar cicilan utang pokok dan bunganya tiap tahun. Normalnya, orang berutang itu hanya sementara, sesekali, tidak seterusnya dan punya rencana atau skenario untuk melunasi utangnya. Itu normalnya. Tapi hal itu tak terlihat dalam hal utang negeri ini. Utang seolah menjadi sesuatu yang tetap. Tiap tahun harus ada. Hal itu diantaranya adalah akibat tipuan doktrin anggaran berimbang. Sayangnya terlihat tidak ada rencana atau skenario mengakhiri utang itu. Di dalam Buku Saku Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 bahkan sudah ada prediksi besaran cicilan utang pokok dan bunga hingga tahun 2055 dan itu bukan akhir dari cicilan utang. Normalnya, utang itu sifatnya emergensi/darurat, tapi anehnya dalam pengelolaan negeri ini, utang justru bersifat baku, tetap dan kontinu. Jelas ini adalah aneh dan abnormal.

Lebih aneh lagi, ternyata cicilan utang selama ini tidak mengurangi jumlah utang. Padahal cicilan utang itu jika diakumulasi sudah melebihi akumulasi utangnya sendiri. Akumulasi pembayaran cicilan utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun antara tahun 2000-2011 mencapai Rp 1.843,10 triliun. Tapi anehnya, jumlah utang negara tidak berkurang tapi justru bertambah. Utang negara per 3 Januari 2012 mencapai Rp 1.837,39 triliun.

Kalau dikatakan utang itu untuk membiayai pembangunan, maka bisa jadi itu bohong besar. Sebab sejatinya utang yang diambil itu adalah untuk membayar cicilan utang. Ambil contoh tahun 2012 ini. Di dalam APBN-P sudah ditetapkan defisit sekitar Rp 190,1 triliun atau 2,23% dengan rencana akan ditutupi dari pembiayaan (utang) dalam negeri sebesar Rp 194,5 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar minus Rp 4,4 triliun (artinya total pinjaman LN berkurang Rp 4,4 triliun). Ternyata jumlah itu habis dan tidak cukup untuk membayar cicilan utang. Di tahun 2012 besarnya cicilan utang mencapai Rp 261,1 triliun (cician pokok Rp 139 triliun dan cicilan bunga Rp 122,13 triliun). Bahkan jika mengacu pada Buku Saku Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 yang dikeluarkan oleh Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan di halaman 46 disebutkan, pagu APBN-P 2012 untuk pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya) mencapai Rp 322,709 triliun, terdiri dari cicilan pokok utang Rp 200,491 triliun dan cicilan bunga Rp 122,218 triliun. Cicilan pokok utang itu terbagi dalam cicilan pokok pinjaman Rp 47,400 triliun (pinjaman DN Rp 140 miliar dan pinjaman LN Rp 47,260 triliun) dan cicilan pokok Surat Berharga Negara (SBN) Rp 153,091 triliun (SBN Rupiah Rp 152,091 triliun dan SBN Valas Rp 1 triliun). Sementara cicilan bunga Rp 122,218 triliun itu, terdiri dari cicilan bunga pinjaman Rp 17,887 triliun ( bunga pinjaman DN Rp 225 miliar dan bunga pinjaman LN Rp 17,662 triliun) dan cicilan bunga SBN Rp 104,331 triliun (bunga SBN Rupiah Rp 88,278 triliun dan SBN Valas Rp 16,052 triliun). Jadi seluruh utang yang ditarik di tahun 2012 sebenarnya bukan untuk membiayai pembangunan tetapi untuk membayar cicilan utang dan itupun belum cukup dan harus mengurangi alokasi APBN yang seharusnya bisa untuk membiayai pembangunan.

Ketiga, subsidi secara umum khususnya subsidi BBM dirasakan memberatkan pemerintah dan menjadi beban APBN sebab menyedot alokasi APBN. Padahal istilah subsidi BBM itu masih dipertanyakan. Soalnya, istilah subsidi itu seolah pemerintah mengeluarkan uang dari kantongnya untuk dibayarkan kepada rakyat atau untuk nomboki pembelian BBM. Banyak kalangan menilai istilah subsidi BBM itu tidak tepat sebab yang sebenarnya adalah berkurangnya potensi pemasukan kepada kas pemerintah yang berasal dari migas. Soalnya diasumsikan BBM itu dijual ke pasar internasional dengan harga pasar internasional. Namun karena BBM dijual di dalam negeri dengan harga murah di bawah harga pasar internasional, artinya ada potensi pemasukan yang hilang dan itulah yang dinamakan subsidi. Nah jika yang seperti itu dianggap memberatkan pemerintah dan membebani APBN, anehnya, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tidak pernah dianggap memberatkan pemerintah dan membebani APBN. Padahal
jumlahnya jauh lebih besar dari besaran subsidi. Dan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang itu artinya uang benar-benar keluar dari kantong pemerintah, dan bukan hanya berkurangnya potensi pemasukan.

Keempat, pemerintah negeri ini begitu ngotot menaikkan harga BBM bersubsidi. Diantara alasannya adalah untuk penghematan. Jika harga BBM dinaikkan, penghematan bisa mencapai Rp 53 triliunan. Anehnya, pemerintah tidak terlihat ngotot menghilangkan anggaran-anggaran yang boros dan lebih berkesan kemewahan. Contohnya, anggaran kunjungan yang lebih bernuansa plesiran yang mencapai Rp 21 triliun, atau anggaran beli baju Presiden, Wapres, Gubernur, Wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya, anggaran pembangunan atau renovasi gedung DPR yang sudah bagus, anggaran fasilitas bagi para pejabat, mobil dinas, dsb. Anehnya lagi, pemerintah tidak terlihat ngotot membenahi penggunaan anggaran yang selalu saja penyerapannya numpuk di akhir-akhir tahun yang kemudian rawan pemborosan, inefisiensi, tidak efektif dan rawan diselewengkan. Lebih aneh lagi, pemerintah juga tidak terlihat ngotot memberantas korupsi dan menyita harta koruptor termasuk mengejar uang negara yang
dikemplang dalam kasus Centruy, BLBI dan lainnya?

Kelima, pemerintah bekerja keras meyakinkan bahkan terkesan memaksa rakyat untuk memahami dan menerima rencana kenaikan harga BBM. Anehnya, pemerintah tidak terlihat bekerja keras atau bahkan memaksa kontraktor-kontraktor tambang dan migas agar bagian pemerintah lebih besar lagi atau untuk menaikkan royalti yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Sekedar contoh, tak terlihat kerja keras dan paksaan pemerintah kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk menaikkan royalti PTFI sekedar agar sesuai dengan ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti emas 3,75 persen, tembaga 4 persen dan perak 3,25 persen. Bayangkan saja, selama ini royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1%, untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5% (jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %. Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada kontrak karya atau kontrak bagi hasil pertambangan lainnya.

Keenam, Pemerintah berkeluh kesah dan merasa berat harus mensubsidi BBM untuk rakyat dengan jalan menjual BBM kepada rakyat di bawah harga internasional. Karenanya subsidi BBM harus dikurangi atau bahkan dihilangkan alias BBM harus dijual mengikuti harga pasar internasional. Dengan itu akan didapat penghematan Rp 53 triliunan pertahun. Menjual BBM kepada rakyat dengan harga murah dianggap pemerintah sebagai beban. Anehnya, gas dijual ke Cina dengan harga super murah, tapi pemerintah tidak pernah berkeluh kesah dan merasa berat.

Padahal menurut anggota BPH Migas, A. Qoyum Tjandranegara, potensi kerugian negara tahun 2006-2009 mencapai 410,4 T. Itu sama saja mensubsidi rakyat Cina Rp 100 triliunan lebih pertahun. Belum lagi ditambah kerugian tak langsungnya akibat PLN tidak bisa mendapat gas karena dijual ke luar negeri dan PLN harus memakai BBM yang harganya mahal sehingga PLN harus mengeluarkan biaya lebih banyak sekutar 37 triliun pertahun. Aneh sekali, pemerintah merasa sangat berat hati mensubsidi rakyatnya, pada saat yang sama pemerintah sama sekali tidak merasa berat bahkan merasa senang mensubsidi rakyat negara lain yaitu rakyat Cina."

(dikutip dari pidato, keynote speech, narasumber dan wawancara di berbagai acara)
* dikutip dari FB Bambang Supono

Jumat, 16 Mei 2014

Sajak Timur Sinar Suprabana

Timur Sinar Suprabana:

aku menyaksikan
kekasihku
kekasihku

di pagimu yang masih mengandung migrain semalaman
aku menyaksikan anak-anak berangkat ke sekolah,
aku menyaksikan orang-orang yang tak benar-benar kukenal
sedang berangkat kerja atau malah baru hendak mencari pekerjaan,
aku juga menyaksikan perempuan-perempuan
yang tampaknya adalah para buruh pabrik mengayun langkah ke halte,
menunggu bus, sembari sesekali saling bertukar tawa di antara mereka.
aku tak tahu, ini pagi yang patut menggembirakan
ataukah kenangan atas malam yang sungguh merisaukan?
yang kutahu, pergi-pulang berulang, aku selalu lantas
menemu diri sendiri tak henti merindukanmu.
kerna senantiasa kulihat engkau
membayang hampir di segala.
membayang di cahya matahari pagi yang bikin bayang tubuh
terlihat lebih panjang dari yang seharusnya,
membayang pada lalulalang pengendara yang belum melunaskan
cicilan kredit sepeda motornya,
membayang pada suara-suara klakson-klakson yang parau,
membayang pada seragam para pegawai negeri,
membayang pada wajah-wajah pedagang kaki lima
dan para penjaja koran, tabloid serta majalah di perempatan jalan
pada lajur pancangan lampu pengatur lalulintas
yang sering konslet,
membayang pada dinding truck-truck perngangkut sampah
dan bus kota-bus kota yang tak juga kunjung diremajakan,
membayang di ujung sepatuku,
dan bahkan sungguh juga membayang di yang tak terbayangkan.
kekasihku
kekasihku
macam bagaimana kini wajahmu di jakarta?
macam bagaimana kini badan, tubuh dan dirimu di jakarta?
dan terutama, katakanlah padaku, o, kekasihku
:macam bagaimana kini hatimu di jakarta?
apakah hatimu masih mencintaiku?
apakah hatimu masih merindukanku?
apakah hatimu masih menyetiaiku?
atau apakah jakarta telah pula mengubah hatimu yang jelita itu
menjadi hati yang meminta badan, tubuh dan diri
untuk berpaling dari warna bunga,
bahkan meludahkan makna kata,
dan menghardikmu buat selalu berlekas penuh gegas
memburu benda-benda?
aku sedih
tiba-tiba Sedih
tetapi aku tak tahu benar mengapa aku sedih,
yang aku tahu adalah bahwa engkau masih saja membayang
bahkan di segala yang sungguh tak bisa kubayangkan.
ah, kembali aku menemu diri terpesona
pada pertanyaan-pertanyaan fana
yang kini benar-benar kusangsikan gunanya
........
1990

Senin, 05 Mei 2014

Oleh:Dhoni Zustiyantoro

Kurmat marang Alam

Dening Dhoni Zustiyantoro

WONG Jawa lan alam ora bisa dipisahake. Buktine, alam tansah duwe posisi lan fungsi penting tumrap bebrayan Jawa. Alam uga tansah dikurmati, lumantar acara lan ritual kabudayan.
Kapitayan sing kaya mangkono diajarake kanthi turun-temurun. Wiwit jaman kawuri, kita mangerteni yen para leluhur uga tansah hangrungkebi alam minangka perangan kang penting. Luwih-luwih alam menehi sandhang, pangan, lan panguripan.
Wong Jawa njaga alam nganggo cara apa wae. Ora mung sacara langsung lumantar kerja bakti utawa reresik lingkungan bebarengan ing lingkungan tartemtu, nanging uga akeh wewaler utawa larangan kang diugemi minangka salah sijine kaluhuran kabudayan Jawa. Contone, unen-unen "aja ngethok wit sembarangan" lan "aja nguyuhi sendhang".
Wewaler iku sejatine mujudake apa sing diarani para Walanda minangka local wisdom, kearifan lokal. Kanthi ora nerak paugeran sing wis dipercaya wiwit biyen iku, ora mokal yen alam lan lingkungan ing sakiwa-tengen manungsa bakal tansah ngrembaka lan lestari.
Kayata kanthi ora ngethok wit sembarangan, dikarepake manungsa bisa tebang-pilih wit: endi sing wis oleh dikethok kanggo kebutuhan, lan endi sing kudu digedhekake dhisik. Semono uga yen ora nguyuhi lan ora mbuwang apa wae sajrone sendhang, tuk, utawa sumber banyu liyane, banyu ing kono ora bakal tercemar amarga polahe manungsa.
Ing kabudayan Jawa, alam uga asring digayutake karo kapitayan bab bangsa alus. Kita asring krungu unen-unen "alas kae ana sing nunggu" utawa "wit gedhe ing pojok desa kae ana sing nunggu". Ora liya, sing kaya mangkono uga perangan saka wewaler iku mau. Kabudayan Jawa ngajarake supaya bebrayan Jawa tansah njaga alam lan lingkungan liwat maneka cara.
Sasmitane Alam
Nanging sanajan tansah ngupaya lan nglestarekake, ora sithik uga sing dadi perangan saka rusake lingkungan. Kasunyatan ing jaman modern iki, akeh manungsa padha ora preduli marang alam, malah kepara dadi perangan saka bubrahe kahanan.
Sing duwe kepentingan kanggo golek dhuwit, contone, negori wit kanthi srakah. Mbabati alas kanggo ngedekake perumahan lan pabrik tanpa mikir kanthi setiti. Amarga sejatine yen dipikir kanthi jero, tanpa wit, manungsa ora bakal isa urip kanthi tentrem. Wit sing isa ditegesi "wiwitan" ora liya kajaba sarat utamane manungsa kanggo miwiti kauripan.
Sawise polahe manungsa sing sarwa tanpa paugeran iku, alam paring sasmita kang gamblang lan bisa dimangerteni dening sapa wae. Sasmita iku ora liya kajaba paring tandha – sing diarani manungsa – awujud bencana: lemah obah, banyu munggah, gunung watuk.
Yen wis kedadeyan kaya mangkono, manungsa sarwa bingung. Anane mung gela amarga banyu kali ora mili, wit-witan ora thukul, gunung padha gundhul. Pungkasane padha rebut bener, ora ana sing rumangsa kleru.
Pancen saiki kesadaran ekologis durung dadi bab kang penting tumrap dhiri pribadi. Ana pamanggih yen bab sing kaya mangkono dudu dadi urusan saben individu, nanging pamarintah. Iki anggepan sing kleru lan kudu dijejegake.
Sanajan wong Jawa tansah nindakake ritual lan upacara adat kanggo kurmat marang alam, nanging nyatane kita uga kudu nduweni langkah taktis lan strategis. Carane ora liya kajaba melu obah, melu urun, supaya alam lan kahanan lingkungan ora bubrah.
Yen kita bisa maca sasmita alam lan tansah paring pakurmatan, alam uga mesthi bakal paring kabecikan: thukul kang sarwa tinandur, godhong ijo royo rerobyongan, woh-wohan maneka warna.

- Dhoni Zustiyantoro, pandhemen kabudayan Jawa

* kapacak ana Suara Merdeka, Minggu Pon, 4 Mei 2014, halaman 25. (ilustrasi davinciobali.com)

Rabu, 30 April 2014

Caping Gunung

Kiai Budi Harjono
Kiai Budi Harjono
Caping Gunung:
Lagu dari Masa ke Masa

Catatan Gunawan Budi Susanto


Kawan saya, Kiai Budi Harjono, gelisah. Kegelisahan yang berpangkal dari pengetahuan: betapa semrawut pengelolaan negeri ini. Negeri yang luas, negeri yang subur – thukul kang sarwa tinandur, tanah tempat segala kayu dan bahkan batu pun bertumbuh, tetapi tak pernah bisa memberikan kemakmuran kepada rakyat! Ingatkah Anda, sekian puluh tahun lalu Koes Plus menyanyikan dengan riang lagu “Kolam Susu”. Lagu yang menggambarkan betapa indah, betapa kaya, negeri kita. Dengarlah!

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu.
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman.

Namun, meski tongkat kayu dan batu jadi tanaman, adalah ironi menyerikan ketika petani mesti menjual gabah lebih murah ketimbang beras yang mereka beli untuk memberi makan seluruh keluarga. Negeri ini mesti mengimpor bawang, mengimpor beras, mengimpor segala buah dan sayuran. Negeri dengan kekayaan ikan dan mutiara yang tak pernah menyejahterakan nelayan, negeri dengan luasan dan panjang pantai tak terkira tetapi mengimpor garam. Negeri dengan minyak dan gas, emas, boksit, timah, tembaga, nikel, dan segala mineral yang semestinya bisa menjadikan rakyat makmur sejahtera.
Namun, Anda tahu, kini bahkan penghasilan (devisa) terbesar yang kita peroleh adalah uang kiriman dari para tenaga kerja Indonesia (TKI), baik lelaki maupun terutama perempuan, di luar negeri. Penghasilan terbesar yang hanya kalah banyak dari penjualan minyak dan gas kita.
Membanggakan – terima kasih kepada para “pahlawan devisa”. Namun juga menyedihkan lantaran itulah potret paling nyata: betapa pemerintahan negeri ini dari satu rezim ke rezim lain tak mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyat, sehingga mereka mesti mengadu nasib di negeri orang – bukan tanpa risiko menghadapi kekerasan lahir dan batin.
Inilah negeri yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan ke titik nadir, sehingga tercipta klasifikasi manusia berdasar (hanya) kemampuan mengonsumsi ala hasil elaborasi Kluprut – sohib saya. Ya, menurut pendapat Kluprut, manusia di negeri ini terbagi menjadi lima golongan yang tersusun secara bertingkat dari yang berada di dasar (menjadi pijakan) sampai yang teratas (bertumpu di atas kepala saudara-saudaranya).

Pertama, orang yang selalu bertanya: besok bisa makan atau tidak.
Kedua, orang yang selalu bertanya: besok makan apa.
Ketiga, orang yang selalu bertanya: besok makan di mana.
Keempat, orang yang selalu bertanya: besok makan bersama siapa.
Kelima, orang yang selalu bertanya: besok makan siapa.

Saat inilah bangsa kita, negeri kita, berada di tubir jurang kehancuran. Ketika nyaris semua kehilangan daya cipta, kehilangan prakarsa. Semua-mua telah dan terus kita jual. Kini, kita bagai tinggal menunggu disundhul, njedhul, terus memumbul-mumbul….
***
DISUNDHUL, njedhul, mumbul-mumbul – ayo diwaca: njaluk utawa ngenteni disundhul amrih bisa njedhul, terus mumbul-mumbul! Kuwi ukara sing trep kanggo nggambarake kahanan saiki iki. Kahananing pribadi, kahananing masarakat, kahananing nagara, lan bangsa kita.
Minangka pribadi, masarakat, mungguhing nagara-bangsa, kita wis kelangan daya kekarepan (inisiatif), kelangan daya pamikir, kelangan daya pangripta. Kabeh-kabeh, karan apa wae – upa, apa, wisa – saiki sarwatinuku – nggenteni unen-unen lawas: kabeh sarwatinandur. Sarate gampang: angger duwe dhuwit, angger nyekel dhuwit. Dhuwit, mungguhing sapa wae saiki wis dadi pepundhen, dadi pandom, dadi gustine. Sing sapa nyekel dhuwit, sing sapa duwe dhuwit, kuwi sing bisa ngregem panguwasa, bisa ngregem donya. Mula ora nggumunake yen ana kanca kanthi gegojekan nyindhir: saiki iki sila kaping pisan saka Pancasila malih wujud dadi keuangan yang maha-esa.
Disundhul mujudake gambaran pribadi, masarakat, lan nagara-bangsa sing wis kelangan daya. Mula mung bisa ngenteni sapa wae sing gelem nyundhul, ndudul, supaya bisa njedhul, sukur bage bisa mumbul-mumbul!
Cilakane, njedhul lan mumbul-mumbul kuwi uga mung kanggo blanja, kanggo tetukon. Blanja, tetukon, ing sadengah papan, ora angon wayah, ora angon rasa. Mung angon rupa, angon swara, adol ayu, adol bagus. Kabeh papan dadi pasar, dadi warung, dadi mal, dadi plasa: sekolah, kampus, kantor pamarintah lan swasta, pabrik, rumah sakit, koran, radio, telepisi, internet, facebook, twitter, lan sapanunggalane – kuwi kabeh wis dadi papan dol-tinuku. Rame, rame banget, ora nate sepi pawongan. Saka esuk umun-umun, awan, sore, wengi, nganti esuk uthuk-uthuk, sing ana wong-wong dol-tinuku. Sowang-sowang utawa gemruduk bedhol kluwarga, bedhol desa, bedhol nagara. Blanja. Kabeh-kabeh sak-iyek sak-ekakapti: nganyari sandhangan, sakabehe sandhangan, ngobahake ilat, ngrasakake samubarang panganan.
Mula ora aneh yen endhek-wure masarakat kita bisa kabagi dadi limang prakara. Kapisan, pawongan sing tansah kagubel pitakonan: sesuk bisa mangan apa ora? Kapindho, pawongan sing tansah ngreronce pangangen-angen sesuk mangan apa? Katelu, pawongan sing tansah golek sisik melik sesuk mangan ning ngendi? Kapapat, pawongan sing tansah ngrerancang sesuk mangan karo sapa? Kalima, pawongan sing tansah ngrerancang sesuk mangan sapa?
(Wong pidak pedarakan kaya aku mono kudu ngucap sokur, matur nuwun, dene wis duwe “wakil rakyat”, sing makili rakyat bisa mangan enak, bisa mapanake awak kanthi kepenak. Mula aku ora serik, ora runtik, yen para “wakil rakyat” mbangun WC wae mbutuhake wragat 2 milyar rupiah. Kuwi mono makili rakyat, sing ora bakal kuwagang nggagas prakara saliyane mikir sesuk bisa mangan apa ora. Aja duwe pikiran ala, yen gawe omah elek-elekan mung butuh wragat 50 yuta rupiah, mula yen 2 milyar rupiah bisa gawe omah kanggo patang puluh kluwarga!)
Mula sapa wae, ning ngendi wae, kapan wae, yen pengin duwe dhuwit, pengin nyekel dhuwit, supaya tansah bisa blanja apa wae, ning ngendi wae, kapan wae: gampang! Matek ajiku, ajian sakti.

Rapal Sakti Ajian Korupsi

sun amatek ajiku ajian korupsi
nedya sugih bandha donya sarwa mbejaji
ora geter telik sandhi lawan cerenging jeksa
ora gigrik surak lan supataning sapepadha
ora tedhas tapak paluning hakim kang mbaureksa
sluman slumun slamet
ngupaya lenaning kang andum kuwasa
murih lancar nguras kaskayaning nagara
ho!

ajiku ajian korupsi
mataku mata birokrat
kupingku kuping teknokrat
lambeku lambe pejabat
irungku irung pengamat
dadaku dada malaikat
sikilku sikil masarakat
wetengku weteng kebak nikmat
tanganku tangan konglomerat
kebat kliwat mbeburu berkat
tansah gangsar donya akerat
ho!

ajian korupsi satuhu rapalku
jaran goyang esemku
semar mendem caturku
candramawa paninggalku
welut putih langkahku
sadengah papan andhon laku
adol guyu nyaring isu
dalanku tansah lumintu
sakabehing referensi dadi gamanku
sakabehing bank dadi bangku
ho!

ajiku ajian korupsi
jimatku jimat kolusi
tamengku tameng kongsi
payonku payon proteksi
papanku papan lisensi
sedulurku koneksi sinarawedi
citraku citra telepisi
ugemanku nunggal sawiji
: status quo tansah lestari
ho!

sun amatek ajiku ajian korupsi
ajian sakti sang anak negeri
so pasti, senantiasa is the best nomer siji
maka merdekalah aku
merdeka sampai mati
ho!
***
Saiki, ing nagara ini, apa sing ora bisa dituku? Apa sing ora tinuku? Sapa sing ora bisa tuku? Sapa sing ora bisa tinuku? Apa sing ora didol? Sapa sing ora kumedol?
Kuwi pitakonan-pitakonan sing ngebaki pikirane sapa wae, saka kawula alit nganti (luwih-luwih) kawula ageng dalah para satriya ngulandara, satriya pengembating praja, para sarjana sujana, para winasis lan waskitha…. Bareng kadudul tangi, apa barang sing kadulu kuwi sing katuku. Mula satemene didudul, disundhul, njedhul, mumbul-mumbul amung nggambarake: ombyake wong geger ngoyak pangan, ngoyak sandhang, ngoyak papan.
Ora prelu maneh ngeling-eling pitutur kuna: aja drengki srei dahwen ati open, aja melik nggendhong lali, aja colong jumput, bedhog, lan nggedhor, sarta kudu remen temen. Malah kepara samesthine kita kabeh kudu wani: rawe-rawe rantas malang-malang putung, holopis kuntul baris, ana catur mungkur, bapang den singkiri. Kuwi ngelmu: kalakone kanthi laku.
Saiki satemene disundhul, njedhul, mumbul-mumbul uga wis dadi laku. Laku sing kakulinakake saka jabang bayi tumekaning bathang mati: urip amung mampir blanja. Kareben murakabi, blanjaa barang sing mbejaji, amrih disuyudi sapa wae, ing ngendi wae, kanthi cara lan dalan apa wae.
Supaya bisa tetukon, dolen apa wae sing kokduweni. Lemah, banyu, wit-witan, gunung, segara sak-isine: kuras lan dol marang sapa wae sing kuwagang tuku. Banjur, blanjaa apa wae sing kokbutuhake: ilmu, teknologi, ideologi, tata praja, tata srawung, klangenan, drajat, semat, pangkat, lan sapanunggalane. Aja kemba. Lakonana kuwi kabeh kanthi titis-pratitis, tetep, teguh, tatag, tekun, (nanging aja pisan-pisan wani temen) mesthi tekan: bilahi!
***
Ya, ya, pada saat yang sama untuk bertahan hidup: semua-mua kita beli pula dari berbagai penjuru dunia. Keadaan makin memiriskan, lantaran di puncak strata bercokol orang-orang yang saling memangsa: berlomba-lomba makan siapa sebanyak mereka bisa. Celaka, lantaran mereka menguasai segala perangkat untuk berkuasa: pembentuk opini, senjata, dana, dan ke-julig-an.
Pada titik inilah, di kuping Kiai Budi Harjono terngiang-ngiang tembang “Caping Gunung” karya Gesang Martohartono. Dengarlah, dengar, lagu itu.

Dhek jaman berjuang
Njur kelingan anak lanang
Biyen tak-openi
ning saiki ana ngendi

Jarene wis menang
Keturutan sing digadhang
Biyen ninggal janji
ning saiki apa lali

Ning gunung
Takjadhongi sega jagung
yen mendung
Taksilihi caping gunung
Sokur bisa nyawang
Gunung desa dadi reja
Dene ora ilang
Nggone padha lara lapa.

Tembang itu mengingatkan, betapa pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, siapa pula yang memberi makan para pejuang? Ke mana pula para pemuda – yang kelak, setelah negeri ini merdeka: menjadi para pemimpin di pemerintahan, di ketentaraan, di kepolisian, di segenap lapangan kehidupan – yang dulu diberi tempat, diberi makan, diberi perlindungan oleh para petani, oleh para nelayan, oleh orang-orang desa di berbagai pelosok negeri ini? Setelah negeri ini merdeka, terbebas dari cengkeraman penjajahan Belanda dan Jepang, bagaimana pula mereka mewujudkan janji kemerdekaan itu? Benarkah kehidupan yang makmur berkeadilan dan adil berkemakmuran telah dirasakan segenap petani, segenap nelayan, segenap buruh, setiap penduduk di berbagai pelosok negeri ini?
Saat itulah, pada gelombang yang sama, telinga saya mendengar Leo Kristi mendendangkan “Salam dari Desa”. Simaklah.

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang
Roda giling berputar-putar siang-malam
Tapi bukan kami punya

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang
Roda lori berputar-putar siang-malam
Tapi bukan kami punya

Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya

Tanah pusaka tanah yang kaya
Tumpah darahku di sana kuberdiri
Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci

Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa.

Namun, sekejap kemudian, dari radio tetangga keras bersipongang lagu dangdut “Alamat Palsu” Ayu Tingting.

Ke mana ke mana ke mana
Kuharus mencari ke mana
Kekasih tercinta tak tahu rimbanya
Lama tak datang ke rumah

Di mana di mana di mana
Tinggalnya sekarang
Di mana
Ke sana-kemari membawa alamat
Namun yang kutemui bukan dirinya
Sayang yang kuterima alamat palsu

Kutanya sama teman-teman semua
Tetapi mereka bilang tidak tahu
Sayang mungkin diriku sudah tertipu
Membuat aku frustasi dibuatnya.

Entah kenapa, lagu dangdut yang oleh banyak kawan dibilang ecek-ecek itu, dalam penerimaan kuping saya mengingatkan pada banyak kasus ketika para petani, buruh, nelayan, pedagang kaki lima merasa telah salah alamat saat mengadukan nasib ke parlemen. Mereka semula beranggapan anggota parlemen adalah wakil mereka, yang telah, sedang, dan akan selalu memperjuangkan harkat hidup mereka untuk bisa hidup lebih nyaman, lebih aman, lebih makmur, lebih adil. Namun ternyata, ketika mereka mengadu, para anggota perlemen yang terhormat itu justru menutup pintu. Gedung parlemen, rumah rakyat, itu pun dipagar tinggi, megah, dan angkuh!
Dan, pada saat-saat seperti itu, di manakah kita berada? Apa yang kita lakukan? Untuk diri sendiri atau buat kenyamanan hidup bersama?
Apalagi ketika kita tahu bahwa ketika menanam para petani pun menyadari benar telah menyebar racun menuai racun? Lantaran, bukan perkara gampang bagi mereka melepaskan diri dari jerat pola tanam dan kendali mutu serta pemasaran yang dipaksakan sejak Orde Baru. Ketika para nelayan makin lama kian hanya bisa melaut di perairan dangkal – lantaran keterbatasan modal, sehingga tak mungkin memutakhirkan peranti bekerja – dan di perairan dalam bertebaran jaring trawl yang menghabisi ikan sampai ke segala benih. Laut kita sesungguh benar telah dirampok para tauke, yang mencuri ikan di hamparan samudra negeri ini.
Lihatlah, pegawai negeri sipil kita pun memperoleh ejekan sebagai eksponen pegawai nihil setoran (PNS) lantaran kelembaman birokrasi yang masih juga bersemboyan: jika bisa mempersulit, kenapa mesti mempermudah pelayanan? Dan, para pedagang pun saling memangsa, sehingga bertebaranlah toko-toko eceran bermodal besar dengan sistem waralaba – yang melibas melindas toko kelontong dan warung mracangan berskala kecil milik rakyat jelata. Kebertebaran toko eceran bermodal besar itu ke berbagai pelosok desa lantaran ketidakpedulian para pemegang dan penentu kebijakan publik terhadap ruang hidup usaha kerakyatan.
Apa pula yang dipelajari para siswa dan mahasiswa? Bukankah mereka diajari untuk memisahkan segala ilmu, pengetahuan, dan teknologi di dunia pendidikan formal dari kejujuran, yang seharusnya merupakan variabel determinan dalam kehidupan? Atau, semestinya kejujuran menjadi basis kesadaran dalam kehidupan bersama bukan? Keadaan bahkan nyaris tak berubah dari 36 tahun lampau, sebagaimana dilukiskan W.S. Rendra dalam sebuah sajak.

Sajak Sebatang Lisong
 
Menghisap sebatang lisong,
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka.

Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papan tulis-papan tulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
……………………………..

Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya:
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun

Dan di langit:
para teknokrat berkata:
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-up-grade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimport.

Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala.
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidak-adilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon.
Berjuta-juta harapan ibu dan bapa
menjadi gebalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah samodra.
…………………………………………….
Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku.
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
Bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977

Menyerikan bukan? Apalagi negeri ini pun seperti dililit spiral kekerasan. Bukankah Anda tahu belaka betapa setiap pergantian kekuasaan di negeri kita nyaris selalu berlangsung secara berdarah-darah? Tahun 1998 saja, berapa korban berjatuhan? Dan, berapa kaum perempuan saudara kita dari etnis China diperkosa, yang sampai hari ini pun tak pernah pemerintah menjelaskan perkara itu: siapa salah, siapa dihukum. Kita sudah amat berpengalaman mengganti penguasa yang bebal hati dan pikiran dengan cara seperti itu, tetapi hasilnya: di tengah jalan selalu ditebas oleh para pencoleng kekuasaan.
Kini, apakah justru bukan saatnya bagi kita mencari dan menerapkan cara yang soft, cara yang lembut, cara yang elegan -- yang tidak berdarah-darah? Apakah para cerdik cendekia tak bisa menulis, tak bisa bersekutu, berserikat, lalu misalnya mengajukan resolusi? Apakah mahasiswa tak bisa menyuarakan pendapat, tanpa harus menjadikan demonstrasi sebagai satu-satunya pilihan, jika memang takut menghadapi pentungan?
Apakah kekerasan menjadi satu-satunya pilihan, sehingga ada kawan menyarankan kemungkinan penggunaan senapan? Tak bisa dan tak maukah kita, sebagai bangsa, belajar mengelola kehidupan bersama ini secara elegan, tanpa saling mematikan hak hidup sesama?
Sementara itu, sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah forum penyelamat umat – katanya – terkekeh seraya menyatakan, enak benar hidup di negeri ini. Ya, enak benar hidup di negeri ini. Betapa tidak! Siapa pun bisa membunuh, tanpa dihukum. Siapa pun bisa menyerbu dan menghancurkan rumah dan tempat ibadah, tanpa pengadilan: siapa salah, siapa korban yang mesti dipulihkan hak dan martabatnya. Siapa pun boleh memainkan peran berdasar pilihan: siksa, basmi, dan pukul tanpa tersentuh hukum. Siapa pun boleh korupsi, tanpa kehilangan harga diri dan kehormatan. Siapa pun boleh meruntuhkan gunung, membabat hutan, membelah sungai, menguruk lautan, berdalih kemakmuran bersama, sembari mematikan hak hidup saudara sebangsa. Siapa pun boleh menjiplak, tanpa perasaan bersalah. Siapa pun boleh berdusta, seraya tetap merasa telah berlaku jujur. Siapa pun boleh dan bisa....
Ketika kekerasan menjadi cara, menjadi modus, tunggal penaklukan melalui aparatus kekerasan – atau pinjam tangan milisi, yang dibina dan dibiayai -- sesungguhnya pemerintah telah mengkhianati rakyat. Menjadi makin jelas: keabsahan atau lebih tepat kelestarian kekuasaan pun bertumpu pada teror, pada honor, yang menemu wujud yang kasatmata.
Tak ada kata lain, kebusukan dan dusta mesti dibongkar. Ya, “Bongkar” Iwan Fals patut terus dinyanyikan bukan?

Kalau cinta sudah dibuang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang diperkuda jabatan

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Sabar sabar sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

Di jalanan kami sandarkan cita-cita
Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya
Orang tua pandanglah kami sebagai manusia
Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta

Oh oh

Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar
Oh oh ya oh ya oh ya bongkar

Kok bisa?
Bisa kok!

Kini, apalagi yang tersisa: dalam benak, dalam hati, dalam nurani kita? Apakah kita bakal manda diam saja, tak tergerak untuk terlibat dalam perubahan ke arah kehidupan bersama yang lebih menyamankan bagi semua? Tak merasa tersindir juga oleh mendiang Mbah Surip lewat lagu “Bangun Tidur”-nya? Simaklah.

Hey bangun kerja
Ha ha ha ha ha
Ha ha ha ha ha
Ok I love you full

Bangun tidur tidur lagi
Bangun lagi tidur lagi
Bangun... tidur lagi
Ha ha ha ha

Bangun tidur tidur lagi
Bangun lagi tidur lagi
Bangun... tidur lagi
Ha ha ha ha

Habis bangun terus mandi
Jangan lupa senam pagi
Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha

Barang siapa yang ingin hidup
Awet muda, bahagia di dunia ini
Kurangi tidur banyakin ngopi
Ha ha ha ha
I love you full

Bangun tidur tidur lagi
Bangun lagi tidur lagi
Bangun... tidur lagi
Ha ha ha ha

Bangun tidur tidur lagi
Bangun lagi tidur lagi
Bangun... tidur lagi
Ha ha ha ha

Habis bangun terus mandi
Jangan lupa senam pagi
Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha

Habis bangun terus mandi
Jangan lupa senam pagi
Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha

Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha
Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha
Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha
Kalau lupa... tidur lagi
Ha ha ha ha

Edan.

Ya, apakah kita sudah sedemikian edan, sudah sedemikian gila, sehingga hanya tidur dan tidur lagi? Atau, kalaupun bangun cuma ngopi dan ngopi lagi, untuk kembali tidur kembali?
Langkah sederhana bisa kita mulai, semampu kita, sebisa kita. Begitulah tekad Kiai Budi. Dan, saya mengamini. “Menanam, mari kita menanam!” ujar dia dengan wajah berbinar, dengan senyum tipis mengembang. Serentak saya pun teringat lagu “Menanam Jagung” karya Ibu Sud, yang acap saya nyanyikan ketika bocah.

Ayo kawan kita bersama
menanam jagung di kebun kita
ambil cangkulmu, ambil pangkurmu
kita bekerja tak jemu-jemu

cangkul, cangkul, cangkul yang dalam
tanah yang longgar jagung kutanam

beri pupuk supaya subur
tanamkan benih dengan teratur
jagungnya besar lebat buahnya
tentu berguna bagi semua

cangkul, cangkul, aku gembira
menanam jagung di kebun kita.

Menjadi petani, menjadi pekebun, menjadi penanam adalah juga menjadi manusia mandiri bukan? Bukankah itu yang sudah diperlihatkan dan dibuktikan Gunretno, kawan kita eksponen Sedulur Sikep Sukolilo, Pati? Itu pula jalan sunyi yang ditempuh Munasikin, pemuda Limbangan, Kendal, bukan?

Jalan Sunyi Petani Gaul

SIMON. Begitulah nama lelaki berperawakan kecil, berambut panjang terkuncir ekor kuda, yang berkesan pendiam itu. Namun begitu berbicara tentang tanaman, Munasikin – itulah ternyata nama asli pemberian orang tuanya, pasangan almarhum Abdurrohman dan Maryam – seperti tak pernah kehabisan energi. Ya, kecintaan lajang kelahiran Kendal, 17 Februari 1976, itu pada tanaman dan tentu saja tanah tempat tumbuh tanaman sebegitu besar. Meski, menurut pengakuan anak kedua dari tujuh bersaudara itu, kecintaan tersebut bermula dari keterpaksaan.
Lulus SMA, dia melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah tinggi ekonomi di Kota Semarang. Namun belum genap satu semester, dia merasa bosan. “Ya, saya bosan. Mungkin karena bawaan saya ingin selalu bergerak, ingin berbuat sesuatu secara nyata,” ujar si Mun.
Ah ya, di kampungnya, Gempol, Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, sapaan dia memang si Mun atau Mas Mun. Dari sapaan si Mun itulah, kemudian, kawan-kawan aktivis lingkungan dalam lingkar pergaulannya menyapa dia: Simon. Dan, seperti kebetulan sekeluar dari bangku kuliah, si Mun, remaja dari kampung di ketinggian Lereng Medini itu, berkenalan dengan seseorang dan diajak merawat anggrek.
Jatuh Cinta
Bermula dari coba-coba, lalu jatuh cinta. Simon pun merawat anggrek kepunyaan orang lain sepenuh cinta. Karena, dia memperoleh kesadaran bahwa kecintaan pada anggrek, dan kemudian kecintaan pada segala rupa tanaman, adalah upaya memuliakan sang Pencipta Kehidupan.
Kecintaan itu pula yang mendorong dia mengikuti berbagai pelatihan segala rupa tentang pertanian antara lain di Bandung, Bogor, Malang, Yogyakarta, Magelang, dan Temanggung. Hingga, suatu saat, dia pun memutuskan sepenuh seluruh hidup dari tanaman: menjadi petani.
Namun dia tak ingin menjadi petani “biasa-biasa” saja, yang acap digambarkan sebagai sosok ndesit. Gambaran umum: bercelana kolor lusuh, berkaus seadanya, dengan pengetahuan bercocok tanam (mungkin saja luar biasa piawai, tetapi toh berkesan tak terdidik yang) diperoleh secara turun-temurun, tani utun. Dia ingin menjadi petani gaul. Itulah petani yang memiliki bekal pengetahuan, pemahaman, dan wawasan tentang dunia pertanian di tengah pergerakan perekonomian. Karena itu petani tidak seharusnya selalu jadi objek, yang terus-menerus hidup secara subsisten. Petani mesti mampu keluar dari jerat lingkaran setan yang memuncak pada: produsen padi yang membeli beras lebih mahal dari gabah yang mereka jual.
Selain itu, kata dia, petani juga mesti paham betapa tanahlah sebenarnya yang jadi fokus garapan. Tanaman yang subur tak selalu identik tumbuh di atas tanah subur – karena digelontor dengan berbagai obat, pupuk, pestisida, insektisida kimiawi. Namun tanah yang subur, tutur dia, pasti menghasilkan tanaman yang subur. Maka memurnikan tanah, mengembalikan tingkat kesuburan tanah menjadi komitmen dia. Visi yang seiring sejalan dengan konservasi alam itulah yang memantapkan tekad dia menjadi petani tanaman organik.
Memurnikan Tanah
Dia menuturkan, petani penggarap atau buruh tani tak seharusnya terus-menerus mengeluh tak punya tanah, tanpa langkah nyata. Untuk mengatasi keterbatasan kepemilikan lahan, salah satu pilihan adalah menyewa lahan. “Jika tak mampu sendirian, bentuk kongsi. Bersama beberapa kawan, menyewa sepetak lahan, lalu garap dan kelola sepenuh hati,” ucap dia.
Di kampungnya, dia menggarap lahan bengkok salah seorang adiknya yang jadi perangkat desa. Di lahan 8.000 m2 itu, dia menanam padi organik. Banyak kawan petani menyindir-nyindir dia. “Semprot terus! Semprot terus! Apa gak kesel (tak capek)?” begitulah ucap mereka melihat dia setiap 10 hari menyemprotkan antihama dan antigulma pada tanaman padi.
“Antihama pada padi organik saya buat sepenuhnya dari bahan alami. Memang tak langsung membunuh hama. Pestisida alami tak bekerja secara instan. Jadi perlu penyemprotan secara ajek dan periodik. Tak seperti obat-obatan kimiawi, sekali semprot selama masa tanam,” kata Simon.
Pola tanam pun berbeda. Tidak padi, padi, padi. Namun dia memilih padi, lombok, jagung, padi. Begitu seterusnya. “Intinya menggarap tanah dulu, mengembalikan tingkat keasaman (pH) tanah, memperkuat unsur hara. Sebab, setelah pemakaian serbakimia, tanah menjadi kurus; kedalaman sekilan lebih saja tanah sudah sangat keras,” tutur dia.
Bagaimana hasilnya? “Hasil produksi dari satuan lahan yang sama relatif sama. Cuma, bedanya, saya bisa menjual beras organik dua kali lipat lebih mahal, setidak-tidaknya Rp 12.000/kg.”
Jadi, lanjut dia, penghasilan yang diperoleh dari penanaman padi organik lebih besar. Pasar pun terbuka karena kini muncul kecenderungan di kalangan tertentu untuk mengonsumsi segala yang alami – sebagai bagian dari kesadaran ideologis kembali ke alam.
Kesungguhan berbekal kecintaan membuat dia tangguh. Meski ibarat melangkah di jalan sunyi – lantaran tak ada kawan petani sekampung yang mengikuti jejaknya menanam padi organis – dia terus berjalan. “Kini lahan garapan di kampung saya tanami lombok. Padi dan jagung sudah sepenuhnya organik, tetapi lombok secara proporsi baru 70-an persen organik. Obat antihama, yang saya kembangkan lewat pembiakan mikroorganisme, belum sepenuhnya alami. Namun saya proyeksikan, sedikit demi sedikit menjadi sepenuhnya organis,” katanya.
Dari mana sumber belajar sang petani autodidak itu? “Membaca, bertanya pada siapa pun, dan browsing di internet,” sahut dia seraya tersenyum.
Kesungguhan dia bekerja pun berbuah. Beberapa kawan mengajak dia bekerja sama, mengelola kebun di berbagai tempat. Kini, dia menjadi “koordinator kebun” di lahan sewaan di Ngesrepbalong yang ditanami sengon dan lombok serta di kawasan Gunungpati (Kota Semarang) dan Ungaran (Kabupaten Semarang) yang ditanami jagung manis berganti-ganti dengan lombok.
“Lahan di Ngesrepbalong itu semula ditanami tebu. Tanah menjadi kurus, kehilangan unsur hara. Saya harus menormalkan dulu pH tanah agar kembali gembur, kembali subur,” ucap dia.
Kini, dia bersyukur beberapa petani di kampungnya bersedia membuat pupuk dan pestisida alami. Dia yakin, suatu saat, mereka bakal melihat bukti bahwa pertanian organik adalah keniscayaan, suatu pilihan cerdas, jika petani ingin sejahtera. Menjadi petani yang tidak selalu jadi objek penderita dalam tata niaga pertanian yang terkontrol pemilik modal besar.
Jalan yang dia tempuh memang sunyi. Sesunyi suasana alam di lahan-lahan yang dia garap. Karena itulah dia sesungguhnya enggan dipublikasikan. “Saya tak mau dianggap mencari popularitas,” katanya. Namun bukankah kisah anak-anak muda yang berani menempuh jalan berbeda, jalan yang lebih memuliakan kehidupan, patut dikedepankan? Siapa tahu bisa jadi pemantik minat sesama untuk, misalnya, menjadi petani seperti Anda? Simon cuma terdiam, lalu kembali mengucap lirih, ”Saya malu karena belum sepenuhnya berbuat bagi banyak orang. Masih bergulat, menekuni pekerjaan sebagai petani ini, sebagai peneguh bahwa saya bisa hidup tanpa harus bergantung pada kekuatan lain, kecuali pada rida Allah.”
Ah, indah, sesungguh benar indah bila banyak dan makin banyak anak muda bersikap seperti dia. Tak takut menyusuri jalan sunyi sebagai petani, di luar hiruk-pikuk dan gemebyar kehidupan kota.
***
TENTU menanam tak harus dipahami secara harfiah sebagai semata-mata bertani bukan? Lihatlah, Soesilo Toer. Lelaki gaek, doktor lulusan Institut Plekhanov Rusia – yang menyorongkan “jalan ketiga” dalam disertasinya, jauh sebelum Anthony Giddens menuliskan The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998) – itu pun bertanam: di kota kecil di tepian hutan jati, Blora. Ya, selain sesungguh benar menanam seribuan pohon jati di kebun, dia mendirikan dan mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba). Dari perpustakaan yang menempati bangunan eks dapur di rumah warisan sang bapak, Mastoer, adik keenam Pramoedya Ananta Toer itu terus membenih dan menyemaikan bibit kepenulisan pada siapa saja, terutama di kalangan pelajar, di kalangan kaum muda. Dia bertanam kepenulisan! Dia bergerak di ladang literasi, bercangkul pena, berpupuk buku dan buku dan buku.
***
Soesilo Toer Ingin Jadi Pemulung Profesional

DIA terhitung pendek, tak lebih dari 160 cm, dengan wajah bercambang keputihan. Dan, dia tak lagi muda. Kini, dia berusia 76 tahun. Namun jangan menyangka dia lemah. Macam keladi, tua-tua makin menjadi. Berkali ulang dia, misalnya, bersepeda motor berboncengan dengan sang istri, pergi-pulang dari Blora ke rumah mertua di Yogyakarta. Juga saat menjadi narasumber di Semarang, Kudus, atau Surabaya, dia pun berboncengan sepeda motor. Lagi-lagi dengan sang istri.
Fisik oke. Psikis? Diehard, keras kepala! Dia pun keras kemauan, keras bersikap, menghadapi tantangan kehidupan. Pada usia, yang kebanyakan orang lebih memilih duduk manis menikmati masa senja dalam kehidupan, dia justru tak henti-henti bekerja: mencangkul, memulung, menulis, dan memotivasi siapa pun untuk menulis dan terus menulis. Dan, itu dia lakukan di sebuah rumah tua di pojok kota, di Jalan Sumbawa, Jetis, 40 Blora.
Di pekarangan rumah itulah, di lahan seluas lebih dari 3.000 m2, dia menanam ratusan pohon jati. Dia juga menanam berbagai pohon buah dan tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai sayur dan obat-obatan. Di rumah itulah dia membangun perpustakaan. Dan, di perpustakaan itulah dia menerima dan menjamu para tamu, tua dan muda, dari berbagai pelosok kota, dari berbagai negara. Dari empat benua sudah, para tamu berdatangan. Tinggal dari Benua Afrika yang belum.
Para tamu itu datang untuk membaca, belajar menulis, meneliti, atau berkonsultasi tentang naskah mereka. Semua dia terima dengan lapang hati, lapang dada.
“Siapa pun yang datang ke perpustakaan ini bisa meminjam buku. Gratis. Jika haus, saya suguhi minuman. Saat kami makan, mereka pun saya ajak makan. Jika ingin mengingap, ada kamar tersedia bagi mereka. Itulah kamar kakak tertua saya tidur tahun-tahun belakangan sebelum dia meninggal dunia. Mana ada perpustakaan lain semacam itu?” ujar dia seraya tersenyum, tanpa bermaksud jumawa.
Perpustakaan Liar
Upaya sepele, sederhana? Boleh jadi. Namun, jika Anda tahu, itu bukan pencapaian sederhana. Sejak mula dia membangun perpustakaan itu sampai kini, masih ada saja pejabat pemerintahan di kabupaten penghasil kayu jati terbaik di dunia itu yang menyebut perpustakaan yang di kelola sebagai, “Perpustakaan liar!” Karena pandangan sang pejabat itulah, perpustakaan yang dia kelola gagal memperoleh block grant Rp 200 juta dari Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. “Saat itu saya butuh rekomendasi dari Dinas Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk menerima bantuan. Namun rekomendasi tak pernah keluar karena, ya itu tadi, perpustakaan ini dikategorikan perpustakaan liar!” katanya.
Liar karena apa? Tak berizin? Kepada siapa kita mesti meminta izin mendirikan perpustakaan – bagian dari upaya mencerdaskan bangsa? Bukankah perpustakaan, dan kemudian penerbitan nonkomersial, yang dia bangun bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis. Jadi, maaf, terlibat upaya pencerdasan masyarakat lewat pendirian perpustakaan merupakan tindakan ilegal? Masya Allah!
Namun itulah cap buruk (stigma) yang distempelkan kepada dia. Stigma “sepele” memang, tetapi itu mempertebal stigma sebelumnya: eks tahanan politik (tapol) 1965. Stigma itu terus melekat sampai kini. Meski sudah kenyang menerima perlakuan tak adil yang berdasar prasangka stigmatik itu, tampaknya sepanjang hayat pula dia mesti terus melawan siapa pun yang memperlakukannya berdasar prasangka bahwa karena pernah ditahan setelah pertikaian politik 1965, dia pasti bersalah. Dan orang bersalah tak berhak berbuat apa pun, meski mungkin perbuatan itu berguna bagi orang lain.
“Dulu, di Bekasi, sebelum pulang ke Blora, saya diarak dan disoraki, ‘PKI! PKI!’ . Ya, seperti di sinetron-sinetron itu. Saat itu ada yang mengatakan, ‘Kamu PKI!” Saya bilang, saya tidak PKI. Tak percaya? Lalu saya lepas celana panjang saya untuk menunjukkan pada mereka. ‘Lihat, lihat! Saya tidak pake kolor item!’ Bukankah mereka punya pengertian PKI itu pake kolor item. Saat itu kolor saya merah,” katanya sambil tertawa masam.
Itu terjadi gara-gara dia tak bisa menerima begitu saja warung kelontongnya digusur. Penggusuran terjadi berkali ulang. Mula-mula warungnya, kemudian rumah tempat tinggalnya. Dia memang kalah, tetapi tak pernah menyerah.
Tahun 2004, dia memboyong anak dan istrinya, Benee Santoso (kini 22 tahun dan telah bekerja di Jakarta) dan Suratiyem (46), pulang ke Blora dan menempati rumah keluarga besar, warisan dari sang bapak, Mastoer. Di kota kelahirannya tak berarti dia terbebas dari perlakuan diskriminatif dan penilaian miring. Namun dia tak peduli. Dia bertekad menjadikan rumah warisan keluarga itu menjadi ruang publik bagi pengembangan seni, budaya, dan intelektualitas. Dan, itu seperti peran rumah itu dulu, tahun 1930-1950, ketika menjadi titik simpul pergerakan melawan pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.
Menulis dan Terus Menulis
Kini, di dan dari rumah di pojokan kota itulah dia – dibantu banyak eksponen muda – melancarkan gerakan: mencerdaskan masyarakat lewat membaca dan menulis. Ya, di rumah itulah dia acap menyelenggarakan acara diskusi dan bedah buku. Dia menggelar pula, antara lain, Festival Kali Lusi (2008), Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (2009), Panggil Aku Kartini Saja (peringatan empat tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer, 2010). Berbagai acara itu melibatkan banyak komunitas seni dari berbagai kota. Acara Seribu wajah Pram, misalnya, didukung oleh 53 komunitas dari berbagai penjuru negeri dan melibatkan banyak seniman, antara lain mendiang dalang Tristuti Rachmadi, Djoko Pekik, dan Romo Sindhunata.
Setahun lalu, dia menyelenggarakan lomba menulis bagi pelajar setingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Blora. Peserta membeludak. Bukan cuma dari kota kecil itu. Tak sedikit pula pelajar dari Kendal, Jember, Denpasar – untuk menyebut beberapa kota – mengikuti lomba. Lalu dia, bersama Hermawan Widodo, menyunting naskah para peserta dan menerbitkannya menjadi buku. Buku pertama dari rencana tujuh buku dia beri judul Kumpulan Tulisan Terpilih Karya Anak Semua Bangsa (Pataba Press, Blora: 2011), berisi puisi dan cerpen hasil pilihan lomba menulis tahun 2011.
“Untuk menjadi bangsa yang maju, kita harus membangun kebiasaan membaca dan menulis. Dan, perpustakaan ini dengan segala kegiatan pendukungnya menjadi salah komponen pencerdasan bangsa itu,” tutur dia.
Apakah gerakan itu bakal tergusur pula? Tergusur oleh kepongahan kekuasaan? Sebagaimana dia sendiri terus-menerus tergusur dalam laku hidup semenjak muda?
Dia tak peduli. Sampai hari ini, dia tetap melangkah tanpa henti: untuk mengajak kaum muda gemar membaca dan menulis. Karena itulah, untuk memperingati hari kematian sang kakak sulung, Pramoedya Ananta Toer, bulan April lalu, dia melalui Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) menyelenggarakan lagi lomba tingkat nasional menulis prosa dan puisi bagi pelajar SMP dan SMA serta yang sederajat. Dia menyediakan hadiah jutaan rupiah bagi para pemenang serta bakal membukukan naskah para pemenang.
Pram dari Dalam
Selain itu, dia juga menulis buku Pram dari Dalam, yang diterbitkan Gigih Pustaka Mandiri (2013). Buku yang dia dedikasikan untuk sang kakak itu berisi tentang banyak kisah kenangan yang mengunjukkan betapa Pramoedya – yang tujuh kali berturut-turut dicalonkan menerima Hadiah Nobel bidang kesusastraan – adalah manusia biasa. Ya, manusia yang memiliki berbagai kelemahan di balik kelebihan yang begitu menggetarkan bukan hanya novelis, melainkan juga sebagai pejuang keadilan dan kebebasan berekspresi. Kesaksian dari sang adik tersayang itu bisa memberikan latar belakang lebih komplet dan mendalam untuk menikmati karya-karya sastra Pramoedya, termasuk tetralogi Pula Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca.
“Saya merasa berkejaran dengan waktu. Kini saya sudah 76 tahun. Mungkin tak banyak lagi waktu bagi saya. Namun saya tak akan berhenti menulis. Masih akan ada buku yang saya tulis, termasuk lanjut Pram dari Dalam,” ujar Soesilo Toer.
Ya, itulah nama lelaki tua yang masih pengkuh itu. Soesilo, kelahiran Blora tahun 1937, adalah lulusan Universitas Patric Lumumba (S2) dan Institut Plekhanov (S3) – keduanya di Uni Soviet (sekarang Rusia). Menjadi penulis, dosen, bahkan rektor pernah dia alami. Kini dia, yang juga pernah berjualan apa saja, terlebih setelah keluar dari tahanan Orde Baru – tanpa pembuktian kesalahan, berkait dengan peristiwa politik 1965, bangga menyebut diri berprofesi sebagai pemulung. Mungkin dialah satu-satunya orang bergelar doktor yang menjadi pemulung. “Saya memulung apa saja. Saya memulung kata-kata menjadi tulisan. Saya memulung mur, baut, gunting, pisau, palu, arit, atau apa saja yang saya temukan di jalan. Saya ingin, nanti, para peringatan tujuh tahun meninggalnya Pram, memamerkan semua hasil perburuan saya,” ujar dia, tanpa bermaksud bercanda.
“Namun saya belum menjadi pemulung profesional. Kalau Anda ingin membantu saya menjadi pemulung profesional, buanglah kalung atau cincin emas Anda dan biarlah saya menemukannya. Menemukan emas sebagai hasil memulung, itulah pertanda sebagai pemulung profesional. Pemulung adalah manusia yang mampu menciptakan nilai tambah absolut dari ketiadaan modal sama sekali,” kata dia, saat syukuran peringatan hari lahir Pramoedya (6 Februari 1924) di Blora, Minggu, 10 Februari lalu.
Peringatan hari lahir Pram sekaligus syukuran penerbitan buku Pram dari Dalam itu dihelat di rumah tua warisan Mastoer, sang bapak. Acara bertajuk “Mengenang Pram dari Dalam” itu dihadiri para pembaca dan penggemar karya Pram dari berbagai kota. Ya, berdatangan dari Cepu, Randublatung, Kradenan, Ngawen – semua kota-kota kecamatan di Kabupaten Blora, serta dari Rembang, Pati, Kudus, Semarang, Yogya, dan lain-lain. Di antara kebanyakan kaum muda itu terselip pula beberapa lelaki dan perempuan sepuh. Mereka adalah eks tahanan di Pulau Buru, yang dekat dengan Pramoedya saat berada di pulau pengasingan tersebut.
Pada malam itu, mengemuka kesaksian mereka mengenai perjumpaan dengan Pram atau dengan karya sang novelis. Bambang Soekotjo dari Pati, misalnya, menceritakan kedekatan yang terjalin dengan Pram sewaktu di Pulau Buru. Budi Maryono, penulis cum penerbit, berkisah tentang perjumpaan sembunyi-sembunyi dengan karya-karya Pram pada masa Orde Baru berjaya serta perjumpaan dengan Pram secara fisik yang amat membekas dalam kenangan.
Berkisah pula Muhamad Burhanudin, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), yang datang bersepeda motor sendirian menembus hujan lebat dari Yogyakarta ke Blora semata-mata untuk menghadiri perhelatan sederhana itu. Ada pula suami-istri muda, yang sedang merintis sebuah perpustakaan publik di Semarang, Afida Mashitoh dan Asep Mufti. Mereka menyatakan amat terinspirasi oleh karya-karya Pram. Dan, lewat pembacaan atas karya-karya Pram pula mereka bisa memahami sejarah bangsa ini secara utuh. Sejarah yang hadir tidak secara sepotong-potong, sejarah yang hadir dengan “tulang dan daging dan darah”.
Malam makin larut. Dan ketika acara ditutup, rumah tua itu tak segera tutup pintu pula. Belasan anak muda dari berbagai kota masih mengobrol dengan tuan rumah, Soesilo Toer. Sebagian menggeletakkan tubuh di atas tikar di ruang tengah, tempat semula mereka berdiskusi: tertidur, kelelahan.
Rumah yang selama bertahun-tahun dianggap angker, malam itu riuh oleh percakapan: tentang dunia tulis-menulis, tentang perlawanan terhadap ketidakadilan, tentang harapan hari esok lebih baik di negeri ini. Dan, Soesilo Toer menjadi bagian tak terpisahkan dari geriap anak muda untuk terus menjalani hidup sebagaimana semestinya manusia: tidak memakan sesama.
***
DAN, soal kearifan tentang tanaman, izinkan saya perkenalkan Mbah Lastipah, tetangga saya, lewat kisah tentang sepenggal hari dalam kehidupannya.

Daun Waru Mbah Lastipah

QIRAAH dari masjid memecah kesunyian. Mbah Lastipah bangkit dari dipan, mendekati meja, mengangkat kendi, dan minum seteguk-dua.
Lalu, perlahan-lahan mengambil peralatan mandi dari pojok rumah gedeknya, membuka pintu, keluar ke pekarangan. Perempuan tua itu melangkah terbungkuk-bungkuk, tanpa kasut menapaki jalanan kampung. Dia menembus kabut dini hari, menuju sendang di tepian kali.
Jarak dua ratus meter dari rumah ke sendang terasa jauh bagi perempuan delapan puluhan tahun itu. Sebentar dia berhenti, menggerendeng entah apa, lalu kembali melangkah. Pelan, pelan seperti siput.
Di sendang, dia mencopot pakaian dan mandi seraya berdiri. Kaku persendian membuat dia tak bisa jongkok lagi. Usai bebersih diri, dia menapaki jalanan licin, kembali ke rumah. Ketika azan masih menggema, dia duduk berselonjor kaki di dipan: salat subuh.
Usai berdoa tanpa suara, dia melipat mukena. Tanpa gegas dia keluar, mengambil sapu lidi dari samping rumah. Beberapa langkah dia berhenti, menepuk-nepuk sebatang pohon waru di pekarangan rumah. Di sebelah kakinya bertumpuk daun waru kering setinggi pinggang.
Dia meniti wot di atas selokan. Di jalan, seraya menyalangkan mata dia menyapu perlahan-lahan. Dalam kesamaran pagi buta, tubuh renta itu seperti timbul-tenggelam. Dia suntuk dalam pekerjaan, menyapu jalanan.
Dia punguti daun-daun waru dari pekarangan rumah tetangga, dari jalanan, dan dia tumpuk di bawah pohon. Dari hari ke hari gundukan daun makin tinggi. Dia tak pernah membakar dedaunan itu. Dia biarkan dedaunan itu jadi rabuk, jadi pupuk.
Mbah Lastipah menunaikan pekerjaan itu tanpa bayaran. Setiap pagi, setiap hari, bertahun-tahun. Entah sejak kapan.
Malam-malam, ketika kantuk menyerang, acap dia menangis sendirian. Dia sesali tubuh renta yang tak kuat lagi bekerja seharian, sehingga selalu ada daun waru tersisa, terserak di jalanan, di pekarangan rumah tetangga.
***
“Siapa Mbah Lastipah?” tanya saya, seusai mendengar kisah dari Pak Pi, karib saya di kampung.
“Dia tinggal di seberang jalan dari rumah saya,” jawab Pak Pi dengan wajah keheranan.
“Oh, dia….?” Ya, ya, saya kenal sosok perempuan tua itu. Namun, tak pernah tahu namanya. “Hampir tiga tahun kau tinggal di kampung ini. Dan tak mengenal tetangga yang berumah sepelemparan batu dari rumahmu?” sergah Kluprut, jauh di relung hati. “Tak bermalu!”
Saya tercenung.
Ya, kecuali pendengaran yang melemah dan tubuh yang merenta, Mbah Lastipah sepenuhnya sehat. Nalar, rasa, dan karsa perempuan sebatang kara itu hidup sesungguh benar hidup. Dan, terus menguarkan kearifan.
Kearifan yang bertolak belakang dengan, misalnya, akrobat para kader berbagai partai politik yang melakukan vandalisme kontrakehidupan berskala masif: memaku pohon untuk memajang segala poster dan spanduk. Dan, hoopla, ruang publik pun disesaki sampah visual!
Daun-daun waru yang ditumpuk di bawah pohon oleh Mbah Lastipah adalah sampah organik. Proses alami mengubah sampah itu jadi humus, penyubur tanah.
Sampah visual yang ditebar para calon anggota parlemen adalah sampah anorganik; nyaris kalis dari proses penguraian di tanah. Kelak, usai “pesta demokrasi”, sampah itu berubah menjadi racun dan mengurangi tingkat kesuburan tanah.
Laku Mbah Lastipah, setiap hari, bertahun-tahun, memang cuma memberikan kontribusi kecil bagi kelestarian lingkungan. Tidak sebesar, misalnya, kontribusi Sariban, yang setiap hari, bertahun-tahun, secara sukarela mencabuti paku dari batang pepohonan di Kota Bandung. Juga tak sedahsyat tekad dan tindakan Badri, yang setiap hari, bertahun-tahun, menanam pohon di mana pun, di sebuah kawasan di Jawa Barat. Namun, sekecil apa pun tindakan Mbah Lastipah, bukankah itulah laku prokehidupan?
Sebaliknya, lihatlah ulah para calon anggota parlemen yang terhormat menjelang pemilihan umum ini. Memang tak sampai berbilang tahun, namun sungguh tindakan mereka telah memberikan kontribusi lebih besar bagi perusakan alam, perusakan lingkungan. Vandalisme kontrakehidupan!
Mbah Lastipah berbuat tanpa mengharap pujian, tanpa mengharap bayaran. Dia bertindak tanpa kata, tanpa koar.
Dia memang buta huruf, tetapi tak buta kesadaran: terus berbuat sesuatu, menjaga keseimbangan alam, keberlangsungan kehidupan. Setiap pagi, setiap hari, bertahun-tahun. Entah sampai kapan.
Seraya tersenyum kecut, menekan malu, saya menarik simpulan: Mbah Lastipah, perempuan renta itu, sesungguh benar jauh lebih terhormat daripada siapa pun calon anggota parlemen. Dialah pengibar panji-panji prokehidupan. Bukan saya. Bukan sampean.
***
Mbah Lastipah sudah pergi, kembali ke haribaan Illahi. Dan untuk meneladani kearifan perempuan sederhana itulah, saya bertekad terus-menerus mempromosikan air kendi: kepada siapa pun, di mana pun, kapan pun. Dalam sebuah tulisan, saya gemakan semangat untuk secara takzim bertasbih bersama alam itu – sebagai wujud terima kasih atas karunia Sang Mahacinta: tanah-air, yang menyatu secara kasatmata sekaligus secara simbolik dalam air kendi.
Simaklah….

Kelangan Wedang, Kelangan Klasa

AKU kelangan wedang. Saya suwe saya angel golek legen, banyu tebu, wedang cara, wedang blung, wedang rondhe, wedang alang-alang, wedang jahe, wedang kopi, wedang teh, lan sapanunggalane. Yen ta bisa mrangguli kanthi gampang, wujude wis dikemas dening pabrik kanthi cara instan, sakdek-saknyet. “Gampang, gak prelu kangelan,” ujare Kluprut.
Wedang ngilang mbaka sithik mbarengi saka manca gumrujuk inuman sing katelah soft-drink, minuman ringan. Banjur mlebu inuman kanggo nambah daya kekuwatane awak. Ana uga merek lokal, sing jare bisa nambah greng, nambah jos. Embuh apa sing greng, apa sing jos.
Rasa kelangan rada kalipur nalika ana sing gawe teh botol. Teh botol (banjur teh kothak) kuwi wujud nyata daya pangripta sing ora gampang kegiles kapitalisme global.
Kelangan wedang, aku banjur kelingan banyu kendhi. Nanging rasa kelangan malah ndandra, ngambra-ambra. Saiki, kendhi uga langka, kesingkir, kesingkur. Amarga saiki sapa wae lan ing ngendi wae padha gawe sumur bor, murih gampang gawe banyu mineral lan banyu isi ulang. Ora mligi tumrape wong kutha, ing padesan uga wis lulut manut ngombe banyu mineral utawa banyu isi ulang. Sendhang, belik, tuk, sumber banyu saya asat. Ora kopen.
Kita bakal kelangan kendhi, bakal kelangan banyu kendhi. Mula kanthi blakasuta, thokleh, aku gawe palagan: mungsuh swastanisasi banyu. Lan, kuwi dakwujudake kanthi laku nyata: ora tuku lan ngombe banyu mineral sing dikemas. Aku milih ngombe banyu kendhi.
Neng ngendi lan kapan wae, yen disuguh banyu mineral ora bakal dak-ombe, ora bakal dakgape. Malah kepara sing nyuguh dak-ece: apa ora kuwat tuku kendhi? Apa rumangsa kelangan drajat amarga ngombe banyu kendhi? Kerep wae nalika jejagongan dak-enggo srana promosi kendhi lan banyu kendhi.
“Halah! Ya, pilih tuku lan ngombe banyu mineral. Murah, gampang, praktis, lan sehat. Hari gini, jaman moderen, kok dhemen kangelan,” celathune Kluprut karo cengengesan.
Banyu mineral pancen murah. Ngombe banyu mineral pancen gampang, ora prelu kangelan. Nanging apa ya mengkono satemene sing kudu kedadeyan?
Biyen, dhek cilik, kuwajibanku ngisi kendhi sing cumawis sanjabane pager ngarep omah. Sapa wae wong liwat sing ngelak, bisa ngombe banyu kendhi kuwi. Lan, kluwarga sing nyawisake kendhi kaya ngono kuwi dudu amung kulawargaku. Meh saben omah pinggir dalan nyawisake banyu kendhi.
Saiki, sapa sing isih gelem kangelan nyawisake banyu kendhi? Sapa sing isih gelem kangelan ngombe banyu kendhi?
Kamangka sapa wae sing kanthi sadhar ngombe banyu kendhi ing saben dinane, pawongan kuwi wis milih: mehak wong cilik, asah-asih-asuh marang Ibu Pertiwi. Banyu kendhi wujud nyata manunggaling banyu lan lemah, tanah-air. Kendhi simbul usaha ekonomi rakyat.
Mula, sapa gelem ngombe banyu kendhi, samesthine uga gelem ngopeni sumbering banyu, sumbering panguripan: sendhang, kali, sumur, belik, tuk, lan sapanunggale. Sabanjure uga bakal duwe kawigaten marang wit-witan, tetanduran, tetanen, tundhane marang lestarining alam. Duwe kesadharan ekologis, duwe kesadharan marang pangrembakane ekonomi kerakyatan.
Apamaneh yen ngelingi: banyu minangka kaskayaning nagara sing kudu kaolah lan kagunakake murih kasampurnaning urip sapepadha. Ora kena dihaki dening pribadi-pribadi. Wondene, nyata-nyata, pamarentah wis ngedol banyu marang pribadi sing duwe modhal gedhe, kapitalis. Kuwi pehak sing iwut golek bathi sing akeh lan luwih akeh maneh, nyugihake diri pribadi, tinimbang ngopeni sumber banyu, ngopeni wit-witan, ngopeni alam.
“Halah, ora usah sok pahlawan!” grenengane Kluprut karo mbesengut. “Wong nyatane para priyagung, sarjana sujana, nayaka praja, padha ora nggagas bisa apa ora marisake alam sing endah marang anak-putu. Nyatane apa wae wis didol, sapa wae wis dodolan.”
Tanpa nggape Kluprut, aku maca alon-alon murih rumesep ing ati, tumancep ing pikir “Sajak Tikar Plastik Tikar Pandan”. Puisi kuwi kaanggit April 1988 dening Widji Thukul, kanca lawas sing durung kadenangan papan panggonan lan pawongane nganti dina iki – sawise diculik sadurunge taun 1998.

tikar plastik tikar pandan
kita duduk berhadapan
tikar plastik tikar pandan
lambang dua kekuatan

plastik bikinan pabrik
tikar pandan dianyam tangan
plastik makin mendesak
tikar pandan bertahan

kalian duduk di mana?

Para sedulur, ayo lungguh klasa pandhan, jejagongan kanthi suguhan banyu kendhi lan grontol, kaerut, utawa gedhang goreng minangka nyamikan. Sakwise kelangan wedang, aku ora kepengin kelangan, banyu kendhi, ora kepengin kelangan klasa pandhan.
***
NAMUN, maaf, tiba-tiba kuping saya berdenging. Mendengking suara lengking penuh duka. Habis, habis sudah segala kekayaan melimpah ruah. Tandas, tumpas, segala apa, tanpa pernah bisa memakmurkan anak negeri ini. Dan, lihatlah, Ibu Pertiwi: menangis tanpa henti.

Kulihat Ibu Pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Bak intan yang terkenang

Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini Ibu sedang lara
Merintih dan berdoa.


Tembang terakhir itu, mengingatkan kita: betapa kekayaan berlimpah bisa menjadi tidak berkah ketika tidak dikelola secara amanah. Ketika nafsu menguasai lebih besar ketimbang nafsu memelihara, nafsu merawat. Maka, pilihan untuk terus merawat kehidupan adalah dengan menanam: menanam pepohonan, menanam kebajikan, sembari terus mengharap rida Tuhan.
Salam, salam!



Semarang, 22 Mei 2013: 01.29


* Rangkuman tulisan ini saya dedikasikan untukmu, Kiai Budi, untuk mengiringi perjalananmu: menebar benih cinta, menebar benih kebajikan….