Daftar Blog Saya

Kamis, 23 Januari 2014

Oleh:Kiai Budi Harjono

Kiai Budi Harjono
Kiai Budi Harjono

"Nini-Nini" Cinta

22 Januari 2014 pukul 12:11

SEDULURKU TERCINTA,pada masa kecil saya,pernah mendengar dendang lagu yang menyayat karena ada seorang yang mencari "popok beruk" yang hanyut di sungai,lalu bertemulah si pencari itu dengan orang yang "guyang jaran",tetapi si pengguyang kuda itu tidak menemukan dalam arus sungai,terus bertanyalah kepada orang yang "guyang sapi",tetapi juga tidak menemukan "popok beruk" itu.Kemudian bertanyalah si pencari itu kepada orang yang "guyang kebo",namun tidak menemukan popok itu juga.Sambil tetap menangis,bertemulah si pencari itu seorang perempuan tua yang baru "mesusi beras" atau mengayak beras dengan air sebelum dimasak,dengan jujur si nini itu menemukan yang dicari,yakni popok beruk yang terhanyut di sungai.Syairnya saya tidak hapal benar secara keseluruhan,namun nyanyian sendu itu kini mengusik hatiku,sepertinya tembang sendu itu merupakan simbolisasi dari seorang yang melakukan perjuangan mencari "popok",dimana hal ini merupakan simbolisasi mencari insanul kamil dalam diri yang dimulai dari "popok":lembaran kain yang untuk mengamankan bayi dalam perkembangannya.Kepedihan mencari "popok" yang terhanyut dalam sungai saat di cuci inilah,bagai kepedihan seorang yang mencari kesempurnaan diri dalam arus kehidupannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kekhalifahan mansuia itu sesungguhnya adalah "rentangan" kedudukan antara binatang,manusia,dan adi-manusia atau insanul kamil itu.Untuk inilah,tiap manusia musti melewati dan melampaui kebinatangan--dalam nyanyian itu bertemu dengan berbagai orang yang guyang binatang,dan hanya manusia yang sungguh-sungguh dalam memiliki "harapan" yang bisa mencapai kedudukan khalifah atau wakil Tuhan di bumi,dan akhirnya si pencari itu menemukan "popok" pada si pencuci beras.Si nini-nini ini merupakan simbol seorang ahli yang mampu mengolah dari padi hingga nasi untuk persembahan kehidupan.Demikianlah sebenarnya dalam perjalanan seseorang untuk mencapai derat kekhalifahan di bumi,musti melampaui jiwa kebinatangan,karena jiwa kebinatangan merupakan bentuk nyata masih adanya kecintaan pada diri secara berlebihan,berjalan terseok karena memanggul beban keinginan nafsu dan pamrih duniawi,akhirnya beban yang dipanggul bisa berubah menjadi "monster" mengerikan karena menjelma menjadi binatang bagi sesamanya.

Pada sisi lain,manusia adalah binatang yang lebih tinggi derajatnya,kelebihan ini nampak pada kesadarannya akan memiliki "kuasa-kuasa kodrati" insanul kamil dalam kerangka sebagai wakil Tuhan di bumi.Namun kesadaran ini kadang berhenti dalam taraf "pemikiran dan pemahaman" belaka.Dalam kaitan ini maka menjelmalah manusia yang masih cenderung mengkaitkan kekhalifahan dengan kepentingan-kepentingan pribadinya.Kemudian manusia yang paling tinggi derajatnya adalah manusia yang bisa mewujudkan keberadaan dalam dirinya sebagai "adi-manusia",yakni manusia sempurna yang menjadi wakil Allah di bumi.Mereka inilah "pahlawan-pahlawan pemberani" yang sudah mengepakkan sayapnya dan terbang ke angkasa meninggalkan tanah lumpur penuh biji emas yang memanggil-manggil dengan rayuan-rayuan menggiurkan.Mereka inilah,manusia penjaga keseimbangan hidup di bumi,pemelihara bumi namun tidak berhasrat terikat dengan bumi.Merekalah yang ditunggu pnduduk bumi atas kehadirannya karena selalu menjadi "rahmat" bagi lingkungannya.

Kawan-kawan,sekilas pandang akan nyanyian "man-paman" itu,bisa kita telisik lebih jauh karena di sana tertuang banyak kata-kata "simbolik" yang menyertainya.Semua yang ditemui bernuansa "mencuci",sebagaimana kata "guyang" itu membasuh kotoran yang ada pada binatang-binatang itu karena walau binatang pun bisa memberkahi,dan ditutup dengan "nini-nini" yang "mesusi",membersihkan beras yang mau dimasak untuk persembahan kehidupan.Bagaimana dengan kemanusiaan kita ini...Tabik!

Oleh:Kiai Budi Harjono

"Tumbu Tutup" Cinta

22 Januari 2014 pukul 8:37

SEDULURKU TERCINTA,jantera alam semesta bila ditafakkuri,sebagaimana pesan Gusti Kanjeng Nabi Muhammad saw:"Berfikirlah tentang ciptaan,jangan berfikir tentang DzatNya.",maka ujung tafakkur ini akan mengantarkan seseorang kepada keyakinan atas Sang Pencipta,bahkan secara otomatis bibirnya akan berdzikir sebagai spontanitasnya,karena ketakjuban adanya.Segumpal daging yang terselib di tubuh manusia semacam itulah yang kemudian disebut "kalbu",karena adanya keyakinan:dibalik yang maujud pasti adanya Wajibul Wujud.Dalam teks keberagamaan disebutkan bahwa jantera alam semesta raya ini berasal dari Nur Muhammad--cahaya yang terpuji,lalu cahaya ini menjelma menjadi orkestra bentuk,rupa dan warna.Semua bila ditafakkuri akan mengabarkan tentang Sang Khaliq,bila orang Jawa menyebut Pengeran,bila orang Barat menyebut God,bila orang China menyebut Tao,bila orang Yahudi menyebut Iloh,bila orang Arab menyebut Alloh,bila orang Kristen menyebut Alah,bila,bila,bila,bila.Bahasa boleh beragam,namun essensinya adalah Satu,Tunggal,Esa.Sebagaimana benda-benda di semesta ini akan beragam menyebutnya menurut bahasa mereka,namun nanti orang akan menemukan satu barangnya.

Pada sisi lain,bila kita mentafakkuri atas kehadiran kekasih-keasih hati,yakni utusan-utusan Tuhan,dari sejak Nabi Adam sampai Gusti Kanjeng Nabi Muhammad saw sebagai sayyidul mursalin,maka mereka semua akan mengantarkan kita semua kepada cinta Tuhan,Allah.Dan karena Tuhan itu tak sebagaimana makhluk,maka cinta kepada Tuhan yang--semakin diketahui maka semakin tidak tahu tentangNya,maka cinta ini menjadi lebih praktis,dimana para kekasih hati sepanjang zaman akan "memandu" untuk mencintai milikNya ini sebagai "ekspresi" mencintaiNya,secara universal,tanpa sekat:rahmatan lil'alamin.Bila demikian adanya,maka penggambaran bagi orang Jawa namanya:tumbu oleh tutup [tumbu itu wadah mendapat tutup].Tumbu itu wadah yang setengah lingkaran,dan tutupnya juga setengah lingkaran,jadi bila keduanya di satukan akan membentuk huruf "O".Makanya dalam dunia suluk Jawa selalu dibunyikan "O",hole,bulat,utuh,kosong,sunyo.Hanya mata pencinta yang akan memahami bahwa keragaman adalah Satu,adanya.Dan hanya "mata juling" yang memandang Kesatuan sebagai dualitas,si mata juling inilah yang sebenarnya "musyrik" hakiki yang sering mengatakan musyrik kepada saudaranya.

Pandangan "tumbu oleh tutup" inilah yang akan mengantarkan kepada "kepedulian" tidak hanya kepada manusia "an sich",namun kepedulian itu menyangkut banyak keberadaan,termasuk di dalamnya:segala kemakhlukan yang diciptakan Tuhan ini.Pandangan "hole" inilah yang akan mengantarkan seseorang kepada "ketenangan" yang setenang-tenangnya karena memahami bahwa semua kejadian yang tergelar tidak akan pernah luput dari sentuhan lembutNya,dalam gengamanNya,semua dalam timanganNya.Dan bila terdapat kesalahan maka tidak akan menuding pihak lain,karena kesalahan itu juga menyangkut "kesalahan kolektif",termasuk dirinya sendiri itu.

Kawan-kawan,alam nampak diam,namun tidak sebenarnya,malah alam bisa kita pahami berbicara lantang melebihi demo sebesar apapun manusia,sebagaimana banjir bandang yang datang menerjang.Apakah karena kita tidak terkena dan aman? Tidak,bagaimana kita bisa tenang dan aman bila kampung kita tidak terkenal air bah,karena mereka yang terkena itu ternyata adalah:kita yang lain.Tubuh kita beda namun:bukankah jiwa adalah Satu? Adanya...Tabik!
Kiai Budi Harjono
Kiai Budi Harjono

Sajak Timur Sinar Suprabana

Timur Sinar Suprabana
Timur Sinar Suprabana
Timur Sinar Suprabana:

semula kusangka tinggal alif lam mim

padahal segala dalam diri,
tanpa kecuali,
telah kubiarkan luruh.
bahkan batin, pikir dan rasa
sudah pula kujauhkan dari jiwa,
hingga ruhku kembali murni
tanpa bahagia atau pun samsara
: tinggal alif lam mim

rindu dan cinta
tiada masih mengandung asmara,
ingatan terhadap masa silam
sudah kukukut,
harapan atas hari berikut
sudah kujumput,
kulepas
biar masingmasing memilih sendiri tiap napas
yang tak mengandung upas
: tinggal alif lam mim

lalu aku berwudlu
setelah sebelumnya jebyarjebyur memandi
badan dan tubuh pembungkus diri ini
serta kemudian berbaring.
rambutku masih basah
dan kejelitaanku, pelahan, kubiarkan memudar
seperti api pada tungku di luar sana
yang terlambat diangkat ke beranda saat hujan menderas tibatiba.
begitu dingin
: tinggal alif lam mim

apakah aku melayang?
padahal luntak rah saat berbaring.
apakah aku cemas, kuatir atau bahkan takut?
ketika dalam kesendirian benakku rela
dan kusadari hatiku iklas?
bungabunga, berkuntumkuntum, merah semua,
entah bunga apa, mekar, begitu segar, bagai mawar,
membuka helaihelai kelopaknya di sarung bantal,
warna dan baunya sempat bikin aku tersengal.
kubiarkan, namun tidak kuabaikan, agar tetap ada yang terbaca
sampai segala tak lagi tampak memantul di kaca
: tinggal alif lam mim

kubur
yang semula rapi terperam dalam diri
menghamparkan makam
dan lahat meliang tepat di tengahnya
begitu lebar
begitu dalam
begitu terang.
"sekarang," bisik kalbuku.
suaranya bening.
lembut.
menuntun.
"lingkupi engkau dengan syahadatmu."
dan ruhku, seperti mendikte, mengantar nafasku
ngrukupi aku dengan syahadatku
: tinggal alif lam mim

kusangka sesudah itu ia yang diutus menjemput tiba
dan sampai di aku
untuk mengajakku berendeng ke Sana
merunut jalan yang kuhapal di luar kepala,
namun ketika utusan itu datang, setelah menghampiri
dengan langkah sederhana
dan menyentuhku dengan bersahaja
serta tersenyum prasaja
ia berkata, "Allahku yang juga Allahmu,
tadi memanggilku balik di tengah perjalananku menujumu.
Kepadaku Ia berkata, 'Biarlah kutahan rinduKu
pada kesayanganKu yang satu itu karena ribuan temantemannya memohonkan kesembuhannya padaKu.
Kini kembalilah kamu kepadanya.
Bisikkan mengenai ini agar ia tahu apa yang harus dia lakukan
di harihari berikut
pada sepanjang sisa umurnya yang Kupanjangkan...'."

sayupsayup
kudengar ada yang berucap
: alif lam mim
: alif lam ra
: kaf ha ya 'ain shad

: ta ha
....

begitu Mesra
........

11.16
23.01.2014
semarang.

Jumat, 10 Januari 2014

Historis

Mengenang Perlawanan Siti Fadilah Supari Galang Dukungan Internasional Terhadap WHO (Bagian II)
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Pada 2005 dunia kesehatan Indonesia gempar, karena muncul penyakit baru, Flu Burung namanya. Dr Siti Fadilah Supari, baru sekitar setahun menjabat Menteri Kesehatan, tentu saja merasa terpukul. Namun jiwa hasrat dan passion-nya yang sejatinya merupakan seorang peneliti, rasa  penasaran untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di balik penyebaran Flu Burung, jauh lebih kuat daripada rasa gusarnya.  Apalagi sebelumnya pada 2004, Flu Burung  juga menerjang Vietnam, Thailand dan Cina.

Namun bagi Supari, munculnya Flu Burung, telah menyadarkan dirinya, ada sesuatu yang tidak beres dalam tata kelola kesehatan yang ditangani oleh WHO. Bermula di saat Supari galau bagaimana mengatasi penyebaran virus Flu Burung yang begitu cepat, tiba-tiba berdatanganlah para pedagang farmasi menawarkan apa yang dinamakan rapid diagnostic test yang sumbernya berdasarkan virus strain Vietnam. Dan ini yang kemudian memancing kecurigaan Supari,  para pedagang tersebut juga menawarkan vaksin untuk menyembuhkan Flu Burung. Yang tentunya sumbernya juga berasal dari virus strain Vietnam.
Buat Supari ini hanya berarti satu hal: Adanya ketidakadilan dalam penanganan masalah kesehatan di dunia internasional, dan biang keroknya adalah World Health Organization alias WHO.
Betapa tidak. WHO selama hampir 50 tahun, memberlakukan ketentuan apabila ada penduduk yang menderita penyakit Influenza , lalu kemudian meninggal, maka virus dari penderita tersebut sampelnya diambil dan dikirim ke WHO CC (WHO Collaborating Center), untuk dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian digunakan untuk membuat vaksin.
Dan ironisnya, pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri maju, negara-negara kaya yang tidak punya kasu Flu Burung  pada manusia. Tragisnya lagi, vaksin itu kemudian dijual ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Maka melalui tragedi Flu Burung ini, kesadaran baru muncul pada benak Supari. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kesehatan, Supari mulai mengambil kebijakan melarang pengiriman virus Influenza kepada WHO. Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN(Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Masak iya, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus influenza biasa (seasonal flu) harus mengirimkan specimen virus secara sukarela, tanpa protes sama sekali. Betapa tidak. Virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Dan kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh dunia secara komersial. Alangkah tidak adilnya, begitu menurut pikiran wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah tersebut.
Selain gusar mengapa tak ada satupun negara, termasuk Indonesia, yang berani protes atas aturan yang tidak adil tersebut, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada tersebut juga mulai mencurigai adanya konspirasi internasional di balik Flu Burung tersebut. Siapakah sesungguhnya yang memperdagangkan virus seasonal flu? Negara-negara penderita mengirimkan virus dengan sukarela ke GISN-nya WHO, tetapi mengapa kemudian tiba-tiba perusahaan pembuat virus memproduksinya? Dimana mulai diperdagangkan.
Dan ini yang paling penting: Ada hubungan apa antara WHO, GISN dan perusahaan pembuat vaksin? Pokoknya  ada yang tidak beres lah.
Karena belakangan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini tahu, bahwa Flu Burung yang berasal dari virus jenis H5N1, WHO juga menerapkan peraturan yang  sama. Artinya, negara-negara yang diterjang penyakit Flu Burung, maka harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC. Tapi setelah itu? Negara pengirim tidak pernah tahu, untuk apa dan diapakah virus tersebut. Dan dikirim kemana virus tersebut?
“Apakah akan dibuat vaksin atau bahkan jangan-jangan akan diproses menjadi senjata biologis? Kepada siapa saya harus bertanya? Apa hak dari si pengirim virus yang biasanya adalah negara yang sedang berkembang dan negara miskin. Begitulah kegusaran Supari sebagaiman terdokumentasi dalam buku karyanya bertajuk “Saatnya Dunia Berubah.”
Sederet pertanyaan yang berada di benaknya, mendorong Supari meminta pendapat Sangkot Marzuki, memang ahlinya untuk menjawab soal ini. Menurut Marzuki, ternyata para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC, yang entah bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico.
Terungka bahwa selama ini data sequencing H5N1 yang kita kirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, yang jumlahnya hanya sedikit, barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti.  Yang menariknya lagi, 4 dari 15 on berasal dari WHO CC, dan sisanya entah berasal dari mana.
Barang tentu, fakta ini bikin Supari Shock. Karena laboratorium Los Alamos ini berada dalam kendali Kementerian Energi, Amerika Serikat. Dan di Los Alamos inilah, dulu pada saat Perang Dunia II sedang panas-panasnya, di Laboratorium inilah dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.
Tentu saja ketertutupan informasi dan ketidakmampuan pihak luar untuk mengakses apa yang terjadi di Alamos, bisa berbahaya sekali. Karena masyarakat tidak tahu apakah virus H5N1 itu akan dibiuat vaksin, atau jangan-jangan malah dibiuat senjata kimia. Sepenuhnya tergantung mereka-mereka yang berwenang mengendalikan Los Alamos seperti Kementerian Energi dan Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Setelah memahami sepenuhnya konteks sesungguhnya dari apa yang mencuat di balik penyebaran Flu Burung tersebut, Supari sejak itu bertekad untuk membebaskan ketertutupan infomasi ilmiah tersebut. Maka dengan bantuan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia(AIPI), Supari dengan didampingi oleh Sangkot Marzuki, kemudian memutuskan untuk mentransparankan data sequencing  DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok Ilmuwan saja.
Langkah berikutnya, Supari melayangkan surat kepada WHO agar Indonesia, tentunya melalui Kementerian Kesehatan, agar dapat diberikan data sequencing  virus yang sempat menerjang Tanah Karo, Sumatera Utara,  beberapa waktu lalu. Dan rupanya WHO untuk soal ini menangapi positif. Tak lama kemudian, WHO mengirim data sequencing virus Tanah Karo.
“Maka sejak saat itu, 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mengawali ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Yakni dengan cara mengirim data yang tadinya disimpan di WHO, dikirim pula ke Gene Bank,” begitu penegasan penuh semangat dari Supari lewat bukunya.
Kembali ke soal Alamos, ada yang aneh dan misterius. Tak lama setelah Supari menuntut data virus Tanah Karo, laboratorium Los Alamos sudah ditutup dan tidak ada lagi. Menurut kabar yang santer terdengar, penyimpanan data sequencingnya dipindahkan ke dua tempat. Yaitu GISAID dan sebagian ke BHS atau Bio Health Security, suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon.
Mengerikan  bukan? Karena itu berarti 58 virus H5N1 Indonesia juga tersimpan di sana. Bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos.
Inilah yang mendasari kebijakan Menteri Kesehatan Supari untuk menolak mengirim virus Influenza, dan khususnya H5N1 kepada WHO. Dan sini pula keanehan baru segera terungkap.
“Mengapa yang saya tuntut WHO, kok kemudian yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat? Tadinya saya heran. Tapi sekarang tidak heran lagi,” tutur Supari.
Dalam analisis Supari, skenarionya kemungkinannya seperti ini: Virus dari affected countries (negara yang tertular) dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi keluarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu.
Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun ada kemungkinan yang jauh lebih mengkahwatirkan: Karena bisa jadi virus tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat senjata kimia/senjata biologis.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, Supari dalam kapasitas sebagai Menteri Kesehatan, sejak 20 Desember 2006, memutuskan untuk menghentikan pengiriman specimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO CC, selama mekanismenya masih mengikuti GISN.
Menurut Supari, mekanisme GISN yang imperialistik tersebut harus dirubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan, sehingga negara-negara penderita yang notabene negara berkembang dan miskin, tidak dirugikan seperti sekarang ini.
Maka sejak saat itu pula, gerakan Supari tidak sebatas menyatakan sikap dan pendirian pemerintah terhadap WHO, melainkan melangkah lebih jauh lagi, menggalang dukungan internasional untuk memperjuangkan agendanya tersebut. Berjuang melawan Ketidakadilan WHO.
Perlawanan Supari terhadap WHO, rupanya benar-benar menggetarkan pusat urat syaraf (nerve center) WHO dan berbagai komponen strategis AS yang berada di belakang WHO. Sehingga WHO kemudian menurunkan David Heymann, Asisten Direktur Jenderal WHO yang menangani Flu  Burung, untuk mendesak agar Indonesia tetap mengirimkan seasonal vaccine yang menurut Heymannn Indonesia tidak butuh-butuh amat.
Selanjutnya Heymann juga mendesak Menteri Kesehatan agar Indonesia patuh dengan menyetujui dan mengikuti mekanisme GISN dalam mengumpulkan virus H5N1. Dia menjanjikan akan membantu kebutuhan dana dan bantuan teknis kepada Indonesia, asalkan tunduk dan patuh pada mekanisme GISN WHO.
Singkat cerita, Supari dengan tegas menolak, dengan alasan Indonesia sekarang punya agenda sendiri yang berada di luar skema WHO, apalagi yang mengacu pada mekanisme GISN. Karena WHO dalam pandangannya ada kepentingan terselubung di dalamnya.
Maka, pada Sidang World Health Assembly(WHA) Mei 2007, Supari mulai meluaskan gerakannya melawan WHO secara internasional. Dalam Sidang WHA-60 di Komisi A, delegasi Indonesia mengajukan draf resolusi berjudul: Responsible Practices for Sharing Avian Inflluenza Viruses and Resulting Benefits.
Dan hasilnya cukup menakjubkan. Resolusi Indonesia didukung 23 negara co sponsor: Iran, Korea Utara, Vietnam, Irak, Kuba, Palestina, Saudi Arabia, Malaysia, Kamboja, Timor-Leste, Sudan, Myanmar, Maldives, Peru, Brunei Darussalam, Algeria, Qatar, Laos, Solomon Islands, Bhutan, Kuwait, Bolivia, dan Pakistan.
Amerika Serikat, melalui draft resolusinya mengajukan judul: Mechanisme to Promote Access to Influenza Pandemic Vacvine Production, kemudian berbenturan head to head dengan Indonesia.
Namun akhirnya Indonesia menang, berkat dukungan 24  negara-negara anggota WHO, mekanisme virus sharing menurut GISN WHO dinyatakan tidak berlaku lagi.
Maka, dengan dukungan 24 negara, Indonesia tercatat sejarah akhirnya mampu mengajukan perobahan mekanisme atau aturan dari organisasi global sekelas WHO. Aturan GISN-WHO yang sudah mapan selama 50 tahun dan mengandung aroma ketidakadilan, dan merugikan negara-negara berkembang, akhirnya berhasil direformasi berkat kepeloporan Indonesia.

Historis

Proyek NAMRU-2 AS Jangan Sampai Terulang Kembali di Indonesia (Bagian I)
Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

November 2007, saya menulis di situs www.nu.or.id  bertajuk Misteri Virus Namru-2 AS. Dalam artikel tersebut saya menggugah kembali ingatan publik atas peristiwa yang terjadi pada Januari 2006, di Gedung tingkat tiga Laboratorium Mikrobiologi Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN). Yang mengakibatkan 22 orang luka-luka bakar yang cukup parah.

Ledakan yang terjadi di Gedung laboratorium Mikrobiologi yang berlokasi di jalan Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat milik Departemen Kesehatan itu, waktu itu dianggap sebagai kecelakaan biasa. Apalagi Makbul Padmanegara yang ketika itu menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, secara tegas mengesampingkan kemungkinan ledakan tersebut berasal dari bom atau aksi terror. Meski Padmanegara kala itu tidak membantah bahwa telah diketemukan nitrogen cair dan CO2.
Namun melalui kejadian tersebut ada satu fakta menarik yang belum ada satupun media massa yang mengangkatnya sebagai tema pemberitaan. Sebuah fakta yang jauh lebih menarik dibandingkan peristiwa peledakan itu sendiri. Kenyataan bahwa di Komplek gedung ini pula, berkantor The Naval Medical Research Unit 2 atau yang lebih dikenal dengan NAMRU-2.
Berdasarkan penelusuran bahan-bahan pustaka yang saya lakukan, terungkap bahwa Unit 2 Penelitian Medis Angkatan Laut alias NAMRU-2 merupakan bagian dari Angkatan Laut Amerika Serikat.
Yang lebih menarik lagi, badan yang resminya didirikan untuk mempelajari penyakit-penyakit tropis ini, ternyata berkantor di gedung milik Departemen Kesehatan. Jalan Percetakan Negara 29, Jakarta Pusat.  Aneh bukan?
Memang kalau kita menelisik situs Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, Staf Namru-2 bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Indonesia di bidang pengembangan Sumberdaya Manusia, pembangunan kelembagaan, penelitian serta pengawasan penyakit-penyakit menular.
Menurut keterangan situas Kedubes AS lebih lanjut, hal itu dilakukan dalam rangka Misi NAMRU-2 untuk mengadakan penelitian, percobaan-percobaan dan evaluasi atas penyakit-penyakit menular demi memajukan kesehatan, keamanan, dan kesiapan Pasukan Angkatan Bersenjata AS agar dapat bekerja secara efektif di masa damai dan dalam menjalankan misi-misi darurat di Seluruh Asia Tenggara.
Namun, itu versi cerita dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Informasi lain yang ketika itu saya peroleh, dan inilah yang jadi gagasan utama tulisan saya sehingga saya beri judul Misteri Virus NAMRU-2 AS, sejak akhir 2006 dan awal 2007, ada sekitar 25 orang yang mati terkena infeksi virus tak dikenal yang memakan korban jiwa akibat eksperimen biologis tertutup yang dilakukan oleh NAMRU-2.
Tentu saja ketika itu saya belum bisa mendapatkan konfirmasi dari Departemen Kesehatan, karena Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari belum secara resmi mengangkap persoalan sensitif tersebut. Atau jangan-jangan, Menteri Kesehatan Supari maupun para staf terdekatnya belum mendapatkan masukan informasi apapun terkait kiprah NAMRU-2.
Padahal ketika tulisan tersebut saya angkat di situs www.nu.or.id sudah berkembang sebuah informasi lain yang cukup mencemaskan: Ternyata NAMRU-2 tidak sekadar melakukan penelitian tentang penyakit tropis, tapi sudah meluas dalam penelitian aplikasi militer seperti pembuatan senjata bio-terorisme. Sejenis Weapon of Mass Destruction (WMD) khusus persenjataan biologis. Bahkan menurut informasi, justru penelitian aplikasi militer inilah yang jadi agenda utama NAMRU-2. Penelitian terkait penyakit tropis hanya sekadar sebagai kedok untuk menyamarkan kegiatan yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, NAMRU-2 pada perkembangannya merupakan markas kegiatan intelijen Angkatan Laut Amerika, bukan sekadar untuk menangani proyek-proyek kerjasama Indonesia-Amerika di bidang kesehatan.
Dengan demikian penelitian virus Influenza, Malaria, Kolera, Tipus, Demam Berdarah, HIV/AIDS, Turbekolosa/TBC dan sebagainya, sejatinya ditujukan untuk melayani kepentingan strategis militer Amerika.
Ketika itu tulisan saya tutup dengan satu pertanyaan kunci: Apa benar bahwa penyebaran virus yang tidak dikenal dan yang telah memakar korban jiwa 25 orang tersebut, memang berasal dari kantor NAMRU-2 yang berlokasi di Jakarta?
Pertanyaan tersebut saya anggap masuk akal karena berdasarkan pemeriksaan tempat tinggal orang-orang yang terkena infeksi maupun di berbagai klinik lokal, ternyata tidak berhasil menemukan  virus-virus apapun yang selama ini ini sudah dikenal, dan memiliki ciri khas yang jelas untuk kawasan ini.

Versi pihak kesehatan ketika itu mengatakan bahwa penyakit ini diakibatkan oleh poris kecil virus biologis yang belum dikenal.

Pihak kesehatan boleh saja mengatakan hal seperti itu. Namum informasi lain mengatakan bahwa spesialis-spesialis NAMRU-2 juga telah menjadikan jasad orang-orang yang sudah mati sebagai obyek eksperimen untuk meneliti reaksi organisme manusia yang diakibatkan oleh virus tersebut.

Sepertinya ketika tulisan ini saya publikasikan pada November 2007, Menteri Kesehatan Supari dan jajaran staf di lingkungan Departemen Kesehatan belum tahu-menahu soal ini mengingat fakta bahwa proyek penelitian NAMRU-2 pada hakekatnya bersifat tertutup dan rahasia.  Padahal, kegiatan-kegiatan NAMRU-2 dalam penelitian aplikasi militer berkedok penelitian medis Angkatan Laut dalam bidang penyakit menular, juga dilakukan Amerika di Filipina dan Thailand. Sehingga bisa menimbulkan ancaman yang membahayakan jiwa manusia di kawasan Asia Tenggara.

Awal Mula Menteri Kesehatan Supari Menaruh Perhatian Pada NAMRU-2

Menteri Kesehatan Supari baru mengangkat soal NAMRU-2 AS tersebut pada 2008. Namun dalam buku yang dia tulis sendiri berjudul SAATNYA DUNIA BEROBAH, menuturkan awal mula keanehan yang dia rasakan terkait proyek NAMRU-2 tersebut.

Ketika sedang gencar-gencarnya wabah Flu Burung menerpa Indonesia, Supari menerapkan kebijakan melarang pengiriman virus influenza ke WHO,  Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Nah di tengah-tengah perlawanan Supari terhadap hegemoni WHO ini, mencuatlah satu isu sensitif ke permukaan, yaitu isu bantuan negara-negara maju dengan dukungan WHO untuk menggalang dana membantu negara-negara yang menderita flu burung.
Bagi Supari, selain gagasan bantuan negara-negara maju kepada negara-negara miskin yang menderita flu burung tersebut dipandang sebagai wacana yang menyesatkan dan merendahkan martabat diri negara-negara miskin, pada saat yang sama Supari mendapat sebuah informasi yang mengejutkan.
Pertama. Bahwa di Indonesia bantuan-bantuan luar negeri untuk mengatasi flu burung seolah begitu deras berdatangan pada 2006, namun manfaatnya tidak begitu terasa bagi masyarakat. Bahkan menurut Suparti, kadang-kadang bantuan yang diumumkan di dunia internasional ternyata tidak pernah kita terima.
Kedua. Ini yang lebih mengagetkan, dan saya kira inilah awal mula Supari mulai menyorot NAMRU-2. Menurut informasi  yang didapat Menteri Kesehatan Supari, Menteri Kesehatan Amerika Serikat , Michael O Leavitt, pernah menjanjikan akan membantu Indonesia sebesar 3 juta dolar AS. Tetapi bantuan itu tidak kunjung datang hingga terlaksananya kunjungan Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice ke Indonesia ketika itu.
Ketika itu, salah seorang wartawan bertanya pada Supari: “Apakah Kementerian Kesehatan akan mendapat bantuan dari Menlu Rice?” Supari menjawab: “Lho, janji dari Leavitt saja belum datang sampai sekarang kok mengharapkan dari Menlu Rice? Enggak ah.” Begitu jawab Supari.
Rupanya, pernyataan keras Supari tersebut menggema sampai ke Amerika Serikat. Bahkan parlemen Amerika mempertanyakan hal ini ke Dubes AS yang ada di Indonesia. Belakangan Supari dapat informasi melalui jalur-jalur informal bahwa dana yang dijanjikan oleh Leavitt tersebut telah dikirimkan ke Dubes AS di Jakarta. Dan diberikan ke NAMRU-2 AS dengan asumsi untuk penelitian H5N1 bersama Departemen Kesehatan.
Meski di dalam buku ini Supari tidak terlalu banyak berkisah seputar pendirian dirinya terkait NAMRU 2, namun bisa saya simpulkan bahwa sikap kerasnya yang kelak menghentikan proyek penelitian NAMRU-2 AS di Indonesia, nampaknya didasarkan pada informasi tersebut.

NAMRU-2 Sebagai Operasi Intelijen
Melalui konstruksi kisah tersebut di atas, proyek NAMRU-2 AS atau program-program yang sejenis, tidak boleh terulang kembali di Indonesia. Dan para pejabat pemerintahan Indonesia, khususnya dari Kementerian Kesehatan, tidak boleh mengizinkan proyek sejenis NAMRU-2 beroperasi kembali di Indonesia.
Sebab dari berbagai penelusuran bahan-bahan pustak yang dihimpun Tim Riset Global Future Institute, dalam sebuah penelitian penyakit malaria, terungkap bahwa para peneliti NAMRU-2 tidak hanya meneliti dan mengambil specimen darah warga yang terkena penyakit malaria. Para peneliti NAMRU-2 juga keluar –masuk hutan untuk memetakan situasi, topografi, dan meneliti penyebaran penyakit melalui cara-cara yang tidak lazim.
Bahkan para peneliti NAMRU-2 terungkap telah melakukan pengumpulan data dan informasi pos militer, jarak lokasi penyebaran penyakit dan kantor pemerintahan mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Hal ini mengindikasikan bahwa NAMRU-2 hakekatnya telah dijadikan sebagai markas operasi intelijen berkedok sebagai lembaga penelitian penyebaran penyakit menular.
Keanehan dan misteri yang menyelimuti proyek NAMRU-2 tersebut rupanya juga dirasakan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Selain tidak pernah melaporkan hasil penelitian mereka sejak tahun 2000, NAMRU-2 juga tak ikut membantu pemerintah ketika sibuk menghadapi bencana nasional demam berdarah dan flu burung.
Namun di atas itu semua, laboratorium penelitian Namru-2 yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara, telah menjadi markas terselubung intelijen angkatan laut Amerika dalam pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Selain itu, keberadaan proyek Namru-2 AS dan keterlibatan intelijen angkatan laut Amerika Serikat telah memicu kecurigaan berbagai kalangan pemerintah bahwa Amerika telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung yang tak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.

Historis


CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo dan L.B. Moerdani
Penulis : Dr. George J. Aditjondro


Pada salah satu seminar membicarakan pemilu di kantor CSIS di Tanah Abang, Jakarta, tanggal 3 September 1996, Panda Nababan, seorang wartawan senior Jakarta, tiba-tiba angkat bicara. Dengan tenang Panda Nababan menuduh CSIS sebagai pusat tempat dirumuskannya banyak keputusan Politik Indonesia masa lalu yang merepotkan kita semua sekarang ini. Dr. Sudjati Djiwandono, seorang pembicara dalam acara itu juga sulit menyembunyikan amarahnya kepada Panda Nababan.

Tapi Harry Chan Silalahi yang menjadi moderator pada saat itu, meski bisa menahan diri untuk menangkis tuduhan Panda Nababan, tapi ia tetap tenang, dan seperti biasanya penuh senyum, meski kabarnya terlihat gugup. Beberapa hari kemudian, dengan bantuan harian Kompas (tgl. 7 September 1996), Harry Chan Silalahi memberikan wawancara khusus yang membantah semua tuduhan Panda Nababan. Di sana dengan gaya orang rendah hati Harry Chan membeberkan betapa salahnya orang yang menganggap CSIS itu memainkan peranan penting pada belasan tahun pertama Orde Baru. Yang ada sebenarnya hanya kedekatan antar individu, bukan CSIS dengan pemerintah, kata Harry Chan.

Para pendiri CSIS itu dekat dengan pemerintah, katanya. Ia menyebutkan dirinya sebagai tokoh KUP Gestapu (Front Pancasila), Liem Bian Kie (Yusuf Wanandi) sebagai tokoh Golkar, demikian juga dengan Sudjati Djiwandono. Dan tentu saja Sudjono Humardani dan Ali Murtopo yang memang Aspri Suharto. Dr. Sudjati Djiwandono, seorang pembicara dalam acara itu juga sulit menyembunyikan amarahnya kepada Panda Nababan.

Kepada harian Kompas, Harry Chan menjelaskan: “Pada prinsipnya CSIS membatasi diri untuk tidak terlibat dalam soal taktis politik. Meskipun demikian CSIS kerapkali diisukan telah melakukan hal itu. Padahal pembahasan masalah dalam negeri yang dilakukan CSIS bersifat strategis konsepsional”.

CSIS terbentuk, menurut Harry, pada tahun 1971 ketika Hadi Susastro dan beberapa kawan-kawannya pulang belajar dari Eropa. Merekalah yang mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga think tank. Tidak dijelaskan oleh Harry bahwa sebelumnya bergiat dalam CSIS, para kader Beek itu sudah berkiprah dalam operasi khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo.

Masih belum yakin dengan bantahannya lewat harian Kompas, sebulan kemudian, lewat harian Nusa Tenggara (terbit di Denpasar) edisi 13 Oktoer 1996, Harry Chan muncul lagi dalam sebuah wawancara yang menggunakan hampir satu halaman surat kabar. Di sini sekali lagi Harry Chan melakukan cuci tangan terhadap semua tingkah laku politik CSIS di masa jaya Ali Murtopo hingga masa akhir berkuasanya L.B. Murdani. Penjelasan panjang lebar Harry Chan dalam koran terbitan pulau Bali itu sepintas lalu sangat persuasif serta menyakinkan, terutama bagi generasi muda yang tidak mengalami pergolakan politik awal Orde Baru. Tapi bagi orang seperti saya, semua cerita Harry Chan itu sebenarnya adalah isapan jempol belaka.

Perhatikan bahwa dalam semua penjelasan Harry Chan sama sekali tidak pernah menyebut Opsus dan keterlibatan kaum katolik ekstrem kanan di sana. Mereka yang tergolong generasi 66 di Jakarta masih ingat kantor mereka (Opsus) di Jalan Raden Saleh Jakarta Pusat. Juga penjelasan Harry Chan sama sekali tidak terdengar nama Pater Beek SJ, pastor kelahiran Belanda yang memainkan peranan besar di balik lahirnya CSIS tersebut.

Beek adalah pastor ordo Jesuit yang sudah aktif lama di Indonesia melakukan kaderisasi para pemuda dan mahasiswa katolik. Ia melakukan kegiatan kaderisasinya di asrama Realino Yogyakarta, di samping melakukan kaderisasi di Klender, Jakarta. Di Klender kegiatan itu disebut Kasebul (Kaderisasi sebulan). Dalam kegiatan Kasebul itu bukan cuma indoktrisasi yang dilakukan, bahkan latihan pisik yang mendekati latihan militer juga diberikan. Di sana para kader dilatih menghadapi situasi jika diinterograsi oleh lawan. Bagaimana meloloskan diri dari tahanan, bagaimana survive dan sebagainya.

Latihan seperti ini ditujukan untuk mempersiapkan showdown dengan komunis waktu itu. Kegiatan ini kemudian diketahui oleh Subandrio yang memimpin BPI (Badan Pusat Intelejen). Akibat kejaran BPI Pater Beek terpaksa melarikan diri ke luar negeri dekat sebelum Gestapu 1965. Beek kembali ke Indonesia setelah Subandrio ditangkap dan BPI dibubarkan.

Sebagian dari lulusan terbaik Kasebul ini dikirim untuk latihan lebih jauh lagi di luar negeri. Salah seorang yang berhasil dikirim keluar negeri sebelum Gestapu adalah yang kemudian menjadi wakil komandan Laskar Ampera, Louis Wangge almarhum. Wangge dikirim oleh Beek ke Universitas Santo Thomas, Filipina. Begitu yang diketahui orang. Tapi kemudian Wangge sendiri mengaku bahwa sebenarnya ia dikirim ke sebuah pusat latihan intelejen di sebuah pangkalan Amerika di Filipina.

Cerita tentang ini semua dikisahkan Wangge setelah ia dikucilkan oleh CSIS karena sikap Wangge yang menolak kebijakan CSIS yang anti Islam. Dalam keadaan tegang antara Wangge dan CSIS di pertengahan tahun tujuh puluhan, misalnya, Wangge pernah menyundut rokok menyala ke baju yang melekat di tubuh Sofyan Wanandi dikamar kecil bioskop Menteng (bioskop itu sudah digusur sekarang).

Saya sendiri juga pernah menjadi kader Pater Beek dan dilatih melawan komunis. Tapi seperti juga Wangge, ketika CSIS sudah menjadikan Islam sasarannya, dan karena CSIS menjadi tanki pemikir Rezim Suharto, juga karena ikut berdarahnya tangan CSIS di Timor Timur, saya tidak bisa lagi tetap berada dalam jajaran pengikut Pater Beek. Terutama setelah demi ambisi kekuasaan dan kontrol orang-orang CSIS (Liem Bian Kie dan Sudradjat Djiwandono) Partai Katolik pun mereka gilas. Begitu yakinnya mereka akan pentingnya mengontrol Indonesia lewat Golkar, mereka tega menindas Uskup Atambua (mempertahankan Partai Katolik), orang yang sebenarnya berjasa dalam proses integrasi Timor-Timur.

Sebagai wartawan Tempo yang sudah mengunjungi Timor Timur sebelum invasi operasi intel pimpinan Murdani, dan mengikuti perkembangan wilayah itu hingga kini, saya tahu bagaimana permainan Murdani bersama orang-orang CSIS dalam mengeruk uang dari Timor-Timur, setelah sebelumnya membantai secara kejam banyak penduduk bekas jajahan Portugis tersebut. Dengan uang yang terus mengalir (monopoli kopi yang dikelola oleh Robby Ketek dari Solo) itulah mereka, antara lain, bisa membiayai operasi-operasi politik Murdani bersama CSIS.

Tapi siapa sebenarnya Beek? Menurut cerita dari sejumlah pastor yang mengenalnya lebih lama, Beek adalah pastor radikal anti komunis yang bekerja sama dengan seorang pastor dan pengamat Cina bernama pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos china watcher (pengamat Cina) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak sulit untuk dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastor mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik katolik di seluruh dunia.

Tentang Black Pope ini tidak banyak diketahui orang, juga pastor katolik yang tidak tahu mengenai kedudukan, peran, dan operasi Black Pope yang sangat penuh rahasia itu. Tapi ketika almarhum Dr. Sudjatmoko menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, ia pernah berkunjung ke Tahta suci di Vatikan. Selain berjumpa Paus, Sudjatmoko juga jumpa seorang Kardinal yang mengajaknya berbicara banyak mengenai keadaan di Indonesia. Sudjatmoko merasa surprise bahwa Kardinal itu tahu banyak tentang politik di Indonesia. Tidak lama setelah pulang ke Indonesia sebagai pensiunan rektor Universitas PBB, pimpinan harian Kompas mengirimkan orang kepada Sudjatmoko untuk meyakinkannya agar tidak usah cemas masalah finansial. Kalalu ada apa-apa Kompas bersedia membantu. Dari tawaran simpatik Kompas itulah Sudjatmoko yakin adanya kontrol Black Pope terhadap kegiatan katolik di Indonesia.

Kembali kepada Beek, yang makin memperkukuh posisi kader Beek di mata tentara adalah sikap mereka yang didasarkan oleh kebijakan yang digariskan oleh Beek. Kebijakan itu dikenal sebagai Lesser evil theory (teori setan kecil).

Setelah komunis dihancurkan olehtentara, Beek melihat ada dua ancaman (setan) yang dihadapi kaum Katolik di Indonesia. Kedua ancaman sama-sama berwarna hijau. Islam dan tentara. Tapi Beek yakin, tentara adalah ancaman yang lebih kecil (Lesser evil) dibanding Islam yang dilihatnya sebagai setan besar. Berdasarkan pikiran itulah maka perintah Beek kepada kader-kadernya adalah rangkul tentara dan gunakan mereka untuk menindas Islam.

Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi) dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa dari partisipasinya dalam penumpasan Gestapu. Padahal Suharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah berkeputusan untuk mengelola sendiri negara dan tidak akan berbagi kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan Islam lawan tentara inilah yang melicinkan dipraktekkannya doktrin Lesser evil Pater Beek tersebut.

Kebetulan lain adalah adanya Ali Murtopo dan Sudjono Humardani. Kedua orang ini mempunyai sejumlah persamaan meski ada perbedaan mendasarnya. Sudjono dan Ali sama-sama ingin mengabdi kepada Suharto. Tapi Ali Murtopo punya rencana jangka panjang untuk berkuasa (I will be the next president, kata Murtopo kepada wartawan Tempo, Tuty Kakiailatu, pada masa kampanye Pemilu 1971) sedang Humardani adalah orang Solo yang sudah bahagia jika bisa menjadi abdi dalem yang baik. Ambisi Ali Murtopo inilah yang dimanfaatkan oleh kader-kader Pater Beek tersebut.

Banyak orang yang tidak percaya kalau Ali Murtopo (keluarga santri dari pesisir Jawa dan bekas hisbullah di jaman revolusi) bisa menjadi orang yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah bahwa Ali Murtopo punya rencana berkuasa, oleh karena itu semua yang merintanginya untuk mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam, tapi juga Perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang, seperti H.R. Dharsono, Kemal Idris, Sarwo EdhiWibowo dan Soemitro (Pangkopkamtib). Almarhum Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk menyingkirkan Suharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi Presiden. Sedang Sarwo Edhy difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang ke atas) Suharto.

Kader-kader Beek yang kemudian mendirikan CSIS dan waktu itu masih berkumpul dalam Opsus tahu betul mengenai ini, dan mereka ikut membantu Ali Murtopo mencapai ambisi berkuasanya.

Pada tahun 1974 terjadi Malari di Jakarta. Orang-orang Opsus yang berada dibalik kerusuhan dan pembakaran-pembakaran merasa dengan itu bisa menghabisi lawan mereka yang dipimpin Soemitro. Kemudian terbukti memang Soemitro yang kurang canggih berpolitik itu berakhir karir militernya dengan cara yang sangat mengenaskan. Namun yang menang juga bukan Ali Murtopo. Suharto ternyata jauh lebih pintar dari Ali dan Soemitro. Kedua Jenderal yang berambisi itu dalam waktu singkat habis peranan politiknya.

Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Suharto, salah seorang kadernya disimpannya di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah LB. Murdani. Sudah sejak di Kostrad pada jaman konfrontasi dengan Malaysia, para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya rivalitas diam-diam antara Ali dan Murdani. Banyak yang menduga perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Murdani penuh kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin menjadi orang yang berkuasa, sementara Murdani hanya ingin menjadi orang yang mengendalikan orang yang berkuasa.

Tapi setelah terjadi Malari. Ali Murtopo tidak bisa lagi menghalangi Murdani untuk tampil ke depan. Sejak itulah bintang Murdani mulai menanjak. Murdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas karena merosotnya posisi dan peran Ali Murtopo pada masa paska Malari, berjaya lagi oleh naiknya Murdani.

Berlainan dengan Ali Murtopo yang ditakutkan bisa merupakan ancaman bagi CSIS kelak ketika berkuasa (ingat Suharto yang kini berbalik kepada Islam setelah menindasnya dahulu?) Murdani adalah orang katolik yang kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar saja kerjasama Murdani dengan CSIS. Sebagai orang katolik ekstrem kanan Murdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa Moerdani sekarang dengan tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan bekas kantor Ali Murtopo).

Dipanggil pulang dan diberi bintang dan kuasa oleh Suharto setelah hampir terlupakan di Korea Selatan dan (sebelumnya) Kuala Lumpur, Murdani sangat berterima kasih kepada Suharto. Merasa telah mengutangi budi kepada Murdani, Suharto merasa dengan aman bisa menyuruh Murdani berbuat apa saja tanpa harus takut dikhianati. MemangMurdani menjadi “herder” Suharto yang menggigit siapa saja yang dianggap Murdani membahayakan Suharto. Maka Suharto makin percayalah kepada Murdani.

Kepercayaan yang besar itulah kemudian yang menjadi modal bagi ambisi lama Murdani untuk menjadi King Maker. Kepada seorang perwira Kopassus di akhir tahun 1980-an Murdani katanya pernah berseloroh: “Buat apa jadi orang berkuasa jika bisa dengan tanpa resiko kita mengontrol orang yang berkuasa”. Memang itulah yang digeluti Murdani di belakang Suharto. Keberhasilan Murdani dan Sudomo membesar-besarkan bahaya Petisi 50 (AH. Nasution hampir ditangkapMurdani, tapi dicegah oleh TB. Simatupang) berhasil mengecoh Suharto untuk mengeluarkan sebuah surat pamungkas yang memberi kuasa lebih besar lagi kepada Murdani. Dengan kekuasaan amat besar dari Suharto itulah ia dengan gampang dan cepat bisa membangun kerajaan dan operasi intelnya (BAIS).

Menurut Wismoyo Arismunandar (mantan Kasad), orang yang mula-mula dan dari awal punya firasat buruk terhadap Murdani adalah Ibu Tien Suharto. Tapi karena Suharto sangat koppeg dan merasa paling tahu sendiri, baru pada tahun 1988 Murdani berhasil disingkirkan. Tapi sebelum meninggalkantahta kekuasaannya, Murdani sudah berhasil menciptakan beberapa calon raja yang menurut rencana akan dikontrolnya kelak. Salah seorang di antaranya adalah Try Sutrisno. Begitu patuh Try Sutrisno kepada Murdani sehingga sebagai kepala BAIS, Try Sutrisno di Mabes ABRI adalah staf yang dulu diangkat, dipercaya, dan pernah dipakai oleh Murdani sebagai Pangab.

Dalam soal memilih kader, Ali Murtopo dan Murdani sama. Keduanya amat berbeda dengan Pater Beek. Beek memilih pemuda dan mahasiswa Katolik terbaik. Tujuannya adalah agar kader-kader tersebut dengan kecerdasan dan kelihaiannya sanggup mengendalikan orang lain untuk mencapai tujuan yang diamanatkan Beek. Pater Beek SJ tahu betul bahwa Indonesia ini penduduknya adalah mayoritas Islam, oleh karena itu orang Katolik jangan bermimpi untuk tampil berkuasa. (Murdani sadar akan hal ini, karena itu ia hanya ingin jadi King Maker). Tapi mereka harus mengusahakan agar yang berkuasa adalah orang Islam yang mereka bisa atur. Inilah penjelasan mengapa Try Sutrisno dijagokan oleh Murdani dan untuk itu dipakai orang Islam lain yang bisa diaturnya, yaitu Harsudiono Hartas.

Ali Murtopo dan Murdani memilih bukan orang terbagus yang ada untuk jadi kader, tapi orang-orang yang punya cacat atau kekurangan, (orang yang ketahuan korup, punya skandal, bekas pemberontak, mereka yang ingin kuasa, ingin jabatan, ingin kaya cepat, dan sebagainya). Orang-orang demikian mudah diatur. Perbedaan inilah justru yang menyebabkan Ali Murtopo dan Murdani mudah bekerjasama dengan kader-kader Pater Beek SJ. Lewat tangan Ali Murtopo dan Murdani cita-cita dan rencana Beek SJ pernah berhasil dijalankan dengan saksama. Meski tragis, tapi inilah yang penjelasannya mengapa yang melaksanakan kebijakan anti Islam (lewat tangan Ali Murtopo dan Murdani) kebanyakan adalah orang-orang Islam yang tidak sadar diperalat oleh Ali Murtopo dan Murdani untuk ambisi mereka masing-masing.

Sumber :apisuci.blogspot.com
Pater Beeek
Pater Beek

Kamis, 09 Januari 2014

Oleh:KH.Mustofa Bisri (Gus Mus).

KH.Mustofa Bisri
KH.Mustofa Bisri (Gus Mus)
" Jadikan Budaya Sebagai Panglima."

Oleh : KH.Ahmad Mustofa Bisri ( Simbah Kakung )

"Politik dan ekonomi yang diangkat sebagai panglima bagi masyarakat Indonesia, terbukti gagal memberikan kemaslahatan bagi mereka. Kendati demikian, mereka tidak berani mengangkat budaya sebagai panglima.

Budaya kesederhanaan, kebiasaan gotong royong, dan tingginya rasa persaudaraan sesama manusia, sanggup menyehatkan kembali mereka dari kemerosotan susila yang sangat meresahkan kini. Tetapi mereka mengabaikan aspek budaya.

Mereka masih berharap pada politik dan ekonomi. Padahal, politik sebagai panglima seperti di era Bung Karno telah mengantarkan masyarakat pada suatu keadaan yang mengkhawatirkan. Mereka terkotak-kotak dalam aneka warna partai. Antartetangga saling membunuh hanya karena perbedaan warna bendera partai.

“Kenyataan itu dikritik di zaman Suharto. ‘Kalau politik tidak membuat perut kenyang, kenapa politik dijadikan panglima?’ Lalu Suharto menjadikan ekonomi sebagai panglima,”

Ekonomi, lanjut KH. Mustofa Bisri, bukanlah panglima yang baik. Orde baru yang menilai pertumbuhan ekonomi sebagai capaian-capaian pembangunan, membuat erosi mental dan etika masyarakat. Perebutan sumber-sumber perekonomian, menghilangkan kesederhanaan mereka. Celakanya, materi membuat mereka sangat mencintai dunia.

Kesederhanaan sebagai harta termahal masyarakat Indonesia, didesak panglima ke pinggir. Harga diri manusia Indonesia diukur dari materi semata. Kecurigaan satu sama lain, sikap individualitas, dan kesenjangan kelas sosial yang menjurang menguat.

Sementara di era reformasi, mereka kembali menjadikan politik sebagai panglima. Panglima sekarang ini lebih kejam dari panglima di era Bung Karno. Karena, panglima politik era ini, memimpin setelah mereka melewati kejamnya 32 tahun ekonomi bercokol. Dengan demikian, mereka menstandarkan kemanusiaannya pada acuan materi dan kekuasaan sekaligus."
Demikian dikatakan Wakil Rais Am PBNU KH. MUSTOFA BISRI.

Oleh:Kyai Budi

Dimana Cinta

Kyai Budi Harjono
Kyai Budi Harjono
9 Januari 2014 pukul 20:31

SEDULURKU TERCINTA,ngAllah dalam dunia Jawa adalah proses perjuangan menuju puncak Tauhid,bahasa lainnya adalah manunggaling kawulo-Gusti.Dalam khasanah Islam terdapat pengalaman yang pernah dicapai oleh Rasulullah saw pada peristiwa isra' mi'raj itu.Peristiwa ini selalu dirindukan hampir semua orang,apapun agamanya.Hampir semua gejala dan fenomena "maqamat dan ahwal" bisa dirujuk pada peristiwa isra' mi'raj itu.Dan Isra' Mi'raj adalah merupakan pengalaman "ma'rifatullah" tertinggi yang pernah terjadi pada manusia.ngAllah dengan demikian merupakan proses yang tidak pernah surut dalam sejarah manusia,apalagi dalam keberagamaan dipandang sebagai asal mula dalam pengalaman-pengalaman yang sangat individual.Tidak aneh bila terjadi kegersangan spiritual sebagaimana terjadi dalam lintasan sejarah,termasuk di dalamnya pada masyarakat modern ini,maka pengalaman keberagamaan semakin didambakan orang untuk bisa mencercap manisnya spiritualitas,atau manisnya iman.ngAllah dengan demikian merupakan "perjuangan" yang tak pernah surut,dalam tembang Caping Gunung disebutkan "Dek jaman berjuang",ketika manusia suntuk dalam proses menuju Allah itu.

ngAllah bila belum sampai pada puncaknya maka pendapat Freud bisa dibenarkan,dimana gambaran tentang Tuhan merupakan refleksi dari "oedipus complex",kebencian kepada ayah yang dimanifestasikan sebagai ketakutan kepada Tuhan.Pandangan Freud ini bisa masuk dalam kandungan ayat "afaroita manittakhadza ilahahu hawah",apakah engkau tidak tahu akan orang yang menuhankan hawa nafsunya".Keadaan inilah yang musti diingat oleh orang Jawa bahwa kondisi maqomatnya disebut "anak lanang",suatu keadaan yang masih bergantung kepada keterikatan terhadap "Tuhan" yang dipikirkan,atau Tuhan yang ada dalam pikiran manusia.Maka dalam proses ngAllah disebutkan dalam Caping Gunung,dibalik perjuangan "njur kelingan anak lanang",lalu teringat akan keadaan diri yang masih bergantung kepada "Tuhan" dalam pikirannya,padahal Tuhan yang dipikirkan itu tidak ada sangkut pautnya dengan Tunan yang sesungguhnya,Tuhan yang "tan kingoyo ngopo",laisa kamitslihi syai'un.Dari sinilah musti menjadi alasan bahwa "pengalaman-pengalaman" keagamaan itu sangatlah didambakan oleh manusia dengan berbagai macam dan bentuknya.

Keadaan "anak lanang" yang masih menuhankan "Tuhan" yang ada dalam pikirannya ini membutuhkan penggapaian-penggapaian guna menempuh jalan rohani menuju Allah,atau ngAllah itu.Sebab kalau tidak maka bisa dipertanyakan "yen saiki ono ngendi",sekarang posisinya dimana.Padahal dulu,pada perjanjian "promordial" antara Tuhan dengan manusia di "Lauhul Mahfudz",Tuhan bertanya:"Alastu birabbikum?" Dan manusia menjawab:"Balaa syahidna." Pada posisi ini manusia mengalami kondisi keakraban atau "Uns",suatu keadaan spiritual ketika hati dipenuhi cinta dan keindahan,kelembutan dan belas kasih yang tidak dapat dilukiskan,yang dalam Caping Gunung disebutkan "mbiyen tak openi",dulu Tuhan merawatnya.Semua keindahan ini bisa hilang bila manusia masih dalam kondisi memahami Tuhan dalam pikirannya,dan "ahwal" yang hilang itu bisa ditemukan kembali manakala manusia melakukan "suluk" dengan berbagai bentuk,terutama ketika mendengarkan konser spiritual atau "sama'" yang menyebabkannya mengalami "kemabukan" atau "wijdun" ketika menemukan keagungan Tuhan,Allah.Dari sinilah muncul keakraban lagi,karena seringnya mengalami maka muncul "penyingkapan" dan "penyerapan",dan hubungan dengan Tuhan bukan sebagaimana pernyataan Freud itu,tetapi hubungan yang penuh kecintaan dan kasih sayang dalam perawatanNya,atau rububiyahNya.

Kawan-kawan,bila manusia sudah mencapai puncaknya dalam "ngAllah" maka kehidupannya akan "luhur" pada akhirnya,karena akhlak yang dimilki merupakan pengejawantahan "wakil Allah" di bumi,ia akan membawa pesan cinta yang universal sebagaimana keuniversalan Allah itu.Bila belum sampai ke sini,jangankan punya tindakan "mengkafirkan" pihak lain,justru ketika masih sempat mengkafirkan pihak lain itu pertanda adanya "kekafiran" dalam dirinya sendiri,posisi maqamatnya masih membawa Tuhan yang ada dalam pikirannya,dia masih dipertanyakan:yen saiki ono ngendi.Anak lanang yang hilang,hamba yang dirindukanNya:untuk kembali...Tabik!

Rabu, 08 Januari 2014

Oleh:Gunawan Budi Santoso (Kang Putu).

Gunawan Budi Santoso
Gunawan Budi Santoso
PERLAWANAN: SEPERTI GELOMBANG MENDEMPUR PANTAI

"dulu, musuh kita satu. sekarang banyak. jadi jika hendak menggulirkan perubahan, kita kesulitan menyatukan kekuatan yang terpecah, terfragmentasi, bahkan dikuasai hasrat saling meniadakan itu," ujar seseorang.
"sejak dulu sampai sekarang musuh kita satu dan sama. persepsi berbedalah yang memunculkan kesan bahwa musuh kita banyak, sehingga sering jadi dalih: tak gampang memfokuskan perlawanan. sekali lagi, musuh kita tetap satu: keserakahan dan keculasan.
di dunia politik, hasrat dan syahwat berkuasa membuka peluang keserakahan dan keculasan mengemuka. namun karena semua, setiap partai misalnya, berkehendak atau paling tidak bermimpi menjadi partai penguasa, mereka saling menutup kemungkinan menjadi pemenang tunggal. itulah, antara lain, yang mendasari kemunculan syarat ketercukupan perolehan suara bagi partai untuk bisa mencalonkan presiden.
di sektor perekonomian, dunia usaha, pengusaha berupaya mengonsolidasikan modal dan pasar dalam satu rengkuhan tangan. muncullah penguasaan bisnis dari hulu ke hilir, muncullah monopoli. nah, ketika penguasa politik dan penguasa dunia usaha, pengusaha, bergandeng tangan atau bahkan menyatu dalam kesatuan: itulah musuh bersama kita. dan, itulah yang kini menjadi kecenderungan!" sahut seseorang yang lain.
"jika benar kecenderungannya seperti itu, bagaimana mesti melawan?"
"memang tak gampang menyatukan seluruh eksponen perlawanan dalam satu barisan, jika barisan itu sampean pahami sebagai sekali sapu, bersihlah semua. macam badai topan, macam tsunami. padahal, gerakan perlawanan semestinya dipahami seperti gelombang di lautan, yang terus-menerus, susul-menyusul, bergerak menuju pantai. nah, kalaupun analog itu kita setujui: toh tak cuma ada satu cara itu menuju ke pantai – lalu menyerbu ke sarang musuh. ada yang berselancar, menunggangi gelombang. ada yang diam-diam mendayung atau datang mengembangkan layar. macam-macam. mereka datang dari segenap arah mata angin, dengan berbagai cara, dengan berbagai peralatan."
"tapi bukankah segenap sektor kehidupan sudah terlemahkan oleh pergerakan politik dan ekonomi, sehingga setiap potensi perlawanan sudah teredam?"
"apa iya?"

* apa iya? diam-diam, saya menyimak. diam-diam, saya tertular harapan….

"iya! lihatlah dunia pendidikan, misalnya, tak memunculkan generasi baru intelektual yang kritis. para mahasiswa cuma jadi gerombolan pencari nilai, bukan pencari kebenaran lewat jalan keilmuan."
"tidak juga. atau paling tidak, tidak semua. masih selalu ada mahasiswa dan dosen yang menghayati dunia akademis, dunia keilmuan, di perguruan tinggi dengan semangat pencarian kebenaran lewat jalan keilmuan dan dengan basis kejujuran dalam setiap ucapan, pikiran, dan tindakan mereka."
"ah, kalaupun ada toh mereka minoritas!"
"ya, dulu pun yang disebut pejuang, disebut pembangkit kesadaran kebangsaan, atau apa pun juga minoritas. sekelompok kecil, yang kemudian mampu menjadi solidarity maker, mampu menyebarluaskan gagasan dan ajakan untuk melawan. kini, sampean tahu juga ada kaum muda, baik dosen maupun mahasiswa, yang bertekun meneliti dan kemudian memublikasikan hasil penelitian mereka dalam berbagai cabang keilmuan bukan? mereka juga menghimpun diri dalam berbagai lapangan kehidupan, berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik."
"tetapi gerakan mereka percuma saja bukan jika tidak dilandasi kesadaran ideologis bahwa kita masih dan terus terjajah, misalnya kita sepakati, oleh kekuatan modal mondial yang berkawin-mawin bukan tanpa perselingkuhan dengan para politikus pengejar kekuasaan, para pengusaha penumpuk laba dan riba, serta para penguasa pengumpul rente?"
"jangan sinis dan insinuatif begitu. sampean kan sudah baca pula buku-buku yang menyorot secara kritis sistem pendidikan kita, misalnya yang ditulis Edi Subkhan, atau menohokkan kenyataan soal budaya kekerasan yang diintroduksikan oleh kebersatuan ikekuatan modal, politik, dan intelektual neoliberalis yang ditulis Wijaya Herlambang. juga kepalsuan ideologis dan keberpihakan kaum intelektual gadungan yang acap diguncang oleh buku dan tulisan Martin Suryajaya, misalnya? bukankah, jika itu dilakukan terus-menerus, silih berganti, macam gelombang mendempur pantai?"

* sungguh, diam-diam, saya makin bertekun menyimak.

"okelah kalau begitu. tapi di bidang lain, di sektor kehidupan yang berbeda?"
"ah, jangan menutup mata, berpura-pura tak tahu, atau bersikap bak gajah di pelupuk mata tak tampak! sampean kenal Azis Wisanggeni, Imam Bucah, dan banyak sekali kawan di pati bukan? mereka terus bergerak, lagi-lagi bagai gelombang di laut, mengembalikan kesenian ke kancah nyata kehidupan masyarakat lewat gosek tontonan. juga kawan-kawan di rembang, macam Allief Zam Billah, Mulyanto Ari Wibowo, dan lain-lain yang menyodokkan paket berkesenian di ruang publik: kethek ogleng baca puisi. jangan alpa, mereka bergerak sepenuh hati sepenuh daya: berkesenian dengan basis kesadaran ekologis. eco-art! maka ketika pegunungan kendeng utara hendak dieksploitasi, sembari meniadakan hak hidup para petani, mereka pun melawan, terus melawan. dan di blora, sampean tahu ada Sariman Lawantiran dan Pank'Gon Mbalelo yang tak lelah mendampingi kawan-kawan petani yang terancam tak bisa bertani -- melawan penyerobotan tanah dan perebutan air oleh aparat perhutani dan pertamina.
ingat juga Kelana Siwi Kristyaningtyas dan kawan-kawan di kendal, yang berkesenian dengan kesadaran ideologis: menciptakan ruang kehidupan bersama yang makin memanusiakan manusia. dan di jalanan, tak perlu jauh-jauh, sampean tentu tahu rekam jejak kawan-kawan macam Catur Adilaksono dan Yuli Bdn di semarang bukan? berbelas tahun mereka mendampingi anak-anak jalanan. ya, berbekal semangat altruistik, menafikan pukauan konsumtivisme, mereka memberdayakan potensi kreatif anak-anak jalanan. berupaya memutus mata rantai eksploitatif dalam balutan kekerasan yang membuat hidup mereka rentan dalam segala hal."
"apakah gerakan mereka efektif?"
"seefektif apa yang sampean bayangkan? macam serbuan topan badai atau gelombang tsunami? sampean menyadari tidak bahwa badai, bahwa tsunami, adalah gerak alam yang dibutuhkan, tetapi acap tak diinginkan. adalah pilihan cerdas bukan jika gerakan perubahan itu lebih menyerupai gelombang yang terus mendempur pantai? dan jika perlu, kelak, muncullah tsunami, muncullah badai topan!"

* ah, sebisa-bisa saya menahan lelah, menahan kantuk: agar tak kehilangan arah dan pemahaman ketika mendengarkan mereka berbincang.

"dan apakah sampean lupa pula gerakan Sosiawan Leak dan kawan-kawan, yang menggencarkan penulisan dan pembacaan puisi antikorupsi di seantero negeri? bukankah itu tak bisa sampean nafikan, lalu sampean bilang sebagai klangenan belaka? juga gerakan kawan-kawan mangga-pisang-jambu project – antara lain Daniel Hakiki, Akhriyadi Sofian, S Niam Atawa Daim, Adhitia Armitrianto, Ninik Jumoenita – yang mengusung lakon teater ke sana-kemari untuk menebar sikap antistigmatisasi, menahan dan melawan laju pemberangusan terhadap hak hidup minoritas, untuk membangun saling pengertian.
dan dari kalangan kiai, sampean tentu tak bakal memungkiri kiprah Gus Mus – yang dengan berbagai daya, cara, dan media telah menjadi suar bagi siapa pun yang merasa menumbuk tembok pejal dan kelam. ada pula Kiai Budi II, yang terus berjalan menguarkan semangat saling mencintai antarumat, antargolongan, antariman sembari menanam pepohonan di mana pun dan kapan pun."
"jadi tak semestinya saya nglokro, merasa sendirian menghadapi karut-marut keadaan di negeri ini?"
"tentu, tentu tak selayaknya sampean merasa sendirian. masih banyak, amat banyak, pekerja segala bidang yang terus bergerak dengan kesadaran penuh: mengubah keadaan menjadi lebih baik. sampean kenal Khamid Istakhori bukan, yang tak lelah-lelah bersama banyak kawan buruh, menuntut dan berjuang bagi penghapusan buruh alih daya, outsourching? mereka terus berjuang menuntut perbaikan kehidupan kaum buruh dalam segala segi."
"tetapi bukankah mereka bergerak sendiri-sendiri?"
"mereka bergerak bersama-sama, tetapi di lapangaan berbeda-beda dengan pilihan cara dan jalan berbeda. ada saat, kelak, mereka bertemu, dalam ikatan temu gelang."

* semoga, semoga, tak terlalu lama lagi…

"jangan lupakan pula gerakan kawan-kawan syarikat di berbagai kawasan, terutama di jawa tengah. di batang, misalnya, ada Herry Anggoro Djatmiko, Burhan AS, dan M Arif Rahman Hakim. mereka berbelas tahun pula diam-diam, tanpa banyak eksposing, mendampingi dan menyambung tali silaturahim dengan para survivor, para korban politik pasca-1965.
nah, gerakan di berbagai lapangan hidup, di berbagai kawasan, oleh berbagai eksponen, itu – apalagi jika kelak bersatu dalam buhul ikatan temu gelang -- bagai gelombang lautan yang tak henti-henti mendempur pantai. itulah yang bakal mengubah negeri ini menjadi jauh lebih menyamankan untuk hidup, jauh lebih menyejahterakan, jauh lebih adil dan aman. bukan partai politik, bukan politikus, bukan pegiat apa pun yang bersemangat partisan!"
"semoga saja analisis sampean, yang maaf berbau ramalan, itu menjadi kenyataan."
"respons sampean kok bernada skeptis begitu? apakah sampean sudah kehilangan keyakinan? apakah sampean sudah kehilangan harapan?"
"mungkin. bukankah selama ini selalu muncul pula para pencoleng kekuasaan dalam setiap gerakan perubahan? itu pula yang terjadi setelah 1998 bukan?"
"mungkin. tetapi apakah perkara semacam itu mesti mengendurkan semangat untuk mengubah keadaan? pengalaman dan pengetahuan bahwa selalu ada pencoleng kekuasaan, kaum oportunistik, yang mengail dalam setiap kekeruhan, untuk keuntungan pribadi dan golongan, mesti kita sikapi sejak dini."
"bagaimana pula kita mesti menyikapinya? dengan terus memicingkan mata, yang bisa saja tergelincir menjadi kecurigaan dan justru menumbuhkan perasaan dan sikap saling tak memercayai?"
"ya, berbagai eksponen itu perlu bertegur sapa, perlu duduk dalam forum bersama: berbagi pengalaman dan pemahaman sehingga menumbuhkan saling pengertian."

* ho-ho-ho… rasanya makin memberikan pengharapan saja….

Selasa, 07 Januari 2014

Sejarah Jaya Bhaya

Sri Aji Jaya Bhaya
Prabu Sri Aji Jaya Bhaya
Sri Aji Jaya Bhaya
Sri Aji Jaya Bhaya

PENGETAHUAN : Jayabaya : Sekelumit Sejarah dan Cerita Rakyat

19 Oktober 2011 pukul 8:04


Nama Jayabaya sangat populer tidak hanya dikalangan orang tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, dikarenakan adanya ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan Indonesia 1945 – benar.

Indonesia merdeka didahului dengan masuknya tentara Jepang selama 3,5 tahun dengan mengusir kolonialis Belanda yang telah bercokol lebih dari 3.5 abad dinegeri ini. Dengan tepat pula meramalkan siapa Ratu, maksudnya Pemimpin , Presiden pertama R.I dan bagaimana perjalanan perjuangannya. Ramalan yang sering disebut Pralambang Jayabaya ini berlaku sampai dengan tahun 2150-an.

Isi ramalan Jayabaya yang populer adalah :
1.    Ramalan tentang perjalanan negara di Nusantara/Indonesia.
2.    Sikap ratu/pemimpin yang baik yang seharusnya dilakukan dan sikap jelek  yang pantang dilakukan.
3.    Contoh perilaku ratu/pemimpin yang bisa jadi panutan.
4.    Sikap pamong/priyayi/birokrat dan tingkah laku manusia dimasyarakat pada saat tertentu..
5.    Gejolak alam, yaitu berbagai bencana alam termasuk wabah dan penyakit , perubahan iklim dan geologis/geografis.
6.    Watak dan tindakan manusia yang mempengaruhi kehidupan secara umum, keadaan negara dan perilaku alam.

Esensi pralambang Jayabaya mengandung nasehat yang bijak, bagaimana manusia  bisa hidup selamat sejahtera dengan berkah Tuhan. Tentu harus punya kesadaran yang tinggi, selalu berbuat baik terhadap sesama manusia, mahluk, bumi, alam dan menyadari kodratnya sebagai titah dari Sang Pencipta. Dengan berbudi luhur, manusia akan mengalami kehidupan di jaman Kalasuba,  yang serba baik,enak, makmur, tetapi kalau masih saja melanggar norma-norma baku kehidupan seperti moralitas, tata susila , maka masyarakat dan negeri ini akan berada pada jaman Kalabendu, yang serba nista, terpuruk, tidak karuan.Pada saat ini kita tidak mengupas ramalan ini, nanti pada kesempatan lain, karena masih banyak hal yang relevan, yang menarik untuk diketahui.

Siapa Jayabaya?

Tentang siapa sebenarnya Jayabaya, ada beberapa pendapat yang bergulir. Yang jelas, ada persamaan pendapat, beliau adalah Prabu Jayabaya, seorang raja dari Kerajaan Kediri di Jawa Timur .

Ada yang berpendapat , sesuai dokumen sejarah bahwa Prabu Jayabaya adalah salah seorang raja Kediri diabad ke XI, dimana pada masa itu seni sastra , tari dan musik gamelan berkembang pesat.

Sementara itu ada pendapat lain terutama dari kalangan kebatinan bahwa eksistensi Jayabaya adalah diabad ke IV di Kediri, Jawa Timur. Menurut sumber ini, Kediri adalah kerajaan pertama di Jawa. Dari sini berpindah ke Jawa Tengah di Mataram Kuno disekitar Borobudur, Prambanan, lalu pindah lagi ke Jawa Timur di Jenggala, Kediri dan sekitarnya selanjutnya ke Sigaluh, Jawa Barat, lalu pindah lagi ke Jawa Timur yaitu Majapahit. Lalu pindah ke Jawa Tengah , yaitu Demak, Pajang, Mataram, diikuti jaman penjajahan Belanda, Jepang dan Nusantara merdeka.

Sebenarnya, penduduk pulau Jawa sejak jaman kabuyutan (sebelum datangnya pengaruh Hindu yang memperkenalkan sistim kerajaan), baik yang tinggal di Jawa bagian barat, tengah maupun timur itu sama saja. Baru kemudian  dalam perkembangannya muncul suku-suku dan pembagian daerah kediaman suku. Sebenarnya asal mulanya satu sebagai orang Jawa, orang yang menempati pulau Jawa.

Penduduk selalu mengikuti ratunya yang memindahkan pusat kerajaan.  Pernah di Banten, Pasundan, Mataram, Kediri,Majapahit, penduduk mengikuti ratu membangun negeri. Maklum jumlah penduduk pulau Jawa pada saat itu sedikit sekali.  Bekas negeri/kerajaan yang ditinggalkan penghuninya ketempat lain, menjadi hutan kembali. Kalau ada raja atau kepala daerah yang kejam, akan ditinggal pergi oleh kawulanya dan mereka pindah ketempat lain yang lebih baik.

Watak mulia Jayabaya

Semua pihak berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak, kuat tirakatnya dalam mengemban tugas negara. Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik, Sang Prabu disertai oleh Permaisuri, Ratu Pagedhongan, disertai puila oleh beberapa menteri terkait, melakukan perenungan di Padepokan Mamenang, memohon petunjuk Gusti, Tuhan.

Perenungan bisa berlangsung beberapa hari,  minggu, bisa juga sebulan, sampai mendapatkan jawaban/petunjuk dari Dewata Agung, mengenai langkah yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara.

Selama masa perenungan di Mamenang, Raja dan Ratu hanya menyantap sedikit kunyit dan temulawak (tiga buah sebesar jari telunjuk) dan minum secangkir air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau  3 kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkok bubur jagung dan secangkir air putih setiap waktu makan.

Setelah mendapatkan jawaban/solusi , Raja dan rombongan kembali ke istana di Kediri.

Sabdo Pandito Ratu

Di istana diadakan Pasewakan Agung , rapat kerajaan yang dipimpin raja, dikesempatan tersebut raja mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan yang mesti dijalankan dan ditaati seluruh pejabat dan kawula.

Apa yang diputuskan dan telah diucapkan oleh raja didepan rapat itu, disebut Sabdo Pandito Ratu atau Sabdo Brahmono Rojo, harus diterima  dan dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh raja sendiri. Jadi , seorang raja/pemimpin itu harus memenuhi janji dan apa yang diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle , cedera janji.

Ini adalah salah satu falsafah kepemimpinan Kejawen yang sudah dikenal sejak masa kuno.

Jayabaya versi Kebatinan

Jayabaya adalah Raja Kediri, sering diartikan sebagai kelahiran manusia pertama di Jawa, adalah didaerah Kediri , Jawa Timur.
Didaerah ini ada dataran subur , suasananya nyaman untuk dihuni, namanya Pare, dari kata pari , beras, makanan pokok manusia.

Ini merupakan  gambaran keberadaan manusia yang lahir dibumi dengan terjamin, karena kondisi alam yang mendukung dan tersedianya makanan.  Raja Jayabaya sebelum turun ke mayapada, mewujudkan diri sebagai manusia yang hidup dibumi , adalah Raja Dewa dari kahyangan . sorga, domainnya para dewa-dewi. Raja Dewa itu bernama Wishnu, Raja Dewa kehidupan pelestari jagat.  (Sejak masuknya pengaruh Hindu, di Jawa mulai timbul negeri dengan sistim kerajaan, menggantikan “tata pemerintahan” asli yang berupa Kabuyutan , yang pemimpinnya Dewan Pinisepuh, orang-orang tua . Nama-nama Hindu mulai diadopsi, meskipun mereka adalah orang-orang Jawa asli).

Wishnu dari domainnya mengamati bumi dengan seksama, mencari tempat yang nyaman untuk dijadikan kerajaaannya. Dia merasa cocok untuk tinggal di Kediri.

Dewa yang ingin menjadi manusia bumi, harus memenuhi syarat-syaratnya. Seperti diketahui dewa itu tinggal di kahyangan, alamnya dewa, alamnya suksma, spirit, roh, tidak memakai badan fisik, karena berbadan sinar. Sedangkan untuk hidup di bumi, suksma harus “memakai pakaian” yang berujud badan fisik dan eteris atau istilah lokalnya badan kasar dan badan halus.

Badan fisik dan eteris itu berintikan elemen-elemen alam : api, udara, air dan tanah dan itu semua harus dalam keadaan sehat, dengan piranti-pirantinya yang bekerja canggih.

Suksma yang menyatu dengan raga , harus sinergis , semua sistimnya bekerja dengan sempurna, sehingga menjadi manusia hidup yang normal yang mampu berkiprah lahir bathin. Kalau penyatuan suksma dengan  raga tidak pas , tidak sempurna , ada yang “korsluit” maka yang mewujud adalah manusia cacat badan, pikiran atau mental.

Untuk terwujudnya/lahirnya manusia yang normal, persyaratannya adalah niat baik, yang diberkahi oleh Sang Suksma Agung, Pencipta Kehidupan. Juga persyaratan hidup dibumi harus dipenuhi sebaik-baiknya.

Manifestasi kehidupan suksma di bumi, lumrahnya dan pada masa kini adalah lewat kelahiran seorang bayi. Bayi yang sehat lahir-bathin yang dilahirkan dari gua garba ibu , setelah berhasil dibuahi bapak.

Sehingga  perlu adanya ibu–bapak yang sehat lahir bathin, ciptanya baik dan benar, menyatu dalam rasa dan raga , tumbuhlah janin.
Dengan sepengetahuan Sang Suksma Agung, Tuhan, suksma yang sesuai turun kebumi, mendapatkan pakaian baru berupa raga fisik dan eteris. Lahirlah seorang manusia baru dengan misi yang mesti dilaksanakan didunia.

Pada kenyataannya manusia adalah suksma,  spirit , roh yang berbadan raga  fisik dan eteris atau raga kasar dan halus. Suksma tidak akan rusak untuk selamanya, kalau badan rusak, suksma akan kembali ke asal-muasalnya keharibaan Sang Suksma Agung, Gusti, Tuhan.                      

Pemahaman manusia suksma ini jangan dibalik menjadi raga hidup yang bernyawa, seperti yang dianut sementara orang.  Akhirnya orang tersebut dalam hidupnya mengutamakan kepentingan raga, ingin selalu mengenakkan raganya sendiri, maka kelakuannya penuh nafsu : mau makan enak, kuasa, kaya duniawi yang egoistis. Mereka lupa kepada misi hidup pokok yang sebenarnya, dibumi malah saling gontok-gontokan dan berkelahi.

Suksma yang berhasil terlahir menjadi bayi, hidup sehat lahir bathin, itu telah melalui perjalanan perjuangan yang maha hebat. Dari beribu-ribu bahkan jutaan benih yang meluncur kegua garba ibu, hanya satu yang berhasil menjadi bayi. Inilah Suksma yang lulus jadi bayi, dia menang, Jaya, terlepas dari segala bahaya - baya dan menjadi bayi manusia - Jayabaya .

Oleh karena itu Jayabaya ada di Kediri, artinya suksma yang jaya hidup Ke dalam Diri-badan manusia..
Inilah pemahaman sejati mengenai terjadinya kehidupan manusia yang sudah sejak dulu merupakan ajaran Kejawen.

Sumber: //jagadkejawen.com/.

Oleh:Fidelis R. Situmorang

Fidelis R. Situmorang
Fidelis R. Situmorang
::
Di Ombak Itu

“Ada nggak yang lebih indah dari sinar mentari senja?” ucapnya memandang kaki langit.

“Ada,” sahutku cepat.

“Apa?”

“Sinar matamu.”

“Hahaha…” tawanya berderai. Ada semburat merah di kedua pipinya.

“Kamu pernah jatuh cinta?” Dia bertanya setelah tawanya berhenti.
Aku hanya memberikan senyum sebagai ganti jawaban.

“Kamu tahu nggak?” katanya lagi, “cinta itu bisa membuat segala hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Dengan cinta, seseorang bisa berjalan di atas air.”

“Sedaaapppp..."

"Ihhh... kamu tuh kalau diajak ngomong, kok nggak pernah bisa serius sih?"

"Aku serius, kok," jawabku, lalu memasang tampang serius.

Ia memandang lekat ke wajahku. "Ternyata kalau lagi serius, muka kamu jelek banget ya... Hahaha..."

"Asemmm...!!!" Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. "Terus, apa lagi yang bisa dibuat cinta?”

“Dengan cinta, aku bisa menulis namanya di ombak itu,” jawabnya menunjuk pada ombak yang bergerak lembut membelai pasir.

“Cobaaa…” kataku menantang ucapannya.

Dia bangkit berdiri dan berjalan menuju ombak. Jejak-jejak kakinya di atas pasir menambah keindahan pantai.

Tepat di mana ombak menyambutnya, dia berlutut. Membiarkan pakaian dan tubuhnya basah oleh air laut. Lalu ia menggerakkan tangannya menyentuh ombak, menggerakkan jari telunjuknya seakan-akan sedang menuliskan sesuatu.

Silih berganti ombak datang membasahi tubuh indahnya. Tapi ia tak berhenti menulisi permukaan ombak.

Aku takjub. “Aku percaya,” kataku menghampirinya, menarik tangannya dan mengajaknya ke tempat yang kering. Dia tersenyum. Ada air di matanya. Jelas itu bukan ombak.

“Sekarang kamu percaya?”

“Iya, aku percaya.”

Ya, aku percaya pada cinta yang membuatnya seperti orang sinting menuliskan nama si monyet itu di atas tubuh ombak. Tapi rasa yang ada padaku untuk si cantik di hadapanku ini, apa namanya?

******

Sudah pukul sembilan malam, tapi hujan belum juga reda. Dia memandang ke arah lampu jalan yang sinarnya dilalui butir-butir hujan.

Kupandangi setiap garis indah wajahnya. Merasa diperhatikan, dia tersenyum menoleh ke arahku. “Hujannya awet ya..."

“Iya…”

“Dinginnn…” katanya, pura-pura menggigil.

“Sini peluk…”

“Enak aja! Hahaha…”
Aku selalu suka mendengar tawanya yang berderai-derai itu.

“Semalam aku mau telpon kamu,” kataku setelah tawanya reda, “tapi takut mengganggu.”

“Kenapa nggak jadi? Telpon aja lagi, kalau pengen telpon, cuma jangan terlalu malam ya.”

“Iya. Emang semalam lagi apa?”

“Aku ngapain ya? Oh, lagi nonton film…”

“Film apa?”

“Film tentang seseorang yang bisa kembali ke masalalunya.”

“Bagus ya?”

“Bagus. Keren filmnya. Nanti aku pinjemin ya…”

“Asikkkk…”

“Eh, kita berandai-andai ya… Kalau kamu diberi kesempatan untuk mengulang apa yang pernah terjadi dalam hidup kamu, bagian mana yang ingin kamu ulang?”

“Waktu kita di pantai kemarin,” jawabku setelah berpikir sebentar.

“Kenapa?” Dia memandangku heran.

Tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Debar jantung mulai tak beraturan.
“Kalau boleh aku mengulangnya, aku ingin namakulah yang kamu tulis di ombak itu, bukan namanya.”



Raut wajahnya berubah. Dia menatap tepat ke mataku.
“Mampus aku!” kataku pada diri sendiri. Kepalaku tertunduk, malu melihat matanya.

Tiba-tiba terasa sunyi. Beberapa saat kemudian dia memecahkan kesunyian.
“Memang nama kamu yang kutulis di situ…”

“Hah?” Kuangkat kepalaku dan menatap wajahnya.

“Iya,” katanya lagi. “Namamu yang kutulis di ombak itu.”

“Beneran? Kok bisa namaku?”

“Waktu ingin kutulis namanya, ombak-ombak kecil itu membawa wajahmu kepadaku.”

“Maksudmu?”

“Ada wajahmu di ombak itu.”

“Ngapain wajahku di situ?”

“Cengengesan seperti biasanya kamu.” Dia tersenyum.

“Terus?”

“Terus kutulis namamu di ombak itu.”

Mata kami saling memandang dalam. Hening.

“Lalu dia?” ucapku pelan.

“Kenapa kamu masih bertanya tentang dia sih, padahal namamu yang kutulis di ombak itu?”

Irama hujan yang menciumi dedaunan terdengar begitu indah. Dan seperti air hujan pada daun, wajah kami bertemu. Aku tak bertanya lagi.