Emha Ainun Najib
Manusia dan Pemimpin Sepertiga
Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.
Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yakni ketercerahan moral.
Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin
yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni,
gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku
birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai
narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul,
ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan
spiritual dan mental.
Pintar, tapi mentalnya bobrok dan
spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri.
Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak
mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya
berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya tidak
kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah
memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan
berbangsa yang baik.
Wallahua'lam.
Ada juga manusia atau
pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian
kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau
dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat
apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya
terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan.
Langkahnya
keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah
tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru
karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan
spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong
perbaikan moral bangsa.
Potensi yang ketiga adalah manusia atau
pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan
kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadatnya. Tetapi ia
tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang
luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua
persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual
untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa
menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk
menyalurkannya.
Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga
atau pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang,
cerah spiritual melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang
tidak sepertiga, tetapi utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus
melewati 'arisan kepemimpinan nasional', melewati satu dua pemimpin
sepertiga lagi, yang harus dituruti karena masyarakat kita sedang
shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya masing-masing.
Yang pasti, dari manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga, kita tidak
bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan
sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi
kasih sayang dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar