Daftar Blog Saya

Minggu, 30 Juni 2013

Puisi Anwar Sanuji

TANAH AIRKU SAYANG TANAH AIRKU MALANG

Tanah airku sayang
Dengan keaneka ragaman budayamu
Dengan keaneka ragaman suku sukumu
Dengan keaneka ragaman bahasa bahasamu
Dengan kesuburan tanahmu
Dengan keluasan lautmu
Semua itu kekayaanmu tanah airku sayang

Katanya,kail dan jala cukup menghidupimu
Akan tetapi kenapa mereka pribumimu banyak yang terdampar di negeri orang?
Katanya,tiada badai tiada topan kau temui ikan dan udang menghampiri dirimu
Akan tetapi kenyataanya badailah dahulu
Akan tetapi kenyataanya topanlah dahulu
Baru ikan dan udang mereka temui
Tanah airku sayang
Semua itu,katanya...

Tanah airku malang
Tanah airku malang kerna disana banyak ulat ulat kacang
Tanah airku malang kerna disana banyak batang
Tanah airku malang kerna disana sistem hukumnya pincang
Tanah airku malang kerna disana banyak pendustaan
Tanah airku malang kerna disana banyak pembohongan
Tanah airku malang kerna disana banyak rebut berebut makan
Tanah airku malang kerna disana banyak yang belum mengenal dunia
Sekali lagi,banyak yang belum mengenal dunia
Tanah airku malang kerna disana banyak kesewenang wenangan
Tanah airku malang kerna disana banyak gelojoh,plutokrat;sekarat!

Tanah airku sayang tanah airku malang
Tanah airku malang
Bahan bakar naik memaksa untuk berbuat licik
Tanah airku malang
Subsidi ditarik wong cilik tercekik
Dan akhirnya?
Banyak yang diputuskan hubungan kerjanya
Banyak yang menganggur
Banyak terjadi kedurjanaan
Banyak bertambahnya kemiskinan
Banyak harga harga bernaikan
Banyak,dan masih banyak yang lainya lagi yang membuat ngeri nyerinya hati ini

Tanah airku sayang tanah airku malang
Tanah airku sayang
Kami disini secara implisit adalah pribumi yang terbuang
Kami disini adalah mesin mesin pencetak uang
Uang untukmu,tanah airku sayang
Yang untuk memajukanmu
Akan tetapi ada saja yang namanya penggarongan
Oh,tanah airku malang

Kami ingin bernyayi untukmu
Sebuah lagu untukmu ditengah harubirumu
Tanah airku sayang

TANAH AIRKU

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai
Engkau ku hargai

Walaupun banyak negeri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Disanalah ku rasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau ku banggakan.

Oh,Tuhan
Cukupkanlah
Cukupkanlah semua ketidak adilan
Cukupkanlah semua kesewenang wenangan
Cukupkanlah semua kedzaliman kedzaliman
Cukupkanlah kesemua itu yang bagi kami wong cilik
Yang bagi kami yang masih punya budi dan nurani adalah sangat berarti
Yang mewujud bencana derita bagi kami
Cukupkanlah secepatnya,Tuhan
Oh,Tuhan
Dan sebagai ganti penderitaan kami
Benamkanlah kesemuanya itu hingga wujud wujudnya,Tuhan
Dan terbitkanlah cahaya terang menerangi benderang membenderangi bagi kami
Bagi kami wong cilik dan yang masih punya budi nurani
Tuhan
Kabulkanlah
Amin.

Juni 2013.

Puisi Anwar Sanuji

JUNI DI ANJAK KE JULI

Engkau yang kemilau di ujung alam
Engkau yang di kini menambatkan bahteraku
Pada sebuah massa yang aku beri nama;pengharapan

Yang selalu aku lekap dalam setiap sifatnya
Yang selalu aku dekap dalam setiap harumnya
Yang tak pernah pun hingga detik ini meleleh

Tanggal tanggal yang telah tanggal
Ada senantiasa sepi yang tak kunjung menepi
Dia berurung dalam setiap bentuknya

Dia mendekap erat dan memadat
Acap kali aku padam
Merasakanya aku kelu;kaku

Hingga memaksa aku untuk menyadarinya
Bahwa Engkau yang kemilau di ujung alam
Tanpamu atau sekedar bayangmu aku merasakanya
:sepi

Desau dedaunan yang mencampakkan seluruhku
Mengantarkan aku dalam sunyi dan hening
Menjinakkan aku untuk memasuki rongga yang terbatas

Disitu acap kali jiwaku terlokap
Tercampak dalam budi istiadat yang katanya nikmat
Budi istiadat yang katanya lezat
:khurafat

Tapi ini malam luar biasa
Mungkin barangkali aku telah menyua sunyi dan hening
Engkau yang kemilau di ujung alam

Engkau kentara jelas bersinar malam ini
Engkau meliuk liuk dalamku
Liang liuk lampai dalam rongga terbatas ini

Malam ini sungguh luar biasa
Campur baur dengan distorsi berita lara
Rupa dan bentuk dari kebodohan
:iba

Malam ini sungguhlah luar biasa
Kusulut sigaret untuk mengusir canggung
Yang bisa saja membuatku linglung

Ku kais dan kupunguti huruf huruf
Yang berjatuhan dari malam ini
Aku jadikan sebuah pahat

Yang kemudian aku pahatkan di kedalamanya
Di relung sunyi dan hening ini
Engkau yang kemilau di ujung alam

Agar jadi pertanda
Agar jadi gelagat
Bahwa aku merinduimu sangat

Dimana aku menemusua sunyi dan hening
Disitu sepi akan masih beriring
Disadari atau tidak kerna masih tanpamu

Engkau yang kemilau di ujung alam
Terima kasih terima kasih
Ini malam sungguhlah luar biasa terang

1 july 2013

Selasa, 04 Juni 2013

Sajak Sitok Srengenge

DUSTA

Dusta
tak bisa kausucikan dengan doa
tak bisa kauseka dengan derma

Dusta
lebih busuk dibanding kutu busuk
lebih memalukan tinimbang kemaluan

Dusta
tak bisa kaubungkus dengan pakaian
tak hapus oleh selaksa dalih dan alasan

Keliru
bila kau merasa mampu
menyembunyikan dustamu
dengan timbunan dusta-dusta baru

Dusta
berkawan dusta
kawin-mawin dengan dusta
beranak-pinak dusta
bercucu-cicit dusta
makan-minum hasil berdusta

Dusta
membuatmu alpa pada dosa
kaujadikan agama dan kuasa
sebagai pengesah dusta

Dusta
perjuanganmu
dusta
pergaulanmu
dusta
ibadahmu

Kaukemudikan dusta
melaju di jalan dusta
tujuanmu dusta

Kau tumbuh sebagai pohon dusta
yang menghunjam ke bumi akar dusta
yang menjulang ke langit pucuk dusta
bercecabang dusta
rimbun dedaun dusta
berbunga dusta
berbuah dusta

Berjatuhan buah dusta
menjelma semaian benih dusta
bergetah darah dusta
menebar aroma dusta
Air tercemar dusta
udara bertuba dusta
semesta hidupmu sia-sia
semata nista

Kaubutakan mataku dengan dusta
kaubungkam mulutku dengan dusta
kautulikan telingaku dengan dusta
kautelikung tanganku dengan dusta
kauserimpung kakiku degan dusta
kautindas tubuhku dengan dusta

Aku tak mungkin menolongmu ketika
kau karam dalam samudera dusta

Kelak setelah kau tiada
khalayak tak akan lupa
kau: Pendusta

1997

Minggu, 02 Juni 2013

Catatan Emha Ainun Najib

Malioboro

SYUKUR kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.

Kemudian sebagai “jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui jalan sesat, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.

Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan “Pelopor Yogya” yang berkantor di ujung utara Jl Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam “Persada Studi Klub”. Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan “Kehidupan Puisi” – demikian menurut idiom Umbu sendiri.

Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat (4) jalan. Pertama, Margoutomo. Terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro. Jalan lanjutannya adalah Margomulyo. Kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jl. Mangkubumi dan Jl. Jendral Ahmad Yani: wacananya, filosofinya, kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonism pop.

Wali Pengembara

Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh “jalan utama”. Tafsir atas “jalan utama” sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomersatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi atau eksistensialisme “ngelmu katon” alias kemasyhuran yang pop dan industrial. Bisa juga jalan utama adalah “berbadan sehat, berbudi tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apapun yang intinya memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi “rahmat bagi seluruh alam semesta”.

Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka “Malio-boro”. “Malio” artinya “jadilah Wali”, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, “mamayu hayuning bawana”. Malioboro artinya jadilah Wali yang mengembara (“boro”): mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (Margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah (keistimewaan) dan karomah (kemuliaan).

Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah “urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970an?): sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, “ya dunya ghurri ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan”: wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan “diri sendiri” sudah ditalak, karena “diri sejati” adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya untuk menomersatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah “siapa dia”, melainkan “seberapa pengabdiannya kepada sesama”.

Memilih Presiden 2014 sangat mudah: pandangi wajahnya dan pelajari perilaku hidupnya, apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro dan Margomulyo. Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan. Raja yang sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya, tidak punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak pernah memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk jalan mulia.

Kekasih Umbu

Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.

Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah.

Umbu mengajak saya “mlaku”, bukan “mlaku-mlaku”. “Jalan”, bukan “jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara “ngepit” dengan “pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sunggugan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal.

Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof. Dr. Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150 meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12. Pak Bon kantor menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk: “Bapak ampuh tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di koran. Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari pulang pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran ya Pak..” Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme. Sambil jalan kaki dengan Umbu saya tersenyum-senyum sendiri kalau ingat protesnya Pak Bon.

Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh sekitar 3 km, Umbu mengajak berhenti di warung kecil seberang THR. Duduk. Pesan teh nasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah katapun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya - jangankan mengeluarkan bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.

Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, “Coba lihat keluar, Em….”. Saya bertanya, “Lihat apa, Mas?”, dia menjawab, “Perhatikan nanti ada Bis Malam dari Malang masuk Yogya….”. Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, “Bus” nya tidak penting, tapi “kota Malang” itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.

Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya. Job description saya mengamati rumah tempat ia kost, posisi kamarnya, arah pintunya, route kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu malam Minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai “Duta Cinta”, jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: “Apakah dia nemuin Emha pakai rok? Bagaimana bentuk kakinya?”

Ketika mendadak Bis Malam “AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika suara bis menderu, wajahnya makin menunduk.

Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bis dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya. Ia cukup mendengar suara bus itu lewat, cukup baginya untuk menghadirkan kekhusyukan cintanya. Begitu bus sudah lewat, Umbu mengajak saya pulang, dia ke ujung Malioboro utara, saya balik ke barat Keraton.

Beberapa hari kemudian Umbu memerintahkan agar saya beli tiket bus malam Yogya-Malang pp. Saya mengantarkannya sampai bus berangkat. Dia melaju. Subuh tiba di Malang, Umbu turun sebelum Tugu masuk pusat kota Malang. Jalan kaki masuk ke wilayah timur. Melintasi Jl Diponegoro, di situ rumah sang kekasih. Berjalan cepat, menundukan wajah, tidak sesekonpun berani menoleh ke rumah si gadis pujaan. Kemudian berputar balik ke jalan besar, mencegat bis menuju Surabaya, terus ke Yogya. Sorenya sudah datang lagi ke tempat kost saya: duduk, ah-uh-ah-uh, mengambil batang demi batang rokok dari sakunya dengan jepitan dua jari-jarinya. Tak ada kata tak ada huruf hingga pagi.

“Kehidupan Puisi”

Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu sepanjang hidupnya “surfing” di atas gelombang demi gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.

Siapapun pasti menyebut percintaan Umbu itu “platonik”, pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah “Horizon” elite media sastra di era 1970an: Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.

Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya sebagai “Pangeran” di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati rumah tepi hutan karena ia menghormati temannya yang membikinkan rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom “kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai “zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.

Saya bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya siapa Guru saya, baru nama Umbu yang pernah saya sebut. Puluhan tahun saya berkeliling berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah orang memperlakukan saya sebagai keranjang sampah untuk mengeluhkan dunia, membuang kesedihan dan frustrasi, menumpahkan kebingungan dan rasa tertekan oleh keadaan-keadaan dunia yang menindas mereka. Kecuali Umbu: ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan “ketiadaan”nya.

Di mana-mana sajapun orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di mana-manapun saja orang ribut curhat tentang dunia. Ke manapun saya pergi, ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan level sosial yang manapun, yang terutama saya dengar dan disampaikan kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.

Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi Agama: “Lha kamu hidup ini mencari dunia atau akhirat?”. Kalau ia menjawab “mencari dunia”, saya tuding “salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan”. Kalau jawabannya “mencari akhirat”, saya katakan “kalau kamu mencari akhirat kenapa mengeluhkan dunia”. Kan sudah jelas sejak dahulu kala bahwa “urip ming mampir ngombe”, hidup hanya mampir minum. Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal. Sudah jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan, kok disangka kampung halaman.

Sayangnya Tuhan menyatakan - dan mungkin memang sengaja menskenario demikian - “kebanyakan manusia tidak mau berpikir”, atau minimal “banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal”. Karena kemalasan mengolah logika dan sistem ratio, orang menyangka “dunia” dan “akhirat” itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia. Orang mengira kalau tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.

Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih banyak uang dibanding orang yang fokusnya adalah mengejar uang. Orang yang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.

Begitu kumuh dan joroknya situasi ummat manusia berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya “kehidupan puisi” Umbu. Suatu hari saya mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.

Puisi A.Mustofa Bisri

DALAM KERETA

Untuk: NB

Bukankah aneh?
Bukan dalam kereta aku kembali teringat
Apakah karena gemuruh
Yang melintas di sini?

Aku kembali teringat
Perjalanan kita yang singkat
Bukan karena jarak yang dekat
Tapi jarak terlipat
Oleh keasyikan kita yang nikmat

Tidak seperti biasa
Kita menjadi begitu kanak-kanak
Bahkan kadang-kadang norak
Tak terganggu stasiun berteriak-teriak
Dan suara kereta yang berderak-derak

Bukankah aneh?
Kita menikmati kesendirian dalam keramaian

Stasiun demi stasiun terlewati
Tanpa kita sadari
Sampai kita kembali
Menjadi diri kita lagi

Kau di mana sekarang, sayang?
Lalu apa yang ada di sini
Yang terus gemuruh ini?

2000

Sabtu, 01 Juni 2013

Puisi Anwar Sanuji

PUISI UNTUK SEORANG KAWAN

Kawan,tiga tahun lebih sudah kita tidak bertemu
Aku rindu candamu
Aku rindu tawamu
Aku rindu merah matamu kawan
Kawan,aku rindu!

Rindu ini mengharu sendu
Meramu masa lalu yang abu abu
Meraba disetiap jejaknya
Jejak yang mungkin masih menempelak

Kawan.
Tidak-kah juga kau rindu padaku?
Tolong,nyanyikanlah satu lagu saja untukku
Agar rindu ini luruh
Agar rindu ini menemu basuh

Aku masih ingat tentangmu di gerai itu kawan
Gerai dimana kita melukis malam dengan tinta hitam
Gerai dimana setiap jiwa yang singgah merasa sekah yang tidak lumrah

Malam-pun seakan tak ingin mau beranjak ke pagi
Pagi-pun seakan enggan untuk nampak

"Inilah kehidupan,inilah kehidupan".
Begitulah katamu dengan merah nanar matamu
Aku masih ingat satu persatu di persimpangan itu
Persimpangan yang sangat rawan untuk perjalanan kawan

"Semua itu omong kosong".
Katamu sambil domblong bengong;terkulai
Yang dengan tidak sengaja didengar dan di tertawakan pedagang krupuk pagi buta yang lewat

Kawan.
Tiga tahun lebih sudah kita tidak bertemu
Aku rindu padamu kawan
Aku rindu!

Itulah kematian kawan
Itulah yang kita isi terisi

Kawan.
Hari sudah fajar
Mari kita berwudu
Aku tunggu kau di sempadan
Yang pasti dari dirimu lebih kurindukan.