Daftar Blog Saya

Sabtu, 11 Mei 2013

Jimat Kalimasada

JIMAT KALIMASADA
Oleh Anis Sholeh Ba’asyin

Kalimasada, dalam tradisi dikenal sebagai bentuk pengucapan lain untuk kalimah syahadah, sejajar dengan pengucapan sekaten untuk syahadatain. Tapi, berbeda dengan pembentukan istilah sekaten, istilah kalimasada konon punya akar yang lebih panjang, karena istilah ini sudah ada sebelum Islam.
Istilah Kalimasada konon berasal dari kata Kalimahosaddha. Istilah ini ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut adalah bentukan dari Kali-Maha-Usaddha, yang artinya "obat mujarab Dewi Kali".
Kali adalah salah satu dewi yang populer dalam agama Hindu, dikenal juga sebagai Dewi Durga dan selalu diasosiasikan sebagai penyebar penyakit, kematian dan kerusakan.
Kecuali dihubungkan dengan Dewi Kali, salah satu kisah pewayangan Jawa menceritakan versi lain asal-usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.
Batara Guru raja kahyangan meminta bantuan Resi Satrukem dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Satrukem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.
Satrukem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wyasa atau Abyasa. Ketika kelima cucu Abyasa, yaitu para Pandawa membangun kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.
Dalam Kakawin Bharatayuddha dikisahkan perang besar antara keluarga Pandawa melawan Kurawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Kurawa yang bernama Salya bertempur melawan Yudhistira. Salya yang bersenjata pusaka Aji Candrabirawa, dihadapi oleh Yudhistira yang melemparkan kitab pusakanya yang bernama Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.
***
Kalimasada selalu dihubungkan dengan jimat atau jamus, sehingga berbunyi Jimat Kalimasada atau Jamus Kalimasada. Jimat adalah serapan dari bahasa Arab ‘azima, kurang lebih bermakna sesuatu yang bisa memberi kekuatan, sesuatu yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya dari bala dan penyakit. Sementara Jamus bermakna serat atau surat.
Dalam cerita pewayangan versi Jawa, Prabu Yudhistira mengamanatkan Jimat Kalimasada tersebut kepada Sunan Kalijaga. Dikisahkan bahwa Prabu Yudhistira baru bisa meninggal setelah diwejang oleh Sunan Kalijaga tentang makna sejati Jimat Kalimasada.
Cerita pewayangan versi ini tampaknya tidak sekedar disikapi sebagai sekedar mitos, tapi kemudian benar-benar dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi banyak pihak yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Salah satunya muncul dalam Babad Diponegoro. Dalam Babad yang konon ditulis oleh Pangeran Diponegoro ini, cerita tersebut dipakai sebagai salah satu argumen untuk melawan Belanda. Atas dasar cerita tersebut, Pangeran Diponegoro menegaskan bahwa Jawa adalah milik bangsa Jawa yang keturunan Pandawa dan berpusaka Kalimasada, oleh karena itu Belanda sama sekali tak berhak atasnya.
Nah, kalau dalam cerita pewayangan Jimat Kalimasada pernah dipakai oleh Prabu Yudhistira untuk mengalahkan keangkara-murkaan Salya beserta raksasa-raksasa ciptaan Aji Candrabirawa-nya; apakah saat ini Jimat Kalimasada sekali lagi dapat kita gunakan untuk melumpuhkan raksasa-raksasa hasil perkawinan negara adi daya dan kapitalisme global yang sedang mencengkeram kita? Atau, jangan-jangan Jimat Kalimasada itu malah sudah tak kita rawat lagi?

Tidak ada komentar: