Daftar Blog Saya

Jumat, 28 Februari 2014

Sajak Gunawan Budi Santoso (Kang Putu)

SAJAK BIJAK SOAL KEBIJAKSANAAN

kebijaksanaan hari ini
: pijak sana pijak sini.

kebijakan sang penguasa
: injak siapa saja, injak sampai mati.

dan begitulah
apa pun menjadi bisa dan boleh dilakukan
sambil mengucap mengabdi pada ibu pertiwi
tak lupa menjual segala kekayaan negeri ini
pada korporasi maharaksasa
dari dunia lain di bumi

kalau ada yang melawan
bungkam dengan segala cara
tak perlu ragu mengenyahkan mereka
jika perlu: culik, bunuh, dan perkosa

itulah pelajaran berharga
dari rezim satu ke rezim berikutnya
sembari bilang merdeka
terus saja menggadaikan negara
pada para baginda dari negeri manca

serukan saja: merdeka, merdeka aku yang punya!

Gebyog, 28 Februari 2014: 16.16
Gunawan Budi Santoso
Gunawan Budi Santoso

Selasa, 25 Februari 2014

Oleh:J Kristiadi


INGAR-bingar elite politik dalam kenduri akbar yang saling berebut kekuasaan menjelang Pemilu 2014 tidak pernah menyurutkan semangat melemahkan lembaga-lembaga yang dianggap dapat membendung hasrat dan ambisi eksesif mereka meraih kekuasaan. Beberapa peristiwa akhir-akhir ini mempertegas niat tersebut.

Pertama, hasrat memandulkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tajuk penyempurnaan UU KUHP. Untuk mewujudkan tekad itu, disusupkan beberapa pasal yang menghilangkan ketentuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, penghapusan penyelidikan, perizinan, pengaturan penahanan, serta penyidikan, dan sebagainya. Dengan harapan, mereka makin leluasa menjarah kekayaan negara. Ketentuan-ketentuan tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja institusi yang selama ini berhasil membuat koruptor belingsatan dan jungkir balik, mencoba lolos dari ancaman penjara. Dorongan nafsu menguras kekayaan negara mengabaikan keresahan publik dan masukan KPK sebagai pengguna UU itu.

Kedua, memperkuat cengkeraman kuku kekuasaan kepentingan di Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang seharusnya independen dan sangat bermartabat tersebut kini menjadi ajang perebutan pengaruh politik. Lebih tragis lagi, MK mengabulkan uji konstitusi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi yang semangatnya ingin menyelamatkan MK. Ketentuan dalam UU yang diharapkan dapat membebaskan MK dari intervensi kepentingan politik, yakni tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi, dibatalkan MK dengan dalih membela hak asasi dan hak konstitusional anggota parpol. Kasus skandal korupsi akbar Akil Mochtar tidak berarti semua anggota parpol berkelakuan buruk.

(J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS.)

Minggu, 23 Februari 2014

Oleh:Gunawan Budi Santoso (Kang Putu)

Mari Menipu, Mari Membunuh

Gunawan Budi Susanto


PEMILIHAN kepala daerah di beberapa wilayah di Tanah Air terus bergulir. Para calon sudah mendaftarkan diri ke komisi pemilihan. Mereka datang berpasang-pasang berkendara partai politik, berlomba membawa bendera agama atau partai. Ada pengusaha merangkul atau dirangkul orang partai, bekas petinggi militer bergandengan dengan politikus, bekas wartawan dan politikus didukung pengusaha atau bekas pejabat. Semua menjanjikan kesejahteraan dan menjual harapan.
Suhu politik regional memanas. Itu pasti. Yang tak kalah panas adalah "suhu bumi". Belum lagi masa kampanye tiba, di hampir segenap penjuru provinsi bertebaran spanduk, umbul-umbul, dan bendera bergambar wajah setiap calon gubernur dan wakil gubernur. Belum lagi bila di wilayah kabupaten atau kota juga diselenggarakan pemilihan kepala daerah. Maka, kebertebaran spanduk, umbul-umbul, dan bendera dengan gambar wajah calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota pun makin menyesaki ruang publik.
Mereka berlomba-lomba memasang atribut masing-masing di hampir setiap tempat yang memungkinkan dipandang mata siapa pun. Maka, tembok kota, pagar gedung sekolah, dan berbagai sarana publik tak luput dari segala rupa pamflet, leaflet, poster, spanduk bergambar wajah sang calon pemimpin pemerintahan. Berpasang-pasangan atau sendiri-sendiri. Baliho-baliho besar pun berdiri di setiap sudut kota dan kelokan jalan. Spanduk-spanduk dan umbul-umbul pun dicantelkan di tiang listrik dan pepohonan.
"Menyesakkan mata, memedihkan rasa!" ujar Kluprut, karib saya.
"Kenapa? Kayaknya cuma kamu yang terganggu? Wajar-wajar saja kan mereka mempromosikan diri, memperkenalkan diri, ke hadapan publik, calon pemilih mereka, calon rakyat yang bakal mereka perintah jika kelak terpilih?" sahut saya.
"Tingkah mereka sungguh tak sopan, tak etis, dan cenderung menipu. Belum terpilih saja sudah tak berlaku jujur, bagaimana kelak jika menjadi gubernur?" sergah Kluprut.
Lo? Apa pula yang terlintas atau ngendon dalam benak kawan saya itu?
"Lihatlah, kini belum masanya kampanye. Namun, mereka dengan sepenuh dana dan daya upaya menggedor kesadaran publik dengan gambar wajah dan berbagai ungkapan persuasif. Intinya, mereka mendaku sebagai calon pemimpin terbaik, terpandai, tertepat untuk dipilih.
"Pemasangan segala atribut pemilihan jauh sebelum masa kampanye yang diperbolehkan jelas melanggar peraturan. Bagaimana mungkin calon pemimpin begitu gampang memberikan contoh nyata bahwa melanggar peraturan adalah wajar dan sah-sah saja? Apakah kau tak membayangkan bahwa kelak, jika terpilih sebagai gubernur, mereka pun bakal gampang saja melanggar peraturan?
"Pemasangan atribut di sembarang tempat, tanpa menghiraukan asas kepatutan dan mungkin juga mengabaikan perizinan itu bukan contoh yang baik kan? Perhatikan, betapa nyaris tak ada lagi pohon turus jalan yang tersisa dari atribut mereka? Dan, itu tersebar di segenap penjuru wilayah provinsi. Itu perampokan ruang publik!
"Lebih memedihkan lagi, berbagai atribut itu mereka pasang dengan paku ke pepohonan. Tak sadarkah mereka bahwa tindakan itu telah mencederai kehidupan? Saya ingin, jika bisa bertemu mereka, mempertanyakan: apakah mereka bersedia dipaku sebagaimana mereka memaku pepohonan? Karena, bukankah itu cermin bahwa mereka tak mempunyai kesadaran tentang keberlangsungan (mata rantai) kehidupan dan karena itu tak mungkin mengharapkan mereka menghargai kehidupan?"
Ungkapan panjang kegeraman Kluprut itu membuat saya terdiam. Diam seribu bahasa. Belum lagi saya sempat menjawab, dia sudah kembali membombardemen dengan serentetan kalimat. Bagai tak habis-habis.
"Coba, perhatikan benar tampang mereka dalam setiap gambar itu. Bukankah nyaris semua tampil jauh lebih muda daripada kenyataan sesungguhnya, tampil lebih cakap ketimbang gambaran yang nyata?"
"Lo? Bukankah itu upaya pencitraan yang wajar dalam setiap pemilihan di mana pun?"
"Apakah kewajaran yang kaumaksud itu berbanding lurus dengan kejujuran? Padahal, bukankah nilai-nilai kejujuran yang semestinya menjadi basis setiap tindakan mereka sebagai pemimpin, sehingga rakyat memperoleh kepastian bahwa nasib mereka bakal terperhatikan?"
"Intinya, ketidakindahan dan ketidaktaatasasan kebertebaran atribut pemilihan gubernur di setiap jengkal ruang publik itu mencerminkan ketidakjujuran sekaligus menguarkan semangat tak bersahabat dengan kehidupan. Jadi, untuk apa pula kita kelak memilih mereka?" ucap Kluprut masih dengan nada tinggi.
"Benar," timpal Bowo Kajangan, kawan seniman pegiat seni berbasis kesadaran ekologis, ecoart, yang sejak awal cuma diam, memperhatikan setiap ucapan Kluprut.
"Bagaimana mungkin kita, segenap rakyat, menumpukan harapan kepada 'ketidakjujuran dan ketidakberpihakan terhadap kehidupan'? Karena itulah, aku bakal melakukan performance art di Taman KB (di pusat Kota Semarang, dekat Kantor Gubernur Jawa Tengah). Di sana, aku bakal melakukan perlawanan simbolik, melawan kecenderungan tak beradab itu," ujar dia.
Saya terdiam. Selalu, ya selalu karib saya ini lebih cepat, lebih cergas, lebih cerdas menanggapi gejala kehidupan lewat tindakan, lewat laku. Ketimbang saya, yang acap kali lebih banyak bicara, lebih banyak bersuara. Cuma bicara, cuma bersuara, dan di forum-forum yang tak menimbulkan gaung apa pun! NATO, not action talk only!
***
Ya, ya... mana ada calon gubernur dan wakil gubernur yang sibuk menanam pohon atau menghidupkan kembali sumber air yang mati lantaran berbagai sebab? Mana ada yang memampangkan wajah sesuai benar dengan wajah mereka kini, tak diperbagus dengan tusiran lewat program dan peranti canggih komputer atau dipermuda dari kenyataan sesungguhnya?
Kini, setiap kali melintas di mana pun di seluruh penjuru kota dan provinsi di Pula Jawa ini saya geram. Saya neg. Seperti Kluprut, setiap kali melihat gambar para calon pemimpin pemerintahan itu saya melihat betapa gelap masa depan rakyat, masa depan saya dan keluarga saya.
Saya tersadarkan, betapa tak gampang menaruh harapan ketika gerak para pendaku "pemilik segala kemungkinan untuk memperbaiki kualitas kehidupan" itu beralaskan ketidakjujuran, beralaskan ketidaksetiaan kepada sesama makhluk ciptaan Sang Pemilik Kehidupan.
"Cuma pohon! Ya, paku-paku itu cuma dihunjamkan ke batang pepohonan untuk memajang gambar. Kenapa dianggap tak berkeadaban, tak memihak kehidupan?"
Suara itu mendengking di kuping saya dari berbagai penjuru. Suara yang dari hari ke hari kian memekakkan, memenuhi langit-langit kota, meracuni kesadaran setiap warga. Suara-suara itu memungkiri kenyataan bahwa kita hidup dari pepohonan, dari segala yang dialiri air dan diembusi angin, dijilat api, dan dipanggang terik sinar matahari.
Jadi, wahai para calon gubernur dan wakil gubernur, masih belum paham jugakah kalian: betapa pongah menepuk dada dan mengaku sebagai pribadi paling layak menjadi pemimpin, tetapi tak sedikit pun memiliki kesadaran tentang asal-muasal kehidupan? Apakah kalian akan terus bersikukuh meneriakkan slogan pembangunan yang menyejahterakan, sembari diam-diam menguarkan semangat: mari menipu, mari membunuh?


2 April 2008.

Sabtu, 22 Februari 2014

Sekelumit Tentang Tan


Tan Malaka adalah Tabu di Atas Tabu

Oleh Zen RS | Newsroom Blog Yahoo – Selasa, 18 Februari 2014

Segala yang berbau PKI (Partai Komunis Indonesia) bukan hanya tabu tapi secara resmi memang terlarang dan dilarang oleh negara. Bedanya: PKI yang ditabukan pun mengharamkan Tan Malaka.
PKI tak menyukai Tan Malaka. Dalam sikap resmi PKI, Tan Malaka adalah pengkhianat, Trotskyist, bahkan disebut sebagai antek imperialisme.
Di hari-hari sekitar kudeta 1948 di Madiun, Musso yang baru pulang dari Moskow mencaci maki Soekarno-Hatta sebagai antek Jepang penjual Romusha. Tapi Musso merasa tak cukup hanya memaki Soekarno-Hatta, dia masih merasa perlu untuk menyeret Tan Malaka dan menyerangnya dengan keras, bahkan kasar.
Orang-orang PKI yang selamat dari pembantaian 1965 beberapa di antaranya masih merawat pertentangan dengan Tan Malaka. Dalam bab terakhir bukunya mengenai kudeta Madiun 1948, Harry Poeze melakukan survei terhadap tulisan-tulisan mengenai kudeta Madiun yang ditulis pasca 1965. Dalam survei itu Poeze menemukan beberapa tulisan orang PKI yang masih membawa-bawa Tan Malaka, selain Soekarno-Hatta tentu saja, dalam analisisnya mengenai kudeta di Madiun itu.
Peristiwa 1925-1926, saat Tan Malaka menolak rencana perlawanan bersenjata PKI terhadap pemerintah kolonial, menjadi dendam yang menahun.
Bagi Tan Malaka sendiri, peristiwa 1926 itu jadi erupsi yang meledakkan perpisahan Tan Malaka dengan PKI. Dan sejak itu Tan Malaka mulai mendapat sebutan Trotskyist, cap tidak enak yang biasa disematkan di jidat orang-orang yang tak setia dengan garis resmi politik Soviet.
Jika PKI menjadi tabu karena secara resmi memang dilarang oleh negara, Tan Malaka tak pernah benar-benar menjadi sosok terlarang. Negara bahkan mengakuinya secara resmi sebagai pahlawan nasional pada 1963. Presiden Soekarno sendiri yang menandatangani beleid pengangkatan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Dan beleid itu tidak pernah dicabut. Jadi, status kepahlawanan nasional Tan Malaka itu clear, jelas, tanpa keraguan.
Jika PKI yang diharamkan negara pun bisa mengharamkan Tan Malaka, apalagi organisasi-organisasi lain yang mengaku sebagai juru dakwah ideologi negara. Dan itulah yang terjadi dalam dua pekan terakhir.
Mereka mencoba menggagalkan bedah buku Tan Malaka: Revolusi Gerakan Kiri Jilid IV karya Harry Poeze.
Di Surabaya acara berhasil digagalkan. Di Semarang, sempat ada juga upaya penolakan. Semua penolakan itu berpangkal dari alasan yang hampir sama: Tan Malaka itu PKI.
Simak argumentasi Ketua Bagian Nahi Mungkar FPI Jawa Timur, KH Dhofir, di depan Gedung C20 Library, lokasi bedah buku Harry Poeze di Surabaya itu. Dia menganggap kepahlawanan Tan Malaka wajib ditolak. Alasannya, dengan mengutip KH Dhofir, "(Kepahlawanan nasional Tan Malaka) Itu kan versinya PKI. Tan Malaka itu kan pahlawannya orang-orang PKI."
Lihatlah kekacauan berpikirnya: Tan Malaka yang dianggap pengkhianat oleh PKI, justru oleh FPI dijuluki sebagai "pahlawannya PKI".
Dan menyebut status pahlawan nasional Tan Malaka sebagai "versinya PKI" itu juga argumen yang buta sejarah. Tan Malaka diangkat sebagai pahlawan nasional justru atas dorongan kalangan Partai Murba, seperti Adam Malik, Soekarni, sampai Chaerul Saleh. Dan cukup jelas: Adam Malik, Soekarni dan Chaerul Saleh bukan orang PKI. Kalau orang PKI, mana bisa Adam Malik pernah jadi wakil presiden-nya Soeharto?
Padahal Tan Malaka tak memusuhi gerakan Islam. Dalam Kongres Komintern ke-IV di Moskow pada 12 November 1922, Tan Malaka secara terbuka mengkritik usulan Lenin yang diadopsi secara resmi dalam Kongres Kominter II. Tan Malaka menentang keputusan Komintern untuk menentang gerakan Pan-Islamisme.
Di depan semua tokoh-tokoh komunis seluruh dunia yang hadir pada 12 November itu, Tan Malaka mengisahkan bagaimana penting dan vitalnya Sarekat Islam dalam kobaran perjuangan rakyat terjajah menghadapi Hindia Belanda. Tan Malaka dengan sekuat argumennya mencoba menunjukkan kesalahan Komintern yang memusuhi gerakan Pan-Islamisme.
Sedikit orang yang pernah bersikukuh menjelaskan pentingnya gerakan Islam dalam perlawanan terhadap kapitalisme dalam sidang komunis sedunia. Tan Malaka adalah salah satunya.
Tan Malaka adalah kepahitan sejarah. Dia ditolak oleh dua kubu sekaligus: mereka yang berada di simpang kiri jalan dan simpang kanan jalan.

Selasa, 18 Februari 2014

Oleh:Kiai Budi Harjono

"Mandoro Geni" Cinta

18 Februari 2014 pukul 3:33

SEDULURKU TERCINTA,beberapa hari yang lalu saya menerima pesan dari teman yang mengabarkan "Mandoro Geni",dimana kita dianjurkan untuk meneruskan laku prihatin Bumi,semakin merendahkan diri dalam kehidupan, mentotalkan keikhlasan dalam penghidupan,meningkatkan keuletan,kerajinan dan ketangguhan beramal shaleh.
Meninggikan tangan dambaan kepada Allah swt,memperdalam pengkhusyukan ibadah,memperbanyak istighfar,tasbih dan kalimah thayyibah.Memohon keluas-semestaan hati,terang benderang fikiran serta perkenan kedermawanan Allah SWT agar menganugerahkan hidayah memuati kekosongan jiwa kita dengan petunjuk hal-hal berikut secara bertahap:Pengetahuan lanjutan hal "Pesta atau Evakuasi",terutama yang berkaitan dengan kabar Mandoro Geni,samudera api berwarna merah di bawah permukaan bumi Yogya dan Jawa Tengah selatan.
Mohon dilindungi dan dituntun hal benar tidaknya terjadi gempa 23 kali selama interval antara Januari hingga Oktober 2014. Diawali di Kebumen,yang sampai hari ini sudah berlangsung 7 kali kecil dan sedang,kemudian pada gempa ke-9 akan melahir Gunung Berapi baru di sekitar.Pebukitan Menoreh barat Yogya yang bernama Gunung Pragota, kemudian pada hari ketika atau sekitar Pilpres 2014 terjadi gempa ke-18 yang akan melahirkan Gunung Sukorini di wilayah Gombong Selatan.

Pesan itu berlanjut:Di tempurung dinding bagian dalam Gunung Merapi sebelah barat terdapat dua retakan, tidak terlalu besar, tetapi dorongan pergerakan energi api dari dalam dan bawah akan dengan mudah memperbesarnya.Itu berarti di bagian bawahnya sedang menyebar juga pegerakan energi Mandoro Geni dari "Dapur Utama" bawah Merapi ke arah timur sampai sekitar Flores dan barat lantas ke lengkungan arah utara sampai Aceh,yang sekaligus juga mendorong akibat pada perubahan struktur lempengan tanah di sepanjang alur itu.Tergantung seberapa kuat arus energi itu dan seberapa tebal dan kuat penyangga bumi di alur itu untuk menimbulkan gerakan-gerakan di permukaannya. “Anomali Merapi” merupakan acuan utama atau “khilafah” dari kejutan-kejuatan cuaca dan perilaku alam di seluruh Nusantara.Mohon temen-temen tidak 'nggege mongso', tidak memastikan ya tidak memastikan tidak, melainkan berlindung dan memohon hidayah Allah swt di antara ya dan tidak,di antara tenggelam dan tidak tenggelam,di antara tertimbun dan tidak tertimbun,di antara hidup dan hidup berikutnya.

Teman-teman di seluruh Nusantara semoga dijadikan oleh Allah SWT sebagai Kaum nilai dan perikehidupan Bangsa Nusantara,sekaligus sebagai Kaum yg menolong siapapun saja yang Allah mengirimkannya kepada hamba-hambaNya yg dipilih menjadi Evakuator.Anomali itu sebagian besar merupakan output dari gelombang kuasa ummat manusia di wilayah ini yang dalam waktu cukup lama memancarkan
paradoks nilai-nilai,pelanggaran terlalu frontal terhadap tradisi sunnatullah dan hukum alam,sebaran kemunafikan yang berlebihan sehingga menciptakan kekisruhan terhadap logika-logika natur,kemudian para penduduk wilayah ini terkejut sendiri oleh resonansi oportunisme perilakunya yang mendorong berlakunya oportunisme cuaca, kejutan datangnya air,mobat-mabitnya angin,ketidak-menentuan padatan dan kosongan ruang,yang silahkan disimulasikan sendiri bagaimana bentuk dan wujudnya pada keseharian fisik kehidupan ummat manusia di wilayah ini.Jika manusia yg tidak turut merusak alam dan kehidupan,terutama yang berjuang membangun dan memperindah kehidupan--di dalam kejutan-kejutan anomali itu--diperintah Allah untuk ber-qurban:insyaalah maqamnya adalah:Memperoleh kemuliaan akhirat karena ikhlas menthariqati rahmatan lil'alamin dengan harta, penderitaan dan mungkin nyawanya. Memperolah cinta dan kebaikan Allah pada tingkatan yg tinggi karena "legowo mowo beo" demi "jer basuki" ummat manusia dan alam di hari bumi berikutnya.Kemuliaan dan cinta Allah itu ditaburkan kepada anak2, keluarga dan ummatnya pada era yg dilahirkan kembali di bumi, atau diwujudkan berupa rumah cahaya dan kedamaian abadi di Bumi Sejati.

Kawan-kawan,ternyata pesan ini bersumber dari CN atau Cak Nun,kalau memang ini benar dari beliau maka saya tidak berani berkomentar apa-apa...Tabik!
Kiai Budi Harjono
Kiai Budi Harjono

Senin, 10 Februari 2014

Puisi Ws Rendra

WS Rendra
WS Rendra

DOA UNTUK ANAK CUCU

Bismillaahir rahmaanir rahiim.

Ya, Allah.
Di dalam masa yang sulit ini,
di dalam ketenangan
yang beku dan tegang,
di dalam kejenuhan
yang bisa meledak menjadi keedanan,
aku merasa ada muslihat
yang tak jelas juntrungannya.
Ya, Allah.
Aku bersujud kepada-Mu
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari kesabaran
yang menjelma menjadi kelesuan,
dari rasa tak berdaya
yang kehilangan cita-cita

Ya, Allah.
Demi ketegasan mengambil risiko
ada bangsa yang di-mesin-kan
atau di-zombie-kan.
Ada juga yang di-fosil-kan
atau di-antik-kan.
Uang kertas menjadi topi
bagi kepala yang berisi jerami.
Reaktor nuklir menjadi tempat ibadah
di mana bersujud kepala-kepala hampa
yang disumpal bantal tua.
Kemakmuran lebih dihargai
dari kesejahtraan.
Dan kekuasaan
menggantikan kebenaran
Ya, Allah
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari berhala janji-janji,
dari hiburan yang dikeramatkan,
dari iklan yang dimythoskan,
dan dari sikap mata gelap
yang diserap tulang kosong.

Ya, Allah.
Seorang anak muda
bertanya kepada temannya:
“Ke mana kita pergi?”
Dan temannya menjawab:
“Ke mana saja.
Asal jangan berpikir untuk pulang.”
Daging tidak punya tulang,
untuk bertaut.
Angin bertiup
menerbangkan catatan alamat
Dan rambu-rambu di jalan
sudah dirusak orang.
Ya, Allah
Lindungilah anak cucuku.

Lindungilah mereka
dari kejahatan lelucon
tentang Chernobyl dan Hirosima,
dari heroin
yang diserap lewat ciuman,
dari iktikad buruk
yang dibungkus kertas kado,
dan dari ancaman tanpa makna.

Ya, Allah.
Kami dengan cemas menunggu
kedatangan burung dara
yang membawa ranting zaitun.
Di kaki bianglala
leluhur kami bersujud dan berdoa.
Isinya persis seperti doaku ini.
Lindungilah anak cucuku.
Lindungilah daya hidup mereka.
Lindungilah daya cipta mereka.
Ya, Allah, satu-satunya Tuhan kami.
Sumber dari hidup kami ini.
Kuasa Yang Tanpa Tandingan
Tempat tumpuan dan gantungan.
Tak ada samanya
di seluruh semesta raya.
Allah! Allah! Allah! Allah!

Bojong Gede, 18 Juli 1992WS Rendra

Oleh: Gunawan Budi Susanto (Kang Putu)

Gunawan Budi Susanto
Gunawan Budi Susanto (Kang Putu)


prasaran untuk diskusi MORFEM BEBAS: rabu, 12 februari 2014 pukul 20.00-22.00

9 Februari 2014 pukul 17:17
Perang Fakta dalam Fiksi
: Antara Pengkhianatan G30S/PKI dan Lubang Buaya



Esai Gunawan Budi Susanto



ITA, Gerakan 30 September (G30S) dan pembantaian jutaan nyawa pada paruh kedua 1965 segera setelah "gerakan" itu berlangsung adalah lembaran sejarah kontemporer kita paling kontroversial. Hingga kini sejarah kelam itu masih menjadi pokok perdebatan. Tabir yang menyelimuti suatu babakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini itu belum sepenuhnya terbuka. Bahkan barangkali sampai kapan pun.
Namun justru karena itulah masih selalu terbuka ruang perdebatan. Terbuka pulalah ruang penafsiran. Perdebatan dan penafsiran itu bisa berpangkal dari validitas data dan analisis terhadap fakta dalam penulisan sejarah paling menggetarkan nurani kemanusiaan itu.
Menarik bahwa perdebatan dan penafsiran itu pun merambah sekaligus maujud dalam fiksi. Ya, kau tahu, fiksi memang bukan ranah yang kalis dari berbagai kepentingan di luar seni keindahan berbahasa. Fiksi, entah cerita pendek atau novel, bisa saja menjadi medan pertempuran tak henti-henti antarkepentingan. Terutama, dalam konteks ini, kepentingan politis-ideologis.

Babad "Orde Baru"
Ita, Jenderal Besar Soeharto barangkali menyadari benar kemungkinan itu dan implikasinya. Karena itulah, rezim militeristis yang dia pimpin pun menyusun "babad". Itulah "babad" yang memberikan pembenaran dan legitimasi terhadap tindakan dan (terutama) keabsahan kekuasaannya.
Sejarah resmi versi "orde baru" itu dijadikan bahan pembelajaran dalam berbagai tingkatan pendidikan dan penataran atau santiaji (indoktrinasi). Sebutlah antara lain The Coup Attempt of the September Movement in Indonesia karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh (Djakarta: Pembimbing Masa, 1968). Buku putih itu diterjemahkan menjadi Tragedi Nasional, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1989, 1990).
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pun menerbitkan berjilid-jilid buku Bahaya Laten Komunisme di Indonesia. Jilid I Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia, 1913-1948 (Jakarta: 1991, 1995). Jilid II Penumpasan Pemberontakan PKI, 1948 (Jakarta: 1995). Jilid III Konsolidasi dan Infiltrasi PKI, 1950-1959 (Jakarta: 1995). Jilid IVA Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya (Jakarta: 1995). Jilid IVB Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya (Jakarta: 1995).
Namun barangkali yang paling nancap dalam benak dan memengaruhi persepsi sebagian besar anak negeri ini adalah film garapan sutradara Arifin C. Noer, Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Arifin menulis skenario film produksi PPFN itu berdasar naskah Nugroho Notosusanto. (Ah, kau tentu masih ingat, Umar Kayam bermain pula dalam "film wajib tonton" bertahun-tahun lalu itu sebagai Bung Karno. Dalam suatu wawancara dia menyatakan bersedia bermain dalam film itu sekadar agar dapat menyatakan Soeharto kopeg, keras kepala. Pembelaan diri atau pembenaran? Entahlah.) Film yang diklaim sebagai karya besar Arifin – film terbesar yang tak mungkin terulang – itu dinovelkan oleh Arswendo Atmowiloto: Pengkhianatan G30S/PKI (Jakarta: Sinar Harapan, 1986, 1988, 1994).
Ita, saat berpidato pada pemutaran perdana film itu Soeharto menyatakan, "Film ini dibuat dengan maksud dan tujuan agar supaya rakyat kita dan terutama generasi muda mengetahui adanya 'sejarah hitam' yang kita alami, dan hendaknya bisa menumbuhkan dan meningkatkan kewaspadaan nasional sedemikian rupa, sehingga bisa menjaga agar peristiwa seperti itu tidak terjadi lagi di masa-masa yang akan datang" (G Dwipayana, "Sekapur Sirih" dalam Arswendo Atmowiloto, 1994: 5).
Dwipayana menyatakan bahwa generasi muda tampaknya belum atau tidak mengetahui fakta kekejaman PKI (komunis). Karena itulah, melalui film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, generasi muda perlu diberi gambaran tentang "fakta-fakta kejadian yang berkaitan dengan peristiwa itu sehingga mereka tidak mudah terjerat dalam lingkup paham komunis".
Soal isi, novel Arswendo dan film Arifin memang tidak berbeda. Adapun soal gaya penulisan? Arswendo mengakui gaya dalam novelnya adalah untuk merangkai fakta. "Semacam laporan jurnalistik karena data-data benar-benar ada, dan terjadi dalam sejarah" (1994: 7).

Pencitraan & Pembunuhan Karakter
Ita, "data" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "keterangan yang benar dan nyata" atau "keterangan atau bahan nyata yang dapat dijadikan dasar kajian (analisis atau kesimpulan)". Fakta adalah "hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan" atau "sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi".
Nah, kini mari kita simak berbagai "fakta" yang terjalin dalam kisah yang dibeberkan Arswendo berdasar "data" yang benar-benar ada tentang G30S. Arswendo merekonstruksi secara detail penculikan para jenderal Angkatan Darat (AD), menjelang dini hari 1 Oktober 1965. Pelukisan itu memperlihatkan betapa keji, betapa tak berperikemanusiaan, para penculik: pasukan pengawal Presiden, Tjakrabirawa. Para prajurit itu menyiksa para jenderal dengan popor senapan dan bayonet serta kalimat-kalimat sarkartis dan insinuatif.
Mencolok pula pencitraan yang merupakan pembunuhan karakter terhadap para perempuan aktivis atau anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mereka menyanyikan lagu "Darah Rakjat" dan "Gendjer-gendjer" seraya menari-nari di atas mayat para korban. Para gadis memutilasi mayat dan bahkan (maaf) menyayat dan memotong alat kelamin para jenderal.
Bukankah itu wajar-wajar saja? Karena, sebagaimana kesaksian Abdul Latief, bukankah para perempuan itu terbiasa "di balik pohon-pohon karet, di balik rimbunan rumput, … saling melampiaskan nafsu birahi secara brutal"? Ya, "di kandang kambing, dalam kegelapan dan tetap berseragam, mereka silih berganti melampiaskan nafsu kebinatangan" (halaman 52).
Lampu mobil Abdul Latief "kadang menemukan bayangan yang terengah-engah. Nafsu yang sama liarnya ketika mereka memuntahkan peluru, ketika itu pula memuntahkan nafsu liarnya. Nafsu yang sama liarnya ketika tiarap, ketika itu pula di lain kesempatan mereka bertiarap di atas sesamanya. Menggesotkan tubuh, berkelojotan. Nafsu yang sama liarnya ketika mereka menghajar karung-karung yang ditulisi dengan huruf kapital Dewan Jenderal dengan ujung bayonet. Bayonet pribadi mereka juga main tusuk sembarangan" (halaman 52-54).
Perilaku sadistis yang meliar tergambar dalam setiap penculikan di rumah para jenderal. Citraan kekejian berlanjut sampai di Lubang Buaya. Di sanalah, di setumpak tanah itu, mayat para jenderal dimasukkan ke lubang sumur mati. Dan, kematian para jenderal itu diiringi tarian dan nyanyian liar perempuan-perempuan muda.
"Teriakan terus membahana.
'Bunuh!'
'Ganyang!'
'Cungkil!'
'Sodet1'
'Lumatkan!'
terus menggemuruh. Barisan gerombolan liar itu bagai orang-orang dari dunia iblis yang menyentakkan tubuhnya dari tarian yang semakin liar. Dengan tarian, nyanyian, teriakan, kebuasan. Makin meninggi dan menggebrak-gebrak ketika dari satu sisi muncul iringan tandu yang membawa jenazah Jenderal Ahmad Yani. Semakin gemuruh nyanyian, semakin liar tarian. Dari sisi lain muncul tandu diributi dengan sabetan, pukulan ludahan atas jenazah Jenderal Haryono" (halaman 148).
Ita, hampir semua "fakta" tentang G30S telah diketahui oleh nyaris setiap orang bukan? Pendedahan dan penakaran secara kritis pun telah dilakukan banyak sejarawan. Dan, kini upaya itu masih berlangsung: merekonstruksi lembaran sejarah itu secara jujur.
Namun, pencitraan luar biasa keji para perempuan – yang menjadi keprihatinanmu – agak luput dari perhatian bukan? Jadi, benarkah mereka, para perempuan aktivis itu, senantiasa berteriak-teriak dan menyanyikan lagi "Gendjer-gendjer" dan "Darah Rakjat", yang "bergema bagai menyomplakkan tenggorokan" (halaman 149)?
***
ITA, Saskia Eleonora Wieringa (2003) menilai semua kisah dalam "sejarah resmi" orde sang jenderal besar itu adalah fiksi belaka. Penggambaran peristiwa 1965 dan pembunuhan massal segera setelah peristiwa itu mengandung "terlalu banyak distorsi dan lapisan pemahaman". Namun fiksi "orde baru" itu telah menjadi kebenaran, yang mengakibatkan jutaan orang tak bersalah dibunuh atau diperlakukan di luar peri kemanusiaan selama puluhan tahun.
"Fantasi itu juga meracuni pikiran rakyat, menunda proses demokratisasi yang memang lambat, dan menjadikan perekonomian Indonesia sebuah taman bermain bagi para kapitalis lokal maupun internasional," tulis dia (2003: v).
Saskia tidak berhenti sebagai ilmuwan yang mengasingkan diri di menara gading. Dia melawan "penjajahan kesadaran" itu antara lain dengan menulis sebuah tesis: The Politicization of Gender Relations in Indonesia: Women’s Organizations and the New Order. Karya itulah yang kaubaca dalam terjemahan bahasa Indonesia: Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia (Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999).
Namun, Ita, dia merasa belum cukup. Dia, dengan aksentuasi perspektif keperempuanan, menulis novel berdasar rangkaian fakta yang dia peroleh dalam penelitian pada awal 1980-an. Dia "menggabungkan fakta", menyusun kisah baru, "mengeksplorasi lapisan pemahaman lain yang tak tersentuh" dalam berbagai tulisan nonfiksinya. Itulah Krokodillengat, yang diterjemahan Tatiana Utomo menjadi Lubang Buaya (Jakarta: Metafor Publishing, 2003), yang sekarang kita baca.
Dia tidak sendirian, Ita. Sebelumnya, dengan motif yang barangkali sama, Ngarto Februana menerbitkan novel Tapol (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002). Dia menulis beberapa bagian dalam novel ketiganya itu berdasar data dan penelitian. Dia menggunakan data antara lain dari buku Menyingkap Kabut Halim 1965 susunan Aristides Katopo, Purnama Kusumaningrat, J.M.V. Soeparno, dan Moh Cholil (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cetakan V, 2000), Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965 karya Soegijanto Padmo (Yogyakarya: Media Pressindo, 2000), Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani tulisan Benedicta A. Surodjo dan J.M.V. Soeparno (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001), Kesaksianku tentang G-30-S tulisan H. Soebandrio (Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total, 2001), dan Pemulung Jalanan di Yogyakarta karya Y. Argo Twikromo (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999).
Namun, dalam esai singkat ini, fiksi karya Saskialah yang secara vis a vis saya konfrontasikan dengan "kesaksian" Arswendo Atmowiloto, terutama berkait dengan disinformasi, pencitraan, dan pembunuhan karakter para perempuan. Itulah perkara paling menjijikkan dan menghinakan perempuan – sang ibu kehidupan.
Saskia menohokkan perlawanan terhadap pembunuhan karakter dalam kisah Arswendo melalui perjalanan hidup Tommy, perempuan wartawan dari Belanda, tokoh cerita Lubang Buaya, di negeri ini. Kisah terjalin dalam penuturan berselang-seling dari sudut diaan dan cakapan batin Tommy. Ya, "dari kamar selnya yang sempit dan bau di sebuah penjara tentara Indonesia, Tommy… berusaha merekonstruksi berbagai kejadian, baik yang telah membawanya ke tempat itu maupun yang telah mengakibatkan ribuan anggota Organisasi Perempuan ditahan, disiksa, dan dibunuh lima belas tahun sebelumnya. Semakin banyak kebusukan yang ia ungkap, semakin keras nuraninya menyangkal. Semakin jelas fakta yang ia temukan, semakin kabur bayangan kebebasan bagi dirinya" (sampul belakang).
Pencitraan yang sangat melenceng dari kejadian sesungguhnya meninggalkan luka teramat perih yang terus-menerus nganga di dasar jiwa Tante Sri, eks tahanan politik "orde baru". "Tubuh tak bisa lupa, Tommy," ujar Tante Sri…. "Kalau melihat tongkat rotan atau sebuah sabuk tentara, hatiku ciut lagi, bahkan sebelum aku menyadarinya. Aku merasa tulang-tulangku patah lagi" (halaman 36).
Dan Tante Sri terus-menerus menyimpan duka, terus-menerus menyimpan ketakutan. "…. Batin kami diinjak-injak lebih parah lagi. Tidak hanya kami yang tidak bisa menghilangkan bau kotoran itu. Orang lain pun menjepit hidung mereka bila melihat kami. Lambat laun, bila nasib mengijinkan, semua itu berkurang. Tetapi fitnah tetap ada. Tidak berhenti pada tahun 1965. Sekarang sudah hampir dua puluh tahun berlalu. Cerita-cerita yang mereka karang waktu itu selalu diulang dalam film, setiap gagasan yang berani segera dibungkam dan dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan mengerikan yang katanya kami lakukan dulu. Anak-anak hanya tahu itu saja, yang tua-tua tutup mulut karena sangat takut dan bingung" (halaman 36-37).
Tommy menggigil mendengarkan kesaksian Tante Sri. Dia pun menelisik "kebenaran sejarah". Hingga suatu saat dia pun berucap (halaman 207), "Saya sudah bicara dengan beberapa perempuan yang ada di tempat kejadian itu. Jadi saya tahu persis apa yang terjadi malam itu. Tidak ada jenderal-jenderal yang diperkosa dan dikebiri, Pak Tjipto. Tidak ada tarian erotis. Tidak ada pesta seks yang primitif dan menyimpang." 1)
Tommy teringat pengakuan Nana, seorang sukarelawati yang berlatih di kawasan Lubang Buaya. "Tommy, kami bukan satu-satunya kelompok yang melakukan latihan-latihan dan berada dalam pasukan baris-berbaris itu" (halaman 222). Nana menyaksikan para jenderal dibunuh dan dimasukkan ke sumur mati. Tak ada Tarian Harum Bunga, tak ada tawa. Saat itu, menurut kisah Nana (halaman 232), "Lapangan samar-samar diterangi oleh lampu-lampu yang digantung di pohon-pohon. Para prajurit muda dengan senapan-senapan lengkap berbayonet berlarian mondar-mandir, beberapa opsir rendahan meneriakkan perintah-perintah yang saling bertolak belakang. Sementara beberapa lelaki yang berusia lebih tua dalam pakaian tidur didorong ke tengah tanah lapang. Tangan-tangan mereka diikat ke belakang. Para gadis berlarian keluar dari barak sambil menjerit-jerit, menuju ke sudut lapangan, di mana dengan penuh ketakutan mereka berdiri bersama-sama."
Begitulah sekelumit "perang fakta" dalam fiksi. Menarik bahwa kebenaran fiksional bisa bertransformasi (melalui pemaksaan dan penyajian berulang-ulang) menjadi seolah-olah kebenaran faktual. Sebaliknya, kebenaran fiksional beralih wujud (penerimaan) sebagai kebenaran faktual. Barangkali karena itulah Saskia menyatakan, "Banyak sejarawan masa kini berpendapat bahwa semua sejarah adalah fiksi. Tak ada fakta, hanya diskursus yang selalu berubah dan dipengaruhi kekuasaan" (halaman v). Dan, karena itu pulakah dia merasa perlu menulis Lubang Buaya? Padahal, bukankah justru kebenaran faktual yang dia sajikan dalam fiksi berkemungkinan alih wujud dan mengemuka sebagai kebenaran fiksional, kebenaran rekaan?
Sementara itu, puluhan tahun "orde baru" mendayagunakan fiksi berupa novel dan film dan memunculkan gejala menarik: kebenaran fiksional "diterima" dan "diperlakukan" sebagai kenyataan sejarah, kebenaran faktual. Jadi, mana lebih berdaya kuasa untuk mendorong upaya merekonstruksi sejarah secara lebih jujur dalam ruang kesadaran kita? 2)


-----------------------------------------------------------------------------------
1)    Tahun 1987, indonesianis dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, Ben Anderson ("How Did the General Die" dalam Indonesia Nomor 43, April 1987; lihat juga hasil lengkap hasil autopsi/visum et repertum pada Lampiran IV buku M.R. Siregar (1995) mengungkap bahwa berdasar visum et repertum tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr. Roebiono Kertapati diketahui: cerita soal penyayatan kelamin oleh anggota Gerwani merupakan isapan jempol. Alat kelamin semua mayat itu utuh. Bahkan ada sebuah mayat dengan alat kelamin belum disunat; diduga karena mendiang beragama nasrani. Soal bola mata copot, diduga karena mayat dicemplungkan ke dalam lubang sumur dengan kepala lebih dahulu. Tim dokter yang memeriksa keadaan mayat ketakutan karena ada tekanan lewat pemberitaan tentang penyayatan penis para jendral yang sama sekali tak terbukti. Mereka mengakui kesulitan menyusun laporan akhir hasil autopsi karena berita-berita di media massa dan yang berkembang di masyarakat telanjur mengelirukan. Mengenai detail proses autopsi dan ketakutan tim dokter bisa dibaca dalam pengakuan mantan anggota tim dokter, Prof. Dr. Arief Budianto (Liem Joe Thay), ketika diwawancarai Majalah D&R, 3 Oktober 1998, "Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi".
2)    Apalagi, kita tahu, tak ada yang berani menyajikan karya kreatif dalam versi berbeda, dari perspektif korban – yang bertolak belakang serta vis a vis secara diametral berhadap-hadapan dengan versi "sejarah resmi". Kecuali, tentu saja, kaum eksil yang menulis dan menerbitkan karya di luar negari, antara lain Belanda dan Prancis. Di negeri ini, barulah setelah Soeharto terguling, muncul karya kreatif (berupa puisi, cerpen, novel, dan film) yang beranjak dari perspektif korban. Namun tak banyak benar yang menulis karya sastra dalam "kategori" ini. Mereka, antara lain, adalah Putu Oka Sukanta (puisi), Martin Aleida (cerpen dan novel), G.M. Sudarta (cerpen), Noorca M. Massardi (novel), Gitanyali (novel), Tinuk R. Yampolsky (novel), Gunawan Budi Susanto (cerpen). Novel Noorca adalah mempergunakan perspektif yang benar-benar bertolak belakang dari versi "sejarah resmi" – sebagaimana direpresentasikan oleh film Arifin dan novel Arswendo. Dan, belakangan muncul pula film-film yang berpunggungan dengan versi resmi itu, antara lain Mass Grave Indonesia karya Lexy Rambadetta (2001) dan (terakhir) The Act of Killing/Jagal karya Joshua Oppenheimer (2013). Novel Pulang Leila S. Chudori dan Amba Laksmi Pamuntjak, menurut pendapat saya, berkesan berperspektif korban, tetapi sebenarnya karena berupaya objektif sehingga justru terasa "mengambil jarak" dan karena itu menjadi tidak manjing daging, kurang nyawiji. Berbeda dari, misalnya, dari (jauh sebelumnya) karya trilogi Ahmad Tohari yang, meski bukan dari perspektif korban, terasa lebih utuh dan padu sebagai sebuah karya.





Bacaan:

Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk: Catatan buat Emak, novel, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
--------, Lintang Kemukus Dini Hari, novel, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
--------, Jantera Bianglala, novel, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Aristides Katopo, Purnama Kusumaningrat, J.M.V. Soeparno, dan Moh Cholil, Menyingkap Kabut Halim 1965, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cetakan keempat, (Mei) 2000.
Arnold C. Brackman, Cornell Paper: Di Balik Kolapsnya PKI, Yogyakarta: Elstreba, 2000.
Arswendo Atmowiloto, Pengkhianatan G30S/PKI, novel, Jakarta: Sinar Harapan, 1986.
Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas istana Merdeka: Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G-30-S, Jakarta: Times Communications & Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Audrey R. Kahin & George McT. Kahin, Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, cetakan kedua (Maret) 2001.
Benedict R O’G Anderson & Ruth T McVey, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal, Yogyakarta: Syarikat, 2001.
Benedicta A. Surodjo dan J.M.V. Soeparno, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001.
Budiawan, Mematahkan Pewarisan Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto, Jakarta: Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), 2004.
Dalhar Muhammadun, Tanah Berdarah di Bumi Merdeka: Menelusuri Luka-luka Sejarah 1965-1966 di Blora, Solo: Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat, Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana, dan Perkumpulan Elsam, 2004.
Fransisca Ria Susanti, Kembang-kembang Genjer, Yogyakarta: Jejak, 2007.
Garda Sembiring, Harsuno Sutedjo, ed., Gerakan 30 September 1965 Kesaksian Letkol (Pnb) Heru Atmodjo, Jakarta: People's Empowerment Consortium (PEC), Hasta Mitra, Tride, cetakan kedua (November) 2004.
Gitanyali, Blues Merbabu, novel, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011.
--------, 65: Lanjutan Blues Merbabu, novel, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Gunawan Budi Susanto, Nyanyian Penggali Kubur, kumpulan cerpen, Yogyakarta: Gigih Pustaka Mandiri, 2011.
H. Achmadi Moestahal, Dari Gontor ke Pulau Buru: Moemoar H Achmadi Moestahal, Yogyakarta: Syarikat, 2002.
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, cetakan kedua, 1999.
Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis, Otobiografi Hasan Raid, Yogyakarta: Syarikat, 2001.
H.D. Haryo Sasongko, Catatan Harian Anak Bangsa Terpidana, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2003.
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000.
Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru, Magelang: Indonesiatera, 2004.
--------, ed., Kidung untuk Korban: dari Tutur Sepuluh Narasumber Eks-Tapol Sala, Surakarta: Pakorba Sala, 2006.
Hikmah Diniyah, Gerwani Bukan PKI: Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia, Yogyakarta: Caraswati Books, 2007.
H. Soebandrio, Kesaksianku tentang G-30-S, Jakarta: Forum Pendukung Reformasi Total, 2001.
Kasijanto Kasemin, Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan Tap MPRS/XXV/1966, Yogyakarta: LKIS, 2003.
Kerstin Beise, Apakah Soekarno Terlibat Peristiwa G30S?, Yogyakarta: Ombak, 2004.
Kolonel Abdul Latief, Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G30S, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI), cetakan ketiga (Juli) 2000.
Kresno Saroso, Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol Orde Baru, Jakarta: Pustaka Utan Kayu & Institut Studi Arus Informasi (ISAI), 2002.
Laksmi Pamuntjak, Amba, novel, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedua, (November) 2012.
Leila S. Chudori, Pulang, novel, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.
Mayjen (Purn) Samsudin, Mengapa G30S/PKI Gagal? Suatu Analisis, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, cetakan kedua (Januari) 2005.
Martin Aleida, Leontin Dewangga, kumpulan cerpen, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
--------, Jamangilak Tak Pernah Menangis, novel, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Michael van Langenberg, Benedict Anderson, Peter Dale-Scott, Gestapu, Matinya Para Jenderal dan Peran CIA, Yogyakarta: Cermin, 1999.
Ngarto Februana, Tapol, novel, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002.
Noorca M. Massardi, September, novel, Solo: Tiga Serangkai, 2006.
Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of the September Movement in Indonesia, Djakarta: Pembimbing Masa, 1968.
--------, Tragedi Nasional, Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia, Jakarta: Intermasa, cetakan kedua 1990.
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid I Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia, 1913-1948, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI & Yayasan Telapak, cetakan kedua 1995.
--------, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid II Penumpasan Pemberontakan PKI, 1948, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI & Yayasan Telapak, 1995.
--------, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid III Konsolidasi dan Infiltrasi PKI, 1950-1959, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI & Yayasan Telapak, 1995.
--------, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid IVA Pemberontakan G30S/PKI dan Penumpasannya, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI & Yayasan Telapak, 1995.
--------, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid IVB Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-sisanya, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI & Yayasan Telapak, 1995.
Putera-puteri dan Saudara Pahlawan Revolusi, Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam: Tuturan Anak-anak Pahlawan Revolusi, Keluarga Korban, dan Saksi pada Peristiwa Dini Hari 1 Oktober 1965, Jakarta: Keluarga Pahlawan Revolusi, cetakan kedua (Oktober) 2002.
R.A.F Paul Webb & Steven Farram, Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur, Yogyakarta, 2005.
Restaria F. Hutabarat, penyunting, Stigma 65: Strategi Mengajukan Gugatan Class Action, Jakarta: LBH Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966, Yogyakarta: Matabangsa & Syarikat Indonesia, cetakan kedua (Oktober) 2003.
Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Wanita di Indonesia, Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya, 1999.
--------, Lubang Buaya, novel, penerjemah Tatiana Utomo, Jakarta: Metafor Publishing, 2003.
Sobron Aidit, Cerita dari Tanah Pengasingan, kumpulan kisah, Jakarta: Pustaka Pena, tanpa tahun.
--------, Razia Agustus, kumpulan cerpen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Soegijanto Padmo, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965, Yogyakarya: Media Pressindo, 2000.
Sudisman, Pledoi Sudisman: Kritik Oto Kritik Seorang Politbiro CC PKI, Jakarta: Teplok Press, 2000.
Sudjinah, Terempas Gelombang Pasang: Riwayat Wartawati dalam Penjara Orde Baru, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2003.
Sulastomo, Dibalik Tragedi 1965, Jakarta: Yayasan Pustaka Umat, cetakan kedua, (Februari) 2006.
Suparta Brata, Donyane Wong Culika, novel, Yogyakarta: Narasi, 2004.
Suyatno Prayitno, Astaman Hasibuan, Buntoro, Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra, Jakarta: Institut Studi Arus Informasi & Pustaka Utan Kayu, 2003.
Tinuk R. Yampolsky, Candik Ala 1965, novel, tanpa kota penerbit: Katakita, 2011.
Y. Argo Twikromo, Pemulung Jalanan di Yogyakarta, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999.
Yudhistira A.N.M. Massardi, Mencoba Tidak Menyerah, novel, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996.

Sabtu, 08 Februari 2014

Oleh:Jamal Ma'mur Asmani

Fikih Sosial Kiai Santun
---

JUMAT dini hari, 24 Januari 2014, pukul 01.00 WIB, KH MA Sahal Mahfudh meninggalkan kita semua: santri, kiai, warga NU, dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Seluruh anak bangsa ini berduka cita atas kepulangan sosok pemimpin umat yang santun, sejuk, dan penuh dedikasi. Seluruh hidupnya didarmabaktikan demi kemajuan umat dan bangsa.

Ia tak tega melihat kemiskinan di Kajen Pati, daerah kelahirannya, dan dengan menggunakan fikih sebagai basis keilmuan, ia melakukan perubahan besar dalam bidang ekonomi kerakyatan. Ia berkarier dari bawah sampai pusat sehingga kepemimpinannya di NU dan MUI sangat mengakar. Ia tak goyah oleh bujuk rayu politik praktis sampai akhir hayatnya. Dialah penjaga khitah NU yang bergeming oleh tekanan dan desakan dari mana pun untuk membawa NU ke ranah politik praktis.

Para kiai dan santri mengakui kepakarannya dalam bidang fikih. Para akademisi mengapresiasi keintelektualannya karena mampu memadukan khazanah klasik dan modern. Aktivis LSM mengagumi mobilitasnya dalam menggerakkan perubahan ekonomi rakyat. Kalangan birokrat memuji netralitas dan keteguhannya dalam memimpin. Bangsa ini menyanjungnya karena ia penjaga moral bangsa di tengah demoralisasi akut.

Mbah Sahal adalah filsuf karena selalu gelisah memikirkan kebenaran ilmu pengetahuan dan kondisi riil masyarakat yang banyak ketimpangan. Islam, khususnya fikih, yang dipelajari sejak muda ternyata kurang mampu menjawab problem kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan umat.

Fikih sebagai manifestasi doktrin Tuhan dalam realitas individu dan sosial, kehilangan fungsi transformasi, baik secara struktural maupun kultural. Fikih terjebak oleh tekstualitas, formalitas, dan simbolitas. Di sisi lain, perilaku masyarakat jauh dari nilai-nilai agama, khususnya doktrin fikih. Sekularitas, hedonitas, dan imoralitas menjadi fakta sosial yang lepas dari bimbingan agama.

Skeptisisme dan relativisme tersebut membawa kiai karismatis itu ke arah pergolakan intelektual masif yang akhirnya melahirkan karya besar yang bermanfaat bagi dinamisasi keilmuan dan kerja transformasi sosial. Maka lahirlah fikih sosial sebagai jawaban atas kegelisahan Kiai Sahal melihat dua ketimpangan tersebut.

Secara epistemologis, fikih sosial dibangun di atas lima metodologi transformatif, yaitu kontekstualisasi doktrin fikih; beralih dari mazhab qouli (tekstual) menuju manhaji (metodologis); verifikasi doktrin yang ashal (fundamental-permanen) yang tidak bisa berubah dan far’u (instrumental) yang bisa berubah; menghadirkan fikih sebagai etika sosial; dan mengenalkan pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial budaya.

Lima metodologi ini bisa kita kaji dalam produk pemikiran kiai khos itu, antara lain pendayagunaan zakat, konservasi ekologis, emansipasi perempuan, pendidikan integralistik, pluralisme, pengentasan warga dari kemiskinan, dan lain-lain. Ia tetap berpijak pada kekayaan tradisi pesantren melalui pendekatan sosial humaniora yang transformatif.

Fikih sosial Mbah Sahal bergerak untuk mengubah kemiskinan, keterbelakangan, dan kemunduran masyarakat Kajen Pati, dari secara geografis tandus dan kering menjadi kaya, maju, dan, berperadaban. Bagi masyarakat tradisional, miskin-kaya adalah given by God. Manusia tinggal menjalani hidup ini apa adanya, taken for granted. Namun kiai santun tersebut terpanggil melakukan perubahan paradigmatik.

Ia merevolusi teologis tentang hakikat kaya-miskin. Dengan menyitir Alquran dan hadis, Kiai Sahal mengatakan bahwa miskin bertentangan dengan Islam. Islam menginginkan kemakmuran, kesejahteraan, ketercukupan, dan kemajuan ekonomi. Masyarakat Kajen terhenyak menyimak pituturnya, yang dirasa tak lazim, kontroversial, dan radikal.

Sumber Bencana

Menjadi miskin, dalam pandangan Mbah Sahal adalah berdosa karena miskin jadi sumber bencana, pendidikan tidak maju, kebudayaan tak berkembang, perjuangan mengibarkan panji kebesaran Islam juga stagnan, dan mudah tergoda pihak-pihak tidak bertanggung jawab, sampai mengorbankan keyakinan agama.

Karakternya yang organisatoris dan aktivis menjadikan tiap agenda pembaruannya selalu dalam naungan organisasi dengan manajemen akuntabel dan profesional. Pesantren dijadikan lokomotif untuk mendorong program pemberdayaan ekonomi. Tahun 1977 ia mengikutsertakan dua santri senior mengikuti latihan tenaga pengembangan masyarakat yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Jakarta bekerja sama dengan Depag (kini Kemenag).

Praktik lapangan santri itu, menghasilkan beberapa kegiatan konkret, antara lain kelompok usaha bersama simpan pinjam (UBSP) yang dikelola masyarakat sekitar pesantren, sebagai rintisan. Capaian dari manfaat itu kini dirasakan oleh masyarakat. Kegiatan awal itu mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak sehingga 1979 secara resmi terbentuk Lembaga Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Hasilnya sangat nyata, yaitu meningkatkan ekonomi rakyat Kajen dan sekitarnya.

Demikian perjuangan panjang dan melelahkan yang dilakukan Kiai Sahal dalam mengembangkan fikih sekaligus memberdayakan ekonomi rakyat kecil. Selamat jalan Begawan Fikih Sosial, semoga seluruh karya intelektual dan sosial, buah dari perjuanganmu diterima Allah Swt, dan jadi sumber inspirasi seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran.
***
Jamal Ma’mur Asmani, santri Kiai Sahal Mahfudh, peneliti dari Fiqh Sosial Institute Staimafa Pati, mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang Juga anggota Departemen Pendidikan, Kajian dan Pelatihan Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jawa Tengah.

Senin, 03 Februari 2014

Oleh:Rizal Mumazziq (Rijal Pakne Avisa).

Rijal Mumazziq
Rijal Mumazziq
Benarkah Gus Dur Waliyullah?
--
Sebagai sebuah teks, Gus Dur telah selesai ditulis bersama takdirnya, tapi ia belum selesai dibaca. Ia adalah korpus terbuka yang bisa ditafsirkan dengan beragam sudut pandang. Pula, ia dicela dan semakin dicinta dengan banyak cara. Demikianlah, Gus Dur selalu membuat pelbagai kemungkinan untuk “di” karena sejak sosok ini hidup ia adalah subyek sekaligus obyek.

Dari sini, bisa dipahami bahwa Gus Dur merupakan unfinished text yang belum tamat, dan belum rampung untuk dimaknai. Sebagai unfinished text, Gus Dur akan selalu menjadi “obyek” yang pernak-perniknya (pribadi dan gagasannya) selalu dielaborasi, dikritisi, dan direkonstruksi oleh para penulis yang bertindak sebagai “subyek”.

Sebagai sebuah teks. Gus Dur memang terbuka untuk ditafsirkan. Meminjam teori independensi teks-nya Karl Popper, setiap pengetahuan yang sudah diumumkan dengan sendirinya terlepas dari monopoli pengarang dan penggagasnya, lalu masuk ke dalam pengetahuan obyektif. Dalam hal ini, seorang penafsir (interpreter) memiliki kebebasan dan otonomi penuh dalam menafsirkan sebuah teks. Namun, yang menjadi masalah bukanlah benar tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi argumentasi yang dijadikan landasan dalam memberikan penafsiran serta kedekatannnya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan teks tersebut.

Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin, misalnya, melakukan penafsiran atas perilaku Gus Dur, mengumpulkan kesaksian-kesaksian unik dari para sahabat dan keluarga Gus Dur, serta dari ragam fenomena yang mengiringi sosok ini, baik saat hidup maupun setelah berpulang. “Bukti-Bukti Gus Dur itu Wali: 99 Kesaksian Tak Terbantahkan dari Sahabat, Orang Dekat, Kolega dan Keluarga” merupakan upaya merekonstruksi apa yang telah dipahami oleh kedua penulis ini mengenai apa yang disebut oleh kedua penulis ini sebagai “kewalian Gus Dur”.

Dalam kaidah jurnalistik, penulisan buku ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mengenai kisah-kisah yang menjadi bukti kualitas pribadi Gus Dur dan keistimewaan-keistimewaan sosok ini, kedua penulis memungutnya dari beragam narasumber yang memang dekat dengan Gus Dur (keluarga, sahabat, pengamat, pengamal tasawuf, dan para ulama yang kredibel), sekaligus memverifikasi kisah yang disampaikan, disertai dengan pembacaan kritis. Untuk itulah, kedua penulis buku ini, dalam “Pengantar Penulis”, memberikan rambu bahwa keduanya menyeleksi kisah-kisah yang diterima.

KH Said Aqil Siroj, misalnya, memberikan kesaksian mengenai ‘terbongkarnya’ jatidiri seorang wali mastur (yang sengaja menyembunyikan identitas kewaliannya) oleh Gus Dur; kesaksian dr Umar Wahid bersama pilot pesawat kepresidenan dalam situasi genting di mana awan gelap yang hampir menjadi badai tiba-tiba membelah dan seolah mempersilahkan pesawat mendarat dengan aman (hlm. 58); hingga ritus ziarah ke makam para Wali dan dipercaya berdialog dengannya (Bagian II: Komunikasi dengan Para Wali); serta berbagai karamah-karamah yang dimiliki oleh Gus Dur.

Demikianlah, tradisi dan kepercayaan mengenai keramat para waliyullah sangat mengakar di kalangan masyarakat Muslim tradisionalis. Meskipun ada ungkapan la ya’riful waliy illal waliy (hanya wali yang mengetahui wali), namun masyarakat juga memiliki kecenderungan untuk membedakan manakan perilaku yang termasuk bagian dari karamah, dan manakah yang merupakan istidraj; serta manakah karamah yang merupakan anugerah Allah, dengan bagian dari ilmu hikmah—yang bisa dipelajari.

Dalam kategori derajat kewalian, terdapat dua aspek penting: waliyullah dan wali huquqillah. Waliyullah adalah derajat wali yang pencapaian kewaliannya tidak melalui prosedur normatif lewat cara riyadlah atau tirakatan dengan mengasah kemampuan ruhaniah batiniah dengan meningkatkan kualitas ibadah dan keimanan. Derajat ini didapat secara langsung dari Allah, tanpa usaha atau kasbul ibadah, namun ada kejadian istimewa sebelum seseorang menjadi waliyullah. Sedangkan Wali Huquqillah merupakan derajat kewalian yang dicapai dengan cara normatif atau berproses melalui jalur sufistik. Secara teoritis seserang harus melalui tahapan-tahapan berat sebelum akhirnya menjadi seorang waliyullah. Pertama, taubat, kemudian wara’, zuhud, sabar, tawakkal, lalu ridho syukur tahalli, tajalli, hingga pada puncaknya mencapai ma’rifat.

Sedangkan Gus Dur, dari sisi pengalaman, telah menjalani berbagai corak kehidupan yang memungkinkannya menempa diri dalam derajat kesufian tertentu. Sebagaimana penuturan KH. Said Aqil Siroj, Gus Dur setiap hari secara istiqamah membaca Surat al-Fatihah ribuan kali (hlm. xxii). Pula, berbagai kesaksian orang terdekat Gus Dur bahwa dalam berbagai kesempatan Gus Dur banyak bertemu dengan tamu misterius yang memiliki derajat istimewa.

Dari berbagai bab buku ini, selain menyuguhkan berbagai sisi yang (bagi sebagian orang) irasional, ada banyak kisah yang sesungguhnya rasional, logis, dan manusiawi. Sepak terjang Gus Dur dalam memperjuangkan aspek esoterisme Islam sehingga banyak disalahpahami, proses membumikan Islam Rahmatan lil Alamin, keteguhannya membela pihak yang tertindas, serta kehidupannya yang asketis, yang juga dikisahkan dalam buku ini.

Terlepas dari kebenaran hakiki apakah Gus Dur itu wali atau bukan, hanya Allah yang Mahatahu. Berbagai kisah yang dimuat dalam buku ini bisa dijadikan salah satu standar penilaian kualitas pribadi Gus Dur dan segala pernak-pernik kehidupannya. Juga, kisah-kisah manusiawi yang juga banyak dimuat dalam buku ini seolah menjadi penawar sinisme pihak-pihak yang anti-Gus Dur untuk melihat lebih jernih dan komprehensif mengenai sosok ini. Waliyullah atau bukan, itu hak prerogratif Allah dalam menentukannya. Yang pasti, Gus Dur adalah sosok istimewa yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia.
----
Judul: “Bukti-Bukti Gus Dur itu Wali: 99 Kesaksian Tak Terbantahkan dari Sahabat, Orang Dekat, Kolega dan Keluarga”

Penulis: Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin

Penerbit: Renebook, 2014 Halaman: xxviii + 224

Peresensi: Rijal Mumazziq Z (Rijal Avisa), direktur sebuah penerbitan buku di Surabaya.