Daftar Blog Saya

Kamis, 23 Januari 2014

Oleh:Kiai Budi Harjono

Kiai Budi Harjono
Kiai Budi Harjono

"Nini-Nini" Cinta

22 Januari 2014 pukul 12:11

SEDULURKU TERCINTA,pada masa kecil saya,pernah mendengar dendang lagu yang menyayat karena ada seorang yang mencari "popok beruk" yang hanyut di sungai,lalu bertemulah si pencari itu dengan orang yang "guyang jaran",tetapi si pengguyang kuda itu tidak menemukan dalam arus sungai,terus bertanyalah kepada orang yang "guyang sapi",tetapi juga tidak menemukan "popok beruk" itu.Kemudian bertanyalah si pencari itu kepada orang yang "guyang kebo",namun tidak menemukan popok itu juga.Sambil tetap menangis,bertemulah si pencari itu seorang perempuan tua yang baru "mesusi beras" atau mengayak beras dengan air sebelum dimasak,dengan jujur si nini itu menemukan yang dicari,yakni popok beruk yang terhanyut di sungai.Syairnya saya tidak hapal benar secara keseluruhan,namun nyanyian sendu itu kini mengusik hatiku,sepertinya tembang sendu itu merupakan simbolisasi dari seorang yang melakukan perjuangan mencari "popok",dimana hal ini merupakan simbolisasi mencari insanul kamil dalam diri yang dimulai dari "popok":lembaran kain yang untuk mengamankan bayi dalam perkembangannya.Kepedihan mencari "popok" yang terhanyut dalam sungai saat di cuci inilah,bagai kepedihan seorang yang mencari kesempurnaan diri dalam arus kehidupannya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa kekhalifahan mansuia itu sesungguhnya adalah "rentangan" kedudukan antara binatang,manusia,dan adi-manusia atau insanul kamil itu.Untuk inilah,tiap manusia musti melewati dan melampaui kebinatangan--dalam nyanyian itu bertemu dengan berbagai orang yang guyang binatang,dan hanya manusia yang sungguh-sungguh dalam memiliki "harapan" yang bisa mencapai kedudukan khalifah atau wakil Tuhan di bumi,dan akhirnya si pencari itu menemukan "popok" pada si pencuci beras.Si nini-nini ini merupakan simbol seorang ahli yang mampu mengolah dari padi hingga nasi untuk persembahan kehidupan.Demikianlah sebenarnya dalam perjalanan seseorang untuk mencapai derat kekhalifahan di bumi,musti melampaui jiwa kebinatangan,karena jiwa kebinatangan merupakan bentuk nyata masih adanya kecintaan pada diri secara berlebihan,berjalan terseok karena memanggul beban keinginan nafsu dan pamrih duniawi,akhirnya beban yang dipanggul bisa berubah menjadi "monster" mengerikan karena menjelma menjadi binatang bagi sesamanya.

Pada sisi lain,manusia adalah binatang yang lebih tinggi derajatnya,kelebihan ini nampak pada kesadarannya akan memiliki "kuasa-kuasa kodrati" insanul kamil dalam kerangka sebagai wakil Tuhan di bumi.Namun kesadaran ini kadang berhenti dalam taraf "pemikiran dan pemahaman" belaka.Dalam kaitan ini maka menjelmalah manusia yang masih cenderung mengkaitkan kekhalifahan dengan kepentingan-kepentingan pribadinya.Kemudian manusia yang paling tinggi derajatnya adalah manusia yang bisa mewujudkan keberadaan dalam dirinya sebagai "adi-manusia",yakni manusia sempurna yang menjadi wakil Allah di bumi.Mereka inilah "pahlawan-pahlawan pemberani" yang sudah mengepakkan sayapnya dan terbang ke angkasa meninggalkan tanah lumpur penuh biji emas yang memanggil-manggil dengan rayuan-rayuan menggiurkan.Mereka inilah,manusia penjaga keseimbangan hidup di bumi,pemelihara bumi namun tidak berhasrat terikat dengan bumi.Merekalah yang ditunggu pnduduk bumi atas kehadirannya karena selalu menjadi "rahmat" bagi lingkungannya.

Kawan-kawan,sekilas pandang akan nyanyian "man-paman" itu,bisa kita telisik lebih jauh karena di sana tertuang banyak kata-kata "simbolik" yang menyertainya.Semua yang ditemui bernuansa "mencuci",sebagaimana kata "guyang" itu membasuh kotoran yang ada pada binatang-binatang itu karena walau binatang pun bisa memberkahi,dan ditutup dengan "nini-nini" yang "mesusi",membersihkan beras yang mau dimasak untuk persembahan kehidupan.Bagaimana dengan kemanusiaan kita ini...Tabik!

Tidak ada komentar: