Daftar Blog Saya

Selasa, 07 Januari 2014

Oleh:Fidelis R. Situmorang

Fidelis R. Situmorang
Fidelis R. Situmorang
::
Di Ombak Itu

“Ada nggak yang lebih indah dari sinar mentari senja?” ucapnya memandang kaki langit.

“Ada,” sahutku cepat.

“Apa?”

“Sinar matamu.”

“Hahaha…” tawanya berderai. Ada semburat merah di kedua pipinya.

“Kamu pernah jatuh cinta?” Dia bertanya setelah tawanya berhenti.
Aku hanya memberikan senyum sebagai ganti jawaban.

“Kamu tahu nggak?” katanya lagi, “cinta itu bisa membuat segala hal yang tak mungkin menjadi mungkin. Dengan cinta, seseorang bisa berjalan di atas air.”

“Sedaaapppp..."

"Ihhh... kamu tuh kalau diajak ngomong, kok nggak pernah bisa serius sih?"

"Aku serius, kok," jawabku, lalu memasang tampang serius.

Ia memandang lekat ke wajahku. "Ternyata kalau lagi serius, muka kamu jelek banget ya... Hahaha..."

"Asemmm...!!!" Aku menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. "Terus, apa lagi yang bisa dibuat cinta?”

“Dengan cinta, aku bisa menulis namanya di ombak itu,” jawabnya menunjuk pada ombak yang bergerak lembut membelai pasir.

“Cobaaa…” kataku menantang ucapannya.

Dia bangkit berdiri dan berjalan menuju ombak. Jejak-jejak kakinya di atas pasir menambah keindahan pantai.

Tepat di mana ombak menyambutnya, dia berlutut. Membiarkan pakaian dan tubuhnya basah oleh air laut. Lalu ia menggerakkan tangannya menyentuh ombak, menggerakkan jari telunjuknya seakan-akan sedang menuliskan sesuatu.

Silih berganti ombak datang membasahi tubuh indahnya. Tapi ia tak berhenti menulisi permukaan ombak.

Aku takjub. “Aku percaya,” kataku menghampirinya, menarik tangannya dan mengajaknya ke tempat yang kering. Dia tersenyum. Ada air di matanya. Jelas itu bukan ombak.

“Sekarang kamu percaya?”

“Iya, aku percaya.”

Ya, aku percaya pada cinta yang membuatnya seperti orang sinting menuliskan nama si monyet itu di atas tubuh ombak. Tapi rasa yang ada padaku untuk si cantik di hadapanku ini, apa namanya?

******

Sudah pukul sembilan malam, tapi hujan belum juga reda. Dia memandang ke arah lampu jalan yang sinarnya dilalui butir-butir hujan.

Kupandangi setiap garis indah wajahnya. Merasa diperhatikan, dia tersenyum menoleh ke arahku. “Hujannya awet ya..."

“Iya…”

“Dinginnn…” katanya, pura-pura menggigil.

“Sini peluk…”

“Enak aja! Hahaha…”
Aku selalu suka mendengar tawanya yang berderai-derai itu.

“Semalam aku mau telpon kamu,” kataku setelah tawanya reda, “tapi takut mengganggu.”

“Kenapa nggak jadi? Telpon aja lagi, kalau pengen telpon, cuma jangan terlalu malam ya.”

“Iya. Emang semalam lagi apa?”

“Aku ngapain ya? Oh, lagi nonton film…”

“Film apa?”

“Film tentang seseorang yang bisa kembali ke masalalunya.”

“Bagus ya?”

“Bagus. Keren filmnya. Nanti aku pinjemin ya…”

“Asikkkk…”

“Eh, kita berandai-andai ya… Kalau kamu diberi kesempatan untuk mengulang apa yang pernah terjadi dalam hidup kamu, bagian mana yang ingin kamu ulang?”

“Waktu kita di pantai kemarin,” jawabku setelah berpikir sebentar.

“Kenapa?” Dia memandangku heran.

Tiba-tiba aku merasa sangat gugup. Debar jantung mulai tak beraturan.
“Kalau boleh aku mengulangnya, aku ingin namakulah yang kamu tulis di ombak itu, bukan namanya.”



Raut wajahnya berubah. Dia menatap tepat ke mataku.
“Mampus aku!” kataku pada diri sendiri. Kepalaku tertunduk, malu melihat matanya.

Tiba-tiba terasa sunyi. Beberapa saat kemudian dia memecahkan kesunyian.
“Memang nama kamu yang kutulis di situ…”

“Hah?” Kuangkat kepalaku dan menatap wajahnya.

“Iya,” katanya lagi. “Namamu yang kutulis di ombak itu.”

“Beneran? Kok bisa namaku?”

“Waktu ingin kutulis namanya, ombak-ombak kecil itu membawa wajahmu kepadaku.”

“Maksudmu?”

“Ada wajahmu di ombak itu.”

“Ngapain wajahku di situ?”

“Cengengesan seperti biasanya kamu.” Dia tersenyum.

“Terus?”

“Terus kutulis namamu di ombak itu.”

Mata kami saling memandang dalam. Hening.

“Lalu dia?” ucapku pelan.

“Kenapa kamu masih bertanya tentang dia sih, padahal namamu yang kutulis di ombak itu?”

Irama hujan yang menciumi dedaunan terdengar begitu indah. Dan seperti air hujan pada daun, wajah kami bertemu. Aku tak bertanya lagi.

Tidak ada komentar: