Tapi
Harry Chan Silalahi yang menjadi moderator pada saat itu, meski bisa
menahan diri untuk menangkis tuduhan Panda Nababan, tapi ia tetap
tenang, dan seperti biasanya penuh senyum, meski kabarnya terlihat
gugup. Beberapa hari kemudian, dengan bantuan harian Kompas (tgl. 7
September 1996), Harry Chan Silalahi memberikan wawancara khusus yang
membantah semua tuduhan Panda Nababan. Di sana dengan gaya orang rendah
hati Harry Chan membeberkan betapa salahnya orang yang menganggap CSIS
itu memainkan peranan penting pada belasan tahun pertama Orde Baru. Yang
ada sebenarnya hanya kedekatan antar individu, bukan CSIS dengan
pemerintah, kata Harry Chan.
Para pendiri CSIS itu dekat dengan pemerintah, katanya. Ia menyebutkan
dirinya sebagai tokoh KUP Gestapu (Front Pancasila), Liem Bian Kie
(Yusuf Wanandi) sebagai tokoh Golkar, demikian juga dengan Sudjati
Djiwandono. Dan tentu saja Sudjono Humardani dan Ali Murtopo yang memang
Aspri Suharto. Dr. Sudjati Djiwandono, seorang pembicara dalam acara
itu juga sulit menyembunyikan amarahnya kepada Panda Nababan.
Kepada harian Kompas, Harry Chan menjelaskan: “Pada prinsipnya CSIS
membatasi diri untuk tidak terlibat dalam soal taktis politik. Meskipun
demikian CSIS kerapkali diisukan telah melakukan hal itu. Padahal
pembahasan masalah dalam negeri yang dilakukan CSIS bersifat strategis
konsepsional”.
CSIS terbentuk, menurut Harry, pada tahun 1971 ketika Hadi Susastro dan
beberapa kawan-kawannya pulang belajar dari Eropa. Merekalah yang
mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga think tank. Tidak dijelaskan oleh
Harry bahwa sebelumnya bergiat dalam CSIS, para kader Beek itu sudah
berkiprah dalam operasi khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo.
Masih belum yakin dengan bantahannya lewat harian Kompas, sebulan
kemudian, lewat harian Nusa Tenggara (terbit di Denpasar) edisi 13
Oktoer 1996, Harry Chan muncul lagi dalam sebuah wawancara yang
menggunakan hampir satu halaman surat kabar. Di sini sekali lagi Harry
Chan melakukan cuci tangan terhadap semua tingkah laku politik CSIS di
masa jaya Ali Murtopo hingga masa akhir berkuasanya L.B. Murdani.
Penjelasan panjang lebar Harry Chan dalam koran terbitan pulau Bali itu
sepintas lalu sangat persuasif serta menyakinkan, terutama bagi generasi
muda yang tidak mengalami pergolakan politik awal Orde Baru. Tapi bagi
orang seperti saya, semua cerita Harry Chan itu sebenarnya adalah isapan
jempol belaka.
Perhatikan bahwa dalam semua penjelasan Harry Chan sama sekali tidak
pernah menyebut Opsus dan keterlibatan kaum katolik ekstrem kanan di
sana. Mereka yang tergolong generasi 66 di Jakarta masih ingat kantor
mereka (Opsus) di Jalan Raden Saleh Jakarta Pusat. Juga penjelasan Harry
Chan sama sekali tidak terdengar nama Pater Beek SJ, pastor kelahiran
Belanda yang memainkan peranan besar di balik lahirnya CSIS tersebut.
Beek adalah pastor ordo Jesuit yang sudah aktif lama di Indonesia
melakukan kaderisasi para pemuda dan mahasiswa katolik. Ia melakukan
kegiatan kaderisasinya di asrama Realino Yogyakarta, di samping
melakukan kaderisasi di Klender, Jakarta. Di Klender kegiatan itu
disebut Kasebul (Kaderisasi sebulan). Dalam kegiatan Kasebul itu bukan
cuma indoktrisasi yang dilakukan, bahkan latihan pisik yang mendekati
latihan militer juga diberikan. Di sana para kader dilatih menghadapi
situasi jika diinterograsi oleh lawan. Bagaimana meloloskan diri dari
tahanan, bagaimana survive dan sebagainya.
Latihan seperti ini ditujukan untuk mempersiapkan showdown dengan
komunis waktu itu. Kegiatan ini kemudian diketahui oleh Subandrio yang
memimpin BPI (Badan Pusat Intelejen). Akibat kejaran BPI Pater Beek
terpaksa melarikan diri ke luar negeri dekat sebelum Gestapu 1965. Beek
kembali ke Indonesia setelah Subandrio ditangkap dan BPI dibubarkan.
Sebagian dari lulusan terbaik Kasebul ini dikirim untuk latihan lebih
jauh lagi di luar negeri. Salah seorang yang berhasil dikirim keluar
negeri sebelum Gestapu adalah yang kemudian menjadi wakil komandan
Laskar Ampera, Louis Wangge almarhum. Wangge dikirim oleh Beek ke
Universitas Santo Thomas, Filipina. Begitu yang diketahui orang. Tapi
kemudian Wangge sendiri mengaku bahwa sebenarnya ia dikirim ke sebuah
pusat latihan intelejen di sebuah pangkalan Amerika di Filipina.
Cerita tentang ini semua dikisahkan Wangge setelah ia dikucilkan oleh
CSIS karena sikap Wangge yang menolak kebijakan CSIS yang anti Islam.
Dalam keadaan tegang antara Wangge dan CSIS di pertengahan tahun tujuh
puluhan, misalnya, Wangge pernah menyundut rokok menyala ke baju yang
melekat di tubuh Sofyan Wanandi dikamar kecil bioskop Menteng (bioskop
itu sudah digusur sekarang).
Saya sendiri juga pernah menjadi kader Pater Beek dan dilatih melawan
komunis. Tapi seperti juga Wangge, ketika CSIS sudah menjadikan Islam
sasarannya, dan karena CSIS menjadi tanki pemikir Rezim Suharto, juga
karena ikut berdarahnya tangan CSIS di Timor Timur, saya tidak bisa lagi
tetap berada dalam jajaran pengikut Pater Beek. Terutama setelah demi
ambisi kekuasaan dan kontrol orang-orang CSIS (Liem Bian Kie dan
Sudradjat Djiwandono) Partai Katolik pun mereka gilas. Begitu yakinnya
mereka akan pentingnya mengontrol Indonesia lewat Golkar, mereka tega
menindas Uskup Atambua (mempertahankan Partai Katolik), orang yang
sebenarnya berjasa dalam proses integrasi Timor-Timur.
Sebagai wartawan Tempo yang sudah mengunjungi Timor Timur sebelum
invasi operasi intel pimpinan Murdani, dan mengikuti perkembangan
wilayah itu hingga kini, saya tahu bagaimana permainan Murdani bersama
orang-orang CSIS dalam mengeruk uang dari Timor-Timur, setelah
sebelumnya membantai secara kejam banyak penduduk bekas jajahan Portugis
tersebut. Dengan uang yang terus mengalir (monopoli kopi yang dikelola
oleh Robby Ketek dari Solo) itulah mereka, antara lain, bisa membiayai
operasi-operasi politik Murdani bersama CSIS.
Tapi siapa sebenarnya Beek? Menurut cerita dari sejumlah pastor yang
mengenalnya lebih lama, Beek adalah pastor radikal anti komunis yang
bekerja sama dengan seorang pastor dan pengamat Cina bernama pater
Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong).
Pos china watcher (pengamat Cina) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak
sulit untuk dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan
CIA. Sebagian pastor mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di
Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi
politik katolik di seluruh dunia.
Tentang Black Pope ini tidak banyak diketahui orang, juga pastor
katolik yang tidak tahu mengenai kedudukan, peran, dan operasi Black
Pope yang sangat penuh rahasia itu. Tapi ketika almarhum Dr. Sudjatmoko
menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, ia pernah berkunjung ke Tahta
suci di Vatikan. Selain berjumpa Paus, Sudjatmoko juga jumpa seorang
Kardinal yang mengajaknya berbicara banyak mengenai keadaan di
Indonesia. Sudjatmoko merasa surprise bahwa Kardinal itu tahu banyak
tentang politik di Indonesia. Tidak lama setelah pulang ke Indonesia
sebagai pensiunan rektor Universitas PBB, pimpinan harian Kompas
mengirimkan orang kepada Sudjatmoko untuk meyakinkannya agar tidak usah
cemas masalah finansial. Kalalu ada apa-apa Kompas bersedia membantu.
Dari tawaran simpatik Kompas itulah Sudjatmoko yakin adanya kontrol
Black Pope terhadap kegiatan katolik di Indonesia.
Kembali kepada Beek, yang makin memperkukuh posisi kader Beek di mata
tentara adalah sikap mereka yang didasarkan oleh kebijakan yang
digariskan oleh Beek. Kebijakan itu dikenal sebagai Lesser evil theory
(teori setan kecil).
Setelah komunis dihancurkan olehtentara, Beek melihat ada dua ancaman
(setan) yang dihadapi kaum Katolik di Indonesia. Kedua ancaman sama-sama
berwarna hijau. Islam dan tentara. Tapi Beek yakin, tentara adalah
ancaman yang lebih kecil (Lesser evil) dibanding Islam yang dilihatnya
sebagai setan besar. Berdasarkan pikiran itulah maka perintah Beek
kepada kader-kadernya adalah rangkul tentara dan gunakan mereka untuk
menindas Islam.
Kebetulan sekali setelah Gestapu, pihak Islam (terutama mantan Masyumi)
dianggap meminta terlalu banyak imbalan jasa dari partisipasinya dalam
penumpasan Gestapu. Padahal Suharto dan pimpinan ABRI lainnya sudah
berkeputusan untuk mengelola sendiri negara dan tidak akan berbagi
kekuasaan dengan siapa pun, apalagi dengan kekuatan Islam. Ketegangan
Islam lawan tentara inilah yang melicinkan dipraktekkannya doktrin
Lesser evil Pater Beek tersebut.
Kebetulan lain adalah adanya Ali Murtopo dan Sudjono Humardani. Kedua
orang ini mempunyai sejumlah persamaan meski ada perbedaan mendasarnya.
Sudjono dan Ali sama-sama ingin mengabdi kepada Suharto. Tapi Ali
Murtopo punya rencana jangka panjang untuk berkuasa (I will be the next
president, kata Murtopo kepada wartawan Tempo, Tuty Kakiailatu, pada
masa kampanye Pemilu 1971) sedang Humardani adalah orang Solo yang sudah
bahagia jika bisa menjadi abdi dalem yang baik. Ambisi Ali Murtopo
inilah yang dimanfaatkan oleh kader-kader Pater Beek tersebut.
Banyak orang yang tidak percaya kalau Ali Murtopo (keluarga santri dari
pesisir Jawa dan bekas hisbullah di jaman revolusi) bisa menjadi orang
yang sangat anti Islam dan berjasa besar dalam menindas orang Islam di
awal Orde Baru. Yang orang cenderung lupa adalah bahwa Ali Murtopo punya
rencana berkuasa, oleh karena itu semua yang merintanginya untuk
mencapai tujuannya haruslah ditebas habis. Musuhnya bukan cuma Islam,
tapi juga Perwira-perwira ABRI yang dianggapnya sebagai perintang,
seperti H.R. Dharsono, Kemal Idris, Sarwo EdhiWibowo dan Soemitro
(Pangkopkamtib). Almarhum Dharsono (Pak Ton) difitnahnya berkonspirasi
dengan orang-orang PSI untuk menciptakan sistem politik baru untuk
menyingkirkan Suharto. Kemal Idris dituduhnya berambisi jadi Presiden.
Sedang Sarwo Edhy difitnahnya merencanakan usaha menajibkan (menendang
ke atas) Suharto.
Kader-kader Beek yang kemudian mendirikan CSIS dan waktu itu masih
berkumpul dalam Opsus tahu betul mengenai ini, dan mereka ikut membantu
Ali Murtopo mencapai ambisi berkuasanya.
Pada tahun 1974 terjadi Malari di Jakarta. Orang-orang Opsus yang
berada dibalik kerusuhan dan pembakaran-pembakaran merasa dengan itu
bisa menghabisi lawan mereka yang dipimpin Soemitro. Kemudian terbukti
memang Soemitro yang kurang canggih berpolitik itu berakhir karir
militernya dengan cara yang sangat mengenaskan. Namun yang menang juga
bukan Ali Murtopo. Suharto ternyata jauh lebih pintar dari Ali dan
Soemitro. Kedua Jenderal yang berambisi itu dalam waktu singkat habis
peranan politiknya.
Selama Ali masih menjadi orang penting di sekitar Suharto, salah
seorang kadernya disimpannya di Korea Selatan sebagai Konjen. Itulah LB.
Murdani. Sudah sejak di Kostrad pada jaman konfrontasi dengan Malaysia,
para senior di Kostrad kabarnya sudah melihat tanda-tanda adanya
rivalitas diam-diam antara Ali dan Murdani. Banyak yang menduga
perbedaan mereka pada gaya. Ali suka pamer kekuasaan, sedang Murdani
penuh kerahasiaan dan misteri. Persamaan mereka adalah semua haus
kekuasaan. Tapi dalam ingin berkuasa ini juga ada perbedaan. Ali ingin
menjadi orang yang berkuasa, sementara Murdani hanya ingin menjadi orang
yang mengendalikan orang yang berkuasa.
Tapi setelah terjadi Malari. Ali Murtopo tidak bisa lagi menghalangi
Murdani untuk tampil ke depan. Sejak itulah bintang Murdani mulai
menanjak. Murdani boleh berbeda style dengan Ali, tapi karena sama-sama
ingin berkuasa, keduanya perlu tanki pemikir. Maka CSIS yang mulai cemas
karena merosotnya posisi dan peran Ali Murtopo pada masa paska Malari,
berjaya lagi oleh naiknya Murdani.
Berlainan dengan Ali Murtopo yang ditakutkan bisa merupakan ancaman
bagi CSIS kelak ketika berkuasa (ingat Suharto yang kini berbalik kepada
Islam setelah menindasnya dahulu?) Murdani adalah orang katolik yang
kebetulan secara pribadi sangat benci kepada Islam. Karena itu lancar
saja kerjasama Murdani dengan CSIS. Sebagai orang katolik ekstrem kanan
Murdani di CSIS merasa di rumah sendiri. Itulah sebabnya mengapa
Moerdani sekarang dengan tenang bisa berkantor di CSIS (menggunakan
bekas kantor Ali Murtopo).
Dipanggil pulang dan diberi bintang dan kuasa oleh Suharto setelah
hampir terlupakan di Korea Selatan dan (sebelumnya) Kuala Lumpur,
Murdani sangat berterima kasih kepada Suharto. Merasa telah mengutangi
budi kepada Murdani, Suharto merasa dengan aman bisa menyuruh Murdani
berbuat apa saja tanpa harus takut dikhianati. MemangMurdani menjadi
“herder” Suharto yang menggigit siapa saja yang dianggap Murdani
membahayakan Suharto. Maka Suharto makin percayalah kepada Murdani.
Kepercayaan yang besar itulah kemudian yang menjadi modal bagi ambisi
lama Murdani untuk menjadi King Maker. Kepada seorang perwira Kopassus
di akhir tahun 1980-an Murdani katanya pernah berseloroh: “Buat apa jadi
orang berkuasa jika bisa dengan tanpa resiko kita mengontrol orang yang
berkuasa”. Memang itulah yang digeluti Murdani di belakang Suharto.
Keberhasilan Murdani dan Sudomo membesar-besarkan bahaya Petisi 50 (AH.
Nasution hampir ditangkapMurdani, tapi dicegah oleh TB. Simatupang)
berhasil mengecoh Suharto untuk mengeluarkan sebuah surat pamungkas yang
memberi kuasa lebih besar lagi kepada Murdani. Dengan kekuasaan amat
besar dari Suharto itulah ia dengan gampang dan cepat bisa membangun
kerajaan dan operasi intelnya (BAIS).
Menurut Wismoyo Arismunandar (mantan Kasad), orang yang mula-mula dan
dari awal punya firasat buruk terhadap Murdani adalah Ibu Tien Suharto.
Tapi karena Suharto sangat koppeg dan merasa paling tahu sendiri, baru
pada tahun 1988 Murdani berhasil disingkirkan. Tapi sebelum
meninggalkantahta kekuasaannya, Murdani sudah berhasil menciptakan
beberapa calon raja yang menurut rencana akan dikontrolnya kelak. Salah
seorang di antaranya adalah Try Sutrisno. Begitu patuh Try Sutrisno
kepada Murdani sehingga sebagai kepala BAIS, Try Sutrisno di Mabes ABRI
adalah staf yang dulu diangkat, dipercaya, dan pernah dipakai oleh
Murdani sebagai Pangab.
Dalam soal memilih kader, Ali Murtopo dan Murdani sama. Keduanya amat
berbeda dengan Pater Beek. Beek memilih pemuda dan mahasiswa Katolik
terbaik. Tujuannya adalah agar kader-kader tersebut dengan kecerdasan
dan kelihaiannya sanggup mengendalikan orang lain untuk mencapai tujuan
yang diamanatkan Beek. Pater Beek SJ tahu betul bahwa Indonesia ini
penduduknya adalah mayoritas Islam, oleh karena itu orang Katolik jangan
bermimpi untuk tampil berkuasa. (Murdani sadar akan hal ini, karena itu
ia hanya ingin jadi King Maker). Tapi mereka harus mengusahakan agar
yang berkuasa adalah orang Islam yang mereka bisa atur. Inilah
penjelasan mengapa Try Sutrisno dijagokan oleh Murdani dan untuk itu
dipakai orang Islam lain yang bisa diaturnya, yaitu Harsudiono Hartas.
Ali Murtopo dan Murdani memilih bukan orang terbagus yang ada untuk
jadi kader, tapi orang-orang yang punya cacat atau kekurangan, (orang
yang ketahuan korup, punya skandal, bekas pemberontak, mereka yang ingin
kuasa, ingin jabatan, ingin kaya cepat, dan sebagainya). Orang-orang
demikian mudah diatur. Perbedaan inilah justru yang menyebabkan Ali
Murtopo dan Murdani mudah bekerjasama dengan kader-kader Pater Beek SJ.
Lewat tangan Ali Murtopo dan Murdani cita-cita dan rencana Beek SJ
pernah berhasil dijalankan dengan saksama. Meski tragis, tapi inilah
yang penjelasannya mengapa yang melaksanakan kebijakan anti Islam (lewat
tangan Ali Murtopo dan Murdani) kebanyakan adalah orang-orang Islam
yang tidak sadar diperalat oleh Ali Murtopo dan Murdani untuk ambisi
mereka masing-masing.
Sumber :apisuci.blogspot.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar