Pengajaran Agama Interreligius
6 Januari 2014 pukul 7:44
(Kompas 4/1/2014)
Pengajaran Agama Interreligius
Achmad Munjid
Di
Yogyakarta dan sejumlah kota, kini kian banyak bermunculan papan
bertulis “kos khusus Muslim”, “kompleks perumahan Muslim”, bahkan “makam
Muslim”. Di negeri mayoritas Muslim di mana Islam menjadi kekuatan
penentu hampir untuk semua urusan, fenomena itu bisa dibaca sebagai
keengganan, jika bukan ketakutan sebagian orang untuk menerima
keragaman.
Jika dikontraskan dengan semboyan resmi
negara Bhinneka Tunggal Ika, perkembangan tersebut sekaligus merupakan
indikator bahwa kemampuan sosial untuk melakukan navigasi dalam
masyarakat yang sejak awal dibentuk oleh pluralitas kini kian lumpuh.
Muatan dan pendekatan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum/negeri,
menurut saya, turut memainkan peran kunci dalam soal ini. Ia adalah
salah satu penyebab penting mengentalnya eksklusifisme sektarian tadi,
tapi sekaligus juga merupakan peluang untuk mengatasinya.
Tentu
saja semua orang tahu, bahwa sejak awal kita hidup dalam masyarakat
yang plural, termasuk dalam hal agama. Namun, tanpa ada norma bersama
dan cara pandang yang positif mengenai pluralitas, paling jauh kita
hanya bisa punya toleransi ogah-ogahan, lazy tolerance, dalam
istilah Paul Knitter. Dalam kondisi ekonomi dan politik yang stabil,
mungkin itu tidak menjadi soal. Namun dalam situasi sulit, apalagi
krisis, absennya norma bersama dan sikap yang positif mengenai
pluralitas tadi adalah ibarat “rumput kering” yang gampang sekali
berubah menjadi kobaran konflik begitu ada percikan api.
Norma
bersama dan sikap yang positif mengenai pluralitas itu bisa dibentuk,
menurut Michael Grimmit (2006), jika keragaman dianggap identik dengan
relasi saling melengkapi. Pluralitas tidak semata dipahami
sebagai kenyataan yang membuat orang “terpaksa” saling berdampingan,
tapi adalah peluang untuk bekerjasama dan saling memperkaya. Masyarakat
yang plural secara agama bisa tegak jika ditopang oleh norma dan sikap
yang juga pluralis. Untuk konteks setelah 1965, muatan dan model
pengajaran agama di sekolah umum/negeri sangat menentukan hadir atau
tidaknya norma bersama dan sikap positif tersebut.
Selain status pelajaran agama di sekolah umum perlu diubah dari “wajib” menjadi “pilihan” seperti pernah saya usulkan (Kompas
26/3/13), pengajaran agama yang menggunakan model monoreligius juga
perlu diubah menjadi multireligius dan interreligius. Selain telah
membuat orang “buta” tentang agama lain, model pengajaran monoreligius
yang hanya mengajarkan agama sendiri cenderung membuat orang bersikap
pasif terhadap keragaman, jika bukan, malah menarik diri seperti
terlihat dari munculnya banyak kos, perumahan dan makam Muslim itu.
Perlu segera diganti
Polemik
tahunan di kalangan Muslim tentang haram-tidaknya mengucapkan “Selamat
Natal” adalah contoh populer lain yang beberapa waktu lalu kembali kita
dengar. Karenanya, jika kita tidak ingin terjebak ke dalam kubangan
persoalan yang lebih dalam, model monoreligius ini perlu segera diganti.
Model-model
mono-, multi- dan interreligius bukanlah kategori tingkatan di mana
yang satu dengan sendirinya lebih unggul ketimbang yang lain.
Masing-masing bisa menjadi model yang efektif menurut konteks yang
berbeda. Model monoreligius, misalnya, merupakan metode yang efektif
untuk tujuan internalisasi dalam rangka meningkatkan kualitas iman
seperti yang dilakukan di pesantren atau seminari, di mana peserta didik
memang punya latar belakang agama yang seragam.
Untuk
menghindari kekhawatiran yang berlebihan, model monoreligius ini masih
bisa diterapkan untuk sekolah umum tapi hanya di tingkat sekolah dasar.
Untuk
sekolah menengah, model mutireligiuslah yang semestinya digunakan.
Melalui model ini, siswa berkesempatan untuk mendapatkan pemahaman yang
informatif-deskriptif tentang berbagai agama di sekitarnya. Dengan
demikian sejak dini siswa belajar untuk mengapresiasi dan bersikap
toleran terhadap para penganut dan warisan tradisi berbagai agama. Norma
bersama dan sikap yang positif terhadap pluralitas hanya bisa dibentuk
melalui proses yang panjang, antara lain melalui model pengajaran
semacam ini.
Di perguruan tinggi umum/negeri,
model yang paling efektif adalah interreligius. Jika model multireligius
menekankan pengajaran agama-agama yang bersifat deskriptif, informatif
dan “obyektif” tentang doktrin, ritual dan sejarah agama tertentu, model
interreligius bergerak lebih jauh dengan menekankan aspek “dialog”.
Meskipun
telah berusaha seobyektif mungkin, seorang Muslim yang mempelajari
agama Kristen, misalnya, mustahil bisa memahami agama itu sebagaimana
yang dilakukan oleh penganut Kristen. Memang bukan itu tujuannya. Karena
itu, selain kemampuan memperoleh informasi dan melakukan deskripsi
berbagai agama secara memadai, dengan mempelajari agama-agama tersebut,
yang lebih penting mahasiswa belajar melatih kemampuan untuk melakukan
dialog melalui proses dialektis “berbicara” dan “mendengar”, “melihat”
dan “dilihat” dengan menggunakan berbagai perspektif secara kritis.
Seorang
mahasiswa Muslim yang mempelajari “zaman kegelapan” Kristen Abad
Pertengahan, misalnya, tidak terutama bertujuan untuk menemukan
bukti-bukti realitas sejarah Kristen yang kelam untuk kemudian
dikontraskan dengan wajah ideal Islam. Melainkan, untuk memahami secara
empiris bagaimana penggal sejarah itu terjadi dalam agama Kristen dan
apakah hal yang sama juga terjadi dalam kurun dan bentuk yang mungkin
berbeda dalam sejarah Islam dan mengapa. Begitu pula sebaliknya. Banyak
orang terampil memilih apa yang riil dalam agama lain untuk dikontraskan
dengan apa yang ideal dalam agama sendiri. Tapi apa hasilnya selain
saling curiga, salah paham dan kian berkobarnya rasa saling permusuhan?
Pemahaman kritis
Melaui
proses dialog tersebut seseorang bisa mendapatkan pemahaman kritis yang
lebih baik, serta sikap dan tindakan yang lebih tepat dan saling
memperkaya dalam perjumpaan agama-agama. Dialog, sebagaimana dikemukakan
Leonard Swidler (1990), tentu akan “mengubah” pelakunya. Artinya,
seorang yang mempelajari agama lain—sebetulnya juga apa saja—akan
mendapat pengaruh yang kemudian mengubah persepsi, sikap dan
tindakannya.
Namun, jika dilihat secara positif,
mengikuti John Cobb (1999), perubahan tersebut justru mencerminkan
pemahaman yang lebih “diperkaya” dan “tercerahkan”, baik tentang agama
sendiri maupun agama orang lain. Sebab, sembari mempelajari “yang lain”,
melalui dialog itu seseorang sebetulnya terus-menerus diajak untuk
merefleksi dan mengenali kembali “diri sendiri” secara lebih intensif
dari berbagai perspektif.
Ini sekaligus menegaskan
bahwa studi dan pengajaran agama model interreligius, dan juga
multireligius, tidak perlu menyeret orang kepada “pendangkalan akidah”
atau relatifisme agama, sebagaimana kadang dikhawatirkan. Sebaliknya,
studi dan pengajaran agama model multireligius dan interreligius
merupakan suatu metode yang efektif untuk membentuk norma bersama dan
sikap yang positif terhadap pluralitas agama, sehingga perjumpaan agama
bisa menjadi kesempatan untuk saling memperkaya dan bekerjasama, guna
mengaktualkan potensi setiap pribadi pemeluk agama secara optimal dalam
pergaulan kemanusiaan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar