Daftar Blog Saya

Rabu, 08 Januari 2014

Oleh:Gunawan Budi Santoso (Kang Putu).

Gunawan Budi Santoso
Gunawan Budi Santoso
PERLAWANAN: SEPERTI GELOMBANG MENDEMPUR PANTAI

"dulu, musuh kita satu. sekarang banyak. jadi jika hendak menggulirkan perubahan, kita kesulitan menyatukan kekuatan yang terpecah, terfragmentasi, bahkan dikuasai hasrat saling meniadakan itu," ujar seseorang.
"sejak dulu sampai sekarang musuh kita satu dan sama. persepsi berbedalah yang memunculkan kesan bahwa musuh kita banyak, sehingga sering jadi dalih: tak gampang memfokuskan perlawanan. sekali lagi, musuh kita tetap satu: keserakahan dan keculasan.
di dunia politik, hasrat dan syahwat berkuasa membuka peluang keserakahan dan keculasan mengemuka. namun karena semua, setiap partai misalnya, berkehendak atau paling tidak bermimpi menjadi partai penguasa, mereka saling menutup kemungkinan menjadi pemenang tunggal. itulah, antara lain, yang mendasari kemunculan syarat ketercukupan perolehan suara bagi partai untuk bisa mencalonkan presiden.
di sektor perekonomian, dunia usaha, pengusaha berupaya mengonsolidasikan modal dan pasar dalam satu rengkuhan tangan. muncullah penguasaan bisnis dari hulu ke hilir, muncullah monopoli. nah, ketika penguasa politik dan penguasa dunia usaha, pengusaha, bergandeng tangan atau bahkan menyatu dalam kesatuan: itulah musuh bersama kita. dan, itulah yang kini menjadi kecenderungan!" sahut seseorang yang lain.
"jika benar kecenderungannya seperti itu, bagaimana mesti melawan?"
"memang tak gampang menyatukan seluruh eksponen perlawanan dalam satu barisan, jika barisan itu sampean pahami sebagai sekali sapu, bersihlah semua. macam badai topan, macam tsunami. padahal, gerakan perlawanan semestinya dipahami seperti gelombang di lautan, yang terus-menerus, susul-menyusul, bergerak menuju pantai. nah, kalaupun analog itu kita setujui: toh tak cuma ada satu cara itu menuju ke pantai – lalu menyerbu ke sarang musuh. ada yang berselancar, menunggangi gelombang. ada yang diam-diam mendayung atau datang mengembangkan layar. macam-macam. mereka datang dari segenap arah mata angin, dengan berbagai cara, dengan berbagai peralatan."
"tapi bukankah segenap sektor kehidupan sudah terlemahkan oleh pergerakan politik dan ekonomi, sehingga setiap potensi perlawanan sudah teredam?"
"apa iya?"

* apa iya? diam-diam, saya menyimak. diam-diam, saya tertular harapan….

"iya! lihatlah dunia pendidikan, misalnya, tak memunculkan generasi baru intelektual yang kritis. para mahasiswa cuma jadi gerombolan pencari nilai, bukan pencari kebenaran lewat jalan keilmuan."
"tidak juga. atau paling tidak, tidak semua. masih selalu ada mahasiswa dan dosen yang menghayati dunia akademis, dunia keilmuan, di perguruan tinggi dengan semangat pencarian kebenaran lewat jalan keilmuan dan dengan basis kejujuran dalam setiap ucapan, pikiran, dan tindakan mereka."
"ah, kalaupun ada toh mereka minoritas!"
"ya, dulu pun yang disebut pejuang, disebut pembangkit kesadaran kebangsaan, atau apa pun juga minoritas. sekelompok kecil, yang kemudian mampu menjadi solidarity maker, mampu menyebarluaskan gagasan dan ajakan untuk melawan. kini, sampean tahu juga ada kaum muda, baik dosen maupun mahasiswa, yang bertekun meneliti dan kemudian memublikasikan hasil penelitian mereka dalam berbagai cabang keilmuan bukan? mereka juga menghimpun diri dalam berbagai lapangan kehidupan, berbuat sesuatu untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik."
"tetapi gerakan mereka percuma saja bukan jika tidak dilandasi kesadaran ideologis bahwa kita masih dan terus terjajah, misalnya kita sepakati, oleh kekuatan modal mondial yang berkawin-mawin bukan tanpa perselingkuhan dengan para politikus pengejar kekuasaan, para pengusaha penumpuk laba dan riba, serta para penguasa pengumpul rente?"
"jangan sinis dan insinuatif begitu. sampean kan sudah baca pula buku-buku yang menyorot secara kritis sistem pendidikan kita, misalnya yang ditulis Edi Subkhan, atau menohokkan kenyataan soal budaya kekerasan yang diintroduksikan oleh kebersatuan ikekuatan modal, politik, dan intelektual neoliberalis yang ditulis Wijaya Herlambang. juga kepalsuan ideologis dan keberpihakan kaum intelektual gadungan yang acap diguncang oleh buku dan tulisan Martin Suryajaya, misalnya? bukankah, jika itu dilakukan terus-menerus, silih berganti, macam gelombang mendempur pantai?"

* sungguh, diam-diam, saya makin bertekun menyimak.

"okelah kalau begitu. tapi di bidang lain, di sektor kehidupan yang berbeda?"
"ah, jangan menutup mata, berpura-pura tak tahu, atau bersikap bak gajah di pelupuk mata tak tampak! sampean kenal Azis Wisanggeni, Imam Bucah, dan banyak sekali kawan di pati bukan? mereka terus bergerak, lagi-lagi bagai gelombang di laut, mengembalikan kesenian ke kancah nyata kehidupan masyarakat lewat gosek tontonan. juga kawan-kawan di rembang, macam Allief Zam Billah, Mulyanto Ari Wibowo, dan lain-lain yang menyodokkan paket berkesenian di ruang publik: kethek ogleng baca puisi. jangan alpa, mereka bergerak sepenuh hati sepenuh daya: berkesenian dengan basis kesadaran ekologis. eco-art! maka ketika pegunungan kendeng utara hendak dieksploitasi, sembari meniadakan hak hidup para petani, mereka pun melawan, terus melawan. dan di blora, sampean tahu ada Sariman Lawantiran dan Pank'Gon Mbalelo yang tak lelah mendampingi kawan-kawan petani yang terancam tak bisa bertani -- melawan penyerobotan tanah dan perebutan air oleh aparat perhutani dan pertamina.
ingat juga Kelana Siwi Kristyaningtyas dan kawan-kawan di kendal, yang berkesenian dengan kesadaran ideologis: menciptakan ruang kehidupan bersama yang makin memanusiakan manusia. dan di jalanan, tak perlu jauh-jauh, sampean tentu tahu rekam jejak kawan-kawan macam Catur Adilaksono dan Yuli Bdn di semarang bukan? berbelas tahun mereka mendampingi anak-anak jalanan. ya, berbekal semangat altruistik, menafikan pukauan konsumtivisme, mereka memberdayakan potensi kreatif anak-anak jalanan. berupaya memutus mata rantai eksploitatif dalam balutan kekerasan yang membuat hidup mereka rentan dalam segala hal."
"apakah gerakan mereka efektif?"
"seefektif apa yang sampean bayangkan? macam serbuan topan badai atau gelombang tsunami? sampean menyadari tidak bahwa badai, bahwa tsunami, adalah gerak alam yang dibutuhkan, tetapi acap tak diinginkan. adalah pilihan cerdas bukan jika gerakan perubahan itu lebih menyerupai gelombang yang terus mendempur pantai? dan jika perlu, kelak, muncullah tsunami, muncullah badai topan!"

* ah, sebisa-bisa saya menahan lelah, menahan kantuk: agar tak kehilangan arah dan pemahaman ketika mendengarkan mereka berbincang.

"dan apakah sampean lupa pula gerakan Sosiawan Leak dan kawan-kawan, yang menggencarkan penulisan dan pembacaan puisi antikorupsi di seantero negeri? bukankah itu tak bisa sampean nafikan, lalu sampean bilang sebagai klangenan belaka? juga gerakan kawan-kawan mangga-pisang-jambu project – antara lain Daniel Hakiki, Akhriyadi Sofian, S Niam Atawa Daim, Adhitia Armitrianto, Ninik Jumoenita – yang mengusung lakon teater ke sana-kemari untuk menebar sikap antistigmatisasi, menahan dan melawan laju pemberangusan terhadap hak hidup minoritas, untuk membangun saling pengertian.
dan dari kalangan kiai, sampean tentu tak bakal memungkiri kiprah Gus Mus – yang dengan berbagai daya, cara, dan media telah menjadi suar bagi siapa pun yang merasa menumbuk tembok pejal dan kelam. ada pula Kiai Budi II, yang terus berjalan menguarkan semangat saling mencintai antarumat, antargolongan, antariman sembari menanam pepohonan di mana pun dan kapan pun."
"jadi tak semestinya saya nglokro, merasa sendirian menghadapi karut-marut keadaan di negeri ini?"
"tentu, tentu tak selayaknya sampean merasa sendirian. masih banyak, amat banyak, pekerja segala bidang yang terus bergerak dengan kesadaran penuh: mengubah keadaan menjadi lebih baik. sampean kenal Khamid Istakhori bukan, yang tak lelah-lelah bersama banyak kawan buruh, menuntut dan berjuang bagi penghapusan buruh alih daya, outsourching? mereka terus berjuang menuntut perbaikan kehidupan kaum buruh dalam segala segi."
"tetapi bukankah mereka bergerak sendiri-sendiri?"
"mereka bergerak bersama-sama, tetapi di lapangaan berbeda-beda dengan pilihan cara dan jalan berbeda. ada saat, kelak, mereka bertemu, dalam ikatan temu gelang."

* semoga, semoga, tak terlalu lama lagi…

"jangan lupakan pula gerakan kawan-kawan syarikat di berbagai kawasan, terutama di jawa tengah. di batang, misalnya, ada Herry Anggoro Djatmiko, Burhan AS, dan M Arif Rahman Hakim. mereka berbelas tahun pula diam-diam, tanpa banyak eksposing, mendampingi dan menyambung tali silaturahim dengan para survivor, para korban politik pasca-1965.
nah, gerakan di berbagai lapangan hidup, di berbagai kawasan, oleh berbagai eksponen, itu – apalagi jika kelak bersatu dalam buhul ikatan temu gelang -- bagai gelombang lautan yang tak henti-henti mendempur pantai. itulah yang bakal mengubah negeri ini menjadi jauh lebih menyamankan untuk hidup, jauh lebih menyejahterakan, jauh lebih adil dan aman. bukan partai politik, bukan politikus, bukan pegiat apa pun yang bersemangat partisan!"
"semoga saja analisis sampean, yang maaf berbau ramalan, itu menjadi kenyataan."
"respons sampean kok bernada skeptis begitu? apakah sampean sudah kehilangan keyakinan? apakah sampean sudah kehilangan harapan?"
"mungkin. bukankah selama ini selalu muncul pula para pencoleng kekuasaan dalam setiap gerakan perubahan? itu pula yang terjadi setelah 1998 bukan?"
"mungkin. tetapi apakah perkara semacam itu mesti mengendurkan semangat untuk mengubah keadaan? pengalaman dan pengetahuan bahwa selalu ada pencoleng kekuasaan, kaum oportunistik, yang mengail dalam setiap kekeruhan, untuk keuntungan pribadi dan golongan, mesti kita sikapi sejak dini."
"bagaimana pula kita mesti menyikapinya? dengan terus memicingkan mata, yang bisa saja tergelincir menjadi kecurigaan dan justru menumbuhkan perasaan dan sikap saling tak memercayai?"
"ya, berbagai eksponen itu perlu bertegur sapa, perlu duduk dalam forum bersama: berbagi pengalaman dan pemahaman sehingga menumbuhkan saling pengertian."

* ho-ho-ho… rasanya makin memberikan pengharapan saja….

Tidak ada komentar: