Daftar Blog Saya

Selasa, 07 Januari 2014

Cerpen

Vicky D Apeck
Ilustrasi Lukisan Vicky D Apeck
Bidadari yang Menyisakan Es Krim di Bibirnya

Cerpen:Adhi P. Nugroho

BIDADARI memasuki kafe saat remang senja merambat penuh. Sebentar saja duduk di kursi dekat dinding kaca, seorang lelaki berwajah sendu, bertubuh ceking, mengenakan pakaian yang berkesan tak sesuai dengan usianya, datang menghampiri. Di tempat itu memang sepi. Hanya tampak beberapa pengunjung berjalan menuju ke tempat duduk. Tapi bukankah itu yang mereka inginkan: melakukan pertemuan tanpa terganggu geliat riuh pengunjung lain. Telapak tangan mereka kemudian bertangkup.
Minuman langsung dipesan. "Es krim cokelat," ujar Bidadari, tanpa menunggu pelayan kafe menyematkan daftar menu. Si lelaki yang sibuk membaca situasi terheran-heran mendengar pesanan Bidadari. Es krim? Kenapa pula bukan cappuccino atau…  Tapi rupanya ia lekas memaklumi. Dan entah kenapa ia justru menyamakan pesanan. Si lelaki  melempar senyuman canggung pada seseorang yang kini berada dekat di hadapanya. Seseorang itu menerima dengan canggung pula.
Kegamangan meruap sejenak. Lelaki itu goyah. Terlebih Bidadari.
"Sudah lama ya?" Gugup sebetulnya lelaki bernama Bahrudin itu bertanya.
"Belum." Pun Bidadari kala menggubris tampak rona gemetar menyerupai rengekan balita yang tandas dari genggaman tangan sang ibu di keramaian pasar.
"Ee, sendirian?"
Sial. Mungkin Bahrudin menggerutu. Menyalahkan diri sendiri. Pergolakan rasa yang membuatnya makin gusar menaklukkan kegugupan. Sungguhpun ini bukan kali pertama bertemu seorang perempuan. Pada akhir pekan, klien yang sebagian besar perempuan acap mengajak bertemu empat mata untuk membahas urusan pekerjaan. Namun bukan kali ini. Yang tak seperti biasa ia rasa begitu santai dan menikmati.
"Ya, sendiri." Tanggap Bidadari seraya menyeret segelas es krim cokelat dingin.
Beruntung. Sejenak Bahrudin mampu mengusai. Dengan mengatur hela napas. Mengganti posisi duduk. Serta sesekali mengoperasikan ponsel seolah sibuk membalas puluhan SMS.
"Enak es krimnya?" Pertanyaan tak penting. Andai ada kalimat lain dapat keluar dari benaknya.
"Enak."
"Suka es krim?"
Apa boleh buat. Bahrudin melanjutkan.
Bidadari mengangguk. Mengangguk saja. Tidak pula disertai sesungging senyuman. Sesungging saja. Padahal Bahrudin mengharapkan itu. Atau setidaknya, bahasa tubuhnya berisyarat sehingga lebur sudah segenap kegugupan keduanya. Tapi tidak. Seluruh diri Bidadari kaku. Beku.
"Kenapa?" Tiba-tiba Bahrudin menembak. Ia bahkan tak menyadari ucapannya barusan. Seketika kedua bola mata Bidadari terbelalak. Dagunya naik.
"Ee… nggak papa."
Dan kelengangan kembali hadir saat tak diinginkan. Diam-diam lelaki paruh baya itu mulai menjelajahi sosok perempuan di hadapannya. Sepasang lengkung alis melebat di atas kedua mata bulat. Serasi dengan pipi cembung yang merona berkat sapuan make up masa kini. Bibir merahnya itu yang sebetulnya mengundang hasrat purbanya sejak kali pertama menyaksikan melalui foto. Selebihnya tentu tak bisa disangkal lagi kemolekan tubuh yang ditawarkan dari balik pakaian serbaterbuka itu. Bahrudin menghela napas.
"Aku suka es krim sejak kecil." Kali ini Bidadari angkat bicara. Kelengangan pecah. Kepala Bahrudin terasa ringan. Sebuah sambutan baik. Bidadari pun menyadari bahwa tidak semestinya ia bisu. Maka seperti telah tertuntun, kini bibirnya terasa lentur digerakkan.
"Rasanya enak. Manis. Aku paling suka rasa cokelat. Ibu suka memberiku es krim. Kalau aku rewel, Ibu selalu memberiku es krim."
Bahrudin hanya menyimak bagaimana Bidadari mengapresiasikan benda semipadat yang hanya akan membuat linu gigi-giginya itu.
"Tapi sekarang sudah nggak lagi. Ibu nggak seperti dulu."
Mengerutlah dahi Bahrudin.
"Kenapa?"
"Karena…." Bidadari mengucap sambil menundukkan kepala. Praktis garis matanya luput dari perhatian Bahrudin. Ia tak bisa menebak. Kata terakhir yang menggantung itu membuat Bahrudin ingin tahu.
"Kenapa?"
Bidadari tak lekas menggubris. Diam. Obrolan berjeda cukup lama. Bahrudin mulai gelisah oleh waktu yang terulur sia-sia. Ia keluar dari obrolan. Tak terasa di luar, gelap telah menyingsing. Matanya menyusuri segala apa yang tertayang di sana. Para pengunjung kafe mulai ramai berdatangan. Satu, dua, tiga. Hingga penuh. Hingga raib segenap kegugupan. Benaknya kini memusat pada satu keputusan pasti.
Seraya menyambar tas, ponsel, dan kunci mobil, Bahrudin mengajak. "Kita langsung saja ya." Seraya mengembangkan senyuman pula Bahrudin menggamit lengan Bidadari. Namun rupanya Bidadari menanggapi dengan bahasa lain. Bahasa yang membuat Bahrudin menahan langkah.
"Maaf."
Bahrudin seketika melompong. Sekonyong-konyong dia jumpai luapan air menggenang di mata sembap Bidadari. Basah. Perlahan-lahan menderas. Luruh.
"Ada apa?" Bahrudin bertanya-tanya sebab apa ia menangis.
"Maaf." Samar terdengar suara yang dibarengi isak. Bahrudin lantas mendekatkan telinga.
"Aku minta waktu sebentar. Boleh kan?"
Mendengar isak tangisnya yang memberat, Bahrudin duduk kembali. Sial. Seperti awal semula, ia dibuat tak berkutik. Bahkan lebih dari sekadar tak berkutik. Mereka sama-sama bergeming. Bergeming hingga memancing tatapan penuh selidik dari beberapa pengunjung kafe.
Bagaimana ini? Bahrudin menggumam. Jelas raut wajahnya mencuatkan kepanikan. Mendadak terbesit niatan mengurungkan saja. Tapi? Lagi-lagi ia harus menimang-menimang kembali keputusan yang bahkan nuraninya menolak. Bagaimanapun semestinya ia sadar. Mau berupaya lebih bijak menyikapi sekelumit masalah dengan istrinya. Soal bahtera rumah tanggga yang dibina bertahun-tahun lamanya itu. Bahrudin memaklumi betul, ketika istrinya menyarankannya agar menikah lagi. Mengawini perempuan mana pun yang ia maui. Tentu perempuan yang sehat dan segar. Sehingga apabila malam senyap tiba, Bahrudin tak perlu lagi bertikai dengan gejolak batinnya.
"Tentu boleh. Tapi… tolong kamu jangan menangis lagi ya?"
"Maaf."
"Santai saja."
"Maaf." Berulang-ulang kata maaf keluar dari mulut Bidadari.
"Es krimnya belum dihabiskan kan."
Bidadari patuh. Perlahan jemarinya menyeka lelehan air mata. Isaknya lamat-lamat sirna.
"Maaf, di bibirmu."
"Apa?"
Tubuh Bahrudin menjorok mendekati. Leluasa jari jempolnya menyapu segaris es krim di bibir Bidadari. Sebuah sentuhan yang lebih pantas dialamatkan oleh seorang bapak untuk anak gadisnya. Semburat senyuman palsu terurai pada keduanya. Cukup meredakan ketegangan yang membubung.
Mudah memang dilakukan, Bahrudin lalu merenung. Mudah baginya mendapatkan perempuan mana pun yang ia kehendaki. Dia lelaki matang, lemah lembut, dan penyayang. Lengkap dengan gaji di atas rata-rata. Kemampuan menafkahi dua orang istri sekaligus. Itu jika ia berkeinginan. Nyatanya ia lebih mengacuhkan bisikan lain.
Selama itu pula. Sepatutnya Bahrudin menyadari dan malu akan statusnya sebagai kepala rumah tangga. Dua orang anak tumbuh besar. Sulungnya mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Mapan. Sudah beristri. Si bungsu berada di luar kota, menyelesaikan tugas akhir. Keharmonisan rumah tangga sejatinya senantiasa tumbuh subur. Tidak terjadi gesekan berarti. Hanya masalah kecil yang teramat mudah dipecahkan. Kedua anaknya tak pernah mangkir melayangkan kabar. Menanyakan apa pun perihal keadaan di rumah. Tapi keretakan muncul setelah diketahui sebuah penyakit bersarang di tubuh istrinya, ibu anak-anaknya. Bahrudin merasa sangat kehilangan sebagian dari kebahagiaan hidupnya. Makin hari suasana di rumah terasa kian sunyi. Bagai muncul sekat yang merentangkan kelekatan mereka. Pun anak-anak yang memilih tetap tinggal di tempat yang tak semestinya mereka tinggal. Justru lebih mempertimbangkan membayar perawat untuk mengurusi segala keperluan sang ibu.
"Kawin lagi? Itu sama saja kau membuang istrimu." Menjadi pertimbangan berat bagi Bahrudin, kala seorang kawan mengutarakan sanggahan yang sungguh menyudutkan itu. Serta merta membayangkan bagaimana ketika ia menggilir istri keduanya nanti. Meninggalkan istri pertama seorang diri di rumah. Terkapar menahan sakit mengganda. Merenungi nasib untuk lebih acap terabaikan. Jelas tidak pernah terbayangkan olehnya. Terlebih apabila ia ingat curah kasih sayang istri yang senantiasa mengalir tulus tanpa banyak menuntut. Meladeni sekuat tenaga, meski jelas kini kerapuhan demi kerapuhan mengikis kesetiaan melayani kebutuhan batin sang suami. Bahrudin benar-benar tak sanggup melakukan.
"Itu yang tak aku inginkan."
"Nah."
"Bertahan?"
"Tidak juga, jika tanpa sepengetahuan istrimu. Bahkan kau bisa mendapatkan yang belum pernah sekalipun tersentuh."
Tidak! Bagaimana mungkin. Gila! Awalnya Bahrudin sangat mengutuk tawaran rekan sejawat itu.
Apalah daya. Tiga tahun berlalu. Malam-malam senyap terasa makin mencekik. Melumpuhkan separuh kewarasannya sebagai suami setia. Ia lunglai dan kalah. Hingga akhirnya ia mengamini tawaran gila itu.
"Mau tambah lagi es krimnya?"
Bidadari menggeleng. Bahrudin ragu mengatakan jika waktu sudah habis untuk sekadar menyantap segelas es krim lagi. Ia ingin apa yang akan dilakukan nanti santai, tanpa paksaan. Untung, Bidadari segera bisa menangkap tanda. Dan pergerakan tubuh Bidadari membimbing Bahrudin untuk bangkit dan berkemas.
"Ke mana?"
"Hotel."
Benar, Bahrudin menghadapi dilema. Merasa semua jalan sudah buntu. Mau tak mau keputusan itulah yang kemudian ia pilih. Toh hanya semacam kenakalan kecil seorang lelaki, tepatnya seorang suami yang didera kemalangan. Sekali saja. Tak masalah.
Jika saja. Andai Bahrudin sedikit mau menerima. Sedikit mensyukuri. Bahwa bukan hanya ia saja yang mengalami. Bahwa banyak orang yang mungkin senasib. Bahkan jauh lebih malang dari apa yang pernah terpikirkan olehnya. Tak terkecuali perempuan yang kini semobil dengannya. Dalam diri Bidadari, siapa yang tahu?
Bidadari pun kalah. Sama. Ia tak mengerti mengapa cerita rekaan dalam sinetron yang acap dia tonton di televisi tetangga selalu tampak bagai cerita nyata. Di mana saat salah seorang anggota keluarga tertimpa musibah, terserang penyakit kronis, usahanya bangkrut, terjerat utang di mana-mana, otomatis anggota keluarga lain wajib membantu sekuat tenaga, menghalalkan segala cara demi mengembalikannya menjadi seperti sedia kala. Betapa Bidadari masih terlalu dini untuk mampu memahami itu.
"Namamu betul Bidadari?"
"Betul, Ibu yang memberikan nama itu."
"Nama yang indah. Sesuai dengan rupa si pemilik nama."
Bahrudin mencoba merayu. Berharap sukses mencairkan suasana. Sebab sepanjang perjalanan Bidadari hanya melamun. Sayang, tidak berhasil.
"Ibumu bekerja?" Seloroh Bahrudin kemudian. Setelah sesaat lengang.
"Dulu. Sekarang nggak."
"Lo, kenapa?"
"Sakit." Ringan Bidadari menjawab. Tergelontor begitu saja.
"Sakit apa?"
"Kanker serviks."
"Kanker serviks!?"
Amat tertohok dada Bahrudian begitu mengetahui. Tergeragaplah ia. Mendadak hilang kegigihan melanjutkan rencana. Entah kenapa, seketika ia susut. Lemah. Pedal rem mobil ia tekan secara mendadak. Tatapan mata mereka beradu. Pilu. Tak terdengar lagi sekelebat obrolan, selain kalimat, "Di mana rumahmu?"
***
Di rumah. Bahrudin melenggang memasuki kamar istri. Istri menyambut hangat di atas ranjang dingin. Selalu dengan rupa pasi. Dia raih punggung tangan istri, menciumnya lekat-lekat. Berangsur mengecup kening dan pipi.
"Pulang agak terlambat ya, Yah?"
"Barusan bertemu Bidadari, Bu."
"Bidadari?"
"Ya, Bidadari."
"Pasti cantik?"
"Cantik, seperti kamu."
"Aku lebih cantik."
"Tentu."
"Kenapa tak kauajak ke sini sekalian. Kenalkan aku."
"Tidak. Aku tak ingin mengganggu."
"Memang ia sedang sibuk apa?"
"Menyantap es krim bersama keluarganya, mungkin."

Ruang Sunyi, Desember 2013

Tidak ada komentar: