Oleh:Doni Febriando
|
Doni Febriando |
Akhlak Keseharian 3 Wali Quthub
Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, ilmu tasawuf adalah
"mustikanya" agama Islam. Imam Al Ghazali sendiri pernah membuat kitab
yang luar biasa; Ihya' Ulummudin. Kitab tersebut intinya adalah petunjuk
cara menghidupkan agama Islam. Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu fikih
tidak boleh berdiri sendiri, tanpa didampingi ilmu tasawuf.
Ibarat manusia, ilmu syariat adalah tubuh, sedangkan ilmu hakikat adalah
ruhnya. Menerapkan ilmu fikih tanpa didampingi ilmu tasawuf, akan
menjadikan agama Islam seperti "mayat"; kaku, dingin, dan menakutkan.
Sebaliknya, agama Islam yang dilengkapi ilmu tasawuf, membuat agama akan
"hidup" dan seindah pelangi.
Dalam kesempatan kali ini, saya
hendak memaparkan tiga kisah alim ulama yang ahli ilmu fikih dan ahli
ilmu tasawuf. Kiranya lebih bijaksana hanya bercerita biasa saja, karena
para pembaca sekalian sudah cerdas-cerdas. Bisa menilai fatwa majelis
ulama internet bahwa "ilmu tasawuf adalah sesat" itu betul atau tidak.
***
Kalau di internet, mungkin kita sering mendapati "fatwa" untuk menjauhi
umat non-muslim. Sekadar mengucapkan selamat natal saja dihukumi jadi
kafir. Seolah-olah ekspresi menghargai keyakinan orang lain itu
derajatnya sama dengan mengucap sumpah keimanan trinitas. Sebagaimana
umat non-muslim yang ikut kita tradisi lebaran, mudik, dan halalbihalal
jelas tidak bisa dihukumi "mualaf". Tidak bisa dihukumi masuk agama
Islam, karena mereka memang sama sekali tidak mengucap kalimat syahadat.
Jujur saya enggan mengikuti aneka fatwa di internet untuk menjauhi umat
non-muslim. Saya lebih suka mengikuti para alim ulama yang jelas
identitasnya dan terbukti punya banyak karomah. Sesuatu yang tidak
dimiliki para "ahli fatwa" di internet; identitas asli dan bukti nyata.
Anak SMP/SMA saja bisa mengaku ulama di internet. Mualaf saja bisa
mengaku ustadz di internet. Bahkan, muslim awam yang sama sekali tidak
kenal NU, bisa mengaku mantan Kyai NU dan mengaku tobat dari amaliyah
NU. Segalanya di internet bisa jadi adalah sebuah penipuan. Maka dari
itu, kita sebaiknya sangat hati-hati kalau ingin mengaji agama Islam di
KH. Google.
Salah satu alim ulama yang saya jadikan panutan
untuk bersikap baik pada umat non-muslim adalah Syeikh Hasan Al Bashri.
Beliau hidup di tahun 21 sampai 110 Hijriyah dan menjadi penasehat
spiritual Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H). Beliau sangat
terkenal dengan julukan "Panutan Zaman dari Bashrah", karena luar biasa
hebat dan sholehnya. Lantas, bagaimanakah beliau menghadapi orang
non-muslim?
Beliau tak cuma sekadar berteman biasa, beliau
malah bersahabat erat dengan seorang pendeta Nasrani. Seringkali saat
bertemu di jalan, keduanya berpelukan dan saling menanyakan kabar,
bahkan terkadang si pendeta Nasrani "memamerkan" Syeikh Hasan Al Bashri
ke jemaatnya.
Apakah akidah beliau tercemar karena mesra
dengan kalangan non-muslim? Tidak, sama sekali tidak, beliau tetap
diakui mahaguru semua alim ulama generasi ke-3 (Sederhananya zaman
cucu-cicit kanjeng nabi dan para sahabat). Harap para pembaca sekalian
sadar diri, kualitas ulama zaman dahulu sangat jauh di atas ulama zaman
sekarang, jadi jangan meragukan akidah Syeikh Hasan Al-Bashri hanya
karena fatwa KH. Google.
Kisah kedua, di abad ketiga hijriyah,
pernah hidup seorang alim ulama yang ahli ilmu fikih sekaligus ahli
ilmu tasawuf bernama Abu Yazid Al-Busthomi. Beliau adalah sosok yang
luar biasa. Murid-muridnya sudah lintas negara dan lintas kelompok
tarekat. Bukan hal yang mudah membimbing ribuan murid yang berlatar
belakang sangat kompleks seperti itu. Tentu beliau adalah ulama yang
luar biasa.
Tapi, suatu hari, saat berjalan dengan beberapa
murid terpilihnya, beliau melakukan hal yang sepele tapi tidak mungkin
bisa dilakukan orang biasa. Di jalanan yang sempit tersebut, dari arah
berlawanan, datanglah seekor anjing berwarna kuning lagi dekil. Anjing
itu berlari. Seketika pula, Abu Yazid Al-Busthomi berkata para muridnya
untuk agak menepi, "Anjing itu pasti ada keperluan mendesak, sehingga
anjing itu berlari, mari kita beri jalan."
Anjing berwarna
kuning itu melewati rombongan para sufi tersebut sambil mengangguk,
seperti memberi tanda berterima kasih. Nah, kalau kita cermati, kejadian
yang sepele tersebut, mengandung hikmah yang luar biasa dan menunjukkan
kualitas akhlak seorang Abu Yazid Al-Busthomi.
Tak jarang
orang level "ustadz" saja sudah enggan bercengkerama dengan orang awam
seperti kita-kita ini. Maunya hanya bergaul dengan sesama ustadz.
Kalaupun ada orang berbicara, yang didengarkan hanyalah minimal yang
bergelar kiyai haji. Kalau bertemu muslim awam lagi penuh dosa seperti
penulis, isinya hanya ingin mendakwahi.
Sedangkan Abu Yazid Al
Busthomi yang sudah berada di puncak keulamaan dan tengah bersama para
muridnya, tidak gengsi mengalah demi seekor anjing dekil. Dalam ilmu
tasawuf, tanda orang berderajat tinggi di hadapanNya adalah senantiasa
merendahkan dirinya di hadapan makhluk-makhlukNya yang rendah sekalipun.
***
Sebagai penutup, kisah ketiga bercerita tentang seorang ulama yang
menguasai banyak cabang ilmu agama Islam, seperti ilmu qiro'ah, tafsir,
hadits, fikih perbandingan antarmahzab, ushuluddin, ushulfiqh, nahwu,
tasawuf, dan sebagainya. Beliau bernama Syeikh Abdul Qadir Jailany
(470-561 H). Suatu hari beliau bercerita kepada murid-muridnya tentang
perasaannya saat menghadapi orang lain.
"Kalau aku bertemu
orang lain, aku selalu berkata dalam hati bahwa orang itu lebih baik
daripada diriku sendiri. Saat bertemu anak kecil, aku selalu membatin
bahwa anak kecil itu belum pernah bermaksiat kepada Allah SWT. Saat
bertemu orang sepuh, aku selalu membatin bahwa orang sepuh itu sudah
lebih lama beribadah kepada Allah SWT. Saat bertemu orang awam, aku
selalu membatin bahwa orang itu bermaksiat hanya karena bodoh saja,
sementara aku tetap bermaksiat walaupun tahu akibatnya. Saat bertemu
orang kafir, aku selalu membatin bahwa aku tidak tahu jalan hidup
manusia; bisa jadi di ujung usianya dia jadi orang sholeh, sementara aku
malah jadi orang kafir di kemudian hari."
Inilah sedikit
cerita-cerita dari saya, semoga bermanfaat. Sedikit bocoran, tiga ulama
yang saya sebut tadi adalah para wali quthub. Sederhananya, wali quthub
adalah "pewaris nabi paling utama", mereka adalah golongan spesial;
biasanya hanya satu orang di setiap masa. Tugas mereka adalah memimpin
semua orang sholeh di muka bumi tiap masa secara spiritual.
Meski berganti-ganti orangnya, setidaknya ada satu persamaannya; rendah
hati dalam beragama. Hal ini karena ilmu tasawuf pada dasarnya adalah
tentang pembersihan hati. Ilmu tasawuf penting diamalkan setiap muslim,
karena agama Islam punya sebutan lain, yaitu "agama akhlak".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar