Daftar Blog Saya

Jumat, 03 Januari 2014

Oleh:Doni Febriando

Doni Febriando
Doni Febriando
Akhlak Keseharian 3 Wali Quthub

Seperti yang pernah saya singgung sebelumnya, ilmu tasawuf adalah "mustikanya" agama Islam. Imam Al Ghazali sendiri pernah membuat kitab yang luar biasa; Ihya' Ulummudin. Kitab tersebut intinya adalah petunjuk cara menghidupkan agama Islam. Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu fikih tidak boleh berdiri sendiri, tanpa didampingi ilmu tasawuf.

Ibarat manusia, ilmu syariat adalah tubuh, sedangkan ilmu hakikat adalah ruhnya. Menerapkan ilmu fikih tanpa didampingi ilmu tasawuf, akan menjadikan agama Islam seperti "mayat"; kaku, dingin, dan menakutkan. Sebaliknya, agama Islam yang dilengkapi ilmu tasawuf, membuat agama akan "hidup" dan seindah pelangi.

Dalam kesempatan kali ini, saya hendak memaparkan tiga kisah alim ulama yang ahli ilmu fikih dan ahli ilmu tasawuf. Kiranya lebih bijaksana hanya bercerita biasa saja, karena para pembaca sekalian sudah cerdas-cerdas. Bisa menilai fatwa majelis ulama internet bahwa "ilmu tasawuf adalah sesat" itu betul atau tidak.

***

Kalau di internet, mungkin kita sering mendapati "fatwa" untuk menjauhi umat non-muslim. Sekadar mengucapkan selamat natal saja dihukumi jadi kafir. Seolah-olah ekspresi menghargai keyakinan orang lain itu derajatnya sama dengan mengucap sumpah keimanan trinitas. Sebagaimana umat non-muslim yang ikut kita tradisi lebaran, mudik, dan halalbihalal jelas tidak bisa dihukumi "mualaf". Tidak bisa dihukumi masuk agama Islam, karena mereka memang sama sekali tidak mengucap kalimat syahadat.

Jujur saya enggan mengikuti aneka fatwa di internet untuk menjauhi umat non-muslim. Saya lebih suka mengikuti para alim ulama yang jelas identitasnya dan terbukti punya banyak karomah. Sesuatu yang tidak dimiliki para "ahli fatwa" di internet; identitas asli dan bukti nyata.

Anak SMP/SMA saja bisa mengaku ulama di internet. Mualaf saja bisa mengaku ustadz di internet. Bahkan, muslim awam yang sama sekali tidak kenal NU, bisa mengaku mantan Kyai NU dan mengaku tobat dari amaliyah NU. Segalanya di internet bisa jadi adalah sebuah penipuan. Maka dari itu, kita sebaiknya sangat hati-hati kalau ingin mengaji agama Islam di KH. Google.

Salah satu alim ulama yang saya jadikan panutan untuk bersikap baik pada umat non-muslim adalah Syeikh Hasan Al Bashri. Beliau hidup di tahun 21 sampai 110 Hijriyah dan menjadi penasehat spiritual Khalifah Umar bin Abdul Aziz (61-101 H). Beliau sangat terkenal dengan julukan "Panutan Zaman dari Bashrah", karena luar biasa hebat dan sholehnya. Lantas, bagaimanakah beliau menghadapi orang non-muslim?

Beliau tak cuma sekadar berteman biasa, beliau malah bersahabat erat dengan seorang pendeta Nasrani. Seringkali saat bertemu di jalan, keduanya berpelukan dan saling menanyakan kabar, bahkan terkadang si pendeta Nasrani "memamerkan" Syeikh Hasan Al Bashri ke jemaatnya.

Apakah akidah beliau tercemar karena mesra dengan kalangan non-muslim? Tidak, sama sekali tidak, beliau tetap diakui mahaguru semua alim ulama generasi ke-3 (Sederhananya zaman cucu-cicit kanjeng nabi dan para sahabat). Harap para pembaca sekalian sadar diri, kualitas ulama zaman dahulu sangat jauh di atas ulama zaman sekarang, jadi jangan meragukan akidah Syeikh Hasan Al-Bashri hanya karena fatwa KH. Google.

Kisah kedua, di abad ketiga hijriyah, pernah hidup seorang alim ulama yang ahli ilmu fikih sekaligus ahli ilmu tasawuf bernama Abu Yazid Al-Busthomi. Beliau adalah sosok yang luar biasa. Murid-muridnya sudah lintas negara dan lintas kelompok tarekat. Bukan hal yang mudah membimbing ribuan murid yang berlatar belakang sangat kompleks seperti itu. Tentu beliau adalah ulama yang luar biasa.

Tapi, suatu hari, saat berjalan dengan beberapa murid terpilihnya, beliau melakukan hal yang sepele tapi tidak mungkin bisa dilakukan orang biasa. Di jalanan yang sempit tersebut, dari arah berlawanan, datanglah seekor anjing berwarna kuning lagi dekil. Anjing itu berlari. Seketika pula, Abu Yazid Al-Busthomi berkata para muridnya untuk agak menepi, "Anjing itu pasti ada keperluan mendesak, sehingga anjing itu berlari, mari kita beri jalan."

Anjing berwarna kuning itu melewati rombongan para sufi tersebut sambil mengangguk, seperti memberi tanda berterima kasih. Nah, kalau kita cermati, kejadian yang sepele tersebut, mengandung hikmah yang luar biasa dan menunjukkan kualitas akhlak seorang Abu Yazid Al-Busthomi.

Tak jarang orang level "ustadz" saja sudah enggan bercengkerama dengan orang awam seperti kita-kita ini. Maunya hanya bergaul dengan sesama ustadz. Kalaupun ada orang berbicara, yang didengarkan hanyalah minimal yang bergelar kiyai haji. Kalau bertemu muslim awam lagi penuh dosa seperti penulis, isinya hanya ingin mendakwahi.

Sedangkan Abu Yazid Al Busthomi yang sudah berada di puncak keulamaan dan tengah bersama para muridnya, tidak gengsi mengalah demi seekor anjing dekil. Dalam ilmu tasawuf, tanda orang berderajat tinggi di hadapanNya adalah senantiasa merendahkan dirinya di hadapan makhluk-makhlukNya yang rendah sekalipun.

***

Sebagai penutup, kisah ketiga bercerita tentang seorang ulama yang menguasai banyak cabang ilmu agama Islam, seperti ilmu qiro'ah, tafsir, hadits, fikih perbandingan antarmahzab, ushuluddin, ushulfiqh, nahwu, tasawuf, dan sebagainya. Beliau bernama Syeikh Abdul Qadir Jailany (470-561 H). Suatu hari beliau bercerita kepada murid-muridnya tentang perasaannya saat menghadapi orang lain.

"Kalau aku bertemu orang lain, aku selalu berkata dalam hati bahwa orang itu lebih baik daripada diriku sendiri. Saat bertemu anak kecil, aku selalu membatin bahwa anak kecil itu belum pernah bermaksiat kepada Allah SWT. Saat bertemu orang sepuh, aku selalu membatin bahwa orang sepuh itu sudah lebih lama beribadah kepada Allah SWT. Saat bertemu orang awam, aku selalu membatin bahwa orang itu bermaksiat hanya karena bodoh saja, sementara aku tetap bermaksiat walaupun tahu akibatnya. Saat bertemu orang kafir, aku selalu membatin bahwa aku tidak tahu jalan hidup manusia; bisa jadi di ujung usianya dia jadi orang sholeh, sementara aku malah jadi orang kafir di kemudian hari."

Inilah sedikit cerita-cerita dari saya, semoga bermanfaat. Sedikit bocoran, tiga ulama yang saya sebut tadi adalah para wali quthub. Sederhananya, wali quthub adalah "pewaris nabi paling utama", mereka adalah golongan spesial; biasanya hanya satu orang di setiap masa. Tugas mereka adalah memimpin semua orang sholeh di muka bumi tiap masa secara spiritual.

Meski berganti-ganti orangnya, setidaknya ada satu persamaannya; rendah hati dalam beragama. Hal ini karena ilmu tasawuf pada dasarnya adalah tentang pembersihan hati. Ilmu tasawuf penting diamalkan setiap muslim, karena agama Islam punya sebutan lain, yaitu "agama akhlak".

Tidak ada komentar: