Daftar Blog Saya

Selasa, 31 Desember 2013

Oleh:Doni Febriando

Doni Febriando
Doni Febriando
Pasca Orde Baru, masyarakat Indonesia mulai mengalami gejolak sosial yang bernama "perbedaan", karena Pak Harto memang menjunjung tinggi prinsip-prinsip militer dalam memimpin negara majemuk; sistem komando tunggal. Berbeda artinya musuh. Mengkritik artinya melawan. Masyarakat kita lama-lama akhirnya mengadopsi tanpa sadar.

Hal ini sangat disadari oleh "VOC-syariah". Istilah bagi mereka suka melakukan adu domba memakai alasan agama. Salah satu isu yang selalu diangkat oleh para serdadu VOC-syariah itu adalah perbedaan tanggalan Idul Fitri versi NU dengan Idul Fitri versi Muhammadiyah. Perbedaan tanggal lebaran dua ormas raksasa ini bakal diangkat tiap tahun, saya berani taruhan.

Polanya sama. Kalau zaman Orde Baru, isu yang diangkat adalah perbedaan jumlah raka'at sholat tarawih, karena penetapan tanggal Idul Fitri hanya boleh ada satu versi. Cuma isu sekunder yang bisa diangkat para serdadu VOC-syariah kala itu. Setelah rezim Orde baru runtuh, isu yang diangkat lebih sensitif, yaitu perbedaan hari lebaran. Lebih sensitif, karena implikasinya lebih gawat; kelas Idul Fitri lebih "berat" daripada kelas sholat tarawih.

***

Dahulu, resepnya mudah saja; mau sholat tarawih 8 raka'at, mau sholat 20 raka'at, semua sah. Tidak perlu dipermasalahkan, karena sholat tarawih 36 raka'at itu juga sah. Selalu diangkat yang 8 dan yang 20, karena tujuannya cuma mengadu domba warga Muhammadiyah dengan nahdliyin. Sekadar info, sholat tarawih 36 raka'at itu ada, yaitu dari fikih Mahzab Maliki.

Perbedaan jumlah sholat tarawih antara 8 dengan 20, lama-lama tidak sensitif lagi, karena mulai banyak warga Muhammadiyah dan nahdliyin yang merasa capek bertengkar, lalu membuat konsensus "guyonan nasional", yaitu: Mau tarawih 8 raka'at, boleh. Mau tarawih 20 raka'at, juga boleh. Orang tidak sholat tarawih juga boleh, kan hukumnya sholat sunnah. Hahaha... Mari kita semua berdamai!

Sekarang, masalah lebih kompleks, setelah Orde Baru runtuh, VOC-syariah jadi memiliki amunisi baru, yaitu masalah perbedaan hari Idul Fitri NU-Muhammadiyah. Amunisi ini lebih ampuh, karena relatif lebih berhasil memecah-belah umat Islam di Indonesia.

Pasalnya, isu sensitif itu berimplikasi pada beberapa jenis ibadah sekaligus, alias membuat perbedaan NU-Muhammadiyah tampak makin krusial. Tak cuma sholat Ied, tapi juga perbedaan durasi puasa wajib dan durasi sholat tarawih. Tapi, karena polanya sama, berarti metode jawabannya juga sama.

Hal tersebut sudah saya sadari, maka saya santai-santai saja menghadapi gegeran anyaran antara NU-Muhammadiyah ini. Kalau bahan adu domba sholat tarawih itu bisa ditangkal dengan ilmu perbandingan fikih empat mahzab, sedangkan bahan adu domba tanggal lebaran bisa ditangkal dengan ilmu tasawuf.

Saya serius. Dengan ilmu tasawuf, racun-racun yang ditanam dalam perdebatan sok islami antara metode rukyat dengan metode hisab, bisa langsung bersih. Untuk mengawalinya, silakan para pembaca sekalian bertanya pada diri sendiri, "Aku berpuasa itu untuk siapa? Untuk organisasikah? Untuk internetkah? Atau untuk Allah SWT?"

Kalau Anda berpuasa untuk Gusti Allah, kenapa Anda ribut? Kalau Anda berlebaran untuk mencari ridhaNya, kenapa Anda marah-marah ketika ada orang lain tidak meridhai lebaran versi Anda? Ini titik kecil tapi vital. Kalau Anda berhasil menjawabnya, Anda bakal seperti saya; tersenyum getir melihat ada warga Muhammadiyah dan nahdliyin bertengkar.

Ini akibatnya kalau agama Islam dicampur ideologi materialisme. Agama Islam yang aslinya berkarakter air yang dingin sejuk dan mengeluarkan cahaya, jadi seperti bongkahan batu yang merusak. Islam-materialisme itu yang kini tengah diajarkan pada kita semua. Jangan heran kita diberi sebotol racun untuk menjauhi para ulama.

Omong kosong ajakan untuk "kembali ke Qur'an dan hadits". Tujuannya cuma menggiring kita menjauhi para ulama. Siang jadi tempe, malam jadi tahu, paginya malah jadi bakso. Ziarah kubur para ulama dipermasalahkan, tapi kegiatan hura-hura ke mall dibiarkan. Tahlilan ajaran para ulama dikatakan haram karena dalilnya Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi dakwah via internet dan berbahasa Indonesia tidak pernah didalili.

Kita dipengaruhi menjauhi para ulama adalah supaya kita jadi bodoh sebodoh-bodohnya umat. Buktinya bisa kita lihat sekarang, kita bisa lupa pada banyak hal. Mau kembali ke Qur'an dan hadits, tapi tanpa bantuan para ulama? Mau mengandalkan terjemahan-terjemahan ala KH. Google?

Bulan Ramadhan itu milik Allah, hilal itu milik Allah, Idul Fitri itu juga milik Allah, segalanya adalah milikNya. Misalnya suatu waktu, Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh hari Senin, ya halal. Idul Fitri versi NU yang jatuh hari Selasa, juga halal. Tidak ada yang haram, tidak ada yang tidak sah. Semuanya diterima oleh Allah SWT.

Cuma ibadah orang-orang yang tidak tawakal saja yang tidak diterima Gusti Allah. Dalam ilmu tasawuf, salah satu tanda tertolaknya amal, adalah ketika pengamal ibadah itu bergantung pada selainNya, yaitu bergantung pada (kualitas) amalnya sendiri.

Penetapan Idul Fitri melalui bungkus apapun itu halal, asalkan "isi" dari penetapan tanggal lebaran itu adalah tawakal kepadaNya. Mau pakai metode rukyat, mau pakai metode hisab, semuanya diterima oleh Gusti Allah kok. Kalau Anda memutlakkan diterimanya ibadah Idul Fitri pada tanggalan, berarti Anda menganggap Gusti Allah kalah oleh dimensi waktu.

Biar hati kita semua tambah mantap, ada sebuah kisah menarik di zaman kanjeng nabi. Dahulu pernah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat mendapati langit yang mendung di saat-saat krusial. Dengan langit yang mendung, otomatis hilal mustahil bisa terlihat. Apakah kanjeng nabi bingung lalu memanggil malaikat Jibril untuk mengecek hilal?

Tidak, sama sekali tidak. Beliau justru menyuruh para sahabat untuk menggenapkan puasa Bulan ramadhan menjadi 30 hari kalau langit memang mendung terus. Ini namanya logika konsep tauhid; segalanya berpusat padaNya. Para sahabat tidak bisa melihat hilal karena langit mendung itu bukan masalah, asal para sahabat tetap berpusat kepadaNya; berpuasa hanya untuk Gusti Allah.

***

Jadi, misalnya, ternyata hari Senin yang betul, amalan para muslim yang memilih sholat Ied hari Selasa tetap diterima oleh Gusti Allah. Begitu pula sebaliknya di tahun-tahun mendatang. Semuanya tetap diterima. Rukyat dan Hisab itu cuma metode. Metode rukyat dan metode hisab itu cuma "bungkus". Hanya "isi" yang diterima Allah SWT.

Ayah saya itu orang NU, ibu saya itu orang Muhammadiyah, tapi kami sekeluarga santai-santai saja menghadapi perbedaan tanggalan lebaran, meski sangat didramatisir para serdadu VOC-syariah. Kami sekeluarga menyembah Gusti Allah yang punya sifat Asy-Syakur kok.

Kalau tidak salah, istilah Asy-Syakur di penjelasan kitab kuning itu artinya "berterima kasih atas pemberian orang lain". Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah menjelaskan definisi tersebut; sifat Asy-Syakur itu bermakna Gusti Allah Maha Menerima amalan para hambaNya. Maksudnya, kalau amalan seorang hamba itu aslinya kurang sempurna dan tingkat presisinya kurang tepat, tapi asal diniatkan untuk persembahan kepadaNya secara ikhlas, maka Gusti Allah pasti menerima amalan tersebut.

Inilah dasar kanjeng nabi berkata, bahwa semua hasil ijtihad tidak ada yang tertolak. Kalau betul, dapat dua pahala. Kalau salah, dapat satu pahala. Tidak ada dosa dalam berijtihad. Maka dari itu pula, kalau arah sajadah sholat kita tidak persis ke kiblat di Mekkah sana, sholat kita tetap diterimaNya. Mau miring sekian derajat, mau difitnah menyembah Benua Afrika karena arahnya benar-benar "ke barat", sholat kita tetap diterimaNya kok, karena segala gerak sholat kita hakikatnya untuk Allah SWT.

Ideologi materialisme membuat agama Islam tampak menyeramkan, kaku, batu, duri, sumber bencana, dan cuma berisi surga-neraka. Tapi, agama Islam yang dilengkapi ilmu tasawuf, membuat agama akan "hidup" dan seindah pelangi. Hari Lebaran yang seharusnya penuh suka cita bisa menjadi hari penuh permusuhan, jika kita menganut Islam-materialisme.

Tidak ada komentar: