Oleh:Doni Febriando
|
Doni Febriando |
Pasca
Orde Baru, masyarakat Indonesia mulai mengalami gejolak sosial yang
bernama "perbedaan", karena Pak Harto memang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip militer dalam memimpin negara majemuk; sistem komando
tunggal. Berbeda artinya musuh. Mengkritik artinya melawan. Masyarakat
kita lama-lama akhirnya mengadopsi tanpa sadar.
Hal ini sangat
disadari oleh "VOC-syariah". Istilah bagi mereka suka melakukan adu
domba memakai alasan agama. Salah satu isu yang selalu diangkat oleh
para serdadu VOC-syariah itu adalah perbedaan tanggalan Idul Fitri versi
NU dengan Idul Fitri versi Muhammadiyah. Perbedaan tanggal lebaran dua
ormas raksasa ini bakal diangkat tiap tahun, saya berani taruhan.
Polanya sama. Kalau zaman Orde Baru, isu yang diangkat adalah perbedaan
jumlah raka'at sholat tarawih, karena penetapan tanggal Idul Fitri
hanya boleh ada satu versi. Cuma isu sekunder yang bisa diangkat para
serdadu VOC-syariah kala itu. Setelah rezim Orde baru runtuh, isu yang
diangkat lebih sensitif, yaitu perbedaan hari lebaran. Lebih sensitif,
karena implikasinya lebih gawat; kelas Idul Fitri lebih "berat" daripada
kelas sholat tarawih.
***
Dahulu, resepnya mudah
saja; mau sholat tarawih 8 raka'at, mau sholat 20 raka'at, semua sah.
Tidak perlu dipermasalahkan, karena sholat tarawih 36 raka'at itu juga
sah. Selalu diangkat yang 8 dan yang 20, karena tujuannya cuma mengadu
domba warga Muhammadiyah dengan nahdliyin. Sekadar info, sholat tarawih
36 raka'at itu ada, yaitu dari fikih Mahzab Maliki.
Perbedaan
jumlah sholat tarawih antara 8 dengan 20, lama-lama tidak sensitif lagi,
karena mulai banyak warga Muhammadiyah dan nahdliyin yang merasa capek
bertengkar, lalu membuat konsensus "guyonan nasional", yaitu: Mau
tarawih 8 raka'at, boleh. Mau tarawih 20 raka'at, juga boleh. Orang
tidak sholat tarawih juga boleh, kan hukumnya sholat sunnah. Hahaha...
Mari kita semua berdamai!
Sekarang, masalah lebih kompleks,
setelah Orde Baru runtuh, VOC-syariah jadi memiliki amunisi baru, yaitu
masalah perbedaan hari Idul Fitri NU-Muhammadiyah. Amunisi ini lebih
ampuh, karena relatif lebih berhasil memecah-belah umat Islam di
Indonesia.
Pasalnya, isu sensitif itu berimplikasi pada
beberapa jenis ibadah sekaligus, alias membuat perbedaan NU-Muhammadiyah
tampak makin krusial. Tak cuma sholat Ied, tapi juga perbedaan durasi
puasa wajib dan durasi sholat tarawih. Tapi, karena polanya sama,
berarti metode jawabannya juga sama.
Hal tersebut sudah saya
sadari, maka saya santai-santai saja menghadapi gegeran anyaran antara
NU-Muhammadiyah ini. Kalau bahan adu domba sholat tarawih itu bisa
ditangkal dengan ilmu perbandingan fikih empat mahzab, sedangkan bahan
adu domba tanggal lebaran bisa ditangkal dengan ilmu tasawuf.
Saya serius. Dengan ilmu tasawuf, racun-racun yang ditanam dalam
perdebatan sok islami antara metode rukyat dengan metode hisab, bisa
langsung bersih. Untuk mengawalinya, silakan para pembaca sekalian
bertanya pada diri sendiri, "Aku berpuasa itu untuk siapa? Untuk
organisasikah? Untuk internetkah? Atau untuk Allah SWT?"
Kalau
Anda berpuasa untuk Gusti Allah, kenapa Anda ribut? Kalau Anda
berlebaran untuk mencari ridhaNya, kenapa Anda marah-marah ketika ada
orang lain tidak meridhai lebaran versi Anda? Ini titik kecil tapi
vital. Kalau Anda berhasil menjawabnya, Anda bakal seperti saya;
tersenyum getir melihat ada warga Muhammadiyah dan nahdliyin bertengkar.
Ini akibatnya kalau agama Islam dicampur ideologi materialisme. Agama
Islam yang aslinya berkarakter air yang dingin sejuk dan mengeluarkan
cahaya, jadi seperti bongkahan batu yang merusak. Islam-materialisme itu
yang kini tengah diajarkan pada kita semua. Jangan heran kita diberi
sebotol racun untuk menjauhi para ulama.
Omong kosong ajakan
untuk "kembali ke Qur'an dan hadits". Tujuannya cuma menggiring kita
menjauhi para ulama. Siang jadi tempe, malam jadi tahu, paginya malah
jadi bakso. Ziarah kubur para ulama dipermasalahkan, tapi kegiatan
hura-hura ke mall dibiarkan. Tahlilan ajaran para ulama dikatakan haram
karena dalilnya Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi dakwah
via internet dan berbahasa Indonesia tidak pernah didalili.
Kita dipengaruhi menjauhi para ulama adalah supaya kita jadi bodoh
sebodoh-bodohnya umat. Buktinya bisa kita lihat sekarang, kita bisa lupa
pada banyak hal. Mau kembali ke Qur'an dan hadits, tapi tanpa bantuan
para ulama? Mau mengandalkan terjemahan-terjemahan ala KH. Google?
Bulan Ramadhan itu milik Allah, hilal itu milik Allah, Idul Fitri itu
juga milik Allah, segalanya adalah milikNya. Misalnya suatu waktu,
Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh hari Senin, ya halal. Idul
Fitri versi NU yang jatuh hari Selasa, juga halal. Tidak ada yang haram,
tidak ada yang tidak sah. Semuanya diterima oleh Allah SWT.
Cuma ibadah orang-orang yang tidak tawakal saja yang tidak diterima
Gusti Allah. Dalam ilmu tasawuf, salah satu tanda tertolaknya amal,
adalah ketika pengamal ibadah itu bergantung pada selainNya, yaitu
bergantung pada (kualitas) amalnya sendiri.
Penetapan Idul
Fitri melalui bungkus apapun itu halal, asalkan "isi" dari penetapan
tanggal lebaran itu adalah tawakal kepadaNya. Mau pakai metode rukyat,
mau pakai metode hisab, semuanya diterima oleh Gusti Allah kok. Kalau
Anda memutlakkan diterimanya ibadah Idul Fitri pada tanggalan, berarti
Anda menganggap Gusti Allah kalah oleh dimensi waktu.
Biar hati
kita semua tambah mantap, ada sebuah kisah menarik di zaman kanjeng
nabi. Dahulu pernah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat mendapati langit
yang mendung di saat-saat krusial. Dengan langit yang mendung, otomatis
hilal mustahil bisa terlihat. Apakah kanjeng nabi bingung lalu memanggil
malaikat Jibril untuk mengecek hilal?
Tidak, sama sekali
tidak. Beliau justru menyuruh para sahabat untuk menggenapkan puasa
Bulan ramadhan menjadi 30 hari kalau langit memang mendung terus. Ini
namanya logika konsep tauhid; segalanya berpusat padaNya. Para sahabat
tidak bisa melihat hilal karena langit mendung itu bukan masalah, asal
para sahabat tetap berpusat kepadaNya; berpuasa hanya untuk Gusti Allah.
***
Jadi, misalnya, ternyata hari Senin yang betul, amalan para muslim yang
memilih sholat Ied hari Selasa tetap diterima oleh Gusti Allah. Begitu
pula sebaliknya di tahun-tahun mendatang. Semuanya tetap diterima.
Rukyat dan Hisab itu cuma metode. Metode rukyat dan metode hisab itu
cuma "bungkus". Hanya "isi" yang diterima Allah SWT.
Ayah saya
itu orang NU, ibu saya itu orang Muhammadiyah, tapi kami sekeluarga
santai-santai saja menghadapi perbedaan tanggalan lebaran, meski sangat
didramatisir para serdadu VOC-syariah. Kami sekeluarga menyembah Gusti
Allah yang punya sifat Asy-Syakur kok.
Kalau tidak salah,
istilah Asy-Syakur di penjelasan kitab kuning itu artinya "berterima
kasih atas pemberian orang lain". Para ulama Ahlussunnah wal Jama'ah
menjelaskan definisi tersebut; sifat Asy-Syakur itu bermakna Gusti Allah
Maha Menerima amalan para hambaNya. Maksudnya, kalau amalan seorang
hamba itu aslinya kurang sempurna dan tingkat presisinya kurang tepat,
tapi asal diniatkan untuk persembahan kepadaNya secara ikhlas, maka
Gusti Allah pasti menerima amalan tersebut.
Inilah dasar
kanjeng nabi berkata, bahwa semua hasil ijtihad tidak ada yang tertolak.
Kalau betul, dapat dua pahala. Kalau salah, dapat satu pahala. Tidak
ada dosa dalam berijtihad. Maka dari itu pula, kalau arah sajadah sholat
kita tidak persis ke kiblat di Mekkah sana, sholat kita tetap
diterimaNya. Mau miring sekian derajat, mau difitnah menyembah Benua
Afrika karena arahnya benar-benar "ke barat", sholat kita tetap
diterimaNya kok, karena segala gerak sholat kita hakikatnya untuk Allah
SWT.
Ideologi materialisme membuat agama Islam tampak
menyeramkan, kaku, batu, duri, sumber bencana, dan cuma berisi
surga-neraka. Tapi, agama Islam yang dilengkapi ilmu tasawuf, membuat
agama akan "hidup" dan seindah pelangi. Hari Lebaran yang seharusnya
penuh suka cita bisa menjadi hari penuh permusuhan, jika kita menganut
Islam-materialisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar