Daftar Blog Saya

Sabtu, 28 Desember 2013

Oleh:Doni Febriando

Tak perlu reaktif, tak perlu panik, karena dengan ketenangan, kita jadi bisa melihat segalanya lebih jelas. Isu sensitif "umat Islam diharamkan mengucapkan selamat natal" pada dasarnya akan selalu diangkat tiap tahun. Selalu begitu.

Selalu juga, isu perbedaan tanggal lebaran NU-Muhammadiyah diangkat tiap tahun. Lebaran pun kita dibikin saling bermusuhan. Selalu juga, isu-isu skala lebih kecil diangkat hampir tiap hari; sunni-syiah, tahlilan, ziarah kubur, qunut, jumlah sholat tarawih, dan sebagainya. Kalau kita amati, seperti ada "VOC-syariah" di Indonesia; melakukan adu domba pakai alasan agama.

Indonesia itu negara yang luas, subur tanahnya, kaya sumber daya alam, dan banyak penduduknya. Kita harus hati-hati. Di Indonesia, yang mayoritas adalah umat Islam, maka dari itu selalu yang diangkat-angkat adalah isu agama. Kenapa demikian? Karena bangsa Indonesia terkenal bangsa yang sangat ramah, tapi hanya bisa marah hanya karena isu agama.

Buktinya, Presiden RI mau disadap intelijen asing, rakyat kita sama sekali tidak marah. Buktinya lagi, rakyat kita justru senyum-senyum dan minta foto bareng kalau bertemu turis asing, sekalipun bule itu asli Belanda. Buktinya lagi, rakyat kita santai-santai saja naik motor pabrikan Jepang. Bangsa kita genetiknya bukan bangsa pemarah dan pendendam.

Lantas, kenapa bisa marah karena isu agama? Itu karena bangsa kita yang mayoritasnya umat Islam, banyak yang terdidik untuk takut neraka dan ingin surga. Tidak dididik untuk segan dan sayang pada Allah SWT, apalagi didorong untuk lebih mengenalNya. Itulah kenapa isu agama bisa bikin bangsa ini pecah.

Ini sudah masalah psikologi budaya. Hidup di Indonesia itu tidak enak, maka banyak yang ketakutan setelah meninggal, bakal masuk neraka. Jangan heran akhir-akhir ini banyak sekali orang berlagak kiyai; sedikit-sedikit pakai dalil. Mau menolong orang yang tabrakan pun, tanya dalilnya apa dulu. Saya serius.

Silakan Anda menabrakkan diri ke tiang listrik di depan orang-orang yang sedang berjalan ke masjid untuk sholat Jum'at. Kemungkinan besar Anda justru akan ditolong orang non-muslim yang lewat. Paling beberapa orang Islam saja yang lebih memilih membatalkan sholat Jum'at demi menolong Anda.

Berlagak kiyai, tapi tidak pernah mau belajar. Ini yang bikin celaka. Contoh di atas itu sebenarnya dalilnya ada banyak, tapi banyak "kiyai-kiyai" itu malah tidak tahu. Sholat Jum'at boleh diganti dengan sholat dhuhur biasa, kalau memang ada urusan darurat. Bahkan, misalnya untuk mengurusi orang tabrakan itu makan waktu lama, sholat Dhuhurnya boleh saja digabung dengan sholat Ashar.

Jadi, banyak yang tiba-tiba jadi "ahli dalil" sama sekali bukan karena ingin belajar agama Islam, tapi hanya ingin menyelamatkan diri dari neraka. Orang lain mau tabrakan, orang lain mau kelaparan, orang lain mau diperkosa, bahkan orang lain mau masuk neraka pun tidak masalah. Asal bisa masuk surga. Saya ini juga serius.

Pernah ada aktivis dakwah sangat gemar menyemprot dalil-dalil untuk menghukumi kafir orang syi'ah. Saya diam saja ketika itu. Setelah selesai berdalil ria, aktivis dakwah itu saya tanyai, "Lantas, apakah antum sudah menolong pengemis-pengemis muslim yang sunni di jalanan itu? Para pelacur yang muslim sunni itu sudah pernah antum coba bantu keluar dari dunia hitam? Seringkah antum menyumbang panti asuhan binaan Muhammadiyah yang pastinya Islam-sunni di daerah antum?"

Aktivis dakwah itu langsung terdiam, kemudian ketika hendak mengeluarkan dalil-dalil lagi, saya langsung bilang, "Imam Abu Hamid Ghozali tidak mengkafirkan syi'ah, silakan baca kitab Fasial al Tafriqah dan kitab Fadha'ih al Bathiniyyah. Kalaupun antum mengkafirkan syi'ah karena mengikuti fatwa KH. Google, kenapa antum tidak berusaha menolong orang sunni?"

Saya bercerita tentang kisah seorang "pengemis sunni" yang malang. Karena sudah tumbuh meremaja, pengemis perempuan itu tidak bisa menyembunyikan lagi ciri-ciri fisiknya. Akhirnya, dia pun hamil tanpa tahu siapa bapak janinnya, karena beberapa kali diperkosa oleh preman, pengamen, dan sesama pengemis. Aktivis dakwah itu pun semakin terdiam. Mungkin tahu lebih baik diam, daripada saya dongengi lagi soal nasib pelacur dan anak yatim piatu "sunni".

Saya memang bukan kiyai, tapi saya mau terus belajar. Bukan hanya soal agama, tapi juga budaya dan nasionalisme. Bangsa Indonesia terkenal bangsa yang ramah dan rukun tentram bukan karena agama Islam. Sebelum agama Islam datang pun, bangsa nusantara sudah ramah-ramah dan rukun-rukun.

Ada agama Hindu masuk, kita terima. Ada agama Islam masuk, kita juga terima. Kita pernah jadi bangsa mayoritas beragama Hindu bukan karena ditaklukan kerajaan India. Kita sampai sekarang jadi bangsa mayoritas beragama Islam pun bukan karena ditaklukan kerajaan Arab. Hal itu harus kita camkan.

Bangsa kita tersentuh agama Islam melalui pendekatan budaya, bukan melalui politik yang rawan konflik. Silakan Anda cek ke semua negara arab, apakah ada kegiatan lebaran, mudik, dan halalbihalal pasca bulan puasa? Ketiga kegiatan rutin kita itu bersifat budaya. Itu tradisi hasil kearifan bangsa kita. Kita memang pada dasarnya berbudaya ramah, penuh cinta, dan saling menyayangi.

Jadi, kegiatan rutin umat Islam mengucapkan selamat natal ke umat kristiani, atau mengucapkan selamat nyepi ke umat hindu, lebih ke arah tradisi. Akidah kita tidak mungkin tergadaikan hanya karena rasa ingin saling menyayangi dan menghormati perasaan. Gusti Allah bukan patung. Dia Maha Mengetahui. Kegiatan salam-salaman sambil mengucapkan selamat natal adalah peristiwa budaya.

Lagipula, daripada mengkafir-kafirkan orang Islam yang berbudaya, lebih baik mengurusi para politisi partai Islam yang tertangkap korupsi. Kenapa tidak dituntut untuk melakukan hukum potong tangan? Kenapa pemurnian akidahnya setengah-setengah? Kenapa tidak sekalian jauhi internet, karena internet jelas-jelas bikinan orang kafir?

Saya ikut sikap NU dan Muhammadiyah karena keduanya konsisten dengan ucapannya. Dakwah Islam tanpa munkar. Tidak sore tempe, malam jadi tahu, paginya malah jadi bakso. NU dan Muhammadiyah memanfaatkan barang-jasa bikinan umat non-muslim, tapi juga menyayangi dan melindungi.

Masalah Banser NU melindungi gereja, itu karena mengikuti sunnah nabi. Bangunan gereja ambruk saja karena bencana alam, umat Islam disuruh ikut iuran kok sama kanjeng nabi. Bhakan, tiap Kota Madinah diserang, pasukan Islam diwajibkan berperang oleh kanjeng nabi, tanpa memaksa penduduk yang non-muslim ikut berperang. Praktek kanjeng nabi itu nasionalisme skala kota.

Dalil sejarah macam inilah yang jadi pegangan Banser NU menjaga gereja. Kalaupun ada gereja dibom, personel Banser NU yang sebaiknya harus berkorban, jema'at gereja malah jangan. Banser NU mengaji pada kiyai-kiyai sepuh, bukan pada KH. Google. Banser NU mengkaji agama Islam bukan lewat Al Qur'an terjemah Bahasa Indonesia lalu dipotong-potong tanpa aturan. Bukan dalil-dalilan ngawur.

Jadi, NU dan Muhammadiyah itu ya berbudaya, ya nasionalis, ya islami. Lagipula, kalau hari ini kita dilarang mengucapkan selamat natal, jangan-jangan besok kita diharamkan bicara dengan umat nasrani? Jangan-jangan tahun depan difatwai tidak boleh bergaul dengan mereka? Harap ingat, orang non-muslim yang ikut mudik lebaran bersama kita, tidak dihukumi jadi "muslim", bukan? Begitu pula sebaliknya.

Doni Febriando
Doni Febriando

Tidak ada komentar: