Oleh:Doni Febriando
|
Doni Febriando |
Pernah
ada yang bertanya, "Bolehkah saya menziarahi makam orangtua yang
non-muslim?" Pertanyaan macam ini sudah beberapa kali saya dengar dan
selalu berhasil membuat saya sedih.
Pertanyaan tersebut
sebenarnya mudah dijawab, kalau pakai metode berpikir yang murni dan
hati yang suci. Boleh-boleh saja kok berziarah ke makam orangtua yang
non-muslim. Mengunjungi makam orang telah melahirkan dengan taruhan
nyawa dan membesarkan dengan kasih sayang, apa salahnya?
Mendoakan orangtua yang sudah meninggal kan perbuatan baik. Masalah doa
diterima atau ditolak, itu urusannya Allah SWT, itu sudah bukan
wilayahnya manusia. Urusannya manusia adalah selalu berbuat baik
semampu-mampunya. Apalagi isi makam tersebut adalah orang yang spesial;
orangtuanya sendiri.
Manusia adalah manusia. Tingkat paling
tinggi yang bisa dicapai manusia adalah khalifatullah (wakil Tuhan),
bukannya "pengganti Tuhan". Manusia harus tetap manusiawi, agar bisa
tetap disebut manusia. Menziarahi makam orangtua yang non-muslim
konteksnya adalah masalah adab.
*****
Manusia berbeda
dengan hewan, salah satunya adalah karena faktor "perasaan". Ini
sunnatullah, tidak bisa dibohongi. Maka dari itu, kanjeng nabi pernah
menasehati untuk meminta fatwa pada hati nurani, jika menemui persoalan
dilematis dan tidak terjangkau oleh kacamata fikih yang cenderung
hitam-putih.
Pernah ada muslimah penganut aliran radikal curhat
tentang suaminya yang ingin poligami. Muslimah itu sangat kebingungan;
hati nuraninya menolak dipoligami, tapi ia tak berdaya menolak. Kelompok
pengajiannya mengizinkan si suami untuk poligami. Semua ustadz yang ia
kenal justru menyemprotnya dengan dalil-dalil tentang balasan surga bagi
istri yang mau dipoligami.
Karena saya kasihan, saya kasih
tahu dalil-dalil tandingan, dia terlihat sangat gembira. Tapi, karena
solusi dari saya justru dibagikan ke teman-teman pengajiannya, saya
malah jadi malas melanjutkan pembicaraan dengan muslimah malang itu.
Saya tidak suka dites, karena saya tidak butuh menang-kalah. Tugas saya
hanya menolong orang.
Langsung saja saya tinggal begitu saja,
karena muslimah itu pada dasarnya tidak mau ditolong. Orang yang terkena
virus hobi sedikit-sedikit butuh dalil biasanya berkarakter sombong.
Saya tidak suka ditanding-tandingkan, maka dari itu saya selalu langsung
jujur, "Saya cuma muslim awam."
Teman-teman saya yang santri
NU seringkali curhat frustasi menghadapi kesombongan para santri KH.
Google. Misalnya tentang dalil ziarah kubur makam para ulama. Ketika
para santri KH. Google mulai terdesak kalah debat, rata-rata suka
bertanya, "Haditsnya itu shohih apa tidak?"
Sombongnya bukan
main. Masih anak SD tapi merasa sudah Sarjana S1. Tanya masalah
shohih-shohihan, tapi tidak tahu bahwa hadits dhoif itu ada 33 level.
Dalil-dalilan tapi tidak tahu sama sekali tentang struktur pembentuk
hukum, metode ilmiah mengkaji sebuah dalil, bahkan masih awam soal ilmu
alat. Nah, kalaupun saya iseng-iseng berdalil sampai mencret pun,
poligami akan tetap dianggap sunnah nabi, dan malah saya akan dikafirkan
oleh kelompok pengajian itu.
Sunnah nabi itu "isi" agama
Islam, sedangkan hadits hanyalah "bungkus" prilaku nabi. Hal itu karena
kitab-kitab hadits pada dasarnya hanyalah pencatatan keseharian nabi.
Makanya ada hadits level shohih (kuat) dan hadits level dhoif (lemah).
Nabi Muhammad SAW tercatat tiap hari berbahasa arab, tapi apakah itu
agama Islam? Nabi Muhammad SAW tercatat tiap hari pakai sorban dan
jubah, tapi apakah agama Islam? Nabi Muhammad SAW tercatat berpoligami,
tapi apakah itu agama Islam?
Kita boleh berbahasa Indonesia,
karena itu sunnatullah. Kalau Gusti Allah menjadikan kita burung
merpati, kita jangan berkokok. Kalau Gusti Allah menjadikan kita kodok,
kita jangan mengembik. Kalau Gusti Allah menjadikan kita orang
Indonesia, jangan melawanNya dengan ingin jadi orang arab. Mengikuti
kanjeng nabi bukan berarti menjadi orang arab.
Kita berbaju
batik, kita dapat pahala kok. Kita ittiba' kanjeng nabi; menghormati
budaya. Kanjeng nabi pakai sorban dan jubah itu karena gaya busana
nasional Jazirah Arab seperti itu. Haditsnya memang nabi berpakaian
seperti Abu Jahal dan Abu Lahab, pakai sorban dan jubah, tapi sunnah
nabinya adalah menghormati budaya.
Jadi, pakai baju batik,
nonton wayang kulit, atau pakai peci-sarung, semua ada pahalanya. Jangan
mengikuti pola pikir yang terlalu streotip. Jawa/Sunda/Bugis/dll itu
dicap klenik, Barat itu dicap modern, dan Arab itu dicap agamis. Abu
Jahal itu bersorban, berjubah, berjenggot lebat, dan sangat fasih
berbahasa arab, tapi dia bukan ulama. Orang barat yang jadi dukun pun
juga banyak.
Haditsnya memang kanjeng nabi berpoligami, tapi
sunnah nabinya adalah memuliakan perempuan. Catatannya memang Nabi
Muhammad SAW beristri banyak, tapi inti agama Islam adalah pemuliaan
terhadap perempuan. Poligami hanyalah “bungkus”.
Agama Islam
jangan suka dipotong-potong demi kepentingan sesaat. Kisah kanjeng nabi
menikahi Bunda Khadijah dihapus. Kisah kanjeng nabi melarang kebiasaan
orang arab mengubur bayi perempuan hidup-hidup dihapus. Kisah kanjeng
nabi melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami juga dihapus. Penjelasan
sebab turunnya “ayat poligami” juga dihapus. Tapi, kisah kanjeng nabi
beristri banyak dicetak sangat tebal, seolah-olah Nabi Muhammad SAW
mensyariatkan poligami.
Ada kisah seorang habib yang menarik.
Habib tersebut masih muda dan perjaka. Sang guru pun mencarikan calon
istri untuknya. Ada dua pilihan; satu masih perawan dan satunya sudah
janda. Habib itupun memilih yang janda, karena ingin menolong sekaligus
"mengikuti" masa muda leluhurnya. Perempuan yang janda itu (maaf)
berumur lebih tua, lebih gemuk, dan lebih jelek daripada perempuan yang
perawan. Habib itu memilih, bukan menjumlah. Para pembaca sekalian tentu
bisa menilai sendiri.
*****
Sebenarnya, agama Islam
bukan cuma terdiri dari dalil, tapi juga logika dan perasaan. Maka dari
itu, Imam Abu Hamid Al Ghozali pernah menulis sebuah kitab tentang cara
menghidupkan agama, adalah dengan melalui tiga pendekatan; menggunakan
catatan teks, akal sehat, dan olah batin. Itulah sebab saya agak berbeda
dengan pendapat ustadz A dan ustadz B yang mengharamkan ziarah kubur
orang non-muslim sekalipun orangtuanya sendiri. Dalil mereka, mendoakan
orang non-muslim itu sia-sia, bagi saya tidak.
Lebih baik
urusan diterima atau tidaknya doa diserahkan pada Allah SWT. Tugas
sebagai anak adalah mendoakan orangtua, terlepas apapun agamanya. Tugas
sebagai muslim adalah berbuat kebaikan pada siapa saja, terlepas apapun
agamanya. Agama Islam disebut “agama manusia”, bukan hanya karena karena
memang agama Islam mengajarkan kebaikan, tapi juga manusiawi. Daripada
mengutuk orangtua, bukankah lebih baik mendoakannya?
Setelah
membaca tulisan sederhana ini, mungkin ada di antara pembaca sekalian
yang “tertarik” pada saya. Jujur saya orangnya tidak pedulian. Pernah
suatu ketika ada aktivis dakwah yang ingin menantang saya debat, bahkan
sebelum saya iya-kan pun, dia sudah mengintimidasi , “Asal antum tahu,
ana hapal 3,5 juz Al Qur’an.” Saya dengan cuek juga bilang, “Guru ngaji
saya sewaktu SD adalah ustadzah yang hapal 30 juz Al Qur’an dan fasih
berbahasa arab, jadi saya sama sekali tidak terpukau dengan Anda.”
Saya memang orangnya tidak suka diajak berdebat, karena kebanyakan
orang yang hobi berdebat adalah cicak yang merasa dirinya adalah buaya,
atau adalah burung emprit yang merasa dirinya adalah burung elang. Saya
sukanya ziarah kubur para wali atau sekadar baca-baca biografinya. Orang
sombong ada karena merasa sudah tidak punya lawan, sebab memang
lingkungannya sempit. Sekadar icip-icip, para ulama zaman dulu sekali
sholat, bisa khatam membaca 4-5 juz. Bahkan, sekali duduk, para ulama
zaman dulu bisa ribuan kali melantunkan sholawat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar