Daftar Blog Saya

Sabtu, 28 Desember 2013

Oleh:Doni Febriando

Doni Febriando
Doni Febriando
Pernah ada yang bertanya, "Bolehkah saya menziarahi makam orangtua yang non-muslim?" Pertanyaan macam ini sudah beberapa kali saya dengar dan selalu berhasil membuat saya sedih.

Pertanyaan tersebut sebenarnya mudah dijawab, kalau pakai metode berpikir yang murni dan hati yang suci. Boleh-boleh saja kok berziarah ke makam orangtua yang non-muslim. Mengunjungi makam orang telah melahirkan dengan taruhan nyawa dan membesarkan dengan kasih sayang, apa salahnya?

Mendoakan orangtua yang sudah meninggal kan perbuatan baik. Masalah doa diterima atau ditolak, itu urusannya Allah SWT, itu sudah bukan wilayahnya manusia. Urusannya manusia adalah selalu berbuat baik semampu-mampunya. Apalagi isi makam tersebut adalah orang yang spesial; orangtuanya sendiri.

Manusia adalah manusia. Tingkat paling tinggi yang bisa dicapai manusia adalah khalifatullah (wakil Tuhan), bukannya "pengganti Tuhan". Manusia harus tetap manusiawi, agar bisa tetap disebut manusia. Menziarahi makam orangtua yang non-muslim konteksnya adalah masalah adab.

*****

Manusia berbeda dengan hewan, salah satunya adalah karena faktor "perasaan". Ini sunnatullah, tidak bisa dibohongi. Maka dari itu, kanjeng nabi pernah menasehati untuk meminta fatwa pada hati nurani, jika menemui persoalan dilematis dan tidak terjangkau oleh kacamata fikih yang cenderung hitam-putih.

Pernah ada muslimah penganut aliran radikal curhat tentang suaminya yang ingin poligami. Muslimah itu sangat kebingungan; hati nuraninya menolak dipoligami, tapi ia tak berdaya menolak. Kelompok pengajiannya mengizinkan si suami untuk poligami. Semua ustadz yang ia kenal justru menyemprotnya dengan dalil-dalil tentang balasan surga bagi istri yang mau dipoligami.

Karena saya kasihan, saya kasih tahu dalil-dalil tandingan, dia terlihat sangat gembira. Tapi, karena solusi dari saya justru dibagikan ke teman-teman pengajiannya, saya malah jadi malas melanjutkan pembicaraan dengan muslimah malang itu. Saya tidak suka dites, karena saya tidak butuh menang-kalah. Tugas saya hanya menolong orang.

Langsung saja saya tinggal begitu saja, karena muslimah itu pada dasarnya tidak mau ditolong. Orang yang terkena virus hobi sedikit-sedikit butuh dalil biasanya berkarakter sombong. Saya tidak suka ditanding-tandingkan, maka dari itu saya selalu langsung jujur, "Saya cuma muslim awam."

Teman-teman saya yang santri NU seringkali curhat frustasi menghadapi kesombongan para santri KH. Google. Misalnya tentang dalil ziarah kubur makam para ulama. Ketika para santri KH. Google mulai terdesak kalah debat, rata-rata suka bertanya, "Haditsnya itu shohih apa tidak?"

Sombongnya bukan main. Masih anak SD tapi merasa sudah Sarjana S1. Tanya masalah shohih-shohihan, tapi tidak tahu bahwa hadits dhoif itu ada 33 level. Dalil-dalilan tapi tidak tahu sama sekali tentang struktur pembentuk hukum, metode ilmiah mengkaji sebuah dalil, bahkan masih awam soal ilmu alat. Nah, kalaupun saya iseng-iseng berdalil sampai mencret pun, poligami akan tetap dianggap sunnah nabi, dan malah saya akan dikafirkan oleh kelompok pengajian itu.

Sunnah nabi itu "isi" agama Islam, sedangkan hadits hanyalah "bungkus" prilaku nabi. Hal itu karena kitab-kitab hadits pada dasarnya hanyalah pencatatan keseharian nabi. Makanya ada hadits level shohih (kuat) dan hadits level dhoif (lemah). Nabi Muhammad SAW tercatat tiap hari berbahasa arab, tapi apakah itu agama Islam? Nabi Muhammad SAW tercatat tiap hari pakai sorban dan jubah, tapi apakah agama Islam? Nabi Muhammad SAW tercatat berpoligami, tapi apakah itu agama Islam?

Kita boleh berbahasa Indonesia, karena itu sunnatullah. Kalau Gusti Allah menjadikan kita burung merpati, kita jangan berkokok. Kalau Gusti Allah menjadikan kita kodok, kita jangan mengembik. Kalau Gusti Allah menjadikan kita orang Indonesia, jangan melawanNya dengan ingin jadi orang arab. Mengikuti kanjeng nabi bukan berarti menjadi orang arab.

Kita berbaju batik, kita dapat pahala kok. Kita ittiba' kanjeng nabi; menghormati budaya. Kanjeng nabi pakai sorban dan jubah itu karena gaya busana nasional Jazirah Arab seperti itu. Haditsnya memang nabi berpakaian seperti Abu Jahal dan Abu Lahab, pakai sorban dan jubah, tapi sunnah nabinya adalah menghormati budaya.

Jadi, pakai baju batik, nonton wayang kulit, atau pakai peci-sarung, semua ada pahalanya. Jangan mengikuti pola pikir yang terlalu streotip. Jawa/Sunda/Bugis/dll itu dicap klenik, Barat itu dicap modern, dan Arab itu dicap agamis. Abu Jahal itu bersorban, berjubah, berjenggot lebat, dan sangat fasih berbahasa arab, tapi dia bukan ulama. Orang barat yang jadi dukun pun juga banyak.

Haditsnya memang kanjeng nabi berpoligami, tapi sunnah nabinya adalah memuliakan perempuan. Catatannya memang Nabi Muhammad SAW beristri banyak, tapi inti agama Islam adalah pemuliaan terhadap perempuan. Poligami hanyalah “bungkus”.

Agama Islam jangan suka dipotong-potong demi kepentingan sesaat. Kisah kanjeng nabi menikahi Bunda Khadijah dihapus. Kisah kanjeng nabi melarang kebiasaan orang arab mengubur bayi perempuan hidup-hidup dihapus. Kisah kanjeng nabi melarang Ali bin Abi Thalib berpoligami juga dihapus. Penjelasan sebab turunnya “ayat poligami” juga dihapus. Tapi, kisah kanjeng nabi beristri banyak dicetak sangat tebal, seolah-olah Nabi Muhammad SAW mensyariatkan poligami.

Ada kisah seorang habib yang menarik. Habib tersebut masih muda dan perjaka. Sang guru pun mencarikan calon istri untuknya. Ada dua pilihan; satu masih perawan dan satunya sudah janda. Habib itupun memilih yang janda, karena ingin menolong sekaligus "mengikuti" masa muda leluhurnya. Perempuan yang janda itu (maaf) berumur lebih tua, lebih gemuk, dan lebih jelek daripada perempuan yang perawan. Habib itu memilih, bukan menjumlah. Para pembaca sekalian tentu bisa menilai sendiri.

*****

Sebenarnya, agama Islam bukan cuma terdiri dari dalil, tapi juga logika dan perasaan. Maka dari itu, Imam Abu Hamid Al Ghozali pernah menulis sebuah kitab tentang cara menghidupkan agama, adalah dengan melalui tiga pendekatan; menggunakan catatan teks, akal sehat, dan olah batin. Itulah sebab saya agak berbeda dengan pendapat ustadz A dan ustadz B yang mengharamkan ziarah kubur orang non-muslim sekalipun orangtuanya sendiri. Dalil mereka, mendoakan orang non-muslim itu sia-sia, bagi saya tidak.

Lebih baik urusan diterima atau tidaknya doa diserahkan pada Allah SWT. Tugas sebagai anak adalah mendoakan orangtua, terlepas apapun agamanya. Tugas sebagai muslim adalah berbuat kebaikan pada siapa saja, terlepas apapun agamanya. Agama Islam disebut “agama manusia”, bukan hanya karena karena memang agama Islam mengajarkan kebaikan, tapi juga manusiawi. Daripada mengutuk orangtua, bukankah lebih baik mendoakannya?

Setelah membaca tulisan sederhana ini, mungkin ada di antara pembaca sekalian yang “tertarik” pada saya. Jujur saya orangnya tidak pedulian. Pernah suatu ketika ada aktivis dakwah yang ingin menantang saya debat, bahkan sebelum saya iya-kan pun, dia sudah mengintimidasi , “Asal antum tahu, ana hapal 3,5 juz Al Qur’an.” Saya dengan cuek juga bilang, “Guru ngaji saya sewaktu SD adalah ustadzah yang hapal 30 juz Al Qur’an dan fasih berbahasa arab, jadi saya sama sekali tidak terpukau dengan Anda.”

Saya memang orangnya tidak suka diajak berdebat, karena kebanyakan orang yang hobi berdebat adalah cicak yang merasa dirinya adalah buaya, atau adalah burung emprit yang merasa dirinya adalah burung elang. Saya sukanya ziarah kubur para wali atau sekadar baca-baca biografinya. Orang sombong ada karena merasa sudah tidak punya lawan, sebab memang lingkungannya sempit. Sekadar icip-icip, para ulama zaman dulu sekali sholat, bisa khatam membaca 4-5 juz. Bahkan, sekali duduk, para ulama zaman dulu bisa ribuan kali melantunkan sholawat.

Tidak ada komentar: