Daftar Blog Saya

Rabu, 23 April 2014


Bara Perlawanan Petani di Urutsewu

Angga Yudhi, Pegiat di Suluh Pergerakan

Pukul 10.00 pagi itu, cuaca di Desa Setrojenar sangat cerah. Aktivitas warga, yang kebanyakan bertani, pagi itu tersela. Warga datang berbondong-bondong ke kantor kecamatan Buluspesantren guna menghadiri sosialisasi pemagaran lahan di wilayah pesisir selatan oleh TNI AD. Di depan kantor kecamatan tampak sekelompok serdadu TNI AD berpakaian loreng-loreng dengan menenteng senjata laras panjang. Mereka berjaga di beberapa sudut gedung kantor kecamatan serta di pinggir jalan. Tampak beberapa polisi juga hadir dalam acara tersebut. Di dalam ruang pertemuan yang tak bertembok di kantor kecamatan itu, warga memenuhi kursi-kursi yang disediakan, bahkan tak sedikit warga berada di luar ruangan. Acara sosialisasi itu dihadiri antara lain oleh pejabat Pemda, ketua BPN, dan Dandim Kabupaten Kebumen

 Penyerobotan tanah rakyat atas nama sosialisasi pembangunan dan penertiban barang milik negara oleh TNI AD di Desa Setrojenar (foto dokumentasi Social Movement Institute)

 Prajurit TNI AD berjaga di kantor kecamatan saat pertemuan dengan warga(foto dokumentasi Social Movement Institute)


Acara tersebut sebenarnya buntut dari tidak tuntasnya sengketa lahan di Urutsewu. Militer melalui TNI AD mengklaim tanah di pesisir selatan sebagai tempat latihan militer yang kepemilikannya berada pada negara. Warga menolak klaim sepihak tersebut. Selama ini warga memiliki bukti Buku C Desa serta Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang berarti mereka membayar pajak atas tanah yang mereka miliki. Selain itu, beberapa warga juga memiliki sertifikat tanah. Namun, klaim TNI AD semakin menjadi-jadi dengan rencana pembangunan pagar pembatas di sepanjang bagian selatan Urutsewu tersebut. Konflik pun tak terhindarkan. Di akhir pertemuan, warga bersikukuh untuk menolak pemagaran karena menyalahi hak kepemilikan warga atas tanah di pesisir selatan.
Lahan yang membentang antara Kali Lukulo di desa Ayamputih Kecamatan Buluspesantren di sebelah barat dan Kali Mawar di Desa Wiromartan, Kecamatan Mirit di sebelah timur itu biasa disebut sebagai Urutsewu. Jarak antar dua kali tersebut kurang lebih 22,5 kilometer. Warga yang terlibat dalam konflik berasal dari tiga kecamatan yang mencakup kurang lebih lima belas desa, yaitu Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan Mirit). TNI AD mengklaim lahan sepanjang 22,5 kilometer dan 500 meter dari bibir pantai sebagai tanah negara yang penggunaannya dipasrahkan kepada TNI AD sebagai tempat latihan militer. Bahkan dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kebumen ditegaskan bahwa wilayah selatan sebagai wilayah Hankam (Pertahanan dan Keamanan).
Paling tidak sejak sebelum kemerdekaan republik diikrarkan, tanah Urutsewu sudah digunakan untuk latihan militer. Pertama-tama adalah militer kolonial Belanda yang menggunakannya dari tahun 1937 sampai kedatangan Jepang. Selepas hengkangnya militer Belanda, militer Jepang lalu menggunakannya untuk latihan militer dari 1942-1945. Namun, tanah Urutsewu sudah dilangsir (pemetaan dan pengadministrasian tanah) sejak tahun 1922, hasil dari penyatuan beberapa desa pada tahun 1922. Di tahun 1932 klangsiran dilakukan kembali oleh Mantri Klangsir di bawah pemerintah kolonial Belanda dengan partisipasi warga Urutsewu. Tanah tersebut dipetakan berdasarkan nilai gunanya untuk menentukan besaran pajak yang akan dipungut.
Namun hasil klangsiran tanah pada tahun 1932 itu justru melahirkan klaim tanah oleh pihak kolonial Belanda di sepanjang pesisir selatan  karena pada saat yang bersamaan ditentukan pula tanah milik Belanda yang disebut sebagai “tanah kumpeni” dengan menancapkan patok sepanjang pesisir Urutsewu yang berjarak +150-200 meter. Patok yang berkode Q dan masih berdiri sampai sekarang ini dikenal oleh warga sebagai Pal Budheg. Di masa itu, semua tanah yang berada di utara Pal Budheg diakui sebagai tanah rakyat dan di bagian selatan sebagai “tanah kumpeni”. Klaim atas tanah di bagian selatan oleh pihak Belanda sebenarnya ditentang oleh warga Urutsewu karena tanah di pesisir selatan pun digunakan oleh warga untuk menambang garam. Maka warga yang berada di utara tetap membayar sewa atas penggunaan tanah di selatan kepada pemiliknya yang sah. Penolakan warga atas klaim pihak Belanda bahkan berujung pada perusakan gudang garam milik Belanda.


Bercokolnya TNI AD di Urutsewu

TNI AD mulai masuk ke Urutsewu pada tahun 1982 dengan dibangunnya mess Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar Kecamatan Buluspesantren. Bangunan tersebut berada di atas tanah desa dan beberapa warga. Pada saat yang hampir bersamaan, TNI AD juga melayangkan surat peminjaman tanah Urutsewu kepada kepala-kepala desa setempat. Tanah yang dipinjam tersebut diperuntukkan bagi latihan militer. Belakangan, peminjaman tersebut tidak lagi terjadi seturut dengan klaim kepemilikan tanah oleh TNI AD. Selain membangun mess, TNI AD juga membangun pos latihan di wilayah pesisir. Pos yang bertingkat tiga itu masih berstatus sebagai milik Mihad, warga Desa Setrojenar, dengan sertifikat yang dikeluarkan pada tahun 1969.

 Mess Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar Kecamatan Bulupesantren (foto dokumentasi Social Movement Institute)


Pada tahun 1998 TNI AD melakukan pemetaan atas tanah di Urutsewu. Pemetaan yang sepihak itu dilakukan oleh Serma Hartono (NRP: 549021) yang kemudian ditandatangani oleh kepala desa. Hasil pemetaan yang dibubuhi tandatangan beberapa kepala desa tersebut belakangan menjadi acuan kepemilikan tanah oleh TNI AD. Peta versi TNI AD itu memang bermasalah. Surat resmi kronologi konflik Urutsewu yang dikeluarkan oleh Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPKKS) dan Urutsewu Bersatu (USB) menyatakan bahwa pemetaan tersebut tidak sekalipun bisa dijadikan bukti pengalihan kepemilikan dari warga ke TNI AD. Belum lagi, pemetaan tersebut sudah tidak sah sejak awalnya. Pasalnya, yang berwenang mengukur tanah dan melakukan pemetaan adalah BPN (Badan Pertanahan Nasional) bukan TNI AD.
Permasalahan terus berlanjut. Pada tahun 2006, TNI AD mengklaim wilayah pesisir selatan yang berjarak 500 meter dari bibir pantai sebagai tanah Hankam. Klaim tersebut muncul dalam surat Camat Buluspesantren Nomor 621.11/236 tertanggal 10 November 2007 perihal tanah TNI. Entah bagaimana, surat yang muncul dari hasil musyawarah perihal permasalahan tanah TNI pada 8 November 2007 di pendopo Kecamatan Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar, dan Brecong, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) 3 desa, mantan Kades (2 desa), dan warga masyarakat 3 desa itu, menghasilkan klaim tanah TNI AD atas pesisir selatan. Di sisi lain, hasil audiensi dengan BPN Kebumen bersama DPRD Kabupaten Kebumen, 13 Desember 2007, menunjukkan bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.

 Pembangunan Jalan Lintas Selatan-Selatan

 Pada tahun 2007 juga permasalahn tanah di Urutsewu bertambah rumit dengan rencana pemerintah membangun Jalan Lintas Selatan Selatan (JLSS). Rencana tersebut sudah meruap sejak beberapa tahun sebelumnya. Isu yang berhembus, Jalan Daendels yang semula hanya selebar kurang lebih 5 meter akan diperlebar hingga kurang lebih tiga kali lipat. Pelebaran jalan sebagai upaya pembanguan jalan lintas selatan tak pelak mengakuisisi lahan milik warga Urutsewu. Patok-patok yang telah ditanam di sepanjang Urutsewu memperlihatkan batas-batas tanah yang akan diakuisi oleh pemerintah. Selama ini penetapan patok dipandang bermasalah oleh warga di Urutsewu. Pasalnya, pemerintah mengklaim Jalan Deandels pada awalnya memang selebar yang dipatok untuk jalan lintas selatan seperti saat ini tampak di sepanjang jalan tersebut. Hal itu berarti warga tidak sedikit pun berhak atas tanah itu.
Warga kecewa karena merasa dikangkangi secara sepihak. Mereka mulai memperkuat barisan. Pertemua-pertemuan antar warga mulai digalakkan. Mereka menentang upaya pemerintah (khususnya dinas PU) mengakuisi tanah sah mereka tanpa ganti rugi. Maka pada tahun 2006 lahirlah Korjasena (Korban Jalur Lintas Selatan). Sebuah organisasi yang mewadahi segala aksi penentangan akuisi tanah. Khususnya mereka yang tanahnya masuk dalam rencana pelebaran jalan. Korjasena diketuai oleh Seniman, warga Desa Petangkuran Kecamatan Ambal. Ia juga sosok yang cukup getol memperjuangkan hak-hak warga atas tanah mereka yang sah. Memang, ruang gerak Korjasena masih terbatas di Kecamatan Ambal saja. Hal itu karena isu yang muncul ketika itu adalah baru sebatas pelebaran jalan. Namun, dapatlah dibilang Korjasena adalah embrio dari gerakan dan aksi warga yang lebih luas yang melibatkan tiga kecamatan dengan isu yang terus berkembang di kemudian hari. Baik dalam hal latihan TNI, masuknya perusahan tambang pasir besi hingga perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
Di saat pembebasan lahan untuk pelebaran jalan masih bermasalah, TNI AD justru memperlebar luas tanah yang diklaim dari 500 meter dari bibir pantai menjadi 1000 meter. Buntutnya, TNI AD bisa meminta ganti rugi atas tanah yang terkena proyek pelebaran jalan. Surat Gubernur Jawa Tengah kepada Pangdam IV Diponegoro perihal Permohonan ulang aset pengganti tanah TNI AD memperkuat dugaan tersebut. Benar saja, TNI AD tidak sungkan-sungkan memasang pathok 1000 meter dari bibir pantai yang diklaim sebagai tanahnya. Warga tidak terima. Pathok-pathok tersebut dicabuti warga. Panglima Kodam IV mengancam akan melakukan pemathokan ulang serta menindak tegas bagi yang mencabut pathok yang ada. Bagi warga, klaim TNI AD tersebut tidak berdasar sama sekali. Selain itu, klaim TNI AD mencederai hak-hak warga atas tanah tersebut. Namun, perjuangan warga menuntut hak atas tanah mereka semaikin terjal ketika Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen disosialisasikan pada 13 Desember 2007. Pasalnya, Raperda RTRW dengan jelas menyatakan kawasan di antara Sungai Mawar dan Lokulo yang berjarak 1000 meter dari bibir pantai adalah wilayah Pertahanan dan Keamanan (Hankam). Warga semakin tidak terima dengan Raperda RTRW tersebut.
Sebelumnya pada tahun 2006 lahir Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) yang juga diketuai oleh Seniman. Jika Korjasena banyak berkutat pada aksi-aksi formal semisal dengar pendapat di DPRD, FPPKS sudah mulai melancarkan aksi-aksi ekstra parlementer. Dari unjuk rasa hingga blokade jalan desa. Isu utama bermuara pada kepemilikan tanah. Warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani itu, menuntut pengakuan hak mereka atas tanah. Maka dari itu setiap penggunaan lahan mereka, baik sebagai bagian proyek pelebaran jalan maupun latihan TNI harus bermula dari pengakuan negara akan hak warga sebagai pemilik tanah.


Rencana Penambangan Pasir Besir oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC)

Di tahun 2011 mulai berhembus isu penambangan pasir besi di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit. Izin eksplorasi sudah turun. Lahan yang akan ditambang adalah 591,07 ha, dengan 317,48 ha diantaranya adalah tanah milik TNI AD. Pada bulan April 2012 beberapa alat berat penegruk pasir dan mesin pemisah bijih besi masuk ke areal persawahan. Rupanya izin eksploitasi sudah diteken. Bahkan beberapa areal sudah dikeruk hingga sedalam tujuh meter. Pasirnya akan dijadikan sampel. Warga mulai resah. Mereka tidak sudi lahan pertanian mereka dikeruk dan dijadikan areal penambangan pasir besi. Mereka mulai mengadakan pertemuan dan urun rembug. Kesimpulannya, mereka harus membentuk wadah pergerakan. Maka lahirlah Perwira (Persatuan Warga Wiromartan) di awal tahun 2012. Widodo Sunu didaulat sebagai ketua.

Plang milik PT Mitra Niagatama Cemerlang di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit (foto dokumentasi Social Movement Institute)

Namun ternyata, usaha penambangan pasir besi oleh PT MNC mendapat dukungan dari TNI AD. Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008, tanggal 25 September 2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir Besi memperkuat temuan tersebut. Rupanya, isu penambangan pasir besi menjalar ke desa-desa sebelah seperti Tlogopragoto dan Miritpetikusan. Mereka memutuskan untuk membangun jejaring guna memperkuat barisan. Belakangan di pertengahan 2012 Sunu bertemu Seniman sang ketua Korjasena dan FPPKS. Keduanya bersepakat untuk menggabungkan seluruh Urutsewu dalam satu wadah pergerakan. Memang FPPKS telah mendaulat dirinya mewakili seluruh Urutsewu. Namun gaungnya tidak begitu disambut di Kecamatan Mirit. Ketakutannya, isu latihan TNI justru akan menyusahkan mereka yang berada di Kecamatan Mirit. Padahal mereka tidak secara langsung terkena imbasnya.
Namun, itu tidak berlangsung lama. Perda RTRW menetapkan sepanjang Urutsewu yang berarti pesisir selatan di tiga kecamatan itu adalah wilayah Hankam. Belum lagi di saat yang hampir bersamaan terbit surat izin eksploitasi dari Kodam Diponegoro kepada PT MNC, segalanya menjadi lebih terang. Semua desa di pesisir selatan yang mencakup tiga kecamatan itu harus bersatu. Toh pada akhirnya isu kepemilikan tanah menjadi tali simpul perlawanan warga di tiga kecamatan itu. Aksi mobilisasi massa pun lebih besar jika bersatu. Namun atas pertimbangan agar terbangun suatu fraksi perlawanan baru maka dibentuklah USB (Urut Sewu Bersatu) pada bulan Juni 2012. Lagi-lagi Widodo Sunu didaulat sebagai ketua.
Dengan berdirinya USB, semangat perlawanan semakin menebal dan lebih taktis. Melalui USB usaha pembentukan organisasi masyarakat desa di sepanjang Urutsewu didorong. Hasilnya, hampir setiap desa memiliki ormas desa. Beberapa di antaranya adalah Laskar Dewi Renges, Parlemen, Katean, Selongan, Staman dan lain-lain. Melalui ormas desa ini pula USB mendorong lahirnya sosok-sosok yang akan memimpin desa. Tidak heran jika pemilihan lurah selalu diusahakan agar sosok-sosok yang akan tampil adalah mereka yang benar-benar membela kepentingan warga. Hasilnya ada sekitar tujuh desa yang dipimpin lurah yang memiliki tekad kuat membela hak-hak warga. Sebagai contoh di Wiromartan sendiri ada Widodo Sunu. Petangkuran dilurahi oleh Muhlisin. Tlogopragoto dilurahi oleh Guntoro.
Perjuangan rakyat Urutsewu menuntut pengakuan hak-haknya semakin terjal ketika TNI AD pada awal tahun 2014 ini mulai memagari wilayah Urutsewu. Padahal, pemagaran tersebut ditentang oleh warga karena tanah tersebut milik warga. Kepemilikan tanah secara sah berada di tangan mereka. Namun, TNI AD ngotot. Pemagaran tetap dilakukan, setelah beberapa kali sosialisasi yang dilakukan oleh TNI AD bersama pejabat-pejabat daerah. Kengototan TNI AD dalam melakukan pemagaran atas tanah warga, jelas menunjukan bahwa masih kuatnya kekuasaan militer dalam urusan publik. Tentu saja di sisi lain, indikasi adanya kong-kalikong antara militer dan pemilik modal menunjukkan bahawa negara ini juga masih dikubangi oleh unsur-unsur dari kekuasan lama yang semakin liat di tengah proses demokratisasi Indonesia.

Tidak ada komentar: