Daftar Blog Saya

Sabtu, 08 Maret 2014

Oleh:Hendi Jo

ADA APA DENGAN ORANG KAMPUNG? Saya masih ingat kejadian itu. Sekitar 3 tahun silam, seorang kawan yang sudah lama tinggal di Eropa, datang berkunjung ke rumah saya. Kami banyak ngobrol soal ini dan itu, termasuk gaya hidup di Eropa yang menurutnya sangat futuristik,” Lo tahu ga, Hen saking modern-nya Eropa, itu yang namanya kloset nyiram sendiri begitu kita buka pintu kamar kecilnya,”ujar teman saya tersebut dalam nada yang terkagum-kagum (dan bisa jadi bangga).

Saat asyik ngobrol, tiba-tiba lewatlah seorang lelaki perpenampilan sangat sederhana di depan halaman rumah saya. Ia lantas menyapa saya dan menganggukan kepala, tanda sikap menghargai. Bagi saya, sikap tetangga saya itu sungguh berharga dan manis. Dan itu yang saya lihat dan rasakan dari dia selama ini.

“Siapa tuh, Hen?”tiba-tiba teman saya bertanya dalam nada yang (saya tahu) meremehkan.
“Pak Tikno, tetangga saya, memang kenapa?”

“Orangnya kayaknya kampungan ya?” Eh dia malah balik bertanya.

Saya selalu tidak paham dengan pernyataan seperti itu. Kalau dia kampungan, memang itu salah? Ada apa dengan orang kampung sehingga harus dicibir seolah-olah penghuni neraka yang nonggol tiba-tiba di dunia dan harus cepat dienyahkan?

Rupanya inilah penyakit jiwa masyarakat modern. Dalam The McDonaldization of Society, George Ritzer menyebut ciri-ciri manusia modern sebagai pengagung rasionalitas. Begitu rasionalnya masyarakat modern hingga mereka kerap “mengeksekusi” sesuatu berdasarkan nalarnya semata atau perspektif yang kadang ironisnya justru irasional. “Sehingga menjatuhkan dirinya pada situasi yang justru dia kecam,”ujar sosiolog ternama tersebut.

Jujur saja, saya tidak pernah memiliki masalah dengan orang kampung . Bahkan bagi saya, orang kampung adalah bentuk dari masyarakat yang masih murni (terlepas dari pengaruh modernisasi yang mulai membunuh kemurnian mereka). Mereka adalah orang yang setia kepada etika purba yang lebih harmonis (menurut saya). Dan karena itulah, saya sangat tidak setuju terhadap penggunaan kata “kampungan” itu dalam bahasa kita. Itu mirip kata "black" dalam kamus bahasa Inggris yang selalu diartikan peyoratif

Sesungguhnya, kalau kita mau berani menengok silsilah, semua orang di dunia ini awalnya adalah orang kampung. Kerajaan Majapahit yang besar luar biasa itu asalnya berasal dari sebuah kampung bernama Maja, lalu Paris yang sekarang glamour pun dulu tak lebih sebagai kampung kumuh yang kemudian dibangun orang-orang Frank. Begitu juga New York dan Amsterdam yang dulu terdiri dari ghetto-gheto (kampung Yahudi), sejarahnya adalah kampung. Jadi sejarah kota-kota besar di dunia ini pada hakikatnya adalah kampung.

Kota memang menjadi tempat segala perkembangan mutakhir ada. Tapi bukan berarti kampung menjadi buruk. Tanpa kampung, kota tak lebih hanya sebidang tanah yang tak memiliki fungsi apa-apa laiknya orang sakit yang tak memakai busana. Tidak ada yang salah menjadi orang kampung, seperti tidak ada salahnya menjadi orang kota. Kecuali kalau orang-orang kota sudah bisa memproduksi sendiri beras, buah-buahan, bumbu rempah-rempah, kayu dan material-material penting lainnya, silakan “orang-orang kota” menghardik orang yang berbeda dengan diri mereka sebagai “kampungan”.

Lantas dari mana asalnya “sikap sok kota” tersebut muncul? Saya curiga ini peninggalan politik segregasi khas Hindia Belanda. Untuk mengabadikan dominasi dan hegemoni penjajahan, para ahli strategi budaya politik Belanda dengan ciamik menanamkan “kehinaan” menjadi orang kampung dan keinginan luar biasa menjadi seperti orang kota (saat itu orang-orang kota terdiri dari bangsa Belanda dan para priyayi). Artinya inilah upaya pencerabutan identitas sistematis yang berujung pada kemalasan untuk melawan dan berkreasi sebagai sebuah bangsa mandiri

“Bangsa yang inferior adalah sekumpulan manusia yang tidak percaya diri dan selalu berlindung pada kebesaran kaum yang menjajahnya dengan bersikap seperti laiknya kaum penjajah,”kata Gayatri Spivak dalam Teori Post Kolonial. (hendijo).

Tidak ada komentar: