Daftar Blog Saya

Rabu, 30 April 2014

Oleh:Alfathri Adlin

Belakangan ini di Indonesia acapkali muncul demonstrasi menuntut dihapuskannya demokrasi dan menuntut pemberlakuan negara Islam. Gerakan-gerakan semacam itu mengandung kontradiksi dalam pergerakannya sendiri, yaitu, sambil menolak dan mencaci-maki demokrasi, keberadaan dan kebebasannya untuk bersuara menolak demokrasi justru dijamin oleh demokrasi. Menghina dan menolak demokrasi sambil menikmatinya. Ada apa dengan demokrasi? Sebagaimana kita tahu, Platon pun mengkritik demokrasi, terutama demokrasi agregatif, karena terbukti demokrasi semacam itu telah membunuh gurunya, yaitu Sokrates, manusia paling bijak di seantero Yunani. Sekali lagi, ada apa dengan demokrasi?

Demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh demos, ada pun demos ini sendiri memiliki dua arti, yaitu bisa “rakyat” (people) atau “massa beringas, vulgar dan tidak becus” (mob). Dan bentuk yang paling lazim dari demokrasi adalah berupa akumulasi suara mayoritas hasil ‘pemilihan’ (voting) sebagai tolok ukur dari apa yang dikehendaki rakyat, sehingga dengan demikian, suara mayoritas itu akan menjadi pijakan untuk mencari apa yang baik bagi tata negara, bagi kebaikan bersama (common good) dan ini merupakan sebentuk pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Karena itulah, dalam hal ini demokrasi merupakan sebentuk ‘tindakan politik’ (political acts) karena terkait langsung dengan ‘tatanan hidup bersama’ atau ‘politik’.

Namun, permasalahan yang lazim muncul dalam demokrasi semacam ini adalah apakah orang-orang menjatuhkan pilihan karena “selera pribadi” (preference) atau karena “kehendak bagi kebaikan umum”? Terlebih lagi apabila “tindakan politik” dalam demokrasi itu dilakukan dengan kriteria “pilihan pasar” dan/atau “kriteria sektarian”. Tindakan seseorang masuk ke bilik suara adalah tindakan sakral karena pilihan yang dijatuhkan oleh seseorang dalam bilik suara itu akan menjadi keputusan ihwal “kebaikan bersama”, dan dua kriteria barusan jelas akan cenderung merusak demokrasi. Ini bisa kita lihat contohnya di negara kita sendiri, Indonesia.

Pramono Anung, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dalam disertasi doktoral di Unpad Bandung mengungkapkan bahwa untuk menjadi anggota legislatif periode 2009-2014, seorang caleg bisa menghabiskan biaya antara Rp. 300 juta hingga Rp. 6 milyar. Murah mahalnya biaya politik ini sangat tergantung kepada ketenaran sang caleg; semakin tenar dia, maka semakin murah biaya yang harus dikeluarkan. Maka, ini bisa menjelaskan fenomena kenapa banyak selebritis, juga pengusaha berduit, yang terjun ke politik, dan bukannya mereka yang sejak lama berkecimpung di dunia politik dan aktivisme, karena tanpa dibayar pun berita dan infotainment akan gencar memberitakannya dan menjadi sarana kampanye gratis.

Selain itu, demokrasi juga membutuhkan penyebaran dan penumbuhan kesadaran serta wacana politik di ruang publik agar tumbuh empati dan partisipasi untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, yang menjadi ajakan bagi kesediaan berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah bersama, dan itu bisa ditumbuhkan oleh kekuatan budaya literasi. Di negara-negara maju di Barat, surat kabar minggu menjadi semacam perayaan wacana politik dan budaya yang mendalam. Sementara di Indonesia, surat kabar minggu malah diisi dengan berita sosialita, gaya hidup, iklan serta ulasan apartemen dan komoditi baru, plus gosip.

Terkait hal ini, Daoed Joesoef, mantan Mendikbud masa Orde Baru menyatakan bahwa “Manusia perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa menjadi seorang pembaca, tanpa membiasakan diri untuk membaca, tanpa berbudaya baca. Namun sebuah ‘demokrasi’ hanya akan berkembang, apalagi survive, di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.” Terlebih dengan maraknya media sosial, yang selain memang punya pengaruh politis juga, namun harus disadari dampak ‘kedangkalan’ (the shallow) karena menyediakan informasi yang sepenggal-sepenggal dan click activism beserta status keluh kesahnya plus komentar-komentar yang menyertainya. Jauh hari sebelumnya, Soren Kierkegaard sudah menyatakan: “Orang-orang menuntut kebebasan bicara sebagai keompensasi bagi kebebasan berpikir yang jarang mereka manfaatkan.”

Dan Yudi Latif pun menandaskannya sebagai berikut: “Dunia kelisanan adalah dunia pemusatan yang mengarah pada elitisme. Dalam tradisi kelisanan hanya ada sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber informasi. Kelangkaan ini menganugerahkan privilese khusus kepada sedikit elite yang membuatnya dominan secara politik. Adapun dunia keberaksaraan adalah dunia penyebaran. Perluasan kemampuan literasi dan jumlah bacaan mendorong desentralisasi penguasaan pengetahuan. Desentralisasi ini secara perlahan memerosotkan nilai sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme. Elitisme mengandung mentalitas narsistik yang berpusat pada diri sendiri, tanpa empati dan kesungguhan mengajak partisipasi. Egalitarianisme mengandung kepekaan akan kesederajatan hak, oleh karenanya berusaha mencegah timbulnya dominasi dengan menggalakkan partisipasi. Tak heran, dalam negeri dengan tradisi literasi yang kuatlah demokrasi bisa tumbuh dengan kuat. Athena (Yunani) sering dirujuk sebagai ”ibu demokrasi” karena berakar pada tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet. Peradaban Yunani dan Romawi adalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas baca-tulis masyarakat.”

Tidak ada komentar: