Daftar Blog Saya

Rabu, 30 April 2014

Oleh:Alfathri Adlin

Seperti halnya istilah ‘budaya’, istilah politik pun termasuk dalam ‘omnibus’, yaitu istilah yang bisa dipakai untuk apa saja sehingga maknanya pun menjadi kosong, seperti penanda tanpa petanda, dan sering mengalami kelatahan pemakaian. Istilah politik berasal dari kata ‘polis’ (negara kota di Yunani), kemudian melalui bahasa Indo-Eropa menjadi istilah politik seperti banyak dipakai sekarang. Ada juga istilah ‘politikos’ yang artinya segala urusan mengenai polis, sedang istilah politike adalah seni dan pengetahuan untuk mengembangkan polis. Definisi paling umum dari politik adalah ‘tatanan hidup bersama’ dan ini bisa dijadikan landasan awal untuk mencermati apa perbedaan antara ilmu politik dan filsafat politik serta mengapa kedua disiplin ini saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain.

Ilmu politik, bukan dalam pengertian politike episteme, merupakan kajian yang mengkaji gejala politik secara sistematik berdasarkan fakta dan pengalaman empirik langsung. Wilayah ini bisa dikatakan tidak melakukan evaluasi normatif atas suatu sistem politik atau tata pemerintahan dan lebih berurusan dengan regularitas gejala tata pemerintahan, lebih fokus pada urusan pola dan pernyataan faktual. Sementara filsafat politik, seperti halnya ciri pemikiran filsafat yang dipaparkan oleh Isaiah Berlin, berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memunculkan teka-teki dan tidak bisa dengan begitu saja di cari jawabannya pada kamus, misalnya, karena terkait perkara-perkara yang mendasar, fundamental dan bersifat umum. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kategori pengetahuan “empirik-faktual” mau pun “logis-formal”, karena tidak bisa semudah itu dimasukkan ke dalam salah satu keranjang dari kedua kategori pengetahuan tersebut, tidak secara langsung menunjukkan ke arah mana dan dengan prosedur apakah pertanyaan itu bisa dicari jawabannya (apakah melalui data observasi atau melalui kalkulasi murni, lepas dari pengetahuan faktual), maka menjadi tugas filsafat untuk menjawabnya. Pertanyaan semacam itu bisa membingungkan dan bisa mengganggu orang-orang yang terbiasa berkecimpung di wilayah praktis dikarenakan tidak menunjukkan atau menggiring mereka ke jawaban yang jelas atau pengetahuan jenis apa pun yang berguna untuk langsung diterapkan. Ada suatu sifat dasar yang beragam dari pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut, sebagiannya tampak seperti pertanyaan tentang fakta, sebagian lainnya adalah pertanyaan tentang nilai. Satu-satunya ciri yang sama dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah kesemuanya tidak bisa dijawab oleh observasi atau pun kalkulasi, oleh metode deduktif mau pun induktif, dan sebagai hal lazim krusial dari hal ini, orang-orang yang melontarkan pertanyaan ini berhadapan dengan kebingungan sejak awal, ke mana harus mencari jawabannya. Terlebih lagi sebagian dari pertanyaan ini dikenal bersifat sangat umum dan berkaitan dengan permasalahan prinsip dasar, dan yang lainnya, walau tidak bersifat umum dengan sendirinya, dengan segera akan memunculkan atau menggiring ke arah pertanyaan mengenai prinsip dasar.

Filsafat politik mencoba menjawab berbagai pertanyaan di seluruh wilayah politik yang tak bisa dijawab oleh pengetahuan-pengetahuan empirik, mendekati berbagai perkara dalam wilayah politik tadi secara mendasar, secara filosofis, melalui keketatan logika, argumentasi logis formal dan bisa dipertanggungjawabkan di wilayah. Seperti kata Isaiah Berlin, “Evaluasi tentang nilai (normatif) yang dilarang masuk lewat pintu-depan ilmu politik, sosiologi, atau ekonomi, biasanya diselundupkan masuk melalui pintu-belakang ilmu-ilmu itu” yaitu Filsafat, maka karena itulah, Filsafat Politik selalu melakukan evaluasi normatif atas suatu tata pemerintahan dan sistem politik. Karena itulah, Ilmu politik akan kerdil tanpa didukung oleh Filsafat Politik, dan juga sebaliknya; terlebih refleksi filosofis yang tidak menemukan realitas konkretnya sebagai pijakan akan mudah berubah menjadi lamunan semata.

Seperti telah dikemukakan di atas, kata politik berasal dari sebuah istilah dari bahasa Yunani, yaitu ‘polis’ yang secara semantik artinya adalah ‘hidup bersama’. Namun, hidup bersama di sini bukanlah berdasarkan ras, etnis, agama atau pun perbedaan gender, melainkan komunitas hidup bersama yang dibentuk oleh konstitusi. Kenapa politik disebut sebagai hidup bersama? Karena itu merupakan perpindahan dari kondisi ‘hidup tidak bersama’. Itu premisnya. Bahkan dalam filsafat politik Yunani disebutkan bahwa orang-orang yang tidak hidup bersama adalah orang-orang yang tidak punya tata negara, tidak hidup berdasarkan hukum, tidak hidup berdasarkan konstitusi, tidak hidup berdasarkan apa yang disebut sebagai gagasan “civility”. Dan kata “civility” itu juga berasal dari kata “civis” yang artinya adalah “warga negara”. Karena itu, hidup bersama adalah hidup yang punya tata negara, dan orang yang hidup di dalamnya disebut sebagai warga negara. Dan dalam filsafat politik Yunani ada istilah “barbar” untuk membedakan dengan orang-orang yang hidup di dalam polis.

Ketika berbicara soal negara dan politik, maka tahap awalnya selalu dibicarakan terlebih dahulu ihwal “state of nature”, atau keadaan alami. Bahwa kita butuh negara karena kalau dalam keadaan alami, tak ada hukum, siapa pun boleh merampas, memperkosa, membunuh orang lain. “State of nature” itulah yang selalu menjadi landasan kenapa negara diperlukan. State of nature menjadi titik tolak untuk menjelaskan masyarakat sipil (civil society) karena dengan menggunakan logika negatif itulah kita bisa memahami apa itu tata negara sebagai tata hidup bersama beserta signifikansinya dan kebaikannya bagi kehidupan bermasyarakat; terlebih karena filsafat politik sangat peduli dan memperhatikan dampak baik mau pun buruk dari politik sebagai tata hidup bersama. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan semacam oposisi biner, bahwa segala hal itu memiliki pasangan yang berkebalikan seperti laki-laki/perempuan, terang/gelap, Barat/Timur, dan seterusnya. Bahwasanya suatu hal akan akan lebih terjelaskan dan terpahami justru dengan menjelaskan dan membandingkannya juga kepada ketiadaannya (absent) dan kehadiran kelawanannya.

Keadaan alami tidak harus berupa suatu kondisi nyata empiris, tetapi cukup sebagai kondisi kemungkinan (hypothetical condition), suatu kondisi yang mungkin saja terjadi apabila tidak ada tata negara. Thomas Hobbes juga memberikan ilustrasi dari sejarah, yaitu suatu tradisi di Persia. Ketika raja mangkat, maka rakyat harus menjalankan kekacauan (atau ketiadaan hukum yang berlaku di masyarakat) selama 5 hari sehingga dengan demikian rakyat akan belajar mengalami bagaimana keadaan alami yang begitu gelap dan betapa mengerikannya keadaan tersebut ketika siapa pun bebas merampok, membunuh, menjarah dan lain sebagainya. Dengan cara seperti itu, maka diharapkan rakyat akan belajar bagaimana menjadi penjaga yang andal bagi raja mereka. Dalam keadaan alami, kelangsungan diri (self-preservation) menjadi sentral, dan dalam kondisi seperti inilah maka manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Keadaan alami ini juga pernah dialami di Indonesia ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, ketika di banyak tempat, terutama di Jakarta, orang ramai menjarah dan merusak dan bahkan memperkosa perempuan dari etnis Tionghoa. Dampak dari runtuhnya Orde Lama mau pun Orde Baru dalam beberapa hal mirip dengan dampak yang terjadi ketika suatu negara dilanda peperangan, di dalamnya siapa pun bisa menjadi apa pun. Maka setelah kerusuhan Mei ’98 yang menyerupai keadaan alami itu, maka wajah perpolitikan di Indonesia menjadi tidak karuan, dari mulai gembala domba hingga selebritis semuanya bisa menjadi politikus tanpa kompetensi atau pengalaman politik sedikit pun. Atau juga seperti yang sering terjadi di negara-negara Afrika sehingga muncul akronim “T.I.A” yang merupakan singkatan dari “This is Africa”, sebuah akronim yang pertama kali populer di Afrika Selatan untuk menunjukkan keadaan alami yang diakibatkan oleh perang berkepanjangan serta pencarian dan perebutan tambang berlian.

Dalam keadaan alami maka, seperti diungkapkan oleh Thomas Hobbes, tak mungkin akan berkembang industri, tak akan ada pengelolaan hasil bumi, tak ada pengetahuan yang berkembang, tak tumbuh budaya literasi, singkatnya tak akan ada sendi-sendi yang membentuk dan menyangga peradaban manusia seperti yang ada dalam masyarakat sipil. Singkatnya, keadaan alami bisa dibayangkan seperti kehidupan di hutan yang tak akan memungkinkan lahirnya peradaban dari para penghuni di dalamnya, sementara negara itu bisa dibayangkan seperti sebuah kota yang merupakan buah dari peradaban hasil dari masyarakat sipil.

Karena dalam keadaan alami (state of nature) setiap orang tampaknya bebas untuk melakukan apa saja, maka untuk mengatur kebebasan individual semacam itu diadakanlah kontrak sosial bahwa setiap individu menyerahkan haknya—dengan syarat individu lain pun menyerahkan kebebasannya—kepada otoritas yang akan menjamin keamanan individu-individu tersebut. Dari situ, muncullah otoritas politik atau negara yang berdaulat, dalam arti otoritas yang tak perlu bertanggung jawab kepada otoritas lain di atasnya. Hal ini nantinya akan memunculkan dilema dan ketegangan abadi antara “kebebasan warga” dengan “otoritas negara”: sejauh mana kebebasan individu harus dijaga tanpa begitu saja meniadakan otoritas negara.

Dalam analisinya tentang arti penting negara, Hobbes mengemukakan suatu gagasan resolutif pertama dengan membayangkan seolah-olah masyarakat dibubarkan (dissolved) yang berarti membayangkannya hidup dalam keadaan alami, dalam keadaan yang ganas, yang menurut Hobbes: “seakan-akan menyembul keluar dari bumi, dan tiba-tiba seperti jamur berkembang biak tanpa mengenal satu sama lain.” Setelah masyarakat dibubarkan, maka Hobbes pun memulai pembahasannya dari unsur terkecil dari masyarakat, yaitu manusia sebagai individu, dan Hobbes menghabiskan 16 bab awal bukunya untuk membahas tentang manusia, begitu juga B. Herry-Priyono menyatakan bahwa pembahasan Filsafat Manusia itu disampaikan sebelum Filsafat Politik. Dengan menggamit pemikiran Galileo tentang ‘gerak’ (motion), Hobbes mulai menelaah kompleksitas manusia dan memaparkan bahwasanya hasratlah yang senantiasa menggerakkan manusia untuk mencari felisitas. Namun, untuk menyalurkan hasrat mencapai felisitas tersebut dibutuhkan kekuasaan, yang bahkan ditumpuk, sehingga terjadilah kompetisi di antara individu karena semua individu pun menghasratinya. Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). Kompetisi ini merupakan kesiagaan untuk berperang yang dipicu oleh tiga hal,yaitu perolehan, pertahanan bagi rasa aman, dan kejayaan atau reputasi.

Dari manusia sebagai individu, Hobbes meningkatkan analisisnya ke tingkatan pembentukan Hukum Alami (lex naturalis), ketika nalar menemukan cara-cara menuju perdamaian yang dengan itu akan tercapailah persetujuan. Hukum alami adalah prinsip yang secara alamiah menyimpulkan pelarangan bagi siapa pun untuk “menghancurkan hidupnya sendiri, atau meniadakan sarana untuk mempertahankan hidupnya sendiri, dan juga merampas apa yang menurut pertimbangannya dapat menjadi sarana mempertahankan hidup.” Hasrat untuk mempertahankan kelangsungan hidup sendiri ini lahir dari ketakutan manusia akan kematian. Hukum alami ini memiliki pokok sentral, yaitu, (1) siapa pun harus mencegah perang, dan (2) untuk mencegah perang semua orang harus menyerahkan hak-haknya sejauh orang lain juga menyerahkan hak-haknya, inilah yang disebut sebagai kontrak, lalu (3) setiap orang wajib mematuhi perjanjian apa pun yang telah di buat. Dengan menyerahkan hak-haknya tersebut, maka, menurut Hobbes, “Kawanan manusia dipersatukan dalam satu Pribadi, dan itu disebut Negara, atau dalam bahasa Latin Civitas. Melalui proses inilah dilahirkan Leviathan Agung.”

Maka, pada tahap berikutnya, Hobbes memasuki tahap kompositif akhir, yaitu ketika Orang atau Instansi yang disebut sebagai Negara itu lahir, Leviathan Agung, ‘Raja Orang-orang Congkak’, yang merupakan penjelmaan dan perpanjangan dari hasrat-hasrat manusia yang bersatu membentuk satu Pribadi bernama Negara tersebut. Setiap orang adalah pembentuk Negara yang tercipta dari apa yang dilakukan oleh kekuasaan yang berdaulat itu sendiri; mengeluhkan tentang kekuasaan yang berdaulat berarti mengeluhkan apa yang diciptakannya sendiri. Sedang mengenai bentuk Negara itu sendiri, Hobbes memaparkan bahwa perbedaannya terletak dalam kadar kedaulatan; jika berada di tangan satu orang akan disebut Monarki, di tangan dewan akan disebut Demokrasi, jika dewannya hanya terdiri dari beberapa orang maka akan disebut Aristokrasi.

Menurut John Stuart Mills, negara bisa membatasi kebebasan warga jika dan hanya jika kebebasan itu mengancam kebebasan orang lain. Pembatasan ini diperlukan sebagai instrumen untuk mencapai sesuatu yang lain, yaitu pencapaian ‘kebahagiaan’ sebagai maksimalisasi kenikmatan dan minimalisasi rasa sakit. Namun, negara tidak boleh membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat, karena jika pendapat salah mau pun benar di beri ruang untuk beradu, maka masyarakat mempunyai kesempatan untuk meninjau ulang mana pendapat yang salah dan mana yang benar. Singkatnya, bagi Mills, setiap orang itu bebas dan setara.

Kaum Marxis mengkritik cara pandang kaum liberal yang mencoba menghapuskan berbagai perbedaan dan mengubahnya menjadi kesetaraan status warga negara, dan bagi kaum Marxis itu hanyalah ilusi, sebab itu tidak lebih dari emansipasi politik saja, hanya di atas kertas saja, maka yang dibutuhkan adalah bukan semata emansipasi politik, tapi juga emansipasi manusia meliputi ekonomi, kultural, gender dan lain sebagainya. Sementara kaum komunitarian mengkritik dengan mengemukakan pandangan tentang manusia sebagai makhluk sosial, dengan identitas dan kesadaran yang tak mungkin di cabut dari komunitas tempat dia hidup.

Ada pun apabila “otoritas negara” yang ditiadakan maka itu adalah anarkisme, sementara apabila “kebebasan warga” yang ditiadakan maka itu adalah otoritarianisme. Pemutlakan salah satu kutub itu justru menunjukkan ketidakmatangan dalam politik dan merupakan penyakit tata negara. Kedua ini akan selalu bertegangan, abadi, dan B. Herry-Priyono menyebutnya sebagai tegangan eksistensial. Titik tengah di antara kedua tegangan ini bisa terjadi, walau tidak sepenuhnya stabil, meski pun merupakan indikasi kematangan dalam politik namun sulit tercapai, karena titik tengah itu membosankan, karena, misalnya, bukankah lebih menarik untuk melihat ketegangan antara muslim liberal dengan muslim radikal?

Tidak ada komentar: