Daftar Blog Saya

Rabu, 05 Maret 2014

KH.Maimoen Zoebair

KH. Maimoen Zubair:

Jika manusia ingin berkembang ilmunya, maka dia harus mau belajar dan membaca. Kemudian untuk mengetahui kualitas keilmuannya, dirinya harus mau diuji. Karena dengan ujian atau ikhitibar dapat menjadikan seseorang lebih spesifik dalam memahami suatu kajian ilmiah dalam bidang tertentu. Dengan ikhtibar seseorang bisa mengetahui seberapa besarkah kemampuan yang dia miliki. Sehingga, dari hasil ujiannya ini dia dapat berkaca. Jika baik akan berusaha menambah kebaikannya. Jika hasilnya buruk, maka akan berusaha untuk membenahinya.

Tentang permasalahan ikhtibar atau ujian ini telah dicontohkan oleh Nabi Khidir kepada Nabi Musa. Waktu itu, Nabi Musa ditanya oleh kaum Bani Israil tentang siapa yang lebih alim? Nabi Musa menjawab bahwa dirinyalah yang paling alim. Namun, jawaban Nabi Musa atas klaim untuk dirinya ini mendapat teguran dari Allah. Allah berfirman kepadanya bahwa Dia mempunyai hamba yang lebih alim dari pada Nabi Musa. Yaitu, Nabi Khidir. Sehingga, hal ini mengharuskan Nabi Musa untuk berguru kepadanya.

Dalam berguru kepada Nabi Khidir, Nabi Musa diberi suatu syarat yang harus dipenuhinya. Yaitu, Nabi Musa tidak boleh berkomentar terhadap tindakan yang dilakukan oleh Nabi Khidir di saat Nabi Musa menyertainya. Ternyata, Nabi Musa gagal dalam memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Nabi Khidir.

Nabi Musa gagal dalam memenuhi syarat yang telah diinginkan oleh Nabi Khidir meskipun dalam zahirnya Nabi Musa kelihatan lebih mulya dari pada Nabi Khidir. Memang begitulah Allah. Terkadang menciptakan seseorang yang dilihat secara zahirnya dia itu tidak mulya. Namun, secara batinnya dia adalah orang yang mulia. Maka dari itu, hendaknya seseorang janganlah sombong dengan sesuatu yang dia miliki. Sehingga, dirinya merasa paling baik.

Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir ini adalah pentingnya seseorang mempunyai dua ilmu. Yaitu, ilmu Syariat dan ilmu Hakikat. Ilmu syariat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Musa. Sedangkan ilmu Hakikat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Khidir.
Ilmu Hakikat ini cahayanya langsung dari Allah. Jika kedua ilmu ini kumpul, maka inilah yang disebut dengan Majmaal Bahrain, tempat berkumpulnya dua lautan. Yaitu, lautan Syariat dan lautan Hakikat.

Masalah ikhtibar juga pernah dicontohkan oleh Imam as-Syafii ketika berguru dengan Imam Waki'. Kalau dilihat secara nasab, Imam Syafii itu lebih mulia bila dibandingkan dengan Imam Waki'. Imam Syafii masih keturunan bangsa Quraisy yang merupakan suatu kebilah yang paling mulia. Sedangkan Imam Waki' hanyalah orang Ajam. Akan tetapi, mengapa Imam Syafii mau mengadukan hikayahnya kepada Imam Waki' padahal dirinya mempunyai guru utama. Yaitu, Imam Malik. Imam Syafii berkata dalam Syairnya:

شكوت الى وكيع سوء حفظ # فارشدنى الى ترك المعاصى
فأخبرنى بـأن العلـم نـــــور # ونور الله لايعطى لعــاصى

Tentang keinginan Imam Syafii berguru dengan Imam Waki' ini telah mendapatkan komplain oleh keluarganya. Mengapa Imam Syafii yang masih berdarah Quraisy mau berguru dengan orang yang bukan Quraisy? Akhirnya, terjawablah kemusykilan keluarga Imam Syafii ketika dirinya beradu ilmu dengan Imam Waki' dalam masalah ilmu Gramatika Arab. Imam Syafii mengetahui Arab berdasarkan Habitatul Arab (lingkungan Arab). Sedangkan Imam Waki' mengerti bahasa Arab itu berdasarkan kedalaman ilmunya mengenai ilmu Gramatika Arab. Ketika melihat kehebatan Imam
Waki' ini, keluarga Imam Syafii sudah tidak isykal lagi.

Dari ceritanya Imam Syafii dengan Imam Waki' ini dapat diambil menjadi sebuah pelajaran bahwa yang diutamakan dalam berguru adalah ke-alim-an, bukan masalah nasab atau derajat yang lainnya. Buanglah kesombongan kita ketika hendak belajar menuntut ilmu agama. Jangan lihat dengan siapa engkau berguru. Apakah dengan orang yang derajatnya mulia atau tidak? Yang terpenting adalah ilmu yang telah disampaikan oleh seorang guru tadi. Ingatlah, meskipun bahasa Arab itu adalah milik orang Arab, akan tetapi orang yang mengarangnya bukanlah orang Arab. Karangan ilmu nahwu datangnya dari Imam Sibaweh yang bukan orang Arab.
Kealiman seseorang dijadikan sebagai pondasi utama. Inilah yang mengantarkan kita untuk lebih mengenal Allah dan mendekati-Nya. Jangan lihat apakah dia itu tamatan dari Makkah atau Yaman.

Ketika Imam Ghazali berada di daerah Tuz (suatu kawasan yang masuk daerah Uzbekistan), beliau mengarang kitab yang terakhir dalam masa hayatnya. Yaitu, kitab Minhajul Abidin. Kitab ini disyarahi oleh Mbah Ihsan Jampes dengan nama kitab Sirajut Thalibin. Mbah Ihsan ini bukanlah orang Arab. Namun, dirinya dapat mensyarahi kitab yang berliteratur Arab. Padahal untuk berbicara bahasa Arab saja, Mbah Ihsan tidak bisa. Hal ini sebagaimana yang telah disaksikan oleh Syaikhina Maimoen Zubair ketika masih kecil yang pernah diajak oleh kiai Zubair untuk sowan kepada Mbah Ihsan. Inilah kedalaman Mbah Ihsan dalam masalah ilmu agamanya. Inilah kealiman Mbah Ihsan yang telah mengikuti jejaj-jejak ulama salaf.

Amirul Ulum
Sarang, 11 Januari 2013.
Catatan: artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair pada saat ada acara persiapan Ikhtibar I Muhadloroh PP. Al-Anwar tahun ajaran 1434.
(Sumber: Mas Ustadz Ahmad Sudrajat).
KH.Maimoen Zoebair
KH.Maimoen Zoebair

Tidak ada komentar: