Daftar Blog Saya

Senin, 03 Maret 2014

Oleh:Hendrajit,Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

"Islam Salafi/Wahabi Alat Pecah Belah Rusia dan Islam"

Penulis : Mas Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Islam Salafi/Wahabi yang melekat dengan Kerajaan Arab Saudi sejak awal berdirinya, selalu dijadikan garda depan dalam menjalankan Politik Belah Bambu di negara-negara berpenduduk Islam. Negara Adidaya Rusia dengan 20 juta umat Islam atau 20 persen dari seluruh penduduk Rusia yang berjumlah 142 juta, nampaknya juga telah menjadi sasaran politik belah bambu ala Amerika dan Israel.

Arab Saudi, Islam Salafi, dan RENCANA ODED YINON

Aspek penting yang mencuat dari aksi teror di Volgograd-Rusia Akhir 2013 lalu, adalah keterlibatan kelompok Islam radikal Chechnya yang mendapat dukungan penuh dari kelompok Wahabi yang berbasis di Arab Saudi. Bagi kita di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hal ini merupakan perkembangan yang cukup memprihatinkan.

Karena dengan demikian, terkesan Islam bukan merupakan agama yang damai dan penuh toleransi. Melainkan agama yang mendukung tindakan kekerasan, aksi bersenjata dan bahkan aksi teror. Seraya pada saat yang sama, aksi teror Volgograd bertujuan menciptakan suasana yang tidak harmonis antara Pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin dan komunitas Islam di Rusia, maupun antara Rusia dengan negara-negara Islam di seluruh dunia.

Kasus aksi teror di Volgograd membuktikan adanya upaya untuk menjatuhkan kredibilitas Islam sebagai agama pembawa perdamaian dan rasa toleransi kepada umat manusia di seluruh dunia. Dan pada saat yang sama, mengupayakan adanya konflik atau benturan antara Pemerintah Federal Rusia dengan para pimpinan elit politik di beberapa wilayah berpenduduk mayoritas Islam di wilayah-wilayah yang berada dalam kedaulatan Rusia. Antara lain, Chechnya. Pertanyaannya adalah, siapa yang memainkan peran aktif untuk menjatuhkan kredibilitas Islam seraya mengadu-domba antara Pemerintah Rusia dan umat Islam di negri Beruang Merah tersebut?

Nampaknya, kita harus kembali merujuk pada RENCANA ODED YINON, strategi yang digunakan Israel dan negara manapun yang memandang perkembangan Islam sebagai sebuah ancaman, untuk menciptakan konflik di dalam tubuh umat Islam atau organisasi-organisasi Islam, dengan menggunakan Islam berhaluan Salafi/Wahabi yang berhaluan keras dan radikal, sebagai pion yang dimainkan untuk menerapkan skema dan skenario permainan Israel tersebut.

Mengapa Amerika dan Israel kemudian ikut terlibat dan bahkan berperang sebagai dalang utama skema ODED YINON tersebut? Untuk menerapkan taktik menciptakan konflik internal di dalam tubuh umat Islam untuk berkelahi satu sama lain, maka Israel tidak mungkin bermain sendiri. Perlu dukungan strategis dari Amerika. Karena Amerika kemudian terlibat dalam Skema Oded Yinon, maka kemudian negara Paman Sam ini melibatkan Arab Saudi, negara satelit buatan Amerika dan Inggris sejak 1922, sebagai benteng sekaligus basis kekuatan Amerika dan Inggris di kawasan Timur Tengah.

Di sinilah, kemudian Islam berhaluan Salafi/Wahabi kemudian menjadi instrument ideologis/teologis yang dimainkan AS dan Israel, untuk memecah-belah soliditas umat Islam di kawasan Timur Tengah dan bahkan dunia internasional. Sebab Islam Salafi atau Wahabi sudah melekat dengan haluan keislaman Kerajaan Arab Saudi. Karena sejak awal berdirinya Arab Saudi yang direstui Amerika dan Inggris, Dinasti Saud kemudian berkolaborasi dengan Abdul Wahab, yang menganut garis Islam radikal sehingga kemudian Arab Saudi hingga sekarang menganut paham Islam Wahabi.

Alhasil, dalam setiap fenomena adanya Islamisasi negara-negara di kawasan Asia dan Afrika atau yang di Indoensia kerap disebut Arabisasi Islam atau Ekspor Islam Arab, sejatinya merupakan manuver kelompok atau jaringan Islam berhaluan Wahabi atau pada konteks yang lebih luas disebut Islam Salafi.

Alhasil, oleh Amerika dan Israel, Arab Saudi kemudian ditetapkan sebagai garda terdepan/Frontline state dalam memuluskan rencana ODED YINON. Dan gerakan salafi yang "tak sadar telah dimainkan oleh Israel" menjadi boneka-boneka oded yinon dengan dalih pemurnian akidah islam menghantam gerakan Islam baik dari kalangan Mahzab ahlu sunnah wal jamaah (di Indonesia, Nahdlatul Ulama/NU) maupun madzhab Syiah.

Dalam kasus Indonesia, gerakan Islam Salafi/Wahabi ini selalu berbenturan dengan komunitas Islam tradisional Nahdlatul Ulama yang menganut Mahzab ahlu sunnah wal jamaah yang notabene merupakan mahzab yang dianut mayoritas umat Islam di Indonesia. NU sebagai representasi dari umat Islam Indonesia yang bersenyawa dengan budaya nusantara dan lebih mengutamakan aspek spiritualitas atau kedalaman batin dari agama daripada Islam sebagai ideologi, sangat menentang keras proses Arabisasi Islam di Indonesia yang berdalih untuk memunrnikan ajaran Islam sesuai ajaran Nabi Mohammad.

Meskipun penganut mahzab Wahabi/Salafi di Indonesia masih relatif kecil, namun watak agresif dan militan kelompok ini dipandang sebagai ancaman nyata karena berpotensi bisa menghancurkan kredibilitas Islam ala Indonesia yang bersifat damai dan penuh tolerasi baik kepada agama-agama lain maupun terhadap aneka ragama mahzab dan tradisi di dalam tubuh umat Islam Indonesia itu sendiri.

Karenanya, adanya fenomena keterlibatan kelompok-kelompok Islam radikal yang terkait dengan gerakan separatisme Chechnya di Rusia, sudah barang tentu amat memprihatinkan bagi berbagai elemen masyarakat di Indonesia, termasuk Global Future Institute.

Apalagi dalam beberapa tulisan kami terdahulu, terungkap bahwa kebijakan strategis pemerintahan Presiden Putin terhadap umat Islam di Rusia pada dasarnya sangat kooperatif dengan merangkul semua elemen-elemen strategis Islam dalam rangka bersatunya Rusia sebagai negara berdaulat.

Kebijakan Pro Islam Putin di Rusia

Merangkul dan mendukung Islam di Rusia, berarti perdamian. nampaknya itulah yang menjadi pedoman politik Presiden Putin dalam memberi arah kebijakan strategis dalam merangkul Islam di Rusia.

Terlepas fakta bahwa kelompok gerakan separatisme Islam Chechnya yang bermaksud memisahkan diri dari Republik Federasi Rusia ternyata didukung secara diam-diam oleh Inter Service Intelligence (ISI), badan Intelijen Pakistan yang sudah bersekutu cukup lama dengan badan intelijen Amerika CIA sejak perang dingin hingga kini, Putin nampaknya tidak kehilangan akal sehatnya untuk menyadari bahwa warga muslim Rusia saat ini berjumlah 20 juta orang atau 15% dari sekitar 142 juta orang Rusia. Suatu jumlah yang cukup besar, bahkan untuk keberadaan sebuah negara bangsa sekalipun.

Maklum, sejak bubarnya Uni Soviet, Islam menjadi agama kedua terbesar di Rusia, dan menjadi agama yang terpesat pertumbuhannya di Rusia, bahkan lebih pesat dibandingkan di Eropa. Sekadar informasi, Islam di Rusia telah ada sejak kurun waktu yang cukup lama. Pengaruhnya tidak saja terlihat dalam perkembangan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial budaya dan perpolitikan.

Islam di Rusia sejak abad ke 7 menyebar di jazirah Rusia. Komunitas Muslim terkonsentrasi di daerah antara Laut Hitam dan Laut Kaspia dan di beberapa negara federasi, serta sejumlah kota seperti Samara, Nyzny Novgorod, Tyumen, dan St Petersburg. Sedangkan sebagian besar penduduk tersebar di daerah sekitar Sungai Volga (Tartastan), pegunungan Ural, beberapa wilayah Siberia dan Kaukasus Utara.

Dan satu lagi catatan penting, di Rusia hingga kini ada lebih dari 4000 masjid.

Bisa dimengerti jika Putin dan para penentu kebijakan Rusia, kemudian menempuh sebuah langkah yang cukup strategis, yaitu melakukan kebijakan pro-Islam seperti mendukung pengembangan tempat ibadah dan pendidikan Islam di Rusia.

Bukan itu saja. Di tingkat dunia internasional, Putin mencetuskan gagasan bahwa Rusia harus ikut serta dalam kegiatan Organisasi Konferensi Negara-negara Islam (OKI), sekalipun hanya sebagai peninjau. Dan perjuangan tersebut akhirnya berhasil terwujud dengan diterimanya Rusia sebagai peninjau tetap pada pertemuan Organisasi Konferensi Islam di Kuala Lumpur Malaysia pada 2003 lalu. Dan yang cukup membanggakan, Putin sendiri hadir pada momen bersejarah tersebut.

Melihat kenyataan tersebut, bisa dimengerti jika ada beberapa kalangan di dalam negeri Rusia dan bahkan di Chechnya itu sendiri, yang justru memandang positif keberhasilan Putin menumpas gerakan separatis Islam ala Al-Qaeda dan Taliban. Karena itu berarti momentum bagi warga muslim Rusia untuk diperhitungkan Putin sebagai salah satu kekuatan pemersatu yang cukup penting bagi Republik Rusia Bersatu. Bahkan di Chechnya, Putin telah mengondisikan agar warga muslim menjadi kekuatan utama yang menyatukan masyarakat Chechnya.

Kenyataan ini nampaknya bukan sekadar angan-angan. Karena disamping Chechnya, Putin sebagai pemimpin tertinggi Republi Federasi Rusia agaknya sadar betul bahwa Hingga kini terdapat sembilan republik Islam dalam naungan negara Federasi Rusia, yaitu Adegia, Bashkortastan, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkariya, Karachaevo-Cherkhesia, Osetia Utara (sekalipun di daerah ini juga bermukim umat Kristiani), Tatarstan, dan Chechnya. Baik di Rusia maupun di negara-negara yang mengitarinya (eks Uni Soviet) kini tercatat lebih dari 6.000 perkumpulan Islam yang aktif.

Menyadari kenyataan ini, wajar jika Putin membuat kebijakan pro Islam dengan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan nasional Rusia sehingga kaum muslim Rusia merasa memiliki peran penting seperti saudaranya, etnis Rusa, dalam pembangunan negeri warisan Tsar tersebut.

Pertimbangan Putin ya itu tadi, mendukung dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan warga Muslim Rusia berarti menciptakan perdamaian.

Bisa kita simpulkan, kesan adanya keterlibatan Islam dalam gerakan separatism Chechnya hakekatnya merupakan aksi sekelompok orang yang tergabung dalam “Kelompok-Kelompok Islam jadi-jadian” yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya kondisi umat Islam di Rusia yang pada kenyataannya tetap harmonis dengan mayoritas penduduk Rusia yang menganut agama Kristen Ortodoks.

Tidak ada komentar: