Daftar Blog Saya

Minggu, 23 Februari 2014

Oleh:Gunawan Budi Santoso (Kang Putu)

Mari Menipu, Mari Membunuh

Gunawan Budi Susanto


PEMILIHAN kepala daerah di beberapa wilayah di Tanah Air terus bergulir. Para calon sudah mendaftarkan diri ke komisi pemilihan. Mereka datang berpasang-pasang berkendara partai politik, berlomba membawa bendera agama atau partai. Ada pengusaha merangkul atau dirangkul orang partai, bekas petinggi militer bergandengan dengan politikus, bekas wartawan dan politikus didukung pengusaha atau bekas pejabat. Semua menjanjikan kesejahteraan dan menjual harapan.
Suhu politik regional memanas. Itu pasti. Yang tak kalah panas adalah "suhu bumi". Belum lagi masa kampanye tiba, di hampir segenap penjuru provinsi bertebaran spanduk, umbul-umbul, dan bendera bergambar wajah setiap calon gubernur dan wakil gubernur. Belum lagi bila di wilayah kabupaten atau kota juga diselenggarakan pemilihan kepala daerah. Maka, kebertebaran spanduk, umbul-umbul, dan bendera dengan gambar wajah calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota pun makin menyesaki ruang publik.
Mereka berlomba-lomba memasang atribut masing-masing di hampir setiap tempat yang memungkinkan dipandang mata siapa pun. Maka, tembok kota, pagar gedung sekolah, dan berbagai sarana publik tak luput dari segala rupa pamflet, leaflet, poster, spanduk bergambar wajah sang calon pemimpin pemerintahan. Berpasang-pasangan atau sendiri-sendiri. Baliho-baliho besar pun berdiri di setiap sudut kota dan kelokan jalan. Spanduk-spanduk dan umbul-umbul pun dicantelkan di tiang listrik dan pepohonan.
"Menyesakkan mata, memedihkan rasa!" ujar Kluprut, karib saya.
"Kenapa? Kayaknya cuma kamu yang terganggu? Wajar-wajar saja kan mereka mempromosikan diri, memperkenalkan diri, ke hadapan publik, calon pemilih mereka, calon rakyat yang bakal mereka perintah jika kelak terpilih?" sahut saya.
"Tingkah mereka sungguh tak sopan, tak etis, dan cenderung menipu. Belum terpilih saja sudah tak berlaku jujur, bagaimana kelak jika menjadi gubernur?" sergah Kluprut.
Lo? Apa pula yang terlintas atau ngendon dalam benak kawan saya itu?
"Lihatlah, kini belum masanya kampanye. Namun, mereka dengan sepenuh dana dan daya upaya menggedor kesadaran publik dengan gambar wajah dan berbagai ungkapan persuasif. Intinya, mereka mendaku sebagai calon pemimpin terbaik, terpandai, tertepat untuk dipilih.
"Pemasangan segala atribut pemilihan jauh sebelum masa kampanye yang diperbolehkan jelas melanggar peraturan. Bagaimana mungkin calon pemimpin begitu gampang memberikan contoh nyata bahwa melanggar peraturan adalah wajar dan sah-sah saja? Apakah kau tak membayangkan bahwa kelak, jika terpilih sebagai gubernur, mereka pun bakal gampang saja melanggar peraturan?
"Pemasangan atribut di sembarang tempat, tanpa menghiraukan asas kepatutan dan mungkin juga mengabaikan perizinan itu bukan contoh yang baik kan? Perhatikan, betapa nyaris tak ada lagi pohon turus jalan yang tersisa dari atribut mereka? Dan, itu tersebar di segenap penjuru wilayah provinsi. Itu perampokan ruang publik!
"Lebih memedihkan lagi, berbagai atribut itu mereka pasang dengan paku ke pepohonan. Tak sadarkah mereka bahwa tindakan itu telah mencederai kehidupan? Saya ingin, jika bisa bertemu mereka, mempertanyakan: apakah mereka bersedia dipaku sebagaimana mereka memaku pepohonan? Karena, bukankah itu cermin bahwa mereka tak mempunyai kesadaran tentang keberlangsungan (mata rantai) kehidupan dan karena itu tak mungkin mengharapkan mereka menghargai kehidupan?"
Ungkapan panjang kegeraman Kluprut itu membuat saya terdiam. Diam seribu bahasa. Belum lagi saya sempat menjawab, dia sudah kembali membombardemen dengan serentetan kalimat. Bagai tak habis-habis.
"Coba, perhatikan benar tampang mereka dalam setiap gambar itu. Bukankah nyaris semua tampil jauh lebih muda daripada kenyataan sesungguhnya, tampil lebih cakap ketimbang gambaran yang nyata?"
"Lo? Bukankah itu upaya pencitraan yang wajar dalam setiap pemilihan di mana pun?"
"Apakah kewajaran yang kaumaksud itu berbanding lurus dengan kejujuran? Padahal, bukankah nilai-nilai kejujuran yang semestinya menjadi basis setiap tindakan mereka sebagai pemimpin, sehingga rakyat memperoleh kepastian bahwa nasib mereka bakal terperhatikan?"
"Intinya, ketidakindahan dan ketidaktaatasasan kebertebaran atribut pemilihan gubernur di setiap jengkal ruang publik itu mencerminkan ketidakjujuran sekaligus menguarkan semangat tak bersahabat dengan kehidupan. Jadi, untuk apa pula kita kelak memilih mereka?" ucap Kluprut masih dengan nada tinggi.
"Benar," timpal Bowo Kajangan, kawan seniman pegiat seni berbasis kesadaran ekologis, ecoart, yang sejak awal cuma diam, memperhatikan setiap ucapan Kluprut.
"Bagaimana mungkin kita, segenap rakyat, menumpukan harapan kepada 'ketidakjujuran dan ketidakberpihakan terhadap kehidupan'? Karena itulah, aku bakal melakukan performance art di Taman KB (di pusat Kota Semarang, dekat Kantor Gubernur Jawa Tengah). Di sana, aku bakal melakukan perlawanan simbolik, melawan kecenderungan tak beradab itu," ujar dia.
Saya terdiam. Selalu, ya selalu karib saya ini lebih cepat, lebih cergas, lebih cerdas menanggapi gejala kehidupan lewat tindakan, lewat laku. Ketimbang saya, yang acap kali lebih banyak bicara, lebih banyak bersuara. Cuma bicara, cuma bersuara, dan di forum-forum yang tak menimbulkan gaung apa pun! NATO, not action talk only!
***
Ya, ya... mana ada calon gubernur dan wakil gubernur yang sibuk menanam pohon atau menghidupkan kembali sumber air yang mati lantaran berbagai sebab? Mana ada yang memampangkan wajah sesuai benar dengan wajah mereka kini, tak diperbagus dengan tusiran lewat program dan peranti canggih komputer atau dipermuda dari kenyataan sesungguhnya?
Kini, setiap kali melintas di mana pun di seluruh penjuru kota dan provinsi di Pula Jawa ini saya geram. Saya neg. Seperti Kluprut, setiap kali melihat gambar para calon pemimpin pemerintahan itu saya melihat betapa gelap masa depan rakyat, masa depan saya dan keluarga saya.
Saya tersadarkan, betapa tak gampang menaruh harapan ketika gerak para pendaku "pemilik segala kemungkinan untuk memperbaiki kualitas kehidupan" itu beralaskan ketidakjujuran, beralaskan ketidaksetiaan kepada sesama makhluk ciptaan Sang Pemilik Kehidupan.
"Cuma pohon! Ya, paku-paku itu cuma dihunjamkan ke batang pepohonan untuk memajang gambar. Kenapa dianggap tak berkeadaban, tak memihak kehidupan?"
Suara itu mendengking di kuping saya dari berbagai penjuru. Suara yang dari hari ke hari kian memekakkan, memenuhi langit-langit kota, meracuni kesadaran setiap warga. Suara-suara itu memungkiri kenyataan bahwa kita hidup dari pepohonan, dari segala yang dialiri air dan diembusi angin, dijilat api, dan dipanggang terik sinar matahari.
Jadi, wahai para calon gubernur dan wakil gubernur, masih belum paham jugakah kalian: betapa pongah menepuk dada dan mengaku sebagai pribadi paling layak menjadi pemimpin, tetapi tak sedikit pun memiliki kesadaran tentang asal-muasal kehidupan? Apakah kalian akan terus bersikukuh meneriakkan slogan pembangunan yang menyejahterakan, sembari diam-diam menguarkan semangat: mari menipu, mari membunuh?


2 April 2008.

Tidak ada komentar: