Daftar Blog Saya
Rabu, 30 April 2014
Oleh:Alfathri Adlin
Seperti
halnya istilah ‘budaya’, istilah politik pun termasuk dalam ‘omnibus’,
yaitu istilah yang bisa dipakai untuk apa saja sehingga maknanya pun
menjadi kosong, seperti penanda tanpa petanda, dan sering mengalami
kelatahan pemakaian. Istilah politik berasal dari kata ‘polis’ (negara
kota di Yunani), kemudian melalui bahasa Indo-Eropa menjadi istilah
politik seperti banyak dipakai sekarang. Ada juga
istilah ‘politikos’ yang artinya segala urusan mengenai polis, sedang
istilah politike adalah seni dan pengetahuan untuk mengembangkan polis.
Definisi paling umum dari politik adalah ‘tatanan hidup bersama’ dan ini
bisa dijadikan landasan awal untuk mencermati apa perbedaan antara ilmu
politik dan filsafat politik serta mengapa kedua disiplin ini saling
membutuhkan dan melengkapi satu sama lain.
Ilmu politik, bukan dalam pengertian politike episteme, merupakan kajian yang mengkaji gejala politik secara sistematik berdasarkan fakta dan pengalaman empirik langsung. Wilayah ini bisa dikatakan tidak melakukan evaluasi normatif atas suatu sistem politik atau tata pemerintahan dan lebih berurusan dengan regularitas gejala tata pemerintahan, lebih fokus pada urusan pola dan pernyataan faktual. Sementara filsafat politik, seperti halnya ciri pemikiran filsafat yang dipaparkan oleh Isaiah Berlin, berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memunculkan teka-teki dan tidak bisa dengan begitu saja di cari jawabannya pada kamus, misalnya, karena terkait perkara-perkara yang mendasar, fundamental dan bersifat umum. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kategori pengetahuan “empirik-faktual” mau pun “logis-formal”, karena tidak bisa semudah itu dimasukkan ke dalam salah satu keranjang dari kedua kategori pengetahuan tersebut, tidak secara langsung menunjukkan ke arah mana dan dengan prosedur apakah pertanyaan itu bisa dicari jawabannya (apakah melalui data observasi atau melalui kalkulasi murni, lepas dari pengetahuan faktual), maka menjadi tugas filsafat untuk menjawabnya. Pertanyaan semacam itu bisa membingungkan dan bisa mengganggu orang-orang yang terbiasa berkecimpung di wilayah praktis dikarenakan tidak menunjukkan atau menggiring mereka ke jawaban yang jelas atau pengetahuan jenis apa pun yang berguna untuk langsung diterapkan. Ada suatu sifat dasar yang beragam dari pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut, sebagiannya tampak seperti pertanyaan tentang fakta, sebagian lainnya adalah pertanyaan tentang nilai. Satu-satunya ciri yang sama dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah kesemuanya tidak bisa dijawab oleh observasi atau pun kalkulasi, oleh metode deduktif mau pun induktif, dan sebagai hal lazim krusial dari hal ini, orang-orang yang melontarkan pertanyaan ini berhadapan dengan kebingungan sejak awal, ke mana harus mencari jawabannya. Terlebih lagi sebagian dari pertanyaan ini dikenal bersifat sangat umum dan berkaitan dengan permasalahan prinsip dasar, dan yang lainnya, walau tidak bersifat umum dengan sendirinya, dengan segera akan memunculkan atau menggiring ke arah pertanyaan mengenai prinsip dasar.
Filsafat politik mencoba menjawab berbagai pertanyaan di seluruh wilayah politik yang tak bisa dijawab oleh pengetahuan-pengetahuan empirik, mendekati berbagai perkara dalam wilayah politik tadi secara mendasar, secara filosofis, melalui keketatan logika, argumentasi logis formal dan bisa dipertanggungjawabkan di wilayah. Seperti kata Isaiah Berlin, “Evaluasi tentang nilai (normatif) yang dilarang masuk lewat pintu-depan ilmu politik, sosiologi, atau ekonomi, biasanya diselundupkan masuk melalui pintu-belakang ilmu-ilmu itu” yaitu Filsafat, maka karena itulah, Filsafat Politik selalu melakukan evaluasi normatif atas suatu tata pemerintahan dan sistem politik. Karena itulah, Ilmu politik akan kerdil tanpa didukung oleh Filsafat Politik, dan juga sebaliknya; terlebih refleksi filosofis yang tidak menemukan realitas konkretnya sebagai pijakan akan mudah berubah menjadi lamunan semata.
Seperti telah dikemukakan di atas, kata politik berasal dari sebuah istilah dari bahasa Yunani, yaitu ‘polis’ yang secara semantik artinya adalah ‘hidup bersama’. Namun, hidup bersama di sini bukanlah berdasarkan ras, etnis, agama atau pun perbedaan gender, melainkan komunitas hidup bersama yang dibentuk oleh konstitusi. Kenapa politik disebut sebagai hidup bersama? Karena itu merupakan perpindahan dari kondisi ‘hidup tidak bersama’. Itu premisnya. Bahkan dalam filsafat politik Yunani disebutkan bahwa orang-orang yang tidak hidup bersama adalah orang-orang yang tidak punya tata negara, tidak hidup berdasarkan hukum, tidak hidup berdasarkan konstitusi, tidak hidup berdasarkan apa yang disebut sebagai gagasan “civility”. Dan kata “civility” itu juga berasal dari kata “civis” yang artinya adalah “warga negara”. Karena itu, hidup bersama adalah hidup yang punya tata negara, dan orang yang hidup di dalamnya disebut sebagai warga negara. Dan dalam filsafat politik Yunani ada istilah “barbar” untuk membedakan dengan orang-orang yang hidup di dalam polis.
Ketika berbicara soal negara dan politik, maka tahap awalnya selalu dibicarakan terlebih dahulu ihwal “state of nature”, atau keadaan alami. Bahwa kita butuh negara karena kalau dalam keadaan alami, tak ada hukum, siapa pun boleh merampas, memperkosa, membunuh orang lain. “State of nature” itulah yang selalu menjadi landasan kenapa negara diperlukan. State of nature menjadi titik tolak untuk menjelaskan masyarakat sipil (civil society) karena dengan menggunakan logika negatif itulah kita bisa memahami apa itu tata negara sebagai tata hidup bersama beserta signifikansinya dan kebaikannya bagi kehidupan bermasyarakat; terlebih karena filsafat politik sangat peduli dan memperhatikan dampak baik mau pun buruk dari politik sebagai tata hidup bersama. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan semacam oposisi biner, bahwa segala hal itu memiliki pasangan yang berkebalikan seperti laki-laki/perempuan, terang/gelap, Barat/Timur, dan seterusnya. Bahwasanya suatu hal akan akan lebih terjelaskan dan terpahami justru dengan menjelaskan dan membandingkannya juga kepada ketiadaannya (absent) dan kehadiran kelawanannya.
Keadaan alami tidak harus berupa suatu kondisi nyata empiris, tetapi cukup sebagai kondisi kemungkinan (hypothetical condition), suatu kondisi yang mungkin saja terjadi apabila tidak ada tata negara. Thomas Hobbes juga memberikan ilustrasi dari sejarah, yaitu suatu tradisi di Persia. Ketika raja mangkat, maka rakyat harus menjalankan kekacauan (atau ketiadaan hukum yang berlaku di masyarakat) selama 5 hari sehingga dengan demikian rakyat akan belajar mengalami bagaimana keadaan alami yang begitu gelap dan betapa mengerikannya keadaan tersebut ketika siapa pun bebas merampok, membunuh, menjarah dan lain sebagainya. Dengan cara seperti itu, maka diharapkan rakyat akan belajar bagaimana menjadi penjaga yang andal bagi raja mereka. Dalam keadaan alami, kelangsungan diri (self-preservation) menjadi sentral, dan dalam kondisi seperti inilah maka manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Keadaan alami ini juga pernah dialami di Indonesia ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, ketika di banyak tempat, terutama di Jakarta, orang ramai menjarah dan merusak dan bahkan memperkosa perempuan dari etnis Tionghoa. Dampak dari runtuhnya Orde Lama mau pun Orde Baru dalam beberapa hal mirip dengan dampak yang terjadi ketika suatu negara dilanda peperangan, di dalamnya siapa pun bisa menjadi apa pun. Maka setelah kerusuhan Mei ’98 yang menyerupai keadaan alami itu, maka wajah perpolitikan di Indonesia menjadi tidak karuan, dari mulai gembala domba hingga selebritis semuanya bisa menjadi politikus tanpa kompetensi atau pengalaman politik sedikit pun. Atau juga seperti yang sering terjadi di negara-negara Afrika sehingga muncul akronim “T.I.A” yang merupakan singkatan dari “This is Africa”, sebuah akronim yang pertama kali populer di Afrika Selatan untuk menunjukkan keadaan alami yang diakibatkan oleh perang berkepanjangan serta pencarian dan perebutan tambang berlian.
Dalam keadaan alami maka, seperti diungkapkan oleh Thomas Hobbes, tak mungkin akan berkembang industri, tak akan ada pengelolaan hasil bumi, tak ada pengetahuan yang berkembang, tak tumbuh budaya literasi, singkatnya tak akan ada sendi-sendi yang membentuk dan menyangga peradaban manusia seperti yang ada dalam masyarakat sipil. Singkatnya, keadaan alami bisa dibayangkan seperti kehidupan di hutan yang tak akan memungkinkan lahirnya peradaban dari para penghuni di dalamnya, sementara negara itu bisa dibayangkan seperti sebuah kota yang merupakan buah dari peradaban hasil dari masyarakat sipil.
Karena dalam keadaan alami (state of nature) setiap orang tampaknya bebas untuk melakukan apa saja, maka untuk mengatur kebebasan individual semacam itu diadakanlah kontrak sosial bahwa setiap individu menyerahkan haknya—dengan syarat individu lain pun menyerahkan kebebasannya—kepada otoritas yang akan menjamin keamanan individu-individu tersebut. Dari situ, muncullah otoritas politik atau negara yang berdaulat, dalam arti otoritas yang tak perlu bertanggung jawab kepada otoritas lain di atasnya. Hal ini nantinya akan memunculkan dilema dan ketegangan abadi antara “kebebasan warga” dengan “otoritas negara”: sejauh mana kebebasan individu harus dijaga tanpa begitu saja meniadakan otoritas negara.
Dalam analisinya tentang arti penting negara, Hobbes mengemukakan suatu gagasan resolutif pertama dengan membayangkan seolah-olah masyarakat dibubarkan (dissolved) yang berarti membayangkannya hidup dalam keadaan alami, dalam keadaan yang ganas, yang menurut Hobbes: “seakan-akan menyembul keluar dari bumi, dan tiba-tiba seperti jamur berkembang biak tanpa mengenal satu sama lain.” Setelah masyarakat dibubarkan, maka Hobbes pun memulai pembahasannya dari unsur terkecil dari masyarakat, yaitu manusia sebagai individu, dan Hobbes menghabiskan 16 bab awal bukunya untuk membahas tentang manusia, begitu juga B. Herry-Priyono menyatakan bahwa pembahasan Filsafat Manusia itu disampaikan sebelum Filsafat Politik. Dengan menggamit pemikiran Galileo tentang ‘gerak’ (motion), Hobbes mulai menelaah kompleksitas manusia dan memaparkan bahwasanya hasratlah yang senantiasa menggerakkan manusia untuk mencari felisitas. Namun, untuk menyalurkan hasrat mencapai felisitas tersebut dibutuhkan kekuasaan, yang bahkan ditumpuk, sehingga terjadilah kompetisi di antara individu karena semua individu pun menghasratinya. Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). Kompetisi ini merupakan kesiagaan untuk berperang yang dipicu oleh tiga hal,yaitu perolehan, pertahanan bagi rasa aman, dan kejayaan atau reputasi.
Dari manusia sebagai individu, Hobbes meningkatkan analisisnya ke tingkatan pembentukan Hukum Alami (lex naturalis), ketika nalar menemukan cara-cara menuju perdamaian yang dengan itu akan tercapailah persetujuan. Hukum alami adalah prinsip yang secara alamiah menyimpulkan pelarangan bagi siapa pun untuk “menghancurkan hidupnya sendiri, atau meniadakan sarana untuk mempertahankan hidupnya sendiri, dan juga merampas apa yang menurut pertimbangannya dapat menjadi sarana mempertahankan hidup.” Hasrat untuk mempertahankan kelangsungan hidup sendiri ini lahir dari ketakutan manusia akan kematian. Hukum alami ini memiliki pokok sentral, yaitu, (1) siapa pun harus mencegah perang, dan (2) untuk mencegah perang semua orang harus menyerahkan hak-haknya sejauh orang lain juga menyerahkan hak-haknya, inilah yang disebut sebagai kontrak, lalu (3) setiap orang wajib mematuhi perjanjian apa pun yang telah di buat. Dengan menyerahkan hak-haknya tersebut, maka, menurut Hobbes, “Kawanan manusia dipersatukan dalam satu Pribadi, dan itu disebut Negara, atau dalam bahasa Latin Civitas. Melalui proses inilah dilahirkan Leviathan Agung.”
Maka, pada tahap berikutnya, Hobbes memasuki tahap kompositif akhir, yaitu ketika Orang atau Instansi yang disebut sebagai Negara itu lahir, Leviathan Agung, ‘Raja Orang-orang Congkak’, yang merupakan penjelmaan dan perpanjangan dari hasrat-hasrat manusia yang bersatu membentuk satu Pribadi bernama Negara tersebut. Setiap orang adalah pembentuk Negara yang tercipta dari apa yang dilakukan oleh kekuasaan yang berdaulat itu sendiri; mengeluhkan tentang kekuasaan yang berdaulat berarti mengeluhkan apa yang diciptakannya sendiri. Sedang mengenai bentuk Negara itu sendiri, Hobbes memaparkan bahwa perbedaannya terletak dalam kadar kedaulatan; jika berada di tangan satu orang akan disebut Monarki, di tangan dewan akan disebut Demokrasi, jika dewannya hanya terdiri dari beberapa orang maka akan disebut Aristokrasi.
Menurut John Stuart Mills, negara bisa membatasi kebebasan warga jika dan hanya jika kebebasan itu mengancam kebebasan orang lain. Pembatasan ini diperlukan sebagai instrumen untuk mencapai sesuatu yang lain, yaitu pencapaian ‘kebahagiaan’ sebagai maksimalisasi kenikmatan dan minimalisasi rasa sakit. Namun, negara tidak boleh membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat, karena jika pendapat salah mau pun benar di beri ruang untuk beradu, maka masyarakat mempunyai kesempatan untuk meninjau ulang mana pendapat yang salah dan mana yang benar. Singkatnya, bagi Mills, setiap orang itu bebas dan setara.
Kaum Marxis mengkritik cara pandang kaum liberal yang mencoba menghapuskan berbagai perbedaan dan mengubahnya menjadi kesetaraan status warga negara, dan bagi kaum Marxis itu hanyalah ilusi, sebab itu tidak lebih dari emansipasi politik saja, hanya di atas kertas saja, maka yang dibutuhkan adalah bukan semata emansipasi politik, tapi juga emansipasi manusia meliputi ekonomi, kultural, gender dan lain sebagainya. Sementara kaum komunitarian mengkritik dengan mengemukakan pandangan tentang manusia sebagai makhluk sosial, dengan identitas dan kesadaran yang tak mungkin di cabut dari komunitas tempat dia hidup.
Ada pun apabila “otoritas negara” yang ditiadakan maka itu adalah anarkisme, sementara apabila “kebebasan warga” yang ditiadakan maka itu adalah otoritarianisme. Pemutlakan salah satu kutub itu justru menunjukkan ketidakmatangan dalam politik dan merupakan penyakit tata negara. Kedua ini akan selalu bertegangan, abadi, dan B. Herry-Priyono menyebutnya sebagai tegangan eksistensial. Titik tengah di antara kedua tegangan ini bisa terjadi, walau tidak sepenuhnya stabil, meski pun merupakan indikasi kematangan dalam politik namun sulit tercapai, karena titik tengah itu membosankan, karena, misalnya, bukankah lebih menarik untuk melihat ketegangan antara muslim liberal dengan muslim radikal?
Ilmu politik, bukan dalam pengertian politike episteme, merupakan kajian yang mengkaji gejala politik secara sistematik berdasarkan fakta dan pengalaman empirik langsung. Wilayah ini bisa dikatakan tidak melakukan evaluasi normatif atas suatu sistem politik atau tata pemerintahan dan lebih berurusan dengan regularitas gejala tata pemerintahan, lebih fokus pada urusan pola dan pernyataan faktual. Sementara filsafat politik, seperti halnya ciri pemikiran filsafat yang dipaparkan oleh Isaiah Berlin, berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memunculkan teka-teki dan tidak bisa dengan begitu saja di cari jawabannya pada kamus, misalnya, karena terkait perkara-perkara yang mendasar, fundamental dan bersifat umum. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kategori pengetahuan “empirik-faktual” mau pun “logis-formal”, karena tidak bisa semudah itu dimasukkan ke dalam salah satu keranjang dari kedua kategori pengetahuan tersebut, tidak secara langsung menunjukkan ke arah mana dan dengan prosedur apakah pertanyaan itu bisa dicari jawabannya (apakah melalui data observasi atau melalui kalkulasi murni, lepas dari pengetahuan faktual), maka menjadi tugas filsafat untuk menjawabnya. Pertanyaan semacam itu bisa membingungkan dan bisa mengganggu orang-orang yang terbiasa berkecimpung di wilayah praktis dikarenakan tidak menunjukkan atau menggiring mereka ke jawaban yang jelas atau pengetahuan jenis apa pun yang berguna untuk langsung diterapkan. Ada suatu sifat dasar yang beragam dari pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut, sebagiannya tampak seperti pertanyaan tentang fakta, sebagian lainnya adalah pertanyaan tentang nilai. Satu-satunya ciri yang sama dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah kesemuanya tidak bisa dijawab oleh observasi atau pun kalkulasi, oleh metode deduktif mau pun induktif, dan sebagai hal lazim krusial dari hal ini, orang-orang yang melontarkan pertanyaan ini berhadapan dengan kebingungan sejak awal, ke mana harus mencari jawabannya. Terlebih lagi sebagian dari pertanyaan ini dikenal bersifat sangat umum dan berkaitan dengan permasalahan prinsip dasar, dan yang lainnya, walau tidak bersifat umum dengan sendirinya, dengan segera akan memunculkan atau menggiring ke arah pertanyaan mengenai prinsip dasar.
Filsafat politik mencoba menjawab berbagai pertanyaan di seluruh wilayah politik yang tak bisa dijawab oleh pengetahuan-pengetahuan empirik, mendekati berbagai perkara dalam wilayah politik tadi secara mendasar, secara filosofis, melalui keketatan logika, argumentasi logis formal dan bisa dipertanggungjawabkan di wilayah. Seperti kata Isaiah Berlin, “Evaluasi tentang nilai (normatif) yang dilarang masuk lewat pintu-depan ilmu politik, sosiologi, atau ekonomi, biasanya diselundupkan masuk melalui pintu-belakang ilmu-ilmu itu” yaitu Filsafat, maka karena itulah, Filsafat Politik selalu melakukan evaluasi normatif atas suatu tata pemerintahan dan sistem politik. Karena itulah, Ilmu politik akan kerdil tanpa didukung oleh Filsafat Politik, dan juga sebaliknya; terlebih refleksi filosofis yang tidak menemukan realitas konkretnya sebagai pijakan akan mudah berubah menjadi lamunan semata.
Seperti telah dikemukakan di atas, kata politik berasal dari sebuah istilah dari bahasa Yunani, yaitu ‘polis’ yang secara semantik artinya adalah ‘hidup bersama’. Namun, hidup bersama di sini bukanlah berdasarkan ras, etnis, agama atau pun perbedaan gender, melainkan komunitas hidup bersama yang dibentuk oleh konstitusi. Kenapa politik disebut sebagai hidup bersama? Karena itu merupakan perpindahan dari kondisi ‘hidup tidak bersama’. Itu premisnya. Bahkan dalam filsafat politik Yunani disebutkan bahwa orang-orang yang tidak hidup bersama adalah orang-orang yang tidak punya tata negara, tidak hidup berdasarkan hukum, tidak hidup berdasarkan konstitusi, tidak hidup berdasarkan apa yang disebut sebagai gagasan “civility”. Dan kata “civility” itu juga berasal dari kata “civis” yang artinya adalah “warga negara”. Karena itu, hidup bersama adalah hidup yang punya tata negara, dan orang yang hidup di dalamnya disebut sebagai warga negara. Dan dalam filsafat politik Yunani ada istilah “barbar” untuk membedakan dengan orang-orang yang hidup di dalam polis.
Ketika berbicara soal negara dan politik, maka tahap awalnya selalu dibicarakan terlebih dahulu ihwal “state of nature”, atau keadaan alami. Bahwa kita butuh negara karena kalau dalam keadaan alami, tak ada hukum, siapa pun boleh merampas, memperkosa, membunuh orang lain. “State of nature” itulah yang selalu menjadi landasan kenapa negara diperlukan. State of nature menjadi titik tolak untuk menjelaskan masyarakat sipil (civil society) karena dengan menggunakan logika negatif itulah kita bisa memahami apa itu tata negara sebagai tata hidup bersama beserta signifikansinya dan kebaikannya bagi kehidupan bermasyarakat; terlebih karena filsafat politik sangat peduli dan memperhatikan dampak baik mau pun buruk dari politik sebagai tata hidup bersama. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan semacam oposisi biner, bahwa segala hal itu memiliki pasangan yang berkebalikan seperti laki-laki/perempuan, terang/gelap, Barat/Timur, dan seterusnya. Bahwasanya suatu hal akan akan lebih terjelaskan dan terpahami justru dengan menjelaskan dan membandingkannya juga kepada ketiadaannya (absent) dan kehadiran kelawanannya.
Keadaan alami tidak harus berupa suatu kondisi nyata empiris, tetapi cukup sebagai kondisi kemungkinan (hypothetical condition), suatu kondisi yang mungkin saja terjadi apabila tidak ada tata negara. Thomas Hobbes juga memberikan ilustrasi dari sejarah, yaitu suatu tradisi di Persia. Ketika raja mangkat, maka rakyat harus menjalankan kekacauan (atau ketiadaan hukum yang berlaku di masyarakat) selama 5 hari sehingga dengan demikian rakyat akan belajar mengalami bagaimana keadaan alami yang begitu gelap dan betapa mengerikannya keadaan tersebut ketika siapa pun bebas merampok, membunuh, menjarah dan lain sebagainya. Dengan cara seperti itu, maka diharapkan rakyat akan belajar bagaimana menjadi penjaga yang andal bagi raja mereka. Dalam keadaan alami, kelangsungan diri (self-preservation) menjadi sentral, dan dalam kondisi seperti inilah maka manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Keadaan alami ini juga pernah dialami di Indonesia ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, ketika di banyak tempat, terutama di Jakarta, orang ramai menjarah dan merusak dan bahkan memperkosa perempuan dari etnis Tionghoa. Dampak dari runtuhnya Orde Lama mau pun Orde Baru dalam beberapa hal mirip dengan dampak yang terjadi ketika suatu negara dilanda peperangan, di dalamnya siapa pun bisa menjadi apa pun. Maka setelah kerusuhan Mei ’98 yang menyerupai keadaan alami itu, maka wajah perpolitikan di Indonesia menjadi tidak karuan, dari mulai gembala domba hingga selebritis semuanya bisa menjadi politikus tanpa kompetensi atau pengalaman politik sedikit pun. Atau juga seperti yang sering terjadi di negara-negara Afrika sehingga muncul akronim “T.I.A” yang merupakan singkatan dari “This is Africa”, sebuah akronim yang pertama kali populer di Afrika Selatan untuk menunjukkan keadaan alami yang diakibatkan oleh perang berkepanjangan serta pencarian dan perebutan tambang berlian.
Dalam keadaan alami maka, seperti diungkapkan oleh Thomas Hobbes, tak mungkin akan berkembang industri, tak akan ada pengelolaan hasil bumi, tak ada pengetahuan yang berkembang, tak tumbuh budaya literasi, singkatnya tak akan ada sendi-sendi yang membentuk dan menyangga peradaban manusia seperti yang ada dalam masyarakat sipil. Singkatnya, keadaan alami bisa dibayangkan seperti kehidupan di hutan yang tak akan memungkinkan lahirnya peradaban dari para penghuni di dalamnya, sementara negara itu bisa dibayangkan seperti sebuah kota yang merupakan buah dari peradaban hasil dari masyarakat sipil.
Karena dalam keadaan alami (state of nature) setiap orang tampaknya bebas untuk melakukan apa saja, maka untuk mengatur kebebasan individual semacam itu diadakanlah kontrak sosial bahwa setiap individu menyerahkan haknya—dengan syarat individu lain pun menyerahkan kebebasannya—kepada otoritas yang akan menjamin keamanan individu-individu tersebut. Dari situ, muncullah otoritas politik atau negara yang berdaulat, dalam arti otoritas yang tak perlu bertanggung jawab kepada otoritas lain di atasnya. Hal ini nantinya akan memunculkan dilema dan ketegangan abadi antara “kebebasan warga” dengan “otoritas negara”: sejauh mana kebebasan individu harus dijaga tanpa begitu saja meniadakan otoritas negara.
Dalam analisinya tentang arti penting negara, Hobbes mengemukakan suatu gagasan resolutif pertama dengan membayangkan seolah-olah masyarakat dibubarkan (dissolved) yang berarti membayangkannya hidup dalam keadaan alami, dalam keadaan yang ganas, yang menurut Hobbes: “seakan-akan menyembul keluar dari bumi, dan tiba-tiba seperti jamur berkembang biak tanpa mengenal satu sama lain.” Setelah masyarakat dibubarkan, maka Hobbes pun memulai pembahasannya dari unsur terkecil dari masyarakat, yaitu manusia sebagai individu, dan Hobbes menghabiskan 16 bab awal bukunya untuk membahas tentang manusia, begitu juga B. Herry-Priyono menyatakan bahwa pembahasan Filsafat Manusia itu disampaikan sebelum Filsafat Politik. Dengan menggamit pemikiran Galileo tentang ‘gerak’ (motion), Hobbes mulai menelaah kompleksitas manusia dan memaparkan bahwasanya hasratlah yang senantiasa menggerakkan manusia untuk mencari felisitas. Namun, untuk menyalurkan hasrat mencapai felisitas tersebut dibutuhkan kekuasaan, yang bahkan ditumpuk, sehingga terjadilah kompetisi di antara individu karena semua individu pun menghasratinya. Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi yang lainnya (homo homini lupus). Kompetisi ini merupakan kesiagaan untuk berperang yang dipicu oleh tiga hal,yaitu perolehan, pertahanan bagi rasa aman, dan kejayaan atau reputasi.
Dari manusia sebagai individu, Hobbes meningkatkan analisisnya ke tingkatan pembentukan Hukum Alami (lex naturalis), ketika nalar menemukan cara-cara menuju perdamaian yang dengan itu akan tercapailah persetujuan. Hukum alami adalah prinsip yang secara alamiah menyimpulkan pelarangan bagi siapa pun untuk “menghancurkan hidupnya sendiri, atau meniadakan sarana untuk mempertahankan hidupnya sendiri, dan juga merampas apa yang menurut pertimbangannya dapat menjadi sarana mempertahankan hidup.” Hasrat untuk mempertahankan kelangsungan hidup sendiri ini lahir dari ketakutan manusia akan kematian. Hukum alami ini memiliki pokok sentral, yaitu, (1) siapa pun harus mencegah perang, dan (2) untuk mencegah perang semua orang harus menyerahkan hak-haknya sejauh orang lain juga menyerahkan hak-haknya, inilah yang disebut sebagai kontrak, lalu (3) setiap orang wajib mematuhi perjanjian apa pun yang telah di buat. Dengan menyerahkan hak-haknya tersebut, maka, menurut Hobbes, “Kawanan manusia dipersatukan dalam satu Pribadi, dan itu disebut Negara, atau dalam bahasa Latin Civitas. Melalui proses inilah dilahirkan Leviathan Agung.”
Maka, pada tahap berikutnya, Hobbes memasuki tahap kompositif akhir, yaitu ketika Orang atau Instansi yang disebut sebagai Negara itu lahir, Leviathan Agung, ‘Raja Orang-orang Congkak’, yang merupakan penjelmaan dan perpanjangan dari hasrat-hasrat manusia yang bersatu membentuk satu Pribadi bernama Negara tersebut. Setiap orang adalah pembentuk Negara yang tercipta dari apa yang dilakukan oleh kekuasaan yang berdaulat itu sendiri; mengeluhkan tentang kekuasaan yang berdaulat berarti mengeluhkan apa yang diciptakannya sendiri. Sedang mengenai bentuk Negara itu sendiri, Hobbes memaparkan bahwa perbedaannya terletak dalam kadar kedaulatan; jika berada di tangan satu orang akan disebut Monarki, di tangan dewan akan disebut Demokrasi, jika dewannya hanya terdiri dari beberapa orang maka akan disebut Aristokrasi.
Menurut John Stuart Mills, negara bisa membatasi kebebasan warga jika dan hanya jika kebebasan itu mengancam kebebasan orang lain. Pembatasan ini diperlukan sebagai instrumen untuk mencapai sesuatu yang lain, yaitu pencapaian ‘kebahagiaan’ sebagai maksimalisasi kenikmatan dan minimalisasi rasa sakit. Namun, negara tidak boleh membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat, karena jika pendapat salah mau pun benar di beri ruang untuk beradu, maka masyarakat mempunyai kesempatan untuk meninjau ulang mana pendapat yang salah dan mana yang benar. Singkatnya, bagi Mills, setiap orang itu bebas dan setara.
Kaum Marxis mengkritik cara pandang kaum liberal yang mencoba menghapuskan berbagai perbedaan dan mengubahnya menjadi kesetaraan status warga negara, dan bagi kaum Marxis itu hanyalah ilusi, sebab itu tidak lebih dari emansipasi politik saja, hanya di atas kertas saja, maka yang dibutuhkan adalah bukan semata emansipasi politik, tapi juga emansipasi manusia meliputi ekonomi, kultural, gender dan lain sebagainya. Sementara kaum komunitarian mengkritik dengan mengemukakan pandangan tentang manusia sebagai makhluk sosial, dengan identitas dan kesadaran yang tak mungkin di cabut dari komunitas tempat dia hidup.
Ada pun apabila “otoritas negara” yang ditiadakan maka itu adalah anarkisme, sementara apabila “kebebasan warga” yang ditiadakan maka itu adalah otoritarianisme. Pemutlakan salah satu kutub itu justru menunjukkan ketidakmatangan dalam politik dan merupakan penyakit tata negara. Kedua ini akan selalu bertegangan, abadi, dan B. Herry-Priyono menyebutnya sebagai tegangan eksistensial. Titik tengah di antara kedua tegangan ini bisa terjadi, walau tidak sepenuhnya stabil, meski pun merupakan indikasi kematangan dalam politik namun sulit tercapai, karena titik tengah itu membosankan, karena, misalnya, bukankah lebih menarik untuk melihat ketegangan antara muslim liberal dengan muslim radikal?
Oleh:Alfathri Adlin
Bagi
yang pernah membaca pemikiran Michel Foucault, setidaknya mengetahui
istilah “Governmentality” yang sebenarnya itu bukan gagasan yang
orisinal dari Foucault, karena istilah tersebut sudah menjadi bagian
dari sejarah pemikiran dan literatur filsafat politik sejak abad ke 3,
yaitu Agustinus hingga Abad Pertengahan dan seterusnya.
“Governmentality” adalah suatu cara untuk mengelola hidup bersama.
Dalam kondisi “state of nature”, seseorang diandaikan statusnya bukan
sebagai warga negara karena negara belum ada, lalu dia keluar dari
kondisi asali itu dan masuk ke dalam tata negara dan diandaikan sebagai
“civil society” atau “society of the civis” atau “masyarakat warga
negara”. Masyarakat warga negara itu punya hukum, punya konstitusi, dan
mereka yang menjadi bagian dari “hidup bersama” ini disebut sebagai
“citizen” alias “warga negara’.
Sebelum adanya tata negara, apakah ada hal yang lain? Apakah tata negara itu abadi? Tidak. Karena yang abadi “apabila manusia hendak berpindah dari kehidupan di hutan (state of nature) ke peradaban (civilization)” adalah governmentality. Governmentality adalah seni untuk mengatur. Kenapa sampai harus mengatur? Karena manusia hendak berpindah dari “hutan” ke “peradaban”. Tidak mungkin ada suatu peradaban yang tidak memiliki tata aturan. Tidak mungkin sama sekali. Karenanya, seni untuk mengaturnya itu disebut dengan istilah governmentality. Dan governmentality ini pernah dilakukan oleh agama, pernah dilakukan oleh etnik, pernah juga dilakukan oleh raja-raja, pernah dilakukan oleh kekaisaran, dan kemudian dilakukan oleh tata negara modern. Perpindahan ini ditandai oleh apa yang disebut sebagai perjanjian Westfalia (1648). Lalu selanjutnya ada apa? Mungkin saja akan ada terbentuk governmentality yang lain. Karena itu, tata negara yang kita kenal saat ini adalah salah satu bentuk governmentality. Maka, kembali kepada pertanyaan “apakah tata negara yang sekarang kita kenal ini abadi atau tidak”, maka dalam perspektif filsafat politik dinyatakan bahwa “tata negara modern hanyalah bagian dari perjalanan sejarah akan kebutuhan adanya governmentality, dan governmentality itu sendiri adalah kebutuhan untuk mengatur perpindahan kehidupan hutan (state of nature) ke peradaban (civilization)”. Karena itu, governmentality bukanlah bagian dari tata negara modern, tapi tata negara modern adalah bagian dari governmentality.
Sebelum adanya tata negara, apakah ada hal yang lain? Apakah tata negara itu abadi? Tidak. Karena yang abadi “apabila manusia hendak berpindah dari kehidupan di hutan (state of nature) ke peradaban (civilization)” adalah governmentality. Governmentality adalah seni untuk mengatur. Kenapa sampai harus mengatur? Karena manusia hendak berpindah dari “hutan” ke “peradaban”. Tidak mungkin ada suatu peradaban yang tidak memiliki tata aturan. Tidak mungkin sama sekali. Karenanya, seni untuk mengaturnya itu disebut dengan istilah governmentality. Dan governmentality ini pernah dilakukan oleh agama, pernah dilakukan oleh etnik, pernah juga dilakukan oleh raja-raja, pernah dilakukan oleh kekaisaran, dan kemudian dilakukan oleh tata negara modern. Perpindahan ini ditandai oleh apa yang disebut sebagai perjanjian Westfalia (1648). Lalu selanjutnya ada apa? Mungkin saja akan ada terbentuk governmentality yang lain. Karena itu, tata negara yang kita kenal saat ini adalah salah satu bentuk governmentality. Maka, kembali kepada pertanyaan “apakah tata negara yang sekarang kita kenal ini abadi atau tidak”, maka dalam perspektif filsafat politik dinyatakan bahwa “tata negara modern hanyalah bagian dari perjalanan sejarah akan kebutuhan adanya governmentality, dan governmentality itu sendiri adalah kebutuhan untuk mengatur perpindahan kehidupan hutan (state of nature) ke peradaban (civilization)”. Karena itu, governmentality bukanlah bagian dari tata negara modern, tapi tata negara modern adalah bagian dari governmentality.
Oleh:Alfathri Adlin
Belakangan ini di
Indonesia acapkali muncul demonstrasi menuntut dihapuskannya demokrasi
dan menuntut pemberlakuan negara Islam. Gerakan-gerakan semacam itu
mengandung kontradiksi dalam pergerakannya sendiri, yaitu, sambil
menolak dan mencaci-maki demokrasi, keberadaan dan kebebasannya untuk
bersuara menolak demokrasi justru dijamin oleh demokrasi. Menghina dan
menolak demokrasi sambil menikmatinya.
Ada apa dengan demokrasi? Sebagaimana kita tahu, Platon pun mengkritik
demokrasi, terutama demokrasi agregatif, karena terbukti demokrasi
semacam itu telah membunuh gurunya, yaitu Sokrates, manusia paling bijak
di seantero Yunani. Sekali lagi, ada apa dengan demokrasi?
Demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh demos, ada pun demos ini sendiri memiliki dua arti, yaitu bisa “rakyat” (people) atau “massa beringas, vulgar dan tidak becus” (mob). Dan bentuk yang paling lazim dari demokrasi adalah berupa akumulasi suara mayoritas hasil ‘pemilihan’ (voting) sebagai tolok ukur dari apa yang dikehendaki rakyat, sehingga dengan demikian, suara mayoritas itu akan menjadi pijakan untuk mencari apa yang baik bagi tata negara, bagi kebaikan bersama (common good) dan ini merupakan sebentuk pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Karena itulah, dalam hal ini demokrasi merupakan sebentuk ‘tindakan politik’ (political acts) karena terkait langsung dengan ‘tatanan hidup bersama’ atau ‘politik’.
Namun, permasalahan yang lazim muncul dalam demokrasi semacam ini adalah apakah orang-orang menjatuhkan pilihan karena “selera pribadi” (preference) atau karena “kehendak bagi kebaikan umum”? Terlebih lagi apabila “tindakan politik” dalam demokrasi itu dilakukan dengan kriteria “pilihan pasar” dan/atau “kriteria sektarian”. Tindakan seseorang masuk ke bilik suara adalah tindakan sakral karena pilihan yang dijatuhkan oleh seseorang dalam bilik suara itu akan menjadi keputusan ihwal “kebaikan bersama”, dan dua kriteria barusan jelas akan cenderung merusak demokrasi. Ini bisa kita lihat contohnya di negara kita sendiri, Indonesia.
Pramono Anung, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dalam disertasi doktoral di Unpad Bandung mengungkapkan bahwa untuk menjadi anggota legislatif periode 2009-2014, seorang caleg bisa menghabiskan biaya antara Rp. 300 juta hingga Rp. 6 milyar. Murah mahalnya biaya politik ini sangat tergantung kepada ketenaran sang caleg; semakin tenar dia, maka semakin murah biaya yang harus dikeluarkan. Maka, ini bisa menjelaskan fenomena kenapa banyak selebritis, juga pengusaha berduit, yang terjun ke politik, dan bukannya mereka yang sejak lama berkecimpung di dunia politik dan aktivisme, karena tanpa dibayar pun berita dan infotainment akan gencar memberitakannya dan menjadi sarana kampanye gratis.
Selain itu, demokrasi juga membutuhkan penyebaran dan penumbuhan kesadaran serta wacana politik di ruang publik agar tumbuh empati dan partisipasi untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, yang menjadi ajakan bagi kesediaan berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah bersama, dan itu bisa ditumbuhkan oleh kekuatan budaya literasi. Di negara-negara maju di Barat, surat kabar minggu menjadi semacam perayaan wacana politik dan budaya yang mendalam. Sementara di Indonesia, surat kabar minggu malah diisi dengan berita sosialita, gaya hidup, iklan serta ulasan apartemen dan komoditi baru, plus gosip.
Terkait hal ini, Daoed Joesoef, mantan Mendikbud masa Orde Baru menyatakan bahwa “Manusia perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa menjadi seorang pembaca, tanpa membiasakan diri untuk membaca, tanpa berbudaya baca. Namun sebuah ‘demokrasi’ hanya akan berkembang, apalagi survive, di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.” Terlebih dengan maraknya media sosial, yang selain memang punya pengaruh politis juga, namun harus disadari dampak ‘kedangkalan’ (the shallow) karena menyediakan informasi yang sepenggal-sepenggal dan click activism beserta status keluh kesahnya plus komentar-komentar yang menyertainya. Jauh hari sebelumnya, Soren Kierkegaard sudah menyatakan: “Orang-orang menuntut kebebasan bicara sebagai keompensasi bagi kebebasan berpikir yang jarang mereka manfaatkan.”
Dan Yudi Latif pun menandaskannya sebagai berikut: “Dunia kelisanan adalah dunia pemusatan yang mengarah pada elitisme. Dalam tradisi kelisanan hanya ada sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber informasi. Kelangkaan ini menganugerahkan privilese khusus kepada sedikit elite yang membuatnya dominan secara politik. Adapun dunia keberaksaraan adalah dunia penyebaran. Perluasan kemampuan literasi dan jumlah bacaan mendorong desentralisasi penguasaan pengetahuan. Desentralisasi ini secara perlahan memerosotkan nilai sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme. Elitisme mengandung mentalitas narsistik yang berpusat pada diri sendiri, tanpa empati dan kesungguhan mengajak partisipasi. Egalitarianisme mengandung kepekaan akan kesederajatan hak, oleh karenanya berusaha mencegah timbulnya dominasi dengan menggalakkan partisipasi. Tak heran, dalam negeri dengan tradisi literasi yang kuatlah demokrasi bisa tumbuh dengan kuat. Athena (Yunani) sering dirujuk sebagai ”ibu demokrasi” karena berakar pada tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet. Peradaban Yunani dan Romawi adalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas baca-tulis masyarakat.”
Demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh demos, ada pun demos ini sendiri memiliki dua arti, yaitu bisa “rakyat” (people) atau “massa beringas, vulgar dan tidak becus” (mob). Dan bentuk yang paling lazim dari demokrasi adalah berupa akumulasi suara mayoritas hasil ‘pemilihan’ (voting) sebagai tolok ukur dari apa yang dikehendaki rakyat, sehingga dengan demikian, suara mayoritas itu akan menjadi pijakan untuk mencari apa yang baik bagi tata negara, bagi kebaikan bersama (common good) dan ini merupakan sebentuk pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Karena itulah, dalam hal ini demokrasi merupakan sebentuk ‘tindakan politik’ (political acts) karena terkait langsung dengan ‘tatanan hidup bersama’ atau ‘politik’.
Namun, permasalahan yang lazim muncul dalam demokrasi semacam ini adalah apakah orang-orang menjatuhkan pilihan karena “selera pribadi” (preference) atau karena “kehendak bagi kebaikan umum”? Terlebih lagi apabila “tindakan politik” dalam demokrasi itu dilakukan dengan kriteria “pilihan pasar” dan/atau “kriteria sektarian”. Tindakan seseorang masuk ke bilik suara adalah tindakan sakral karena pilihan yang dijatuhkan oleh seseorang dalam bilik suara itu akan menjadi keputusan ihwal “kebaikan bersama”, dan dua kriteria barusan jelas akan cenderung merusak demokrasi. Ini bisa kita lihat contohnya di negara kita sendiri, Indonesia.
Pramono Anung, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan dalam disertasi doktoral di Unpad Bandung mengungkapkan bahwa untuk menjadi anggota legislatif periode 2009-2014, seorang caleg bisa menghabiskan biaya antara Rp. 300 juta hingga Rp. 6 milyar. Murah mahalnya biaya politik ini sangat tergantung kepada ketenaran sang caleg; semakin tenar dia, maka semakin murah biaya yang harus dikeluarkan. Maka, ini bisa menjelaskan fenomena kenapa banyak selebritis, juga pengusaha berduit, yang terjun ke politik, dan bukannya mereka yang sejak lama berkecimpung di dunia politik dan aktivisme, karena tanpa dibayar pun berita dan infotainment akan gencar memberitakannya dan menjadi sarana kampanye gratis.
Selain itu, demokrasi juga membutuhkan penyebaran dan penumbuhan kesadaran serta wacana politik di ruang publik agar tumbuh empati dan partisipasi untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, yang menjadi ajakan bagi kesediaan berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah bersama, dan itu bisa ditumbuhkan oleh kekuatan budaya literasi. Di negara-negara maju di Barat, surat kabar minggu menjadi semacam perayaan wacana politik dan budaya yang mendalam. Sementara di Indonesia, surat kabar minggu malah diisi dengan berita sosialita, gaya hidup, iklan serta ulasan apartemen dan komoditi baru, plus gosip.
Terkait hal ini, Daoed Joesoef, mantan Mendikbud masa Orde Baru menyatakan bahwa “Manusia perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa menjadi seorang pembaca, tanpa membiasakan diri untuk membaca, tanpa berbudaya baca. Namun sebuah ‘demokrasi’ hanya akan berkembang, apalagi survive, di suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar pendengar dan gemar berbicara.” Terlebih dengan maraknya media sosial, yang selain memang punya pengaruh politis juga, namun harus disadari dampak ‘kedangkalan’ (the shallow) karena menyediakan informasi yang sepenggal-sepenggal dan click activism beserta status keluh kesahnya plus komentar-komentar yang menyertainya. Jauh hari sebelumnya, Soren Kierkegaard sudah menyatakan: “Orang-orang menuntut kebebasan bicara sebagai keompensasi bagi kebebasan berpikir yang jarang mereka manfaatkan.”
Dan Yudi Latif pun menandaskannya sebagai berikut: “Dunia kelisanan adalah dunia pemusatan yang mengarah pada elitisme. Dalam tradisi kelisanan hanya ada sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber informasi. Kelangkaan ini menganugerahkan privilese khusus kepada sedikit elite yang membuatnya dominan secara politik. Adapun dunia keberaksaraan adalah dunia penyebaran. Perluasan kemampuan literasi dan jumlah bacaan mendorong desentralisasi penguasaan pengetahuan. Desentralisasi ini secara perlahan memerosotkan nilai sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme. Elitisme mengandung mentalitas narsistik yang berpusat pada diri sendiri, tanpa empati dan kesungguhan mengajak partisipasi. Egalitarianisme mengandung kepekaan akan kesederajatan hak, oleh karenanya berusaha mencegah timbulnya dominasi dengan menggalakkan partisipasi. Tak heran, dalam negeri dengan tradisi literasi yang kuatlah demokrasi bisa tumbuh dengan kuat. Athena (Yunani) sering dirujuk sebagai ”ibu demokrasi” karena berakar pada tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet. Peradaban Yunani dan Romawi adalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas baca-tulis masyarakat.”
TIGA BERPAYUNG KECEWA
TIGA BERPAYUNG KECEWA
DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan “daftar hitam” itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.
Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo—pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.
Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. “Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh,” kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. “Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama.”
Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah.
Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu “menyihir” orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid.
Abu—demikian Daud Beureueh biasa dipanggil—mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda.
Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. “Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam,” kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal.
Pasca pembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak.
Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.
Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh.
Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para ulama.
Kartosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi.
Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun.
Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya.
Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah. “Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah,” kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah “Darul Islam” untuk menggantikan sebutan Negara Islam.
Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. “Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda,” katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gedebagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.
Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. “Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan,” kata Hasan.
Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, “Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum.”
(Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)
DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun terjadi. Berdasarkan “daftar hitam” itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.
Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo—pemimpin Negara Islam Indonesia. Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh. Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.
Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu pemimpin militer Aceh. “Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan Teungku Daud Beureueh,” kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak. “Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama.”
Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi yang salah.
Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan. Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh, menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan bagian dari Provinsi Sumatera Utara.
Saat perjuangan kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana Beureueh mampu “menyihir” orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa dilakukannya di masjid.
Abu—demikian Daud Beureueh biasa dipanggil—mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda.
Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan jaya. “Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh menjadi negara Islam,” kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal.
Pasca pembagian kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat. Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena, antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara nasional tanpa proses seleksi ditolak.
Pada Agustus 1951, Kahar mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.
Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama. Rotasi model ini ditolak Beureueh.
Menurut dia, sistem imam tak memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya, Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah atau pemimpin yang dikuasai para ulama.
Kartosoewirjo membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi.
Lalu Negara Islam Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia. Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang. Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan dalam suasana apa pun.
Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah. Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya.
Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model kekhalifahan pasca-Rasulullah. “Kahar mengubah istilah imam menjadi khalifah,” kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah “Darul Islam” untuk menggantikan sebutan Negara Islam.
Kahar sangat tegas menentang terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini berbeda dengan Kartosoewirjo. “Mungkin karena pemahaman agama Kartosoewirjo yang berbeda,” katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat, seperti andi, daeng, gedebagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.
Kahar pun melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu, cokelat, dan mentega. “Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat yang sama derajat dan puritan,” kata Hasan.
Karakter dan gaya yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987 dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, “Keluarga tak berani menyebut ayah itu almarhum.”
(Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)
JALUR KOMANDO PRAKTIS DI ERA REVOLUSI
JALUR KOMANDO PRAKTIS DI ERA REVOLUSI
Karto menggagas sendiri sistem “pemerintahan”-nya. Ia mengatur administrasi pemerintah, negara, dan militer. Semula, melalui Maklumat Nomor 1, dia memisahkan urusan NEGARA Islam Indonesia, menurut Kanun Azazi, berbentuk djumhuriah, yakni republik Islam yang dipimpin oleh seorang imam. Tapi kenyataannya, struktur negara semacam ini bersifat teokrasi dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin tunggal. Karto mengangkat dirinya sebagai imam bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Pemimpin pemerintahan sipil sekaligus bertugas sebagai komandan pertahanan di daerah masing-masing. Sementara itu, pemimpin militer memimpin pertempuran.
Setahun kemudian, atau dua bulan setelah Negara Islam diproklamasikan, pada 3 Oktober 1949, maklumat itu direvisi menjadi Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 1, yang menyatukan urusan politik dan militer. Tujuannya mencegah dualisme kepemimpinan dan pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan superior antargolongan. Misalnya golongan militer yang merasa lebih tinggi ketimbang sipil atau sebaliknya.
Menurut Kartosoewirjo, organisasi mesti praktis dan sesuai dengan tuntutan pergolakan revolusi. Dengan demikian, kewajiban dapat dilaksanakan dengan cepat dan tegas. Intinya, ahli politik harus “dimiliterkan”, dan ahli militer “dipolitikkan”. Seorang kepala daerah yang telah “dimiliterkan” bisa menginstruksikan pasukan bersenjata menghadapi keadaan yang muncul tiba-tiba. Demikian pula sebaliknya.
STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM INDONESIA BERDASARKAN MAKLUMAT KOMANDEMEN TERTINGGI NOMOR 1 KOMANDEMEN TERTINGGI
Imam merupakan pemimpin umum secara politik dan militer, sebagai panglima tertinggi. Adapun pemimpin harian dipegang oleh kepala staf umum atau generale staff.
KW 1:
Priangan Timur (berpusat di Tasikmalaya, meliputi Jakarta, Purwakarta, dan Cirebon)
KW 2:
Jawa Tengah
KW 3:
Jawa Timur
KW 4:
Sulawesi Selatan dan sekitarnya
KW 5:
Sumatera
KW 6:
Kalimantan
KW 7:
Serang-Banten, Bogor, Garut, Sumedang, Bandung
KOMANDEMEN WILAYAH (KW)
Terdapat tujuh Komandemen Wilayah. Panglima Komandemen Wilayah memimpin secara politik dan militer di tingkat wilayah atau setara dengan provinsi. Dia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Panglima Komandemen Wilayah yang bisa menggantikan panglima jika panglima berhalangan. Adapun kepengurusan harian dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Wilayah.
KOMANDEMEN DAERAH
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Daerah. Ia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Komandan Komandemen Daerah, yang bisa menggantikan pemimpin mereka jika pemimpin berhalangan. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala Staf Komandemen Daerah.
KOMANDEMEN KABUPATEN
Dipimpin oleh Komandan Komandemen Kabupaten. Jika berhalangan, perannya bisa digantikan Wakil I atau Wakil II. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala Staf Komandemen Kabupaten.
KOMANDEMEN KECAMATAN
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Kecamatan, dan dibantu oleh seorang wakil. Pengurus harian dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Kecamatan.
Sistem pemerintahan Negara Islam Indonesia juga mengenal kepala desa atau lurah di posisi paling bawah, yakni pemegang kekuasaan di tingkat desa. Malah di level terendah ini gerakan memperluas pengaruh dan meningkatkan dukungan masyarakat lebih efektif. Di sebuah area yang baru dikuasai, misalnya, langsung dibentuk pemimpin pemerintahan dengan “ketua”-nya lurah. Karena area kekuasaannya sempit—terbatas pada daerah yang baru direbut—lurah tentu punya semangat berekspansi memperluas wilayahnya menjadi kecamatan.
*SUMBER: PINARDI, DALAM SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO, 1964
(Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)
Karto menggagas sendiri sistem “pemerintahan”-nya. Ia mengatur administrasi pemerintah, negara, dan militer. Semula, melalui Maklumat Nomor 1, dia memisahkan urusan NEGARA Islam Indonesia, menurut Kanun Azazi, berbentuk djumhuriah, yakni republik Islam yang dipimpin oleh seorang imam. Tapi kenyataannya, struktur negara semacam ini bersifat teokrasi dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo menjadi pemimpin tunggal. Karto mengangkat dirinya sebagai imam bagi umat Islam di seluruh Indonesia.
Pemimpin pemerintahan sipil sekaligus bertugas sebagai komandan pertahanan di daerah masing-masing. Sementara itu, pemimpin militer memimpin pertempuran.
Setahun kemudian, atau dua bulan setelah Negara Islam diproklamasikan, pada 3 Oktober 1949, maklumat itu direvisi menjadi Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 1, yang menyatukan urusan politik dan militer. Tujuannya mencegah dualisme kepemimpinan dan pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan superior antargolongan. Misalnya golongan militer yang merasa lebih tinggi ketimbang sipil atau sebaliknya.
Menurut Kartosoewirjo, organisasi mesti praktis dan sesuai dengan tuntutan pergolakan revolusi. Dengan demikian, kewajiban dapat dilaksanakan dengan cepat dan tegas. Intinya, ahli politik harus “dimiliterkan”, dan ahli militer “dipolitikkan”. Seorang kepala daerah yang telah “dimiliterkan” bisa menginstruksikan pasukan bersenjata menghadapi keadaan yang muncul tiba-tiba. Demikian pula sebaliknya.
STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM INDONESIA BERDASARKAN MAKLUMAT KOMANDEMEN TERTINGGI NOMOR 1 KOMANDEMEN TERTINGGI
Imam merupakan pemimpin umum secara politik dan militer, sebagai panglima tertinggi. Adapun pemimpin harian dipegang oleh kepala staf umum atau generale staff.
KW 1:
Priangan Timur (berpusat di Tasikmalaya, meliputi Jakarta, Purwakarta, dan Cirebon)
KW 2:
Jawa Tengah
KW 3:
Jawa Timur
KW 4:
Sulawesi Selatan dan sekitarnya
KW 5:
Sumatera
KW 6:
Kalimantan
KW 7:
Serang-Banten, Bogor, Garut, Sumedang, Bandung
KOMANDEMEN WILAYAH (KW)
Terdapat tujuh Komandemen Wilayah. Panglima Komandemen Wilayah memimpin secara politik dan militer di tingkat wilayah atau setara dengan provinsi. Dia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Panglima Komandemen Wilayah yang bisa menggantikan panglima jika panglima berhalangan. Adapun kepengurusan harian dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Wilayah.
KOMANDEMEN DAERAH
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Daerah. Ia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Komandan Komandemen Daerah, yang bisa menggantikan pemimpin mereka jika pemimpin berhalangan. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala Staf Komandemen Daerah.
KOMANDEMEN KABUPATEN
Dipimpin oleh Komandan Komandemen Kabupaten. Jika berhalangan, perannya bisa digantikan Wakil I atau Wakil II. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala Staf Komandemen Kabupaten.
KOMANDEMEN KECAMATAN
Dipimpin oleh seorang Komandan Komandemen Kecamatan, dan dibantu oleh seorang wakil. Pengurus harian dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Kecamatan.
Sistem pemerintahan Negara Islam Indonesia juga mengenal kepala desa atau lurah di posisi paling bawah, yakni pemegang kekuasaan di tingkat desa. Malah di level terendah ini gerakan memperluas pengaruh dan meningkatkan dukungan masyarakat lebih efektif. Di sebuah area yang baru dikuasai, misalnya, langsung dibentuk pemimpin pemerintahan dengan “ketua”-nya lurah. Karena area kekuasaannya sempit—terbatas pada daerah yang baru direbut—lurah tentu punya semangat berekspansi memperluas wilayahnya menjadi kecamatan.
*SUMBER: PINARDI, DALAM SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO, 1964
(Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)
LUBANG PELURU DI MENARA MASJID
LUBANG PELURU DI MENARA MASJID
KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan menyerbu. Malam sehabis isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Sebagian penduduk kampung itu meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam milik KH Yusuf Tauziri.
Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia belum mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya. Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan dan suara tembakan. Dari gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat merah di langit. “Serangannya mendadak,” katanya kepada Tempo.
Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung desa. Pesantren Darussalam jadi sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju pesantren.
Di dalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman Sholeh, mengatur komando menahan serangan. Ia berdiri di puncak menara masjid, lalu melempar granat. Para santri di bawah bersiaga dengan senapan dan batu. Bentrok berlangsung sampai pukul tiga dinihari. Masjid 30 x 70 meter itu menjadi benteng terakhir Kiai Yusuf dan para santrinya. “Desingan pelurunya masih terdengar sampai sekarang,” tutur Sholeh.
Tak mudah bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut Sholeh, jumlah penyerbu lima kali lipat dari penyokong pesantren. Konsentrasi para pengawal juga pecah karena harus menjaga pengungsi perempuan dan anak-anak. Senjata mereka pun tak cukup. Kiai Yusuf dan pengawalnya hanya memiliki tujuh pucuk senapan dan dua peti granat. Karena kurang peluru, Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya hanya menembak sasaran yang mendekat.
Suara salawat dan takbir bergema di dalam masjid. Tangisan dan teriakan anak-anak terdengar. Kepanikan memuncak ketika penyerbu berusaha membobol tembok barat masjid dengan granat. Usaha itu gagal karena tembok terlalu tebal, sekitar 40 sentimeter dengan fondasi batu satu setengah meter.
Serangan mulai surut lewat tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam tak bisa ditembus. Tentara Siliwangi pun datang membantu Kiai Yusuf. Namun pasukan bantuan tak dapat masuk lingkungan pesantren. Tank mereka tertahan di tikungan jalan, sekitar 1,5 kilometer dari masjid.
Menjelang subuh penyerang mundur. Penduduk yang bertahan di masjid dan madrasah baru berani keluar setelah matahari meninggi. Semua jendela madrasah pecah kena peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari rumah yang dibakar masih terlihat. Dari 50 rumah semipermanen di sekitar masjid, hanya tiga yang utuh.
Dalam pertempuran itu, empat pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak ipar Yusuf, juga menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak berlindung di masjid. Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari. Mereka menemukan lusinan mayat di sawah dan empang ikan. Bahkan air kolam di sekitar pesantren pun berwarna kemerahan.
Peristiwa itu menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka ketakutan setiap kali mendengar langkah kaki orang di luar rumah pada malam hari. Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka pun tak mau makan ikan. “Selama dua tahun ikan kami tak laku dijual,” ujar Sholeh.
Kiai Yusuf mulai membenahi pesantren dan desa. Cipari kembali pulih. Peristiwa malam itu dianggap mukjizat. Aksi Yusuf di puncak menara dianggap heroik. Kini, jalan Garut-Wanaraja sepanjang enam kilometer menuju pesantren diberi nama Jalan KH Yusuf Tauziri.
Yusuf, pemimpin pesantren, sasaran penyerbuan malam itu, bekas sahabat Kartosoewirjo.
**************************
Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun. Kiai Yusuf mengenal Kartosoewirjo ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari Cornell University, Amerika Serikat, menyebutkan hubungan mereka akrab. Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.
Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.
Kepada Hiroko, Kiai Yusuf bercerita tentang perbedaan pendapatnya dengan Kartosoewirjo. Pada awal 1940, Kartosoewirjo mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang memilih jalan nonkooperatif dengan Belanda.
Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.
Berbeda dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total. Alasannya, persiapan belum matang. Ia mengusulkan uang ditanamkan di bidang pertanian. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin. Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.
Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan keponakannya sebagai pelajar.
Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di Cisayong, Tasikmalaya. Pertemuan itu membentuk struktur organisasi gerakan perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Cirebon. Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan negara Islam yang terpisah dari republik ini.
Kiai Yusuf dan pengikutnya menganggap gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik terlalu jauh. Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam Kartosoewirjo. Apalagi tempat ini selalu menjadi tempat berlindung penduduk yang tak mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam.
Pesantren pun menjadi target. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa Cipari lebih dari 46 kali. Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga serta pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April 1952. Kepungan di Desa Cipari tak membuyarkan Pesantren Darussalam.
Menara masjid itu masih berdiri hingga kini, menjadi saksi keteguhan Kiai Yusuf. Bekas tembakan dibiarkan di dinding menara bergaris tengah sekitar satu meter dan tinggi 20 meter ini. Banyak penduduk memanjat menara. “Mereka hanya ingin tahu, sekalian berdoa,” ujar Sholeh.
(Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)
KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan menyerbu. Malam sehabis isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari, Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Sebagian penduduk kampung itu meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam milik KH Yusuf Tauziri.
Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia belum mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter dari pesantren. Sekalian berjaga, pikirnya. Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan dan suara tembakan. Dari gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat merah di langit. “Serangannya mendadak,” katanya kepada Tempo.
Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih cepat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung desa. Pesantren Darussalam jadi sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju pesantren.
Di dalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman Sholeh, mengatur komando menahan serangan. Ia berdiri di puncak menara masjid, lalu melempar granat. Para santri di bawah bersiaga dengan senapan dan batu. Bentrok berlangsung sampai pukul tiga dinihari. Masjid 30 x 70 meter itu menjadi benteng terakhir Kiai Yusuf dan para santrinya. “Desingan pelurunya masih terdengar sampai sekarang,” tutur Sholeh.
Tak mudah bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut Sholeh, jumlah penyerbu lima kali lipat dari penyokong pesantren. Konsentrasi para pengawal juga pecah karena harus menjaga pengungsi perempuan dan anak-anak. Senjata mereka pun tak cukup. Kiai Yusuf dan pengawalnya hanya memiliki tujuh pucuk senapan dan dua peti granat. Karena kurang peluru, Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya hanya menembak sasaran yang mendekat.
Suara salawat dan takbir bergema di dalam masjid. Tangisan dan teriakan anak-anak terdengar. Kepanikan memuncak ketika penyerbu berusaha membobol tembok barat masjid dengan granat. Usaha itu gagal karena tembok terlalu tebal, sekitar 40 sentimeter dengan fondasi batu satu setengah meter.
Serangan mulai surut lewat tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam tak bisa ditembus. Tentara Siliwangi pun datang membantu Kiai Yusuf. Namun pasukan bantuan tak dapat masuk lingkungan pesantren. Tank mereka tertahan di tikungan jalan, sekitar 1,5 kilometer dari masjid.
Menjelang subuh penyerang mundur. Penduduk yang bertahan di masjid dan madrasah baru berani keluar setelah matahari meninggi. Semua jendela madrasah pecah kena peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari rumah yang dibakar masih terlihat. Dari 50 rumah semipermanen di sekitar masjid, hanya tiga yang utuh.
Dalam pertempuran itu, empat pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak ipar Yusuf, juga menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak berlindung di masjid. Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari. Mereka menemukan lusinan mayat di sawah dan empang ikan. Bahkan air kolam di sekitar pesantren pun berwarna kemerahan.
Peristiwa itu menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka ketakutan setiap kali mendengar langkah kaki orang di luar rumah pada malam hari. Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka pun tak mau makan ikan. “Selama dua tahun ikan kami tak laku dijual,” ujar Sholeh.
Kiai Yusuf mulai membenahi pesantren dan desa. Cipari kembali pulih. Peristiwa malam itu dianggap mukjizat. Aksi Yusuf di puncak menara dianggap heroik. Kini, jalan Garut-Wanaraja sepanjang enam kilometer menuju pesantren diberi nama Jalan KH Yusuf Tauziri.
Yusuf, pemimpin pesantren, sasaran penyerbuan malam itu, bekas sahabat Kartosoewirjo.
**************************
Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun. Kiai Yusuf mengenal Kartosoewirjo ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari Cornell University, Amerika Serikat, menyebutkan hubungan mereka akrab. Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.
Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan Pemuda Islam Indonesia Garut.
Kepada Hiroko, Kiai Yusuf bercerita tentang perbedaan pendapatnya dengan Kartosoewirjo. Pada awal 1940, Kartosoewirjo mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang memilih jalan nonkooperatif dengan Belanda.
Dalam kongres itu, Kartosoewirjo memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota menyumbangkan 2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.
Berbeda dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya hijrah total. Alasannya, persiapan belum matang. Ia mengusulkan uang ditanamkan di bidang pertanian. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin. Kartosoewirjo lalu mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.
Kiai Yusuf sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun memasukkan keponakannya sebagai pelajar.
Pada Februari 1948, Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di Cisayong, Tasikmalaya. Pertemuan itu membentuk struktur organisasi gerakan perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy, Cirebon. Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan negara Islam yang terpisah dari republik ini.
Kiai Yusuf dan pengikutnya menganggap gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik terlalu jauh. Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam Kartosoewirjo. Apalagi tempat ini selalu menjadi tempat berlindung penduduk yang tak mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam.
Pesantren pun menjadi target. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa Cipari lebih dari 46 kali. Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf sekeluarga serta pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April 1952. Kepungan di Desa Cipari tak membuyarkan Pesantren Darussalam.
Menara masjid itu masih berdiri hingga kini, menjadi saksi keteguhan Kiai Yusuf. Bekas tembakan dibiarkan di dinding menara bergaris tengah sekitar satu meter dan tinggi 20 meter ini. Banyak penduduk memanjat menara. “Mereka hanya ingin tahu, sekalian berdoa,” ujar Sholeh.
(Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)