Namun
bagi Supari, munculnya Flu Burung, telah menyadarkan dirinya, ada
sesuatu yang tidak beres dalam tata kelola kesehatan yang ditangani oleh
WHO. Bermula di saat Supari galau bagaimana mengatasi penyebaran virus
Flu Burung yang begitu cepat, tiba-tiba berdatanganlah para pedagang
farmasi menawarkan apa yang dinamakan rapid diagnostic test yang
sumbernya berdasarkan virus strain Vietnam. Dan ini yang kemudian
memancing kecurigaan Supari, para pedagang tersebut juga menawarkan
vaksin untuk menyembuhkan Flu Burung. Yang tentunya sumbernya juga
berasal dari virus strain Vietnam.
Buat
Supari ini hanya berarti satu hal: Adanya ketidakadilan dalam
penanganan masalah kesehatan di dunia internasional, dan biang keroknya
adalah World Health Organization alias WHO.
Betapa
tidak. WHO selama hampir 50 tahun, memberlakukan ketentuan apabila ada
penduduk yang menderita penyakit Influenza , lalu kemudian meninggal,
maka virus dari penderita tersebut sampelnya diambil dan dikirim ke WHO
CC (WHO Collaborating Center), untuk dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian digunakan untuk membuat vaksin.
Dan
ironisnya, pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara
industri maju, negara-negara kaya yang tidak punya kasu Flu Burung pada
manusia. Tragisnya lagi, vaksin itu kemudian dijual ke seluruh dunia,
termasuk ke Indonesia.
Maka
melalui tragedi Flu Burung ini, kesadaran baru muncul pada benak
Supari. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kesehatan, Supari mulai
mengambil kebijakan melarang pengiriman virus Influenza kepada WHO.
Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN(Global Influenza
Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara
anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan
dunia tersebut.
Masak iya, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus influenza biasa (seasonal flu) harus mengirimkan specimen virus
secara sukarela, tanpa protes sama sekali. Betapa tidak. Virus yang
diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Dan kemudian
diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Disamping itu juga
diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu
vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh dunia
secara komersial. Alangkah tidak adilnya, begitu menurut pikiran wanita
kelahiran Solo, Jawa Tengah tersebut.
Selain
gusar mengapa tak ada satupun negara, termasuk Indonesia, yang berani
protes atas aturan yang tidak adil tersebut, alumnus Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada tersebut juga mulai mencurigai adanya konspirasi
internasional di balik Flu Burung tersebut. Siapakah sesungguhnya yang
memperdagangkan virus seasonal flu? Negara-negara penderita mengirimkan
virus dengan sukarela ke GISN-nya WHO, tetapi mengapa kemudian tiba-tiba
perusahaan pembuat virus memproduksinya? Dimana mulai diperdagangkan.
Dan
ini yang paling penting: Ada hubungan apa antara WHO, GISN dan
perusahaan pembuat vaksin? Pokoknya ada yang tidak beres lah.
Karena belakangan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini tahu,
bahwa Flu Burung yang berasal dari virus jenis H5N1, WHO juga
menerapkan peraturan yang sama. Artinya, negara-negara yang diterjang
penyakit Flu Burung, maka harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC. Tapi
setelah itu? Negara pengirim tidak pernah tahu, untuk apa dan diapakah
virus tersebut. Dan dikirim kemana virus tersebut?
“Apakah
akan dibuat vaksin atau bahkan jangan-jangan akan diproses menjadi
senjata biologis? Kepada siapa saya harus bertanya? Apa hak dari si
pengirim virus yang biasanya adalah negara yang sedang berkembang dan
negara miskin. Begitulah kegusaran Supari sebagaiman terdokumentasi
dalam buku karyanya bertajuk “Saatnya Dunia Berubah.”
Sederet
pertanyaan yang berada di benaknya, mendorong Supari meminta pendapat
Sangkot Marzuki, memang ahlinya untuk menjawab soal ini. Menurut
Marzuki, ternyata para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses
data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC, yang entah bagaimana
ceritanya, kok bisa-bisanya disimpan di Los Alamos National Laboratory
di New Mexico.
Terungka
bahwa selama ini data sequencing H5N1 yang kita kirim ke WHO hanya
dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, yang
jumlahnya hanya sedikit, barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti.
Yang menariknya lagi, 4 dari 15 on berasal dari WHO CC, dan sisanya
entah berasal dari mana.
Barang
tentu, fakta ini bikin Supari Shock. Karena laboratorium Los Alamos ini
berada dalam kendali Kementerian Energi, Amerika Serikat. Dan di Los
Alamos inilah, dulu pada saat Perang Dunia II sedang panas-panasnya, di
Laboratorium inilah dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima dan
Nagasaki pada Agustus 1945.
Tentu
saja ketertutupan informasi dan ketidakmampuan pihak luar untuk
mengakses apa yang terjadi di Alamos, bisa berbahaya sekali. Karena
masyarakat tidak tahu apakah virus H5N1 itu akan dibiuat vaksin, atau
jangan-jangan malah dibiuat senjata kimia. Sepenuhnya tergantung
mereka-mereka yang berwenang mengendalikan Los Alamos seperti
Kementerian Energi dan Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Setelah
memahami sepenuhnya konteks sesungguhnya dari apa yang mencuat di balik
penyebaran Flu Burung tersebut, Supari sejak itu bertekad untuk
membebaskan ketertutupan infomasi ilmiah tersebut. Maka dengan bantuan
dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia(AIPI), Supari dengan didampingi
oleh Sangkot Marzuki, kemudian memutuskan untuk mentransparankan data
sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar
tidak dimonopoli oleh sekelompok Ilmuwan saja.
Langkah
berikutnya, Supari melayangkan surat kepada WHO agar Indonesia,
tentunya melalui Kementerian Kesehatan, agar dapat diberikan data
sequencing virus yang sempat menerjang Tanah Karo, Sumatera Utara,
beberapa waktu lalu. Dan rupanya WHO untuk soal ini menangapi positif.
Tak lama kemudian, WHO mengirim data sequencing virus Tanah Karo.
“Maka
sejak saat itu, 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia
mengawali ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang
melanda dunia. Yakni dengan cara mengirim data yang tadinya disimpan di
WHO, dikirim pula ke Gene Bank,” begitu penegasan penuh semangat dari
Supari lewat bukunya.
Kembali
ke soal Alamos, ada yang aneh dan misterius. Tak lama setelah Supari
menuntut data virus Tanah Karo, laboratorium Los Alamos sudah ditutup
dan tidak ada lagi. Menurut kabar yang santer terdengar, penyimpanan
data sequencingnya dipindahkan ke dua tempat. Yaitu GISAID dan sebagian
ke BHS atau Bio Health Security, suatu lembaga penelitian senjata
biologi yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon.
Mengerikan
bukan? Karena itu berarti 58 virus H5N1 Indonesia juga tersimpan di
sana. Bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos.
Inilah
yang mendasari kebijakan Menteri Kesehatan Supari untuk menolak
mengirim virus Influenza, dan khususnya H5N1 kepada WHO. Dan sini pula
keanehan baru segera terungkap.
“Mengapa
yang saya tuntut WHO, kok kemudian yang berhadapan dengan kita adalah
negara adidaya Amerika Serikat? Tadinya saya heran. Tapi sekarang tidak
heran lagi,” tutur Supari.
Dalam analisis Supari, skenarionya kemungkinannya seperti ini: Virus dari affected countries (negara
yang tertular) dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi
keluarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang
tidak tahu.
Dan
di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian
diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun ada
kemungkinan yang jauh lebih mengkahwatirkan: Karena bisa jadi virus
tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat senjata kimia/senjata
biologis.
Atas
dasar fakta-fakta tersebut, Supari dalam kapasitas sebagai Menteri
Kesehatan, sejak 20 Desember 2006, memutuskan untuk menghentikan
pengiriman specimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO CC, selama
mekanismenya masih mengikuti GISN.
Menurut
Supari, mekanisme GISN yang imperialistik tersebut harus dirubah
menjadi mekanisme yang adil dan transparan, sehingga negara-negara
penderita yang notabene negara berkembang dan miskin, tidak dirugikan
seperti sekarang ini.
Maka
sejak saat itu pula, gerakan Supari tidak sebatas menyatakan sikap dan
pendirian pemerintah terhadap WHO, melainkan melangkah lebih jauh lagi,
menggalang dukungan internasional untuk memperjuangkan agendanya
tersebut. Berjuang melawan Ketidakadilan WHO.
Perlawanan Supari terhadap WHO, rupanya benar-benar menggetarkan pusat urat syaraf (nerve center) WHO
dan berbagai komponen strategis AS yang berada di belakang WHO.
Sehingga WHO kemudian menurunkan David Heymann, Asisten Direktur
Jenderal WHO yang menangani Flu Burung, untuk mendesak agar Indonesia
tetap mengirimkan seasonal vaccine yang menurut Heymannn Indonesia tidak
butuh-butuh amat.
Selanjutnya
Heymann juga mendesak Menteri Kesehatan agar Indonesia patuh dengan
menyetujui dan mengikuti mekanisme GISN dalam mengumpulkan virus H5N1.
Dia menjanjikan akan membantu kebutuhan dana dan bantuan teknis kepada
Indonesia, asalkan tunduk dan patuh pada mekanisme GISN WHO.
Singkat
cerita, Supari dengan tegas menolak, dengan alasan Indonesia sekarang
punya agenda sendiri yang berada di luar skema WHO, apalagi yang mengacu
pada mekanisme GISN. Karena WHO dalam pandangannya ada kepentingan
terselubung di dalamnya.
Maka,
pada Sidang World Health Assembly(WHA) Mei 2007, Supari mulai meluaskan
gerakannya melawan WHO secara internasional. Dalam Sidang WHA-60 di
Komisi A, delegasi Indonesia mengajukan draf resolusi berjudul: Responsible Practices for Sharing Avian Inflluenza Viruses and Resulting Benefits.
Dan
hasilnya cukup menakjubkan. Resolusi Indonesia didukung 23 negara co
sponsor: Iran, Korea Utara, Vietnam, Irak, Kuba, Palestina, Saudi
Arabia, Malaysia, Kamboja, Timor-Leste, Sudan, Myanmar, Maldives, Peru,
Brunei Darussalam, Algeria, Qatar, Laos, Solomon Islands, Bhutan,
Kuwait, Bolivia, dan Pakistan.
Amerika Serikat, melalui draft resolusinya mengajukan judul: Mechanisme to Promote Access to Influenza Pandemic Vacvine Production, kemudian berbenturan head to head dengan Indonesia.
Namun
akhirnya Indonesia menang, berkat dukungan 24 negara-negara anggota
WHO, mekanisme virus sharing menurut GISN WHO dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Maka,
dengan dukungan 24 negara, Indonesia tercatat sejarah akhirnya mampu
mengajukan perobahan mekanisme atau aturan dari organisasi global
sekelas WHO. Aturan GISN-WHO yang sudah mapan selama 50 tahun dan
mengandung aroma ketidakadilan, dan merugikan negara-negara berkembang,
akhirnya berhasil direformasi berkat kepeloporan Indonesia.
|