tag:blogger.com,1999:blog-19319541099529941712024-02-19T04:51:23.035-08:00Semua Dari Hati"TAKES ON A DIGNIFIED AN AUTHOR, WRITING WITH NOT STEAL OTHER PEOPLE."Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.comBlogger161125tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-71132157146165073482014-12-05T01:44:00.001-08:002014-12-05T01:44:13.094-08:00Oleh Dwi Cipta<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img alt="" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKGvMNMI4jSX_9QgjXw-0nBbuEnh3neaERlZ75wth7JGsK6coYSUZGTEHixKGUilOE7WgwfBCxmBKKBal7NJ5UX_0-36CY426U-qHaQyOviFkWpcY6zXUq92tApCErNHh_wGbe1NI-wjM2/s1600/panen+jagung.jpg" height="180" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" title="panen jagung di kaki Pegunungan kendeng utara (foto Gunawan Budi Susanto)" width="320" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">panen jagung di Pegunungan Kendeng utara (foto Gunawan Budi Susanto)</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjKGvMNMI4jSX_9QgjXw-0nBbuEnh3neaERlZ75wth7JGsK6coYSUZGTEHixKGUilOE7WgwfBCxmBKKBal7NJ5UX_0-36CY426U-qHaQyOviFkWpcY6zXUq92tApCErNHh_wGbe1NI-wjM2/s1600/panen+jagung.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span class="photo "><span class="caption"></span></span></a></div>
<br /><br /><br /><b>Dwi Cipta</b><br />10 Agustus 2014 pukul 20:51<br /><br />: Untuk Darmanto Oloan Sitompul<br /><br /><b>Pendahuluan: Angka-angka yang Membingungkan Petani</b><br />Ada
dua predikat bagi Indonesia yang sampai sekarang dipercayai penduduknya
dari anak-anak hingga yang akan masuk ke liang lahat: Indonesia adalah
negara agraris dan negara maritim. Predikat sebagai negara agraris
berangkat dari kenyataan sangat luas lahan-lahan pertanian konkret dan
potensial membentang dari Sabang sampai Merauke. Predikat negara maritim
berangkat dari kenyataan posisi geografis Indonesia yang diapit dua
samudra (Pasifik dan Hindia), sementara pulau-pulaunya dihubungkan
(bukan dipisahkan) oleh laut. Dengan dua predikat itu, umumnya diterima
negeri ini berlimpah hasil pangan, baik di darat maupun di laut.
Pertanyaan logisnya: apakah kita memiliki kebutuhan untuk mengimpor
bahan pangan dari luar?<br /><br />Namun data BPS tahun 2013 menjadi cermin
betapa Pemerintah Indonesia -- yang bermain mata dengan para pengusaha
atau importir -- telah secara culas membohongi rakyat. Pada 5 Februari
2014, BPS merilis catatan impor beras dari setiap negara. Dari total
472.000 ton beras senilai 246 juta dolar Amerika Serikat (AS) yang
diimpor, Vietnam mendominasi dengan pengiriman 171.286 ton atau senilai
97,3 juta dolar AS. Thailand pada urutan kedua dalam mengekspor beras ke
Indonesia. Selama 2013, Negeri Gajah Putih mengirim 194.633 ton beras
senilai 61,7 juta dolar AS. India pada urutan ketiga, pada 2013 tercatat
mengekspor 107.538 ton beras senilai 44,9 juta dolar AS ke Indonesia.
Pakistan tercatat sebagai negara asal 75.813 ton beras impor Indonesia
dengan nilai 29,9 juta dolar AS. Myanmar paada urutan kelima negara
pemasok beras terbanyak bagi Indonesia pada 2013 dengan 18.450 ton atau
6,5 juta dolar AS (<i><a href="http://www.tempo.co/read/news/2014/02/05/090551264/Tahun-lalu-Indonesia-Impor-Beras-dari-Lima-Negara" rel="nofollow" target="_blank">http://www.tempo.co/read/news/2014/02/05/090551264/Tahun-lalu-Indonesia-Impor-Beras-dari-Lima-Negara</a></i>).<br /><br />Agar
lebih adil, mari kita bandingkan dengan produksi beras dalam negeri
sepanjang tahun 2013. Pada 8 Juli 2014, Kementerian Pertanian -- lewat
Kepala Badan Ketahanan Pangan Ahmad Suryana -- mengklaim produksi beras
2013 sebesar 39 juta ton gabah kering. Angka itu sama artinya dengan
surplus produksi 5 juta ton, mengingat total kebutuhan dalam negeri 34
juta ton (<i><a href="http://finance.detik.com/read/2013/07/08/114029/2295368/4/produksi-beras-ri-surplus-5-juta-ton-tahun-ini-tapi-kok-masih-impor" rel="nofollow" target="_blank">http://finance.detik.com/read/2013/07/08/114029/2295368/4/produksi-beras-ri-surplus-5-juta-ton-tahun-ini-tapi-kok-masih-impor</a></i>).
Angka yang dirilis BPS bisa dijadikan bandingan dengan data yang
diklaim Departemen Pertanian. Menurut rilis BPS, produksi padi pada 2013
(ASEM) 71,29 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 2,24 juta ton
(3,24 persen) dari 2012. Kenaikan produksi itu terjadi di Jawa 0,97
juta ton dan di luar Jawa 1,27 juta ton. Kenaikan produksi terjadi
karena kenaikan luas panen seluas 391.690 hektare (2,91 persen) dan
kenaikan produktivitas 0,16 kuintal/hektare atau 0,31 persen (<i><a href="http://www.bps.go.id/brs_file/asem_03mar14.pdf" rel="nofollow" target="_blank">http://www.bps.go.id/brs_file/asem_03mar14.pdf</a></i>).
Dengan angka-angka meyakinkan tersebut, hampir tak bisa diterima alasan
yang diajukan Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Pertanian,
untuk mengimpor beras dari luar. Dengan kata lain, pemerintah dan
importir beras telah secara meyakinkan -- dan di depan mata kita --
berniat membunuh para petani lokal negeri ini!<br /><br />Apakah pemerintah
dan para importir itu bermain sendiri dalam kebijakan impor beras
Indonesia? Tentu tidak. Ada perangkat-perangkat lain yang secara
bersama-sama bersekutu dengan pemerintah dan para importir agar kita
terus-menerus mengalami ketergantungan. Hitung-hitungan makro di atas --
antara impor dan produksi beras dalam negeri -- ketika bertemu dengan
perkiraan atau ramalan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) tahun 2014 yang baru dirilis
Mei 2014 makin membuktikan kita memang didesain agar terus mengalami
ketergantungan pangan. Secara meyakinkan, perangkat-perangkat dari luar
itu melegitimasi kebutuhan pangan kita dengan memberikan angka-angka
yang membuat para petani lokal makin nelangsa. Organisasi Pangan dan
Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) memperkirakan
Pemerintah Indonesia bakal mengimpor beras 1,2 juta ton sepanjang 2014.
Jumlah tersebut naik sekitar 70 persen dari 705.880 ton yang diimpor
sepanjang tahun lalu. Sementara itu, Departemen Pertanian Amerika
Serikat (USDA) memprediksi Indonesia akan mengimpor 1,5 juta ton beras
sepanjang 2014. Itu karena USDA menaksir, Badan Urusan Logistik (Bulog)
tidak akan mampu memenuhi target produksi beras 3,85 juta ton pada akhir
tahun ini. Dengan demikian, volume impor beras Indonesia dapat naik
lebih dari dua kali lipat total impor pada 2013 yang mencapai total 650
ton (<i><a href="http://l.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.Oryza.com%2F&h=LAQEW5-oc&s=1" rel="nofollow" target="_blank">www.Oryza.com</a></i>).<br /><br />Jadi,
apabila pemerintah dan importir disalahkan atas terus pelaksanaan
kebijakan impor beras, mereka tinggal menunjukkan perkiraan atau
perhitungan yang telah dibuat FAO dan USDA tersebut. Siapa berani
melawan lembaga sekaliber FAO dan USDA tersebut, sekalipun angka-angka
yang mereka rilis adalah kebohongan terstruktur dan sistematis? Apakah
presiden dan wakil presiden baru yang terpilih berani bertarung melawan
rezim korporasi global yang telanjur menggurita? Apakah para
sukarelawannya, terutama kaum kelas menengah, mau secara serius
menciptakan mekanisme yang efektif agar petani lokal tidak terus-menerus
dijadikan sapi perah politik setiap pemilu tetapi hidup mereka terus
dikorbankan? Sekali lagi, pesimisme saya menyeruak. Sejak berdiri rezim
otoriter-birokratik-militeristik Soeharto hingga rezim politik SBY --
dengan perkecualian rezim politik Gus Dur yang berumur pendek -- kita
terus-menerus dididik menjadi manusia kerdil, yang begitu takut pada
institusi-institusi besar seperti FAO, WTO, AFTA, Zona Perdagangan Bebas
Tiongkok-ASEAN, Amerika Serikat, China, dan korporasi-korporasi global
yang kemaruk. Kelas menengah Indonesia yang kemarin memenangkan Joko
Widodo dan Mohammad Jusuf Kalla masih terlena dengan terus-menerus
mengolok-olok Prabowo Subianto dan koalisi politiknya. Perilaku ngehek
itu sungguh memalukan, mengingat mereka senang melekatkan predikat
“terdidik,” “kritis,” dan “progresif” pada diri mereka. Inilah jenis
kelas menengah yang masih mengalami distopia akibat begitu kuat pengaruh
rezim otoriter-birokratik-militeristik Soeharto. Mereka baru aktif
dalam melakukan kerja-kerja penalaran, tetapi begitu tak bertenaga saat
harus bergerak secara nyata. Kalau semua predikat hebat itu tak mampu
diwujudkan dalam agenda kerja yang jelas, yang jelas berkeringat,
selamanya kelas menengah semacam itu akan menjadi kelas menengah yang
mudah terpukau pada figur baru dan pengolok-olok yang menjijikkan! Dan,
sekali lagi, yang mengambil keuntungan, adalah rezim perdagangan bebas
global, korporasi besar, politikus oportunis yang meloloskan kebijakan
impor, dan jaringan importir dalam negeri yang kemaruk.<br /><br /><b>Realitas Pahit Petani Kecil</b><br />Setelah
kita mengerti gambaran-gambaran besar tentang contoh persoalan dunia
pertanian Indonesia, mari kita turun ke persoalan-persoalan konkret para
petani kecil kita. Kenyataan-kenyataan ini disusun sebagai
sinyal-sinyal merah baik oleh presiden dan wakil presiden terpilih yang
akan memegang tongkat komando tertinggi di bidang pertanian, Departemen
Pertanian, kaum kelas menengah Indonesia yang tengah kebingungan dalam
menentukan arah gerak yang konkret dalam mengawal pemerintahan baru, dan
kelompok-kelompok tani progresif yang tengah memperjuangkan nasib
petani. Tentu saja banyak fakta mengenaskan yang tidak bisa saya
masukkan di sini mengingat keterbatasan akses informasi. Namun semoga
fakta-fakta kecil ini bisa memicu kerja yang lebih konkret dan
sistematis dalam melakukan kemandirian pangan Indonesia.<br /><br />Pada
akhir Mei, saya dan kawan-kawan Gerakan Literasi Indonesia (GLI)
mengadakan perjalanan menemui para petani di Wonosobo. Dalam sebuah
perbincangan yang dalam, terungkap fakta menarik: beberapa petani di
kaki gunung di Wonosobo tak mau memanen cabai mereka akibat harga hasil
pertanian mereka meluncur turun dengan deras. Padahal, mereka sudah
menghabiskan banyak biaya penanaman dan perawatan. Kehancuran harga
cabai petani lokal itu akibat ulah para importir avonturir yang
membanjiri pasar dalam negeri dengan cabai impor dari Vietnam, India,
dan Tiongkok. Fakta menyedihkan itu diperkuat oleh temuan Muhammad
Sofwan Hadi, aktivis Gerakan Literasi Indonesia (GLI), yang juga
berbincang tentang pertanian cabai dengan para petani di kaki Gunung
Merapi, Yogyakarta. Menurut pengakuan para petani itu, mereka tak mau
memanen cabai rawit seharian dan hanya memperoleh uang Rp 20.000,
sementara uang yang telah mereka keluarkan untuk merawat tanaman cabai
jauh lebih besar daripada uang yang mereka terima. Tindakan bunuh diri
semacam itu dilakukan di bawah tawa para importir, pejabat Departemen
Pertanian, dan petugas bea cukai yang meloloskan impor cabai ke dalam
pasar dalam negeri.<br /><br />Dua fakta konyol tersebut tampaknya sepadan
dengan kekonyolan lain yang dilakukan petani apel Malang. Dalam suatu
unjuk rasa yang dilakukan di Kementerian Perdagangan, 23 Februari 2014,
para pengunjuk rasa langsung menumpahkan apel-apel dari kantong dan
menyebarkan di jalan depan kantor Muhammad Lutfi itu. Selain menyebar
apel, ada pula aksi teatrikal dengan dua “pocong” berbaring di atas
apel-apel. Tidak hanya itu, para pendemo melempari kantor kementerian
dengan apel. Ada sekitar 1,5 ton apel yang mereka buang dalam aksi
demonstrasi tersebut. Tindakan itu mereka lakukan karena Indonesia
kebanjiran apel impor, sehingga harga apel lokal terus jatuh hingga
kisaran Rp 2.500 per kilogram di tingkat eceran. Kejatuhan harga itu
membuat 70 persen lahan perkebunan saat ini sudah beralih fungsi menjadi
tempat hiburan, agrowisata, dan perkebunan tebu (<i><a href="http://bintangnews.com/politik/1321-demo-di-kemendag,-petani-malang-lempar-1,5-ton-apel.html" rel="nofollow" target="_blank">http://bintangnews.com/politik/1321-demo-di-kemendag,-petani-malang-lempar-1,5-ton-apel.html</a></i>).<br /><br />Apakah
faka-fakta tersebut bias Jawa? Bagaimana dengan para petani di luar
Jawa? Untuk menyanggah anggapan demikian, berikut adalah faka-fakta
segar lain yang harus dihadapi pemerintahan terpilih begitu mulai
bekerja nanti. Pengalaman yang dialami Darmanto Oloan Sitompul,
petualang sunyi yang hidup bertani di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara,
menemukan kesejajaran dengan para petani Wonosobo, kaki Gunung Merapi,
Yogyakarta, dan Malang. Beberapa bulan lalu dia berbincang-bincang lama
dengan petani yang pernah terpaksa menjual kentang hasil panen seharga
Rp 900 per kg (baca: sembilan ratus rupiah per kilogram) ke pedagang
pengumpul. Saat itu, setahu dia, pemerintah memasukkan kentang impor
dari Tiongkok yang masuk ke Indonesia lewat Pelabuhan Belawan, yang
dilepas ke pasaran dengan harga Rp 2.000 per kg (dua rebu perak
sekilo!). Dalam pemahaman dia, kentang impor bisa jauh lebih bagus sebab
ukuran dan bentuknya lebih seragam. Tidak perlu ditanya berapa
kerugiannya, yang pasti kerja tiga-empat bulan (untuk menanam kentang)
tak kelihatan hasilnya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kelak
petani-petani lokal akan bertahan saat perdagangan bebas Tiongkok-ASEAN
resmi berjalan.<br /><br />Dalam kasus petani kopi, apa yang telah ditulis
Yusran Dharmawan bisa menjadi indikator kenapa nasib petani kopi kita
tak pernah membaik. Pada beberapa kali pertemuan dengan petani kopi di
Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dia memperoleh keterangan tentang harga
kopi yang terus jatuh di Tanah Air. Kata mereka, harga kopi di tingkat
petani hanya antara Rp 3.500 dan Rp 4.000 per kilogram. Padahal di
Amerika, secangkir kopi bisa dihargai 5 dolar AS atau sekitar Rp 45.000
(dengan asumsi 1 dolar AS sama dengan Rp 9.000). Kesenjangan luar biasa
itu bisa terjadi karena perusahaan multinasional, seperti Starbucks,
Kraft, Nestle, Sara Lee, serta Procter & Gamble. Mereka datang ke
petani, lalu membeli dengan harga murah, kemudian menjual ke
mancanegara. Beberapa perusahaan multinasional mengejar untung
berlipat-lipat dengan cara mendatangi langsung para petani (<i><a href="http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/05/06/kopi-sumatra-kopi-termahal-di-amerika-553276.html" rel="nofollow" target="_blank">http://luar-negeri.kompasiana.com/2013/05/06/kopi-sumatra-kopi-termahal-di-amerika-553276.html</a></i>).<br /><br /><b>Pelajaran dari Naga Timur yang Bersiap Mencaplok Petani Indonesia</b><br />Dengan
fakta-fakta tersebut, bisakah kita belajar justru dari ancaman dari
luar yang sedang bersiap menelan nasib petani kita pada masa datang?
Saya hanya menghadirkan salah satu sinyal merah potensial yang akan
menjadi ancaman bagi para petani kita kalau kita tak bisa menyiasati
dengan baik. Selain satu ancaman yang akan saya paparkan di bawah ini,
ancaman paling dekat justru dari negara satu kawasan kita, seperti
Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Mari kita simak pelajaran dari Naga
Timur yang sedang menggeliat dan mengibaskan ekor ekspansi produk
pertanian hingga sampai ke kepulauan Nusantara ini.<br /><br />Sejak 1971,
Tiongkok telah berhasil memproduksi pangan lebih besar dari India, meski
India memakai teknologi modern dan Tiongkok masih dengan teknologi
sederhana. FAO mengetahui jumlah luar biasa produksi pangan Tiongkok.
Namun karena FAO, sebagaimana lembaga PBB lain, berada dalam dominasi
Eropa Barat dan Amerika Serikat yang secara ideologis berbeda dari
Tiongkok, mereka tak mau melaporkan kemajuan produksi pangan Tiongkok.
Lewat media massa elektronik dan cetak, hingga awal 1990-an, mereka
justru memberitakan warga Tiongkok masih banyak yang kelaparan. Kalau
kita mau menelisik lebih jauh, keberhasilan strategi ketahanan pangan
Tiongkok, revolusi kebudayaan yang diluncurkan Tuan Mao Tse Tung adalah
kuncinya. Mereka mengirimkan intelektual dan kaum terpelajar kota ke
pedesaan untuk bersatu dengan massa rakyat. Memang korbannya banyak,
tetapi kebanyakan adalah orang-orang kota dan intelektual pemalas.
Selebihnya adalah keberhasilan Tiongkok untuk menjadikan intelektual dan
kaum terpelajar lebih realistis dengan kondisi alam, latar belakang
sejarah dan sosial negerinya, dan mencari jalan masa depannya sendiri.
Sementara kita di Indonesia dicekoki dengan wacana mengerikan tentang
revolusi kebudayaan Ketua Mao, di Tiongkok para petani bekerja sama
dengan kaum intelektual perkotaan dalam menciptakan teknologi tepat guna
yang bisa meningkatkan produksi pertanian mereka.<br /><br />Efek revolusi
kebudayaan Tiongkok terhadap bidang pertanian memang tak serta-merta.
Sejak paruh kedua 1960-an sampai paruh pertama 1970-an, Tiongkok
berkesan menutup diri dari luar. Dalam setting perang dingin masa itu,
penghancuran Indonesia oleh kaum nekolim lewat kudeta merangkak Jenderal
Soeharto yang didukung CIA nampaknya jadi pelajaran berharga. Kebijakan
menutup diri mereka lakukan untuk menangkal berbagai pengaruh buruk
dari luar yang berpotensi memecah-belah negeri komunis itu. Perlu waktu
satu dasawarsa lebih bagi mereka untuk membuka diri dan siap menerima
berbagai pengaruh dari luar. Ketika Ketua Mao meninggal dan Deng Xiao
Ping naik ke puncak kekuasaan, jalan bagi kemajuan pertanian Tiongkok
mulai menampakkan hasil. Pada 1978-2012, Tiongkok menunjukkan pola
pertumbuhan yang stabil, sebagian akibat dari reforma ekonomi di wilayah
pedesaan dan perubahan-perubahan dalam kebijakan pemerintah Tiongkok
terhadap produksi pertanian dan taraf hidup petani. Pada 1978-2012,
misalnya, produksi gandum Tiongkok naik 41,1 kali lipat! Sejak
2000-2012, produksi susu naik 3,5 kali lipat, sedangkan produksi minyak
sayur naik 17,64%.<br /><br />Nampaknya Tiongkok sadar betul, perkembangan
masyarakat tidak bisa melompat. Satu dekade sejak revolusi kebudayaan
pertama diluncurkan, mereka hanya menggunakan teknologi tepat guna yang
bisa dipahami dan seluruh komponen bisa diperoleh oleh petani. Ketika
mereka telah siap dengan mekanisasi alat-alat pertanian secara
terintegrasi, barulah kebijakan mekanisasi alat-alat pertanian
terintegrasi dilakukan. Hasilnya, sejak 1978 sampai 2012, Tiongkok
mengalami kenaikan tingkat mekanisasi terintegrasi dari 18,8% menjadi
56,6%. Tingkat mekanisasi terintegrasi itulah yang menjadi faktor
penting dari pertumbuhan produksi pertanian yang berlangsung stabil (<i>China Statistical Yearbook</i>,
1978-2012). Pada periode yang sama, sektor pertanian juga menjadi saksi
dari perluasan sistem irigasi yang efektif. Hasil dari perluasan sistem
irigasi itu adalah lonjakan lahan yang teraliri air dari 45 juta
hektare pada 1978 menjadi 61,68 hektare pada 2011 (<i>China Statistical Yearbook,</i> 2012).<br /><br />Kelebihan
lain dari pembangunan sektor pertanian Tiongkok adalah perencanaan
pembangunan pertanian khusus berdasarkan kekhasan wilayah. Model
konsentrasi produksi pertanian itu mereka terapkan agar memudahkan
pengaturan dari hulu sampai hilir terhadap produk-produk pertanian
tertentu. Misalnya, kontribusi 13 provinsi penghasil padi meningkat
signifikan dari sebelum dan sesudah revolusi kebudayaan (Li Zhou, <i>China’s Agricultural Development: Achievements and Challenges</i>).
Pada 1949-1959, kontribusi 13 provinsi di China dalam menghasilkan padi
69,21%, lalu meningkat menjadi 75,15% pada periode 2000-2009, dan naik
lagi menjadi 77,78% pada 2010-2012. Zona produksi kedelai dan jagung
dipusatkan di wilayah timurlaut, produksi kacang-kacangan dan gandum di
wilayah Huang-Huai-Hai, biji minyak dipusatkan di wilayah sepanjang
Sungai Yangtze, sedangkan katun dipusatkan di sepanjang Sungai Kuning
(Sungai Huangho) dan wilayah baratlaut. Semua itu didukung keseluruhan
produksi faktor (total factor production) yang naik 1% sepanjang tahun
1985-2010. Berdasarkan informasi yang dirilis Kementerian Pertanian,
kontribusi kemajuan teknologi bagi pertumbuhan pertanian Tiongkok 54,5%
pada 2012. Pertumbuhan tahunan efisiensi teknis pertanian Tiongkok naik
konstan sekitar 1%, sedangkan kemajuan teknologi naik tetap 1% (<i>China Statistical Yearbook</i>, 1986-2011).<br /><br />Seluruh
kebijakan pertanian yang sistematis itu selama setengah abad telah
membuat para petani Tiongkok memiliki martabat yang sama dengan warga
yang tinggal di perkotaan --bandingkan dengan keminderan para petani
kita pada orang-orang kota. Sejak 1978 (pertama berkuasanya Deng Xiao
Ping) sampai 2012, pendapatan per kapita petani naik 10,77 kali lipat
(dari 133,6 yuan menjadi 7.917 yuan) (Li Zhou, <i>China’s Agricultural Development: Achievements and Challenges</i>).
Yang hebat lagi, kenaikan pendapatan per kapita antara petani dan
penduduk perkotaan nyaris sama pada periode yang sama. Efeknya, sedikit
ketimpangan yang tercipta antara petani dan penduduk perkotaan biasa.
Tentu saja fakta itu mengabaikan pertimbangan bahwa tingkat absolut
pendapatan per kapita antara pedesaan dan perkotaan berbeda. Dua tahun
terakhir, tingkat pertumbuhan pendapatan antara penduduk pedesaan dan
penduduk perkotaan justru lebih tinggi pedesaan (bandingkan dengan
Indonesia yang berkebalikan 180 derajat!). Faktor berikutnya adalah
distorsi harga produk-produk pertanian lenyap oleh reformasi dan
liberalisasi harga. Lalu pajak pertanian sejak 2005 dihapuskan
(bagaimana dengan di Indonesia?). Pada saat bersamaan, sejak 2005,
subsidi pemerintah ke bidang pertanian justru meningkat. Semua fasilitas
dan kebijakan negara yang mendukung pertanian itu membuat para petani
Tiongkok percaya diri bahwa seberapa besar pun produksi mereka akan ada
pasar yang menyerap. Itu sejalan dengan kebijakan Kementerian Pendidikan
Tiongkok sejak 2001 yang mewajibkan penduduk Tiongkok yang berada di
luar negeri mencarikan pasar bagi produk-produk dalam negeri (wajib bro,
bayangkan betapa terintegrasi kebijakan antardepartemen mereka). Jadi
tidak salah kalau para pengamat pertanian yang mau melek sedikit sadar
bahwa Tiongkoklah penguasa pasar pertanian dunia sekarang.<br /><br />Dalam perencanaan pembangunan 25 tahun ke depan, mereka bahkan sudah membuat <i>grand design</i>
tentang pembagian jumlah penduduk secara gila-gilaan: 500 juta di
perkotaan, 500 juta di pinggiran kota, dan 500 juta di pedesaan. Jumlah
penduduk dan pembagian di setiap wilayah itu berangkat dari asumsi bahwa
25 tahun yang akan datang, jumlah penduduk Tiongkok 1,5 miliar
(berangkat dari sensus penduduk terakhir tahun 2011, jumlah penduduk
Tiongkok 1,2 miliar). Penduduk di desa-desa rencananya disatukan di
sebuah lokasi untuk menghemat air dan listrik serta kebutuhan-kebutuhan
publik. Efek bagusnya, lahan pertanian dan pembangunan lain tak
berkurang. Barangkali tidak ada sebuah negara adidaya yang memiliki
rencana seambisius Tiongkok itu. Dengan perencanaan pembangunan semacam
itu, lahan pangan tetap berlimpah, sementara negara-negara lain merasa
kekurangan lahan karena perumahan tersebar, boros listrik dan air.
Pengembangan bioteknologi dan nano teknologi mereka sekarang nomor satu
di dunia, dengan limpahan dana yang bisa membikin para peneliti hidup
dan berkarya dengan nyaman. Kalau di Amerika dan Eropa seorang peneliti
utama atau profesor hanya memperoleh satu atau paling banter tiga
asisten ahli, di Tiongkok mereka bisa memiliki lima-enam asisten ahli.
Dengan semua infrastruktur seperti itu, tak berlebihan kiranya Tiongkok
disebut sebagai penguasa pangan dunia pada masa datang. Perencanaan
pembangunan semesta semacam Tiongkok itu semestinya membuat kita waspada
dan belajar.<br /><br /><b>Agenda Kawal Kebijakan Pertanian Presiden Baru</b><br />Saat
mengunjungi area persawahan di Desa Tanjungsari, Cariu, Bogor, Jawa
Barat, Joko Widodo (Jokowi) membeberkan enam kebijakan yang akan
diterapkan kepada petani jika terpilih menjadi presiden. Pertama, lahan
pertanian produktif jangan sampai dikonversi untuk kegunaan yang lain.
Kedua, Jokowi menyoroti pendampingan terhadap petani, khususnya dalam
pengelolaan tanah pertanian. Dia mengatakan para petani jangan diarahkan
menggunakan bibit impor ataupun pupuk kimia, dan sebisa mungkin
menggunakan pupuk organik dan benih sendiri. Ketiga, infrastruktur
pertanian dari bendungan sampai saluran tersier harus dibenahi. Keempat,
ketersediaan air bersih bagi para petani. Bendungan air yang digunakan
para petani untuk mengairi lahan dan sawah harus terbebas dari limbah
industri. Kelima, pasar dan teknologi harus memberikan keuntungan pada
petani. Pascapanen juga belum menyentuh petani. Keenam, modal. Posisi
petani kekurangan modal. Butuh akses permodalan. Bank pertanian harus
didirikan khusus bagi petani (<i><a href="http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2042442/dekati-petani-jokowi-beberkan-6-kebijakan-terkait-pertanian" rel="nofollow" target="_blank">http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2042442/dekati-petani-jokowi-beberkan-6-kebijakan-terkait-pertanian</a></i>).<br /><br />Enam
poin kebijakan pertanian Joko Widodo itu sekilas memang hebat dan
menguntungkan petani. Namun kalau dikuliti satu per satu,
kebijakan-kebijakan itu berpotensi menjadi omong kosong dan bombasme
politik elektoral kita yang sejak kejatuhan rezim Soeharto menjelma
kebohongan yang pahit bagi petani. Mari kita lihat satu per satu enam
kebijakan Joko Widodo yang berpotensi menjadi bombasme selanjutnya dari
politik elektoral kita.<br /><br />Pertama, soal imbauan agar lahan
pertanian produktif tak dikonversi untuk kegunaan lain. Meletusnya
konflik agraria di Kebumen, Rembang, Wonogiri, Batang, dan Karawang
adalah contoh pengonversian lahan pertanian produktif di depan mata Joko
Widodo dan Jusuf Kalla di samping makin merebak pembangunan perumahan
yang memangsa lahan pertanian produktif di kota-kota menengah dan kecil.
Lahan di Kebumen diserobot militer dan menjadi latihan perang,
Pegunungan Kendeng Utara yang meliputi Pati, Tuban, dan Rembang dimangsa
pabrik semen, dan pertanian subur di wilayah Karawang akan dibangun
perumahan megah oleh Agung Podomoro, meski kita semua tahu Karawang
telah berabad-abad menjadi salah satu lumbung padi di Jawa. Belum lagi
kita menghitung lahan-lahan pertanian produktif yang dikonversi oleh
pengusaha real estate untuk memenuhi kebutuhan perumahan di Jawa yang
terus meningkat. Bagaimana Jokowi akan berhadapan dengan militer,
pengusaha perumahan, korporasi seperti pabrik semen, dan
industri-industri lain yang memangsa lahan produktif itu?<br /><br />Sekarang
Indonesia malah punya proyek tidak jelas berupa pembukaan lahan untuk
sawah sebesar 2 juta hektare di luar Jawa (Papua) di mana pemilik lahan
itu bukan petani-petani kecil atau buruh tani yang bertransmigrasi,
melainkan pengusaha papan atas yang hanya berpikir soal keuntungan tanpa
memedulikan kelestarian alam dan lingkungan. Kebijakan tolol dari para
politikus dan ahli ekonomi yang tidak paham soal kondisi alam,
demografi, dan faktor-faktor sosial dan budaya masyarakatnya itu selain
hanya menguntungkan pengusaha besar juga tak memberikan partisipasi dari
warga kelas menengah ke bawah dalam aktivitas produksi pertanian.
Pengawasan kebijakan pembukaan lahan pertanian yang luas di luar Jawa
itu seharusnya menjadi momentum yang bagus dari pelaksanaan kebijakan
reforma agraria dan transmigrasi yang dulu diimpikan Presiden Soekarno.
Sekali lagi, di sinilah kelemahan kelas menengah Indonesia yang sejak
penghitungan suara versi hitung cepat lembaga survei lebih suka
berceloteh di media sosial untuk mengolok-olok calon presiden pecundang.
Mereka tak sigap bergerak dengan melakukan agenda aksi yang konkret
untuk memuluskan (atau menelanjangi?) kebijakan yang dicanangkan Joko
Widodo.<br /><br />Kebijakan kedua, berupa pendampingan petani dan arah agar
tidak memakai bibit impor dan pupuk kimia, akan menghadapkan Jokowi
pada berbagai pihak-pihak yang kelak dirugikan dari kebijakan kedua itu.
Pendampingan petani barangkali akan lebih mudah, mengingat jumlah para
sukarelawan Jokowi yang berlimpah dan bisa menjadi kekuatan pendamping
yang hebat apabila bisa membuat master plan pendampingan yang efektif.
Namun penggunaan benih buatan sendiri serta pupuk organik adalah
kebijakan yang terasa mengawang-awang. Para produsen pupuk kimia dan
importir benih yang selama ini beroperasi tentu saja tak akan tinggal
diam. Mekanisme macam apa yang akan dilakukan Joko Widodo agar
kebijakannya yang kelihatan “wah” itu bisa terwujud? Sebagai anak petani
kecil, sudah sejak paruh kedua 1990-an saya tak menyaksikan lagi
ketelatenan para petani kecil hingga menengah kita dalam melakukan
proses pembibitan yang begitu bertele-tele. Kehadiran bibit-bibit impor
dan pembibitan padi yang siap tanam telah membuat para petani mengalami
ketergantungan yang akut terhadap bibit dari luar diri sendiri. Sudah
sejak hulu produksi mereka dibuat begitu tak berdaya. Sekarang, dengan
kebijakannya itu, Joko Widodo dan pemerintahan baru akan membangun
infrastruktur pembibitan yang sudah jelas akan memakan energi dan biaya
besar. Hal serupa terjadi dengan persoalan penggunaan pupuk. Setelah
bertahun-tahun petani kecil dan menengah mengalami ketergantungan pada
pupuk anorganik, bagaimana bisa kebijakan agar petani menggunakan pupuk
organik bisa berjalan? Ketersediaan bahan untuk membuat pupuk organik,
alat-alatnya, kemampuannya untuk bersaing dengan pupuk anorganik buatan
pabrik, dan daya serap tanaman yang tak serta-merta ketika dikasih pupuk
organik adalah persoalan nyata yang menanti di depan mata Joko Widodo
dan Jusuf Kalla.<br /><br />Kebijakan ketiga dan keempat -- perbaikan sarana
irigasi dari bendungan sampai saluran tersier dan menjaga keberhasilan
air untuk produksi pertanian -- mungkin tak akan mendapatkan hambatan
berarti. Program itu jauh lebih mudah diterapkan. Hanya kota-kota besar
atau menengah tempat beroperasi industri yang punya limbah buang cair
yang harus memperoleh prioritas besar.<br /><br />Pada kebijakan kelimalah
tantangan paling besar yang harus dihadapi Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Saya tidak akan membahas soal teknologi yang mendukung dunia pertanian.
Seiring dengan kemeluasan akses internet hingga ke pedesaan, teknologi
bukan lagi persoalan nyata yang dihadapi para petani. Internet hampir
memerdekakan para petani tanpa bantuan yang signifikan dalam hal
teknologi pertanian. Kalaupun pemerintah mau secara serius membantu
petani, barangkali yang lebih nyata adalah bagaimana pemerintah bisa
membangun mekanisme penyaluran bantuan teknologi yang mendukung produksi
pertanian itu sampai ke tangan yang lebih berhak. Butuh data yang kukuh
tentang petani kecil (dengan luas lahan kurang dari 1 hektare) dan
menengah yang layak menerima bantuan dan sistem pengawasan yang kuat.<br /><br />Bagaimana
agar pasar bisa menguntungkan petani? Data BPS, Departemen Perdagangan,
serta Departemen Pertanian secara telak telah menunjukkan sejak dulu
pasar tak pernah berpihak secara nyata pada para petani. Kita tak
memperoleh cukup penjelasan tentang formula yang akan dilakukan Jokowi
untuk memproteksi produk-produk pertanian dalam negeri. Kita juga tak
mengetahui bagaimana sistem distribusi bagi berbagai produk pertanian
itu agar bisa memastikan tidak atau ada permainan harga yang merugikan
para petani kecil. Musuh Jokowi bukan hanya para petualang di Departemen
Pertanian dan Perdagangan yang menjual lisensi impor, melainkan juga
para korporasi besar, importir, rezim perdagangan bebas ASEAN (AFTA),
ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area), dan negara-negara eksportir
produksi pertanian seperti China, India, Vietnam, Pakistan, Thailand,
dan Australia. Importir-importir itu sebagian besar adalah para
pengusaha yang memperoleh lisensi dari departemen terkait dan
berafiliasi atau punya hubungan baik dengan partai. Sementara itu,
meyakinkan rezim AFTA, ACFTA, dan negara-negara ekportir produk
pertanian membutuhkan kemampuan diplomasi yang hebat. Dengan sumber daya
diplomat-diplomat kita yang tak punya cukup nyali di forum-forum
internasional, tanpa menyisakan ruang bagi pertumbuhan harapan,
kemampuan rezim Joko Widodo dalam mengamankan pasar dalam negeri dari
tekanan luar sangatlah kecil. Maka sangat layak kita menyangsikan
kejituan Joko Widodo dan pemerintahan yang nanti berkuasa dalam
mengamankan pasar bagi produk pertanian dalam negeri.<br /><br />Bagian
terakhir dari kebijakan pertanian yang dicanangkan Jokowi adalah modal
bagi para petani. Itu persoalan klasik yang sampai sekarang tak pernah
terpecahkan oleh rezim politik sejak zaman Soeharto hingga sekarang.
Gembar-gembor soal modal untuk usaha pertanian, tetapi dalam pelaksanaan
yang bisa mengakses modal itu tetap saja mereka yang memiliki kedekatan
dengan penguasa politik atau birokrat. Para petani kecil seperti di
sepanjang pantai utara Jawa hingga kaki gunung di Wonosobo justru sering
membiarkan lahan pertanian tidak tergarap karena ketiadaan modal yang
cukup untuk menggarap. Dan, seandainya Joko Widodo dan Jusuf Kalla nanti
benar-benar meluncurkan kebijakan injeksi modal pertanian pada petani
kecil yang berjumlah lebih dari 26 juta jiwa, apa yang menjadi jaminan
bagi modal yang diinjeksikan oleh pemerintah itu? Kalau tanah mereka
yang menjadi jaminan, hampir dipastikan kebijakan itu tak akan berjalan.
Pelajaran berharga dari pengoperasian bank-bank yang memberi pinjaman
pada petani di pedesaan adalah lahan produktif mereka melayang ke pihak
bank akibat ketidakmampuan membayar pinjaman ketika panen gagal. Dan,
kalau modal itu diberikan secara cuma-cuma, apa yang menjadi jaminan
bahwa modal tak diselewengkan oleh petani kecil yang telah diimpit oleh
berbagai kebutuhan lain yang mendesak? Kalau pemerintah meluncurkan
program kredit rakyat kecil untuk para petani seperti yang dilakukan
oleh Muhammad Yunus di Bangladesh bisa saja kebijakan itu menjelma jadi
wajah lain dari pengisapan rakyat kecil yang menyerahkan diri secara
abadi pada belenggu utang. Siapakah perekayasa ekonomi dan sosial (<i>economic and social engineer</i>)
yang bisa membuat kebijakan permodalan bagi para petani lebih operatif
dan menemukan sasaran yang tepat adalah tugas besar yang harus
dipecahkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla kalau tidak ingin kebijakan
mereka di bidang pertanian tak jatuh dalam bombasme dan kebohongan
politik elektoral seperti para pendahulunya.<br /><br />Paparan singkat dan
bersifat makro soal tantangan dan ancaman yang harus dihadapi
pemerintahan baru itu hanya sebuah isyarat atau sinyal-sinyal merah
dunia pertanian untuk Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Jika selama
ini kebijakan pertanian kita selalu berkiblat ke negara-negara maju,
seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang secara historis, sosiologis, dan
kultural tidak sama dengan kita, tidak ada salahnya kini mereka
berpaling ke Tiongkok, India, dan negara-negara Amerika Latin yang
secara historis, sosiologis, dan kultural hampir mirip dengan kita.
Uraian tentang China di atas bukan hanya dimaksudkan untuk memberi
isyarat berbahaya, melainkan juga limpahan pelajaran berharga tentang
bagaimana negara sebesar dan sekompleks Tiongkok bisa membangun dan
menjalankan kebijakan pertanian yang tak merugikan petani kecil mereka.
India dan Tiongkok kini mengintip pasaran produksi pangan Asia dan
Afrika berkat kemampuan memproduksi secara massal hasil pertanian
mereka. Luas wilayah dan jumlah penduduk yang besar berhasil
dimanfaatkan menjadi faktor pendukung bagi peningkatan produksi pangan.<br /><br />Pada
era ketika informasi dari lingkaran elite bisa sampai ke masyarakat
paling bawah dalam hitungan jam oleh bantuan internet, pada era ketika
masyarakat paling bawah sedang mengalami pertumbuhan kesadaran kritis,
pada era ketika masyarakat tengah mengalami gelombang pasang harapan
untuk tumbuh menjadi bangsa yang kuat dan besar, menelurkan kebijakan
yang bersifat “pemanis mulut” adalah tindakan berbahaya. Rezim yang
semula dipenuhi harapan ini bisa dalam hitungan tahun menjadi rezim yang
dicaci-maki atau malah digulingkan karena tak mampu memenuhi harapan
kelompok-kelompok tertindas seperti petani dan buruh tani. Persis di
sinilah Joko Widodo sedang dituntut mengubah sinyal-sinyal merah menjadi
sinyal hijau.<br /><br /><i>Yogyakarta, 10 Agustus 2014</i><br /><br /><b>Dwi Cipta</b> anak petani kecil.</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-72969291535396327582014-12-04T23:41:00.000-08:002014-12-05T01:37:37.778-08:00Sejarah Freeport masuk ke Indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Beberapa
bulan setelah secara de-facto berkuasa, Presiden Soeharto menggadaikan
nyaris seluruh kekayaan alam negeri ini kepada blok imperialisme asing.
Salah satu cerita yang paling menyedihkan adalah tentang gunung emas di
Papua Barat. Gunung emas yang sekarang secara salah kaprah disebut
sebagai Tembagapura, merupakan sebuah gunung dimana cadangan tembaga dan
emas berada di atas tanahnya, tersebar dan siap dipungut dalam radius
yang amat luas.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Lisa
Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” dan
dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam National
Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis jika
dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967,
namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya.
Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut
berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959.
Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista.
Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan.
Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel
produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa
Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan
terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Di
tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes
Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan
pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van
Gruisen. Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan
sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian
Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu
sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama
bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen
tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan
membacanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dengan
berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu
jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga
menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti
wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada
di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi
tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat
antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek
kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar,
maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari
kebangkrutan yang sudah di depan mata.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Selama
beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas
Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk
memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu
telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung
tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Wilson
juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain
dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih
emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama
Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan,
Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu
tiga tahun sudah kembali modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun
bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan
kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung
tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Namun
lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan
yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah
Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah
memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tadinya
Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy
agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya
mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan
Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat
itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari
puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan
mundur dari Irian Barat.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ketika
itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya
mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda
mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang
diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada
di gunung tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dampak
dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian
kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan
Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan
paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan
melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan!</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Segalanya
berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas
ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan
Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum
Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik
di Amerika.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Presiden
Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang
bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan
ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh
di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan
presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota
dewan direksi Freeport.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tokoh
yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain
kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi
Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun
1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60
persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai
salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat
terpukul oleh kebijakan Soekarno ini.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Mungkin
suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di
Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali menjadi
presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini
merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pease
mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai
Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus
1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen
kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh
sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara
tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap
Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira
Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Salah
satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965,
pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal Soeharto akan
mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu
Soekarno berhalangan. Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah
bersaksi jika hal itu benar adanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Awal
November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes Wilson
mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne
Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi
gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno
masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana
Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Lisa
Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah
mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka
adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius
Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu
Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di
dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran
operasionil mereka.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sebab
itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA)
yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller,
disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya
ditandatangani Soeharto adalah Freeport. Inilah kali pertama kontrak
perminyakan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak
dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak
Soeharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan
Indonesia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Untuk
membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng
Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur
CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA
Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Tahun
1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi
perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS
pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.
Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan
memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost terbesar
di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga
terbesar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Maley
menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan
cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1
juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan
45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika
biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian
Barat itu merupakan yang termurah di dunia.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Istilah
Kota Tembagapura itu sebenarnya menyesatkan dan salah. Seharusnya
Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga
mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di
permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru
menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau
kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari
Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut
Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung
mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih
terjadi sampai sekarang.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 36.0pt;">
<span style="font-family: "Times New Roman", "serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Kisah
Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang
bagaimana kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada bangsa
Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk
dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan
kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai
sekarang.</span></div>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-66336502198602435692014-08-28T09:00:00.001-07:002014-08-30T10:11:58.329-07:00PESAN PERJUANGAN PROF. WIDJAJONO PARTOWIDAGDO (ALM) -- SOAL BBM, DAN KACAUNYA KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span data-ft="{"tn":"K"}">PESAN PERJUANGAN PROF. WIDJAJONO PARTOWIDAGDO (ALM) -- SOAL BBM, DAN KACAUNYA KEBIJAKAN ENERGI INDONESIA<br /> <br /> Sumber foto: Republika.co.id<br /> Copas via Nurman Diah (via Forum Pembaca The Global Review):<br /> <br />
Pesan Perjuangan dari seorang Prof. Widjajono Partowidagdo demi
Kedaulatan, Kemandirian dan Ketahanan Energi Republik Indonesia:<br /> <br /> "Indonesia merupakan negara yang lucu. Pasalnya, Indonesia memiliki sumbe<span class="text_exposed_show">r
energi murah yaitu batubara, tetapi justru batubara tersebut malah
diekspor. Sedangkan Indonesia memilih impor Bahan Bakar Minyak (BBM)
yang harganya lebih mahal. ”Indonesia negara lucu, ekspor yang murah,
tapi impor yang mahal. Orang yang gak kaya minyak tapi pakai yang mahal.
Orang miskin kalau pakai yang mahal maka akan susah hidupnya,” tegas
Widjajono saat ditemui di Ballroom Hotel Kempinski Jakarta, Jumat
(30/3/2012).<br /> <br /> Widjajono heran dengan kultur masyarakat Indonesia
yang justru bangga dengan jumlah mobil yang banyak meskipun bahan
bakarnya masih disubsidi. “Mobil di Singapura itu 5 tahun ganti, tapi di
Indonesia malah bangga mobil tambah meskipun BBM-nya disubsidi,”
pungkasnya (detikFinance.com, 30/3/12).<br /> <br /> Lebih dari itu, negara
ini juga pas disebut negara aneh. Pasalnya memang banyak keanehan dalam
pengaturan negara ini. Berikut sebagian diantara keanehan yang terjadi
di negeri ini:<br /> <br /> Pertama, semua orang di dunia akan sangat takjub
dengan melimpahnya kekayaan negeri ini. Hampir semua bentuk kekayaan
alam ada di negeri ini. Namun anehnya, kekayaan itu tidak bisa membuat
rakyatnya hidup makmur.<br /> Menurut data BPS: (<a href="http://www.bps.go.id/tab_sub/" rel="nofollow nofollow" target="_blank">http://www.bps.go.id/tab_sub/</a> view.php?tabel=1&amp;daftar=1&<wbr></wbr><span class="word_break"></span>amp;id_
subyek=23&amp;notab=1 ) pada tahun 2011 orang miskin di negeri ini
masih ada 11.046.750 orang di kota, ada 18.972.180 orang di desa dan
secara total di negeri ini masih ada 30.018.930 orang miskin. Itu pun
dengan ukuran garis kemiskinan di kota Rp 253.016,- per bulan, di desa
Rp 213.395,- perbulan dan secara gabungan ukuran garis kemiskinan jika
pengeluaran Rp 233.740,- perbulan. Orang yang disebut miskin di negeri
ini jika pengeluarannya kurang dari Rp 7.790,- perhari. Padahal dengan
pengeluaran sebesar itu per hari hanya cukup untuk sekali makan dengan
lauk ala kadarnya.<br /> <br /> Kedua, dengan melimpahnya kekayaan negeri
ini, ternyata pendapatan negeri ini termasuk dari hasil pengelolaan
bermacam kekayaan alam itu tidak cukup untuk membiayai belanja negara
sehingga kekurangannya ditutup dengan mencari utang baik dari dalam
negeri dalam bentuk Surat Berharga Negara dan dari luar negeri. Jumlah
utang pada akhir Januari 2012 yang telah mencapai Rp 1837,39 triliun.
Jumlah itu jika dibagi dengan jumlah penduduk 239 juta maka tiap orang
penduduk temasuk bayi yang baru lahir sekalipun terbebani utang sebesar
Rp 7,688 juta.<br /> Keanehan ini makin menjadi. Negara ini sangat patuh
dalam membayar cicilan utang pokok dan bunganya tiap tahun. Normalnya,
orang berutang itu hanya sementara, sesekali, tidak seterusnya dan punya
rencana atau skenario untuk melunasi utangnya. Itu normalnya. Tapi hal
itu tak terlihat dalam hal utang negeri ini. Utang seolah menjadi
sesuatu yang tetap. Tiap tahun harus ada. Hal itu diantaranya adalah
akibat tipuan doktrin anggaran berimbang. Sayangnya terlihat tidak ada
rencana atau skenario mengakhiri utang itu. Di dalam Buku Saku
Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 bahkan sudah ada prediksi
besaran cicilan utang pokok dan bunga hingga tahun 2055 dan itu bukan
akhir dari cicilan utang. Normalnya, utang itu sifatnya
emergensi/darurat, tapi anehnya dalam pengelolaan negeri ini, utang
justru bersifat baku, tetap dan kontinu. Jelas ini adalah aneh dan
abnormal.<br /> <br /> Lebih aneh lagi, ternyata cicilan utang selama ini
tidak mengurangi jumlah utang. Padahal cicilan utang itu jika
diakumulasi sudah melebihi akumulasi utangnya sendiri. Akumulasi
pembayaran cicilan utang baik bunga maupun pokok selama 12 tahun antara
tahun 2000-2011 mencapai Rp 1.843,10 triliun. Tapi anehnya, jumlah utang
negara tidak berkurang tapi justru bertambah. Utang negara per 3
Januari 2012 mencapai Rp 1.837,39 triliun.<br /> <br /> Kalau dikatakan
utang itu untuk membiayai pembangunan, maka bisa jadi itu bohong besar.
Sebab sejatinya utang yang diambil itu adalah untuk membayar cicilan
utang. Ambil contoh tahun 2012 ini. Di dalam APBN-P sudah ditetapkan
defisit sekitar Rp 190,1 triliun atau 2,23% dengan rencana akan ditutupi
dari pembiayaan (utang) dalam negeri sebesar Rp 194,5 triliun dan
pinjaman luar negeri sebesar minus Rp 4,4 triliun (artinya total
pinjaman LN berkurang Rp 4,4 triliun). Ternyata jumlah itu habis dan
tidak cukup untuk membayar cicilan utang. Di tahun 2012 besarnya cicilan
utang mencapai Rp 261,1 triliun (cician pokok Rp 139 triliun dan
cicilan bunga Rp 122,13 triliun). Bahkan jika mengacu pada Buku Saku
Perkembangan Utang Negara edisi Februari 2012 yang dikeluarkan oleh
Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan di halaman 46 disebutkan,
pagu APBN-P 2012 untuk pembayaran cicilan utang (pokok dan bunganya)
mencapai Rp 322,709 triliun, terdiri dari cicilan pokok utang Rp 200,491
triliun dan cicilan bunga Rp 122,218 triliun. Cicilan pokok utang itu
terbagi dalam cicilan pokok pinjaman Rp 47,400 triliun (pinjaman DN Rp
140 miliar dan pinjaman LN Rp 47,260 triliun) dan cicilan pokok Surat
Berharga Negara (SBN) Rp 153,091 triliun (SBN Rupiah Rp 152,091 triliun
dan SBN Valas Rp 1 triliun). Sementara cicilan bunga Rp 122,218 triliun
itu, terdiri dari cicilan bunga pinjaman Rp 17,887 triliun ( bunga
pinjaman DN Rp 225 miliar dan bunga pinjaman LN Rp 17,662 triliun) dan
cicilan bunga SBN Rp 104,331 triliun (bunga SBN Rupiah Rp 88,278 triliun
dan SBN Valas Rp 16,052 triliun). Jadi seluruh utang yang ditarik di
tahun 2012 sebenarnya bukan untuk membiayai pembangunan tetapi untuk
membayar cicilan utang dan itupun belum cukup dan harus mengurangi
alokasi APBN yang seharusnya bisa untuk membiayai pembangunan.<br /> <br />
Ketiga, subsidi secara umum khususnya subsidi BBM dirasakan memberatkan
pemerintah dan menjadi beban APBN sebab menyedot alokasi APBN. Padahal
istilah subsidi BBM itu masih dipertanyakan. Soalnya, istilah subsidi
itu seolah pemerintah mengeluarkan uang dari kantongnya untuk dibayarkan
kepada rakyat atau untuk nomboki pembelian BBM. Banyak kalangan menilai
istilah subsidi BBM itu tidak tepat sebab yang sebenarnya adalah
berkurangnya potensi pemasukan kepada kas pemerintah yang berasal dari
migas. Soalnya diasumsikan BBM itu dijual ke pasar internasional dengan
harga pasar internasional. Namun karena BBM dijual di dalam negeri
dengan harga murah di bawah harga pasar internasional, artinya ada
potensi pemasukan yang hilang dan itulah yang dinamakan subsidi. Nah
jika yang seperti itu dianggap memberatkan pemerintah dan membebani
APBN, anehnya, pembayaran cicilan pokok dan bunga utang tidak pernah
dianggap memberatkan pemerintah dan membebani APBN. Padahal<br />
jumlahnya jauh lebih besar dari besaran subsidi. Dan pembayaran cicilan
pokok dan bunga utang itu artinya uang benar-benar keluar dari kantong
pemerintah, dan bukan hanya berkurangnya potensi pemasukan.<br /> <br />
Keempat, pemerintah negeri ini begitu ngotot menaikkan harga BBM
bersubsidi. Diantara alasannya adalah untuk penghematan. Jika harga BBM
dinaikkan, penghematan bisa mencapai Rp 53 triliunan. Anehnya,
pemerintah tidak terlihat ngotot menghilangkan anggaran-anggaran yang
boros dan lebih berkesan kemewahan. Contohnya, anggaran kunjungan yang
lebih bernuansa plesiran yang mencapai Rp 21 triliun, atau anggaran beli
baju Presiden, Wapres, Gubernur, Wagub, Bupati/Walikota dan wakilnya,
anggaran pembangunan atau renovasi gedung DPR yang sudah bagus, anggaran
fasilitas bagi para pejabat, mobil dinas, dsb. Anehnya lagi, pemerintah
tidak terlihat ngotot membenahi penggunaan anggaran yang selalu saja
penyerapannya numpuk di akhir-akhir tahun yang kemudian rawan
pemborosan, inefisiensi, tidak efektif dan rawan diselewengkan. Lebih
aneh lagi, pemerintah juga tidak terlihat ngotot memberantas korupsi dan
menyita harta koruptor termasuk mengejar uang negara yang<br /> dikemplang dalam kasus Centruy, BLBI dan lainnya?<br /> <br />
Kelima, pemerintah bekerja keras meyakinkan bahkan terkesan memaksa
rakyat untuk memahami dan menerima rencana kenaikan harga BBM. Anehnya,
pemerintah tidak terlihat bekerja keras atau bahkan memaksa
kontraktor-kontraktor tambang dan migas agar bagian pemerintah lebih
besar lagi atau untuk menaikkan royalti yang harus dibayarkan kepada
pemerintah. Sekedar contoh, tak terlihat kerja keras dan paksaan
pemerintah kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk menaikkan royalti
PTFI sekedar agar sesuai dengan ketentuan PP No 45/2003, yaitu royalti
emas 3,75 persen, tembaga 4 persen dan perak 3,25 persen. Bayangkan
saja, selama ini royalti yang diterima negara dari PTFI untuk emas 1%,
untuk tembaga 1,5% (jika harga kurang dari US$ 0.9/pound) sampai 3.5%
(jika harga US$ 1.1/pound) dan untuk perak 1,25 %. Hal yang kurang lebih
sama juga terjadi pada kontrak karya atau kontrak bagi hasil
pertambangan lainnya.<br /> <br /> Keenam, Pemerintah berkeluh kesah dan
merasa berat harus mensubsidi BBM untuk rakyat dengan jalan menjual BBM
kepada rakyat di bawah harga internasional. Karenanya subsidi BBM harus
dikurangi atau bahkan dihilangkan alias BBM harus dijual mengikuti harga
pasar internasional. Dengan itu akan didapat penghematan Rp 53
triliunan pertahun. Menjual BBM kepada rakyat dengan harga murah
dianggap pemerintah sebagai beban. Anehnya, gas dijual ke Cina dengan
harga super murah, tapi pemerintah tidak pernah berkeluh kesah dan
merasa berat.<br /> <br /> Padahal menurut anggota BPH Migas, A. Qoyum
Tjandranegara, potensi kerugian negara tahun 2006-2009 mencapai 410,4 T.
Itu sama saja mensubsidi rakyat Cina Rp 100 triliunan lebih pertahun.
Belum lagi ditambah kerugian tak langsungnya akibat PLN tidak bisa
mendapat gas karena dijual ke luar negeri dan PLN harus memakai BBM yang
harganya mahal sehingga PLN harus mengeluarkan biaya lebih banyak
sekutar 37 triliun pertahun. Aneh sekali, pemerintah merasa sangat berat
hati mensubsidi rakyatnya, pada saat yang sama pemerintah sama sekali
tidak merasa berat bahkan merasa senang mensubsidi rakyat negara lain
yaitu rakyat Cina."<br /> <br /> (dikutip dari pidato, keynote speech, narasumber dan wawancara di berbagai acara)<br /> * dikutip dari FB Bambang Supono</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-18159542614796250862014-05-16T00:58:00.004-07:002014-05-16T00:58:49.017-07:00Sajak Timur Sinar Suprabana<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<a class="profileLink" data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=1571460748" href="https://www.facebook.com/tuanMalam">Timur Sinar Suprabana</a>:<br />
<br />
aku menyaksikan<br />
kekasihku<span class="text_exposed_show"><br /> kekasihku</span><br />
<div class="text_exposed_show">
di pagimu yang masih mengandung migrain semalaman<br /> aku menyaksikan anak-anak berangkat ke sekolah,<br /> aku menyaksikan orang-orang yang tak benar-benar kukenal<br /> sedang berangkat kerja atau malah baru hendak mencari pekerjaan,<br /> aku juga menyaksikan perempuan-perempuan<br /> yang tampaknya adalah para buruh pabrik mengayun langkah ke halte,<br /> menunggu bus, sembari sesekali saling bertukar tawa di antara mereka.<br />
aku tak tahu, ini pagi yang patut menggembirakan<br /> ataukah kenangan atas malam yang sungguh merisaukan?<br />
yang kutahu, pergi-pulang berulang, aku selalu lantas<br /> menemu diri sendiri tak henti merindukanmu.<br />
kerna senantiasa kulihat engkau<br /> membayang hampir di segala.<br />
membayang di cahya matahari pagi yang bikin bayang tubuh<br /> terlihat lebih panjang dari yang seharusnya,<br /> membayang pada lalulalang pengendara yang belum melunaskan<br /> cicilan kredit sepeda motornya,<br /> membayang pada suara-suara klakson-klakson yang parau,<br /> membayang pada seragam para pegawai negeri,<br /> membayang pada wajah-wajah pedagang kaki lima<br /> dan para penjaja koran, tabloid serta majalah di perempatan jalan<br /> pada lajur pancangan lampu pengatur lalulintas<br /> yang sering konslet,<br /> membayang pada dinding truck-truck perngangkut sampah<br /> dan bus kota-bus kota yang tak juga kunjung diremajakan,<br /> membayang di ujung sepatuku,<br /> dan bahkan sungguh juga membayang di yang tak terbayangkan.<br />
kekasihku<br /> kekasihku<br />
macam bagaimana kini wajahmu di jakarta?<br /> macam bagaimana kini badan, tubuh dan dirimu di jakarta?<br /> dan terutama, katakanlah padaku, o, kekasihku<br /> :macam bagaimana kini hatimu di jakarta?<br />
apakah hatimu masih mencintaiku?<br /> apakah hatimu masih merindukanku?<br /> apakah hatimu masih menyetiaiku?<br />
atau apakah jakarta telah pula mengubah hatimu yang jelita itu<br /> menjadi hati yang meminta badan, tubuh dan diri<br /> untuk berpaling dari warna bunga,<br /> bahkan meludahkan makna kata,<br /> dan menghardikmu buat selalu berlekas penuh gegas<br /> memburu benda-benda?<br />
aku sedih<br /> tiba-tiba Sedih<br /> tetapi aku tak tahu benar mengapa aku sedih,<br /> yang aku tahu adalah bahwa engkau masih saja membayang<br /> bahkan di segala yang sungguh tak bisa kubayangkan.<br />
ah, kembali aku menemu diri terpesona<br /> pada pertanyaan-pertanyaan fana<br /> yang kini benar-benar kusangsikan gunanya<br /> ........<br />
1990</div>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-16008479535521819422014-05-05T00:23:00.002-07:002014-05-05T00:23:13.972-07:00Oleh:Dhoni Zustiyantoro<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="fbPhotosPhotoCaption" id="fbPhotoSnowliftCaption" tabindex="0"><span class="hasCaption">Kurmat marang Alam<br /> <br /> Dening Dhoni Zustiyantoro<br /> <br />
WONG Jawa lan alam ora bisa dipisahake. Buktine, alam tansah duwe
posisi lan fungsi penting tumrap bebrayan Jawa. Alam uga tansah
dikurmati, lumantar acara lan ritual kabudayan.<span class="text_exposed_show"><br />
Kapitayan sing kaya mangkono diajarake kanthi turun-temurun. Wiwit
jaman kawuri, kita mangerteni yen para leluhur uga tansah hangrungkebi
alam minangka perangan kang penting. Luwih-luwih alam menehi sandhang,
pangan, lan panguripan.<br /> Wong Jawa njaga alam nganggo cara apa wae.
Ora mung sacara langsung lumantar kerja bakti utawa reresik lingkungan
bebarengan ing lingkungan tartemtu, nanging uga akeh wewaler utawa
larangan kang diugemi minangka salah sijine kaluhuran kabudayan Jawa.
Contone, unen-unen "aja ngethok wit sembarangan" lan "aja nguyuhi
sendhang".<br /> Wewaler iku sejatine mujudake apa sing diarani para
Walanda minangka local wisdom, kearifan lokal. Kanthi ora nerak paugeran
sing wis dipercaya wiwit biyen iku, ora mokal yen alam lan lingkungan
ing sakiwa-tengen manungsa bakal tansah ngrembaka lan lestari.<br />
Kayata kanthi ora ngethok wit sembarangan, dikarepake manungsa bisa
tebang-pilih wit: endi sing wis oleh dikethok kanggo kebutuhan, lan endi
sing kudu digedhekake dhisik. Semono uga yen ora nguyuhi lan ora
mbuwang apa wae sajrone sendhang, tuk, utawa sumber banyu liyane, banyu
ing kono ora bakal tercemar amarga polahe manungsa.<br /> Ing kabudayan
Jawa, alam uga asring digayutake karo kapitayan bab bangsa alus. Kita
asring krungu unen-unen "alas kae ana sing nunggu" utawa "wit gedhe ing
pojok desa kae ana sing nunggu". Ora liya, sing kaya mangkono uga
perangan saka wewaler iku mau. Kabudayan Jawa ngajarake supaya bebrayan
Jawa tansah njaga alam lan lingkungan liwat maneka cara.<br /> Sasmitane Alam<br />
Nanging sanajan tansah ngupaya lan nglestarekake, ora sithik uga sing
dadi perangan saka rusake lingkungan. Kasunyatan ing jaman modern iki,
akeh manungsa padha ora preduli marang alam, malah kepara dadi perangan
saka bubrahe kahanan.<br /> Sing duwe kepentingan kanggo golek dhuwit,
contone, negori wit kanthi srakah. Mbabati alas kanggo ngedekake
perumahan lan pabrik tanpa mikir kanthi setiti. Amarga sejatine yen
dipikir kanthi jero, tanpa wit, manungsa ora bakal isa urip kanthi
tentrem. Wit sing isa ditegesi "wiwitan" ora liya kajaba sarat utamane
manungsa kanggo miwiti kauripan.<br /> Sawise polahe manungsa sing sarwa
tanpa paugeran iku, alam paring sasmita kang gamblang lan bisa
dimangerteni dening sapa wae. Sasmita iku ora liya kajaba paring tandha –
sing diarani manungsa – awujud bencana: lemah obah, banyu munggah,
gunung watuk.<br /> Yen wis kedadeyan kaya mangkono, manungsa sarwa
bingung. Anane mung gela amarga banyu kali ora mili, wit-witan ora
thukul, gunung padha gundhul. Pungkasane padha rebut bener, ora ana sing
rumangsa kleru.<br /> Pancen saiki kesadaran ekologis durung dadi bab
kang penting tumrap dhiri pribadi. Ana pamanggih yen bab sing kaya
mangkono dudu dadi urusan saben individu, nanging pamarintah. Iki
anggepan sing kleru lan kudu dijejegake.<br /> Sanajan wong Jawa tansah
nindakake ritual lan upacara adat kanggo kurmat marang alam, nanging
nyatane kita uga kudu nduweni langkah taktis lan strategis. Carane ora
liya kajaba melu obah, melu urun, supaya alam lan kahanan lingkungan ora
bubrah.<br /> Yen kita bisa maca sasmita alam lan tansah paring
pakurmatan, alam uga mesthi bakal paring kabecikan: thukul kang sarwa
tinandur, godhong ijo royo rerobyongan, woh-wohan maneka warna.<br /> <br /> - <a data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=1396401448" href="https://www.facebook.com/dhoni.zustiyantoro" id="js_29">Dhoni Zustiyantoro</a>, pandhemen kabudayan Jawa<br /> <br /> * kapacak ana Suara Merdeka, Minggu Pon, 4 Mei 2014, halaman 25. (ilustrasi davinciobali.com)</span></span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-66150222807235662072014-04-30T07:37:00.003-07:002014-04-30T07:37:41.174-07:00Caping Gunung<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJ1JYXVXw3Ltx1jz_nZFIlbJwkzkZpgDt54r0gmYuxYwzimRwfEl5De3oz93GWFjcrIPbD7CI2kf1-vkOdP2PVFBotyIeOoGGW-vr8zyloopEa88K4lAvB4tANui6ubXVXezcgQv5iAg0X/s1600/1503821_561662513947559_8818846093528692222_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Kiai Budi Harjono" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJ1JYXVXw3Ltx1jz_nZFIlbJwkzkZpgDt54r0gmYuxYwzimRwfEl5De3oz93GWFjcrIPbD7CI2kf1-vkOdP2PVFBotyIeOoGGW-vr8zyloopEa88K4lAvB4tANui6ubXVXezcgQv5iAg0X/s1600/1503821_561662513947559_8818846093528692222_n.jpg" height="240" title="Kiai Budi Harjono" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kiai Budi Harjono</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwO4AVJdwFlICm0qtdtGziX8xMiYdKeay_Of4VnnN-uYKs9UhUALRlVbMf3CXnKIEAfqItkeziPYimxZkIGL6O5p9LVNDoDKPpyeGrjdlhUNOmnZETfHxgQApk-R4X9AwIoMEpzdeJ_JZQ/s1600/1503821_561662513947559_8818846093528692222_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><b>Caping Gunung: </b><br /><b>Lagu dari Masa ke Masa</b><br /><br />Catatan Gunawan Budi Susanto<span class="text_exposed_show"><br /><br /><br />Kawan
saya, Kiai Budi Harjono, gelisah. Kegelisahan yang berpangkal dari
pengetahuan: betapa semrawut pengelolaan negeri ini. Negeri yang luas,
negeri yang subur – thukul kang sarwa tinandur, tanah tempat segala kayu
dan bahkan batu pun bertumbuh, tetapi tak pernah bisa memberikan
kemakmuran kepada rakyat! Ingatkah Anda, sekian puluh tahun lalu Koes
Plus menyanyikan dengan riang lagu “Kolam Susu”. Lagu yang menggambarkan
betapa indah, betapa kaya, negeri kita. Dengarlah!<br /><br /><i>Bukan lautan hanya kolam susu</i><br /><i>Kail dan jala cukup menghidupimu</i><br /><i>Tiada badai tiada topan kau temui</i><br /><i>Ikan dan udang menghampiri dirimu</i><br /><br /><i>Bukan lautan hanya kolam susu</i><br /><i>Kail dan jala cukup menghidupmu.</i><br /><i>Tiada badai tiada topan kau temui</i><br /><i>Ikan dan udang menghampiri dirimu</i><br /><br /><i>Orang bilang tanah kita tanah surga</i><br /><i>Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.</i><br /><i>Orang bilang tanah kita tanah surga</i><br /><i>Tongkat kayu dan batu jadi tanaman</i><br /><br /><i>Bukan lautan hanya kolam susu</i><br /><i>Kail dan jala cukup menghidupimu.</i><br /><i>Tiada badai tiada topan kau temui</i><br /><i>Ikan dan udang menghampiri dirimu</i><br /><br /><i>Bukan lautan hanya kolam susu</i><br /><i>Kail dan jala cukup menghidupmu.</i><br /><i>Tiada badai tiada topan kau temui</i><br /><i>Ikan dan udang menghampiri dirimu</i><br /><br /><i>Orang bilang tanah kita tanah surga</i><br /><i>Tongkat kayu dan batu jadi tanaman</i><br /><i>Orang bilang tanah kita tanah surga</i><br /><i>Tongkah kayu dan batu jadi tanaman</i>.<br /><br />Namun,
meski tongkat kayu dan batu jadi tanaman, adalah ironi menyerikan
ketika petani mesti menjual gabah lebih murah ketimbang beras yang
mereka beli untuk memberi makan seluruh keluarga. Negeri ini mesti
mengimpor bawang, mengimpor beras, mengimpor segala buah dan sayuran.
Negeri dengan kekayaan ikan dan mutiara yang tak pernah menyejahterakan
nelayan, negeri dengan luasan dan panjang pantai tak terkira tetapi
mengimpor garam. Negeri dengan minyak dan gas, emas, boksit, timah,
tembaga, nikel, dan segala mineral yang semestinya bisa menjadikan
rakyat makmur sejahtera.<br />Namun, Anda tahu, kini bahkan penghasilan
(devisa) terbesar yang kita peroleh adalah uang kiriman dari para tenaga
kerja Indonesia (TKI), baik lelaki maupun terutama perempuan, di luar
negeri. Penghasilan terbesar yang hanya kalah banyak dari penjualan
minyak dan gas kita.<br />Membanggakan – terima kasih kepada para
“pahlawan devisa”. Namun juga menyedihkan lantaran itulah potret paling
nyata: betapa pemerintahan negeri ini dari satu rezim ke rezim lain tak
mampu memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyat, sehingga mereka mesti
mengadu nasib di negeri orang – bukan tanpa risiko menghadapi kekerasan
lahir dan batin.<br />Inilah negeri yang menempatkan nilai-nilai
kemanusiaan ke titik nadir, sehingga tercipta klasifikasi manusia
berdasar (hanya) kemampuan mengonsumsi ala hasil elaborasi Kluprut –
sohib saya. Ya, menurut pendapat Kluprut, manusia di negeri ini terbagi
menjadi lima golongan yang tersusun secara bertingkat dari yang berada
di dasar (menjadi pijakan) sampai yang teratas (bertumpu di atas kepala
saudara-saudaranya).<br /><br /><i>Pertama, orang yang selalu bertanya: besok bisa makan atau tidak.</i><br /><i>Kedua, orang yang selalu bertanya: besok makan apa.</i><br /><i>Ketiga, orang yang selalu bertanya: besok makan di mana.</i><br /><i>Keempat, orang yang selalu bertanya: besok makan bersama siapa.</i><br /><i>Kelima, orang yang selalu bertanya: besok makan siapa</i>.<br /><br />Saat
inilah bangsa kita, negeri kita, berada di tubir jurang kehancuran.
Ketika nyaris semua kehilangan daya cipta, kehilangan prakarsa.
Semua-mua telah dan terus kita jual. Kini, kita bagai tinggal menunggu
disundhul, njedhul, terus memumbul-mumbul….<br />***<br /><b>DISUNDHUL</b>,
njedhul, mumbul-mumbul – ayo diwaca: njaluk utawa ngenteni disundhul
amrih bisa njedhul, terus mumbul-mumbul! Kuwi ukara sing trep kanggo
nggambarake kahanan saiki iki. Kahananing pribadi, kahananing masarakat,
kahananing nagara, lan bangsa kita.<br />Minangka pribadi, masarakat,
mungguhing nagara-bangsa, kita wis kelangan daya kekarepan (inisiatif),
kelangan daya pamikir, kelangan daya pangripta. Kabeh-kabeh, karan apa
wae – upa, apa, wisa – saiki sarwatinuku – nggenteni unen-unen lawas:
kabeh sarwatinandur. Sarate gampang: angger duwe dhuwit, angger nyekel
dhuwit. Dhuwit, mungguhing sapa wae saiki wis dadi pepundhen, dadi
pandom, dadi gustine. Sing sapa nyekel dhuwit, sing sapa duwe dhuwit,
kuwi sing bisa ngregem panguwasa, bisa ngregem donya. Mula ora
nggumunake yen ana kanca kanthi gegojekan nyindhir: saiki iki sila
kaping pisan saka Pancasila malih wujud dadi keuangan yang maha-esa.<br />Disundhul
mujudake gambaran pribadi, masarakat, lan nagara-bangsa sing wis
kelangan daya. Mula mung bisa ngenteni sapa wae sing gelem nyundhul,
ndudul, supaya bisa njedhul, sukur bage bisa mumbul-mumbul!<br />Cilakane,
njedhul lan mumbul-mumbul kuwi uga mung kanggo blanja, kanggo tetukon.
Blanja, tetukon, ing sadengah papan, ora angon wayah, ora angon rasa.
Mung angon rupa, angon swara, adol ayu, adol bagus. Kabeh papan dadi
pasar, dadi warung, dadi mal, dadi plasa: sekolah, kampus, kantor
pamarintah lan swasta, pabrik, rumah sakit, koran, radio, telepisi,
internet, facebook, twitter, lan sapanunggalane – kuwi kabeh wis dadi
papan dol-tinuku. Rame, rame banget, ora nate sepi pawongan. Saka esuk
umun-umun, awan, sore, wengi, nganti esuk uthuk-uthuk, sing ana
wong-wong dol-tinuku. Sowang-sowang utawa gemruduk bedhol kluwarga,
bedhol desa, bedhol nagara. Blanja. Kabeh-kabeh sak-iyek sak-ekakapti:
nganyari sandhangan, sakabehe sandhangan, ngobahake ilat, ngrasakake
samubarang panganan.<br />Mula ora aneh yen endhek-wure masarakat kita
bisa kabagi dadi limang prakara. Kapisan, pawongan sing tansah kagubel
pitakonan: sesuk bisa mangan apa ora? Kapindho, pawongan sing tansah
ngreronce pangangen-angen sesuk mangan apa? Katelu, pawongan sing tansah
golek sisik melik sesuk mangan ning ngendi? Kapapat, pawongan sing
tansah ngrerancang sesuk mangan karo sapa? Kalima, pawongan sing tansah
ngrerancang sesuk mangan sapa?<br />(Wong pidak pedarakan kaya aku mono
kudu ngucap sokur, matur nuwun, dene wis duwe “wakil rakyat”, sing
makili rakyat bisa mangan enak, bisa mapanake awak kanthi kepenak. Mula
aku ora serik, ora runtik, yen para “wakil rakyat” mbangun WC wae
mbutuhake wragat 2 milyar rupiah. Kuwi mono makili rakyat, sing ora
bakal kuwagang nggagas prakara saliyane mikir sesuk bisa mangan apa ora.
Aja duwe pikiran ala, yen gawe omah elek-elekan mung butuh wragat 50
yuta rupiah, mula yen 2 milyar rupiah bisa gawe omah kanggo patang puluh
kluwarga!)<br />Mula sapa wae, ning ngendi wae, kapan wae, yen pengin
duwe dhuwit, pengin nyekel dhuwit, supaya tansah bisa blanja apa wae,
ning ngendi wae, kapan wae: gampang! Matek ajiku, ajian sakti.<br /><br /><i>Rapal Sakti Ajian Korupsi</i><br /><br /><i>sun amatek ajiku ajian korupsi</i><br /><i>nedya sugih bandha donya sarwa mbejaji</i><br /><i>ora geter telik sandhi lawan cerenging jeksa</i><br /><i>ora gigrik surak lan supataning sapepadha</i><br /><i>ora tedhas tapak paluning hakim kang mbaureksa</i><br /><i>sluman slumun slamet</i><br /><i>ngupaya lenaning kang andum kuwasa</i><br /><i>murih lancar nguras kaskayaning nagara</i><br /><i>ho!</i><br /><br /><i>ajiku ajian korupsi</i><br /><i>mataku mata birokrat</i><br /><i>kupingku kuping teknokrat</i><br /><i>lambeku lambe pejabat</i><br /><i>irungku irung pengamat</i><br /><i>dadaku dada malaikat</i><br /><i>sikilku sikil masarakat</i><br /><i>wetengku weteng kebak nikmat</i><br /><i>tanganku tangan konglomerat</i><br /><i>kebat kliwat mbeburu berkat</i><br /><i>tansah gangsar donya akerat</i><br /><i>ho!</i><br /><br /><i>ajian korupsi satuhu rapalku</i><br /><i>jaran goyang esemku</i><br /><i>semar mendem caturku</i><br /><i>candramawa paninggalku</i><br /><i>welut putih langkahku</i><br /><i>sadengah papan andhon laku</i><br /><i>adol guyu nyaring isu</i><br /><i>dalanku tansah lumintu</i><br /><i>sakabehing referensi dadi gamanku</i><br /><i>sakabehing bank dadi bangku</i><br /><i>ho!</i><br /><br /><i>ajiku ajian korupsi</i><br /><i>jimatku jimat kolusi</i><br /><i>tamengku tameng kongsi</i><br /><i>payonku payon proteksi</i><br /><i>papanku papan lisensi</i><br /><i>sedulurku koneksi sinarawedi</i><br /><i>citraku citra telepisi</i><br /><i>ugemanku nunggal sawiji</i><br /><i>: status quo tansah lestari</i><br /><i>ho!</i><br /><br /><i>sun amatek ajiku ajian korupsi</i><br /><i>ajian sakti sang anak negeri</i><br /><i>so pasti, senantiasa is the best nomer siji</i><br /><i>maka merdekalah aku</i><br /><i>merdeka sampai mati</i><br /><i>ho!</i><br />***<br />Saiki,
ing nagara ini, apa sing ora bisa dituku? Apa sing ora tinuku? Sapa
sing ora bisa tuku? Sapa sing ora bisa tinuku? Apa sing ora didol? Sapa
sing ora kumedol?<br />Kuwi pitakonan-pitakonan sing ngebaki pikirane sapa
wae, saka kawula alit nganti (luwih-luwih) kawula ageng dalah para
satriya ngulandara, satriya pengembating praja, para sarjana sujana,
para winasis lan waskitha…. Bareng kadudul tangi, apa barang sing kadulu
kuwi sing katuku. Mula satemene didudul, disundhul, njedhul,
mumbul-mumbul amung nggambarake: ombyake wong geger ngoyak pangan,
ngoyak sandhang, ngoyak papan.<br />Ora prelu maneh ngeling-eling pitutur
kuna: aja drengki srei dahwen ati open, aja melik nggendhong lali, aja
colong jumput, bedhog, lan nggedhor, sarta kudu remen temen. Malah
kepara samesthine kita kabeh kudu wani: rawe-rawe rantas malang-malang
putung, holopis kuntul baris, ana catur mungkur, bapang den singkiri.
Kuwi ngelmu: kalakone kanthi laku.<br />Saiki satemene disundhul, njedhul,
mumbul-mumbul uga wis dadi laku. Laku sing kakulinakake saka jabang
bayi tumekaning bathang mati: urip amung mampir blanja. Kareben
murakabi, blanjaa barang sing mbejaji, amrih disuyudi sapa wae, ing
ngendi wae, kanthi cara lan dalan apa wae.<br />Supaya bisa tetukon, dolen
apa wae sing kokduweni. Lemah, banyu, wit-witan, gunung, segara
sak-isine: kuras lan dol marang sapa wae sing kuwagang tuku. Banjur,
blanjaa apa wae sing kokbutuhake: ilmu, teknologi, ideologi, tata praja,
tata srawung, klangenan, drajat, semat, pangkat, lan sapanunggalane.
Aja kemba. Lakonana kuwi kabeh kanthi titis-pratitis, tetep, teguh,
tatag, tekun, (nanging aja pisan-pisan wani temen) mesthi tekan: bilahi!<br />***<br />Ya,
ya, pada saat yang sama untuk bertahan hidup: semua-mua kita beli pula
dari berbagai penjuru dunia. Keadaan makin memiriskan, lantaran di
puncak strata bercokol orang-orang yang saling memangsa: berlomba-lomba
makan siapa sebanyak mereka bisa. Celaka, lantaran mereka menguasai
segala perangkat untuk berkuasa: pembentuk opini, senjata, dana, dan
ke-j<i>ulig</i>-an.<br />Pada titik inilah, di kuping Kiai Budi Harjono
terngiang-ngiang tembang “Caping Gunung” karya Gesang Martohartono.
Dengarlah, dengar, lagu itu.<br /><br /><i>Dhek jaman berjuang</i><br /><i>Njur kelingan anak lanang</i><br /><i>Biyen tak-openi</i><br /><i>ning saiki ana ngendi</i><br /><br /><i>Jarene wis menang</i><br /><i>Keturutan sing digadhang</i><br /><i>Biyen ninggal janji</i><br /><i>ning saiki apa lali</i><br /><br /><i>Ning gunung</i><br /><i>Takjadhongi sega jagung</i><br /><i>yen mendung</i><br /><i>Taksilihi caping gunung</i><br /><i>Sokur bisa nyawang</i><br /><i>Gunung desa dadi reja</i><br /><i>Dene ora ilang</i><br /><i>Nggone padha lara lapa</i>.<br /><br />Tembang
itu mengingatkan, betapa pada masa perjuangan merebut kemerdekaan,
siapa pula yang memberi makan para pejuang? Ke mana pula para pemuda –
yang kelak, setelah negeri ini merdeka: menjadi para pemimpin di
pemerintahan, di ketentaraan, di kepolisian, di segenap lapangan
kehidupan – yang dulu diberi tempat, diberi makan, diberi perlindungan
oleh para petani, oleh para nelayan, oleh orang-orang desa di berbagai
pelosok negeri ini? Setelah negeri ini merdeka, terbebas dari
cengkeraman penjajahan Belanda dan Jepang, bagaimana pula mereka
mewujudkan janji kemerdekaan itu? Benarkah kehidupan yang makmur
berkeadilan dan adil berkemakmuran telah dirasakan segenap petani,
segenap nelayan, segenap buruh, setiap penduduk di berbagai pelosok
negeri ini?<br />Saat itulah, pada gelombang yang sama, telinga saya mendengar Leo Kristi mendendangkan “Salam dari Desa”. Simaklah.<br /><br /><i>Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku</i><br /><i>Katakan padanya padi-padi telah kembang</i><br /><i>Ani-ani seluas padang</i><br /><i>Roda giling berputar-putar siang-malam</i><br /><i>Tapi bukan kami punya</i><br /><br /><i>Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku</i><br /><i>Katakan padanya tebu-tebu telah kembang</i><br /><i>Putih-putih seluas padang</i><br /><i>Roda lori berputar-putar siang-malam</i><br /><i>Tapi bukan kami punya</i><br /><br /><i>Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka</i><br /><i>Nyanyi-nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung</i><br /><i>Anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka</i><br /><i>Nyanyi-nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya</i><br /><br /><i>Tanah pusaka tanah yang kaya</i><br /><i>Tumpah darahku di sana kuberdiri</i><br /><i>Di sana kumengabdi dan mati dalam cinta yang suci</i><br /><br /><i>Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku</i><br /><i>Katakan padanya nasi tumbuk telah masak</i><br /><i>Kan kutunggu sepanjang hari</i><br /><i>Kita makan bersama-sama berbincang-bincang</i><br /><i>Di gubuk sudut dari desa</i>.<br /><br />Namun, sekejap kemudian, dari radio tetangga keras bersipongang lagu dangdut “Alamat Palsu” Ayu Tingting.<br /><br /><i>Ke mana ke mana ke mana</i><br /><i>Kuharus mencari ke mana</i><br /><i>Kekasih tercinta tak tahu rimbanya</i><br /><i>Lama tak datang ke rumah</i><br /><br /><i>Di mana di mana di mana</i><br /><i>Tinggalnya sekarang</i><br /><i>Di mana</i><br /><i>Ke sana-kemari membawa alamat</i><br /><i>Namun yang kutemui bukan dirinya</i><br /><i>Sayang yang kuterima alamat palsu</i><br /><br /><i>Kutanya sama teman-teman semua</i><br /><i>Tetapi mereka bilang tidak tahu</i><br /><i>Sayang mungkin diriku sudah tertipu</i><br /><i>Membuat aku frustasi dibuatnya</i>. <br /><br />Entah
kenapa, lagu dangdut yang oleh banyak kawan dibilang ecek-ecek itu,
dalam penerimaan kuping saya mengingatkan pada banyak kasus ketika para
petani, buruh, nelayan, pedagang kaki lima merasa telah salah alamat
saat mengadukan nasib ke parlemen. Mereka semula beranggapan anggota
parlemen adalah wakil mereka, yang telah, sedang, dan akan selalu
memperjuangkan harkat hidup mereka untuk bisa hidup lebih nyaman, lebih
aman, lebih makmur, lebih adil. Namun ternyata, ketika mereka mengadu,
para anggota perlemen yang terhormat itu justru menutup pintu. Gedung
parlemen, rumah rakyat, itu pun dipagar tinggi, megah, dan angkuh!<br />Dan,
pada saat-saat seperti itu, di manakah kita berada? Apa yang kita
lakukan? Untuk diri sendiri atau buat kenyamanan hidup bersama?<br />Apalagi
ketika kita tahu bahwa ketika menanam para petani pun menyadari benar
telah menyebar racun menuai racun? Lantaran, bukan perkara gampang bagi
mereka melepaskan diri dari jerat pola tanam dan kendali mutu serta
pemasaran yang dipaksakan sejak Orde Baru. Ketika para nelayan makin
lama kian hanya bisa melaut di perairan dangkal – lantaran keterbatasan
modal, sehingga tak mungkin memutakhirkan peranti bekerja – dan di
perairan dalam bertebaran jaring trawl yang menghabisi ikan sampai ke
segala benih. Laut kita sesungguh benar telah dirampok para tauke, yang
mencuri ikan di hamparan samudra negeri ini.<br />Lihatlah, pegawai negeri
sipil kita pun memperoleh ejekan sebagai eksponen pegawai nihil setoran
(PNS) lantaran kelembaman birokrasi yang masih juga bersemboyan: jika
bisa mempersulit, kenapa mesti mempermudah pelayanan? Dan, para pedagang
pun saling memangsa, sehingga bertebaranlah toko-toko eceran bermodal
besar dengan sistem waralaba – yang melibas melindas toko kelontong dan
warung mracangan berskala kecil milik rakyat jelata. Kebertebaran toko
eceran bermodal besar itu ke berbagai pelosok desa lantaran
ketidakpedulian para pemegang dan penentu kebijakan publik terhadap
ruang hidup usaha kerakyatan.<br />Apa pula yang dipelajari para siswa dan
mahasiswa? Bukankah mereka diajari untuk memisahkan segala ilmu,
pengetahuan, dan teknologi di dunia pendidikan formal dari kejujuran,
yang seharusnya merupakan variabel determinan dalam kehidupan? Atau,
semestinya kejujuran menjadi basis kesadaran dalam kehidupan bersama
bukan? Keadaan bahkan nyaris tak berubah dari 36 tahun lampau,
sebagaimana dilukiskan W.S. Rendra dalam sebuah sajak.<br /><br /><i>Sajak Sebatang Lisong</i><br /><i> </i><br /><i>Menghisap sebatang lisong,</i><br /><i>melihat Indonesia Raya,</i><br /><i>mendengar 130 juta rakyat,</i><br /><i>dan di langit</i><br /><i>dua tiga cukong mengangkang,</i><br /><i>berak di atas kepala mereka.</i><br /><br /><i>Matahari terbit.</i><br /><i>Fajar tiba.</i><br /><i>Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak</i><br /><i>tanpa pendidikan.</i><br /><br /><i>Aku bertanya,</i><br /><i>tetapi pertanyaan-pertanyaanku</i><br /><i>membentur meja kekuasaan yang macet,</i><br /><i>dan papan tulis-papan tulis para pendidik</i><br /><i>yang terlepas dari persoalan kehidupan.</i><br /><br /><i>Delapan juta kanak-kanak</i><br /><i>menghadapi satu jalan panjang,</i><br /><i>tanpa pilihan,</i><br /><i>tanpa pohonan,</i><br /><i>tanpa dangau persinggahan,</i><br /><i>tanpa ada bayangan ujungnya.</i><br /><i>……………………………..</i><br /><br /><i>Menghisap udara</i><br /><i>yang disemprot deodorant,</i><br /><i>aku melihat sarjana-sarjana menganggur</i><br /><i>berpeluh di jalan raya:</i><br /><i>aku melihat wanita bunting</i><br /><i>antri uang pensiun</i><br /><br /><i>Dan di langit:</i><br /><i>para teknokrat berkata:</i><br /><i>bahwa bangsa kita adalah malas,</i><br /><i>bahwa bangsa mesti dibangun,</i><br /><i>mesti di-up-grade,</i><br /><i>disesuaikan dengan teknologi yang diimport.</i><br /><br /><i>Gunung-gunung menjulang.</i><br /><i>Langit pesta warna di dalam senjakala.</i><br /><i>Dan aku melihat</i><br /><i>protes-protes yang terpendam,</i><br /><i>terhimpit di bawah tilam.</i><br /><br /><i>Aku bertanya,</i><br /><i>tetapi pertanyaanku</i><br /><i>membentur jidat penyair-penyair salon,</i><br /><i>yang bersajak tentang anggur dan rembulan,</i><br /><i>sementara ketidak-adilan terjadi di sampingnya,</i><br /><i>dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan</i><br /><i>termangu-mangu di kaki dewi kesenian.</i><br /><br /><i>Bunga-bunga bangsa tahun depan</i><br /><i>berkunang-kunang pandang matanya,</i><br /><i>di bawah iklan berlampu neon.</i><br /><i>Berjuta-juta harapan ibu dan bapa</i><br /><i>menjadi gebalau suara yang kacau,</i><br /><i>menjadi karang di bawah samodra.</i><br /><i>…………………………………………….</i><br /><i>Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.</i><br /><i>Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,</i><br /><i>tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,</i><br /><i>Kita mesti keluar ke jalan raya,</i><br /><i>keluar ke desa-desa,</i><br /><i>mencatat sendiri semua gejala,</i><br /><i>dan menghayati persoalan yang nyata.</i><br /><br /><i>Inilah sajakku.</i><br /><i>Pamplet masa darurat.</i><br /><i>Apakah artinya kesenian,</i><br /><i>bila terpisah dari derita lingkungan.</i><br /><i>Apakah artinya berpikir,</i><br /><i>Bila terpisah dari masalah kehidupan.</i><br /><br /><i>19 Agustus 1977</i><br /><br />Menyerikan
bukan? Apalagi negeri ini pun seperti dililit spiral kekerasan.
Bukankah Anda tahu belaka betapa setiap pergantian kekuasaan di negeri
kita nyaris selalu berlangsung secara berdarah-darah? Tahun 1998 saja,
berapa korban berjatuhan? Dan, berapa kaum perempuan saudara kita dari
etnis China diperkosa, yang sampai hari ini pun tak pernah pemerintah
menjelaskan perkara itu: siapa salah, siapa dihukum. Kita sudah amat
berpengalaman mengganti penguasa yang bebal hati dan pikiran dengan cara
seperti itu, tetapi hasilnya: di tengah jalan selalu ditebas oleh para
pencoleng kekuasaan.<br />Kini, apakah justru bukan saatnya bagi kita mencari dan menerapkan cara yang <i>soft</i>,
cara yang lembut, cara yang elegan -- yang tidak berdarah-darah? Apakah
para cerdik cendekia tak bisa menulis, tak bisa bersekutu, berserikat,
lalu misalnya mengajukan resolusi? Apakah mahasiswa tak bisa menyuarakan
pendapat, tanpa harus menjadikan demonstrasi sebagai satu-satunya
pilihan, jika memang takut menghadapi pentungan?<br />Apakah kekerasan
menjadi satu-satunya pilihan, sehingga ada kawan menyarankan kemungkinan
penggunaan senapan? Tak bisa dan tak maukah kita, sebagai bangsa,
belajar mengelola kehidupan bersama ini secara elegan, tanpa saling
mematikan hak hidup sesama?<br />Sementara itu, sekelompok orang yang
tergabung dalam sebuah forum penyelamat umat – katanya – terkekeh seraya
menyatakan, enak benar hidup di negeri ini. Ya, enak benar hidup di
negeri ini. Betapa tidak! Siapa pun bisa membunuh, tanpa dihukum. Siapa
pun bisa menyerbu dan menghancurkan rumah dan tempat ibadah, tanpa
pengadilan: siapa salah, siapa korban yang mesti dipulihkan hak dan
martabatnya. Siapa pun boleh memainkan peran berdasar pilihan: siksa,
basmi, dan pukul tanpa tersentuh hukum. Siapa pun boleh korupsi, tanpa
kehilangan harga diri dan kehormatan. Siapa pun boleh meruntuhkan
gunung, membabat hutan, membelah sungai, menguruk lautan, berdalih
kemakmuran bersama, sembari mematikan hak hidup saudara sebangsa. Siapa
pun boleh menjiplak, tanpa perasaan bersalah. Siapa pun boleh berdusta,
seraya tetap merasa telah berlaku jujur. Siapa pun boleh dan bisa....<br />Ketika
kekerasan menjadi cara, menjadi modus, tunggal penaklukan melalui
aparatus kekerasan – atau pinjam tangan milisi, yang dibina dan dibiayai
-- sesungguhnya pemerintah telah mengkhianati rakyat. Menjadi makin
jelas: keabsahan atau lebih tepat kelestarian kekuasaan pun bertumpu
pada teror, pada honor, yang menemu wujud yang kasatmata.<br />Tak ada kata lain, kebusukan dan dusta mesti dibongkar. Ya, “Bongkar” Iwan Fals patut terus dinyanyikan bukan?<br /><br /><i>Kalau cinta sudah dibuang</i><br /><i>Jangan harap keadilan akan datang</i><br /><i>Kesedihan hanya tontonan</i><br /><i>Bagi mereka yang diperkuda jabatan</i><br /><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><br /><i>Sabar sabar sabar dan tunggu</i><br /><i>Itu jawaban yang kami terima</i><br /><i>Ternyata kita harus ke jalan</i><br /><i>Robohkan setan yang berdiri mengangkang</i><br /><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><br /><i>Penindasan serta kesewenang-wenangan</i><br /><i>Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan</i><br /><i>Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan</i><br /><i>Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan</i><br /><br /><i>Di jalanan kami sandarkan cita-cita</i><br /><i>Sebab di rumah tak ada lagi yang bisa dipercaya</i><br /><i>Orang tua pandanglah kami sebagai manusia</i><br /><i>Kami bertanya tolong kau jawab dengan cinta</i><br /><br /><i>Oh oh</i><br /><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><i>Oh oh ya oh ya oh ya bongkar</i><br /><br /><i>Kok bisa?</i><br /><i>Bisa kok!</i><br /><br />Kini,
apalagi yang tersisa: dalam benak, dalam hati, dalam nurani kita?
Apakah kita bakal manda diam saja, tak tergerak untuk terlibat dalam
perubahan ke arah kehidupan bersama yang lebih menyamankan bagi semua?
Tak merasa tersindir juga oleh mendiang Mbah Surip lewat lagu “Bangun
Tidur”-nya? Simaklah.<br /><br /><i>Hey bangun kerja</i><br /><i>Ha ha ha ha ha</i><br /><i>Ha ha ha ha ha</i><br /><i>Ok I love you full</i><br /><br /><i>Bangun tidur tidur lagi</i><br /><i>Bangun lagi tidur lagi</i><br /><i>Bangun... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Bangun tidur tidur lagi</i><br /><i>Bangun lagi tidur lagi</i><br /><i>Bangun... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Habis bangun terus mandi</i><br /><i>Jangan lupa senam pagi</i><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Barang siapa yang ingin hidup</i><br /><i>Awet muda, bahagia di dunia ini</i><br /><i>Kurangi tidur banyakin ngopi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><i>I love you full</i><br /><br /><i>Bangun tidur tidur lagi</i><br /><i>Bangun lagi tidur lagi</i><br /><i>Bangun... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Bangun tidur tidur lagi</i><br /><i>Bangun lagi tidur lagi</i><br /><i>Bangun... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Habis bangun terus mandi</i><br /><i>Jangan lupa senam pagi</i><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Habis bangun terus mandi</i><br /><i>Jangan lupa senam pagi</i><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><i>Kalau lupa... tidur lagi</i><br /><i>Ha ha ha ha</i><br /><br /><i>Edan.</i><br /><br />Ya,
apakah kita sudah sedemikian edan, sudah sedemikian gila, sehingga
hanya tidur dan tidur lagi? Atau, kalaupun bangun cuma ngopi dan ngopi
lagi, untuk kembali tidur kembali?<br />Langkah sederhana bisa kita mulai,
semampu kita, sebisa kita. Begitulah tekad Kiai Budi. Dan, saya
mengamini. “Menanam, mari kita menanam!” ujar dia dengan wajah berbinar,
dengan senyum tipis mengembang. Serentak saya pun teringat lagu
“Menanam Jagung” karya Ibu Sud, yang acap saya nyanyikan ketika bocah.<br /><br /><i>Ayo kawan kita bersama</i><br /><i>menanam jagung di kebun kita</i><br /><i>ambil cangkulmu, ambil pangkurmu</i><br /><i>kita bekerja tak jemu-jemu</i><br /><br /><i>cangkul, cangkul, cangkul yang dalam</i><br /><i>tanah yang longgar jagung kutanam</i><br /><br /><i>beri pupuk supaya subur</i><br /><i>tanamkan benih dengan teratur</i><br /><i>jagungnya besar lebat buahnya</i><br /><i>tentu berguna bagi semua</i><br /><br /><i>cangkul, cangkul, aku gembira</i><br /><i>menanam jagung di kebun kita</i>.<br /><br />Menjadi
petani, menjadi pekebun, menjadi penanam adalah juga menjadi manusia
mandiri bukan? Bukankah itu yang sudah diperlihatkan dan dibuktikan
Gunretno, kawan kita eksponen Sedulur Sikep Sukolilo, Pati? Itu pula
jalan sunyi yang ditempuh Munasikin, pemuda Limbangan, Kendal, bukan?<br /><br /><b>Jalan Sunyi Petani Gaul</b><br /><br /><b>SIMON</b>.
Begitulah nama lelaki berperawakan kecil, berambut panjang terkuncir
ekor kuda, yang berkesan pendiam itu. Namun begitu berbicara tentang
tanaman, Munasikin – itulah ternyata nama asli pemberian orang tuanya,
pasangan almarhum Abdurrohman dan Maryam – seperti tak pernah kehabisan
energi. Ya, kecintaan lajang kelahiran Kendal, 17 Februari 1976, itu
pada tanaman dan tentu saja tanah tempat tumbuh tanaman sebegitu besar.
Meski, menurut pengakuan anak kedua dari tujuh bersaudara itu, kecintaan
tersebut bermula dari keterpaksaan.<br />Lulus SMA, dia melanjutkan
pendidikan ke sebuah sekolah tinggi ekonomi di Kota Semarang. Namun
belum genap satu semester, dia merasa bosan. “Ya, saya bosan. Mungkin
karena bawaan saya ingin selalu bergerak, ingin berbuat sesuatu secara
nyata,” ujar si Mun.<br />Ah ya, di kampungnya, Gempol, Desa
Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, sapaan dia memang
si Mun atau Mas Mun. Dari sapaan si Mun itulah, kemudian, kawan-kawan
aktivis lingkungan dalam lingkar pergaulannya menyapa dia: Simon. Dan,
seperti kebetulan sekeluar dari bangku kuliah, si Mun, remaja dari
kampung di ketinggian Lereng Medini itu, berkenalan dengan seseorang dan
diajak merawat anggrek.<br />Jatuh Cinta<br />Bermula dari coba-coba, lalu
jatuh cinta. Simon pun merawat anggrek kepunyaan orang lain sepenuh
cinta. Karena, dia memperoleh kesadaran bahwa kecintaan pada anggrek,
dan kemudian kecintaan pada segala rupa tanaman, adalah upaya memuliakan
sang Pencipta Kehidupan.<br />Kecintaan itu pula yang mendorong dia
mengikuti berbagai pelatihan segala rupa tentang pertanian antara lain
di Bandung, Bogor, Malang, Yogyakarta, Magelang, dan Temanggung. Hingga,
suatu saat, dia pun memutuskan sepenuh seluruh hidup dari tanaman:
menjadi petani.<br />Namun dia tak ingin menjadi petani “biasa-biasa”
saja, yang acap digambarkan sebagai sosok ndesit. Gambaran umum:
bercelana kolor lusuh, berkaus seadanya, dengan pengetahuan bercocok
tanam (mungkin saja luar biasa piawai, tetapi toh berkesan tak terdidik
yang) diperoleh secara turun-temurun, tani utun. Dia ingin menjadi
petani gaul. Itulah petani yang memiliki bekal pengetahuan, pemahaman,
dan wawasan tentang dunia pertanian di tengah pergerakan perekonomian.
Karena itu petani tidak seharusnya selalu jadi objek, yang terus-menerus
hidup secara subsisten. Petani mesti mampu keluar dari jerat lingkaran
setan yang memuncak pada: produsen padi yang membeli beras lebih mahal
dari gabah yang mereka jual.<br />Selain itu, kata dia, petani juga mesti
paham betapa tanahlah sebenarnya yang jadi fokus garapan. Tanaman yang
subur tak selalu identik tumbuh di atas tanah subur – karena digelontor
dengan berbagai obat, pupuk, pestisida, insektisida kimiawi. Namun tanah
yang subur, tutur dia, pasti menghasilkan tanaman yang subur. Maka
memurnikan tanah, mengembalikan tingkat kesuburan tanah menjadi komitmen
dia. Visi yang seiring sejalan dengan konservasi alam itulah yang
memantapkan tekad dia menjadi petani tanaman organik.<br />Memurnikan Tanah<br />Dia
menuturkan, petani penggarap atau buruh tani tak seharusnya
terus-menerus mengeluh tak punya tanah, tanpa langkah nyata. Untuk
mengatasi keterbatasan kepemilikan lahan, salah satu pilihan adalah
menyewa lahan. “Jika tak mampu sendirian, bentuk kongsi. Bersama
beberapa kawan, menyewa sepetak lahan, lalu garap dan kelola sepenuh
hati,” ucap dia.<br />Di kampungnya, dia menggarap lahan bengkok salah
seorang adiknya yang jadi perangkat desa. Di lahan 8.000 m2 itu, dia
menanam padi organik. Banyak kawan petani menyindir-nyindir dia.
“Semprot terus! Semprot terus! Apa gak kesel (tak capek)?” begitulah
ucap mereka melihat dia setiap 10 hari menyemprotkan antihama dan
antigulma pada tanaman padi.<br />“Antihama pada padi organik saya buat
sepenuhnya dari bahan alami. Memang tak langsung membunuh hama.
Pestisida alami tak bekerja secara instan. Jadi perlu penyemprotan
secara ajek dan periodik. Tak seperti obat-obatan kimiawi, sekali
semprot selama masa tanam,” kata Simon.<br />Pola tanam pun berbeda. Tidak
padi, padi, padi. Namun dia memilih padi, lombok, jagung, padi. Begitu
seterusnya. “Intinya menggarap tanah dulu, mengembalikan tingkat
keasaman (pH) tanah, memperkuat unsur hara. Sebab, setelah pemakaian
serbakimia, tanah menjadi kurus; kedalaman sekilan lebih saja tanah
sudah sangat keras,” tutur dia.<br />Bagaimana hasilnya? “Hasil produksi
dari satuan lahan yang sama relatif sama. Cuma, bedanya, saya bisa
menjual beras organik dua kali lipat lebih mahal, setidak-tidaknya Rp
12.000/kg.”<br />Jadi, lanjut dia, penghasilan yang diperoleh dari
penanaman padi organik lebih besar. Pasar pun terbuka karena kini muncul
kecenderungan di kalangan tertentu untuk mengonsumsi segala yang alami –
sebagai bagian dari kesadaran ideologis kembali ke alam.<br />Kesungguhan
berbekal kecintaan membuat dia tangguh. Meski ibarat melangkah di jalan
sunyi – lantaran tak ada kawan petani sekampung yang mengikuti jejaknya
menanam padi organis – dia terus berjalan. “Kini lahan garapan di
kampung saya tanami lombok. Padi dan jagung sudah sepenuhnya organik,
tetapi lombok secara proporsi baru 70-an persen organik. Obat antihama,
yang saya kembangkan lewat pembiakan mikroorganisme, belum sepenuhnya
alami. Namun saya proyeksikan, sedikit demi sedikit menjadi sepenuhnya
organis,” katanya.<br />Dari mana sumber belajar sang petani autodidak
itu? “Membaca, bertanya pada siapa pun, dan browsing di internet,” sahut
dia seraya tersenyum.<br />Kesungguhan dia bekerja pun berbuah. Beberapa
kawan mengajak dia bekerja sama, mengelola kebun di berbagai tempat.
Kini, dia menjadi “koordinator kebun” di lahan sewaan di Ngesrepbalong
yang ditanami sengon dan lombok serta di kawasan Gunungpati (Kota
Semarang) dan Ungaran (Kabupaten Semarang) yang ditanami jagung manis
berganti-ganti dengan lombok.<br />“Lahan di Ngesrepbalong itu semula
ditanami tebu. Tanah menjadi kurus, kehilangan unsur hara. Saya harus
menormalkan dulu pH tanah agar kembali gembur, kembali subur,” ucap dia.<br />Kini,
dia bersyukur beberapa petani di kampungnya bersedia membuat pupuk dan
pestisida alami. Dia yakin, suatu saat, mereka bakal melihat bukti bahwa
pertanian organik adalah keniscayaan, suatu pilihan cerdas, jika petani
ingin sejahtera. Menjadi petani yang tidak selalu jadi objek penderita
dalam tata niaga pertanian yang terkontrol pemilik modal besar.<br />Jalan
yang dia tempuh memang sunyi. Sesunyi suasana alam di lahan-lahan yang
dia garap. Karena itulah dia sesungguhnya enggan dipublikasikan. “Saya
tak mau dianggap mencari popularitas,” katanya. Namun bukankah kisah
anak-anak muda yang berani menempuh jalan berbeda, jalan yang lebih
memuliakan kehidupan, patut dikedepankan? Siapa tahu bisa jadi pemantik
minat sesama untuk, misalnya, menjadi petani seperti Anda? Simon cuma
terdiam, lalu kembali mengucap lirih, ”Saya malu karena belum sepenuhnya
berbuat bagi banyak orang. Masih bergulat, menekuni pekerjaan sebagai
petani ini, sebagai peneguh bahwa saya bisa hidup tanpa harus bergantung
pada kekuatan lain, kecuali pada rida Allah.”<br />Ah, indah, sesungguh
benar indah bila banyak dan makin banyak anak muda bersikap seperti dia.
Tak takut menyusuri jalan sunyi sebagai petani, di luar hiruk-pikuk dan
gemebyar kehidupan kota.<br />***<br /><b>TENTU</b> menanam tak harus
dipahami secara harfiah sebagai semata-mata bertani bukan? Lihatlah,
Soesilo Toer. Lelaki gaek, doktor lulusan Institut Plekhanov Rusia –
yang menyorongkan “jalan ketiga” dalam disertasinya, jauh sebelum
Anthony Giddens menuliskan The Third Way: The Renewal of Social
Democracy (1998) – itu pun bertanam: di kota kecil di tepian hutan jati,
Blora. Ya, selain sesungguh benar menanam seribuan pohon jati di kebun,
dia mendirikan dan mengelola Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak
Semua Bangsa (Pataba). Dari perpustakaan yang menempati bangunan eks
dapur di rumah warisan sang bapak, Mastoer, adik keenam Pramoedya Ananta
Toer itu terus membenih dan menyemaikan bibit kepenulisan pada siapa
saja, terutama di kalangan pelajar, di kalangan kaum muda. Dia bertanam
kepenulisan! Dia bergerak di ladang literasi, bercangkul pena, berpupuk
buku dan buku dan buku.<br />***<br /><b>Soesilo Toer Ingin Jadi Pemulung Profesional</b><br /><br /><b>DIA</b>
terhitung pendek, tak lebih dari 160 cm, dengan wajah bercambang
keputihan. Dan, dia tak lagi muda. Kini, dia berusia 76 tahun. Namun
jangan menyangka dia lemah. Macam keladi, tua-tua makin menjadi. Berkali
ulang dia, misalnya, bersepeda motor berboncengan dengan sang istri,
pergi-pulang dari Blora ke rumah mertua di Yogyakarta. Juga saat menjadi
narasumber di Semarang, Kudus, atau Surabaya, dia pun berboncengan
sepeda motor. Lagi-lagi dengan sang istri.<br />Fisik oke. Psikis?
Diehard, keras kepala! Dia pun keras kemauan, keras bersikap, menghadapi
tantangan kehidupan. Pada usia, yang kebanyakan orang lebih memilih
duduk manis menikmati masa senja dalam kehidupan, dia justru tak
henti-henti bekerja: mencangkul, memulung, menulis, dan memotivasi siapa
pun untuk menulis dan terus menulis. Dan, itu dia lakukan di sebuah
rumah tua di pojok kota, di Jalan Sumbawa, Jetis, 40 Blora.<br />Di
pekarangan rumah itulah, di lahan seluas lebih dari 3.000 m2, dia
menanam ratusan pohon jati. Dia juga menanam berbagai pohon buah dan
tanaman yang bisa dimanfaatkan sebagai sayur dan obat-obatan. Di rumah
itulah dia membangun perpustakaan. Dan, di perpustakaan itulah dia
menerima dan menjamu para tamu, tua dan muda, dari berbagai pelosok
kota, dari berbagai negara. Dari empat benua sudah, para tamu
berdatangan. Tinggal dari Benua Afrika yang belum.<br />Para tamu itu
datang untuk membaca, belajar menulis, meneliti, atau berkonsultasi
tentang naskah mereka. Semua dia terima dengan lapang hati, lapang dada.<br />“Siapa
pun yang datang ke perpustakaan ini bisa meminjam buku. Gratis. Jika
haus, saya suguhi minuman. Saat kami makan, mereka pun saya ajak makan.
Jika ingin mengingap, ada kamar tersedia bagi mereka. Itulah kamar kakak
tertua saya tidur tahun-tahun belakangan sebelum dia meninggal dunia.
Mana ada perpustakaan lain semacam itu?” ujar dia seraya tersenyum,
tanpa bermaksud jumawa.<br /><b>Perpustakaan Liar</b><br />Upaya sepele,
sederhana? Boleh jadi. Namun, jika Anda tahu, itu bukan pencapaian
sederhana. Sejak mula dia membangun perpustakaan itu sampai kini, masih
ada saja pejabat pemerintahan di kabupaten penghasil kayu jati terbaik
di dunia itu yang menyebut perpustakaan yang di kelola sebagai,
“Perpustakaan liar!” Karena pandangan sang pejabat itulah, perpustakaan
yang dia kelola gagal memperoleh block grant Rp 200 juta dari
Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2010. “Saat itu saya butuh
rekomendasi dari Dinas Pendidikan sebagai salah satu syarat untuk
menerima bantuan. Namun rekomendasi tak pernah keluar karena, ya itu
tadi, perpustakaan ini dikategorikan perpustakaan liar!” katanya.<br />Liar
karena apa? Tak berizin? Kepada siapa kita mesti meminta izin
mendirikan perpustakaan – bagian dari upaya mencerdaskan bangsa?
Bukankah perpustakaan, dan kemudian penerbitan nonkomersial, yang dia
bangun bersemboyan: masyarakat Indonesia membangun adalah masyarakat
Indonesia membaca menuju masyarakat Indonesia menulis. Jadi, maaf,
terlibat upaya pencerdasan masyarakat lewat pendirian perpustakaan
merupakan tindakan ilegal? Masya Allah!<br />Namun itulah cap buruk
(stigma) yang distempelkan kepada dia. Stigma “sepele” memang, tetapi
itu mempertebal stigma sebelumnya: eks tahanan politik (tapol) 1965.
Stigma itu terus melekat sampai kini. Meski sudah kenyang menerima
perlakuan tak adil yang berdasar prasangka stigmatik itu, tampaknya
sepanjang hayat pula dia mesti terus melawan siapa pun yang
memperlakukannya berdasar prasangka bahwa karena pernah ditahan setelah
pertikaian politik 1965, dia pasti bersalah. Dan orang bersalah tak
berhak berbuat apa pun, meski mungkin perbuatan itu berguna bagi orang
lain.<br />“Dulu, di Bekasi, sebelum pulang ke Blora, saya diarak dan
disoraki, ‘PKI! PKI!’ . Ya, seperti di sinetron-sinetron itu. Saat itu
ada yang mengatakan, ‘Kamu PKI!” Saya bilang, saya tidak PKI. Tak
percaya? Lalu saya lepas celana panjang saya untuk menunjukkan pada
mereka. ‘Lihat, lihat! Saya tidak pake kolor item!’ Bukankah mereka
punya pengertian PKI itu pake kolor item. Saat itu kolor saya merah,”
katanya sambil tertawa masam.<br />Itu terjadi gara-gara dia tak bisa
menerima begitu saja warung kelontongnya digusur. Penggusuran terjadi
berkali ulang. Mula-mula warungnya, kemudian rumah tempat tinggalnya.
Dia memang kalah, tetapi tak pernah menyerah.<br />Tahun 2004, dia
memboyong anak dan istrinya, Benee Santoso (kini 22 tahun dan telah
bekerja di Jakarta) dan Suratiyem (46), pulang ke Blora dan menempati
rumah keluarga besar, warisan dari sang bapak, Mastoer. Di kota
kelahirannya tak berarti dia terbebas dari perlakuan diskriminatif dan
penilaian miring. Namun dia tak peduli. Dia bertekad menjadikan rumah
warisan keluarga itu menjadi ruang publik bagi pengembangan seni,
budaya, dan intelektualitas. Dan, itu seperti peran rumah itu dulu,
tahun 1930-1950, ketika menjadi titik simpul pergerakan melawan
pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang.<br />Menulis dan Terus Menulis<br />Kini,
di dan dari rumah di pojokan kota itulah dia – dibantu banyak eksponen
muda – melancarkan gerakan: mencerdaskan masyarakat lewat membaca dan
menulis. Ya, di rumah itulah dia acap menyelenggarakan acara diskusi dan
bedah buku. Dia menggelar pula, antara lain, Festival Kali Lusi (2008),
Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (2009), Panggil Aku Kartini
Saja (peringatan empat tahun meninggalnya Pramoedya Ananta Toer, 2010).
Berbagai acara itu melibatkan banyak komunitas seni dari berbagai kota.
Acara Seribu wajah Pram, misalnya, didukung oleh 53 komunitas dari
berbagai penjuru negeri dan melibatkan banyak seniman, antara lain
mendiang dalang Tristuti Rachmadi, Djoko Pekik, dan Romo Sindhunata.<br />Setahun
lalu, dia menyelenggarakan lomba menulis bagi pelajar setingkat SMP dan
SMA se-Kabupaten Blora. Peserta membeludak. Bukan cuma dari kota kecil
itu. Tak sedikit pula pelajar dari Kendal, Jember, Denpasar – untuk
menyebut beberapa kota – mengikuti lomba. Lalu dia, bersama Hermawan
Widodo, menyunting naskah para peserta dan menerbitkannya menjadi buku.
Buku pertama dari rencana tujuh buku dia beri judul Kumpulan Tulisan
Terpilih Karya Anak Semua Bangsa (Pataba Press, Blora: 2011), berisi
puisi dan cerpen hasil pilihan lomba menulis tahun 2011.<br />“Untuk
menjadi bangsa yang maju, kita harus membangun kebiasaan membaca dan
menulis. Dan, perpustakaan ini dengan segala kegiatan pendukungnya
menjadi salah komponen pencerdasan bangsa itu,” tutur dia.<br />Apakah
gerakan itu bakal tergusur pula? Tergusur oleh kepongahan kekuasaan?
Sebagaimana dia sendiri terus-menerus tergusur dalam laku hidup semenjak
muda?<br />Dia tak peduli. Sampai hari ini, dia tetap melangkah tanpa
henti: untuk mengajak kaum muda gemar membaca dan menulis. Karena
itulah, untuk memperingati hari kematian sang kakak sulung, Pramoedya
Ananta Toer, bulan April lalu, dia melalui Perpustakaan Pramoedya Ananta
Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) menyelenggarakan lagi lomba tingkat
nasional menulis prosa dan puisi bagi pelajar SMP dan SMA serta yang
sederajat. Dia menyediakan hadiah jutaan rupiah bagi para pemenang serta
bakal membukukan naskah para pemenang.<br />Pram dari Dalam<br />Selain
itu, dia juga menulis buku Pram dari Dalam, yang diterbitkan Gigih
Pustaka Mandiri (2013). Buku yang dia dedikasikan untuk sang kakak itu
berisi tentang banyak kisah kenangan yang mengunjukkan betapa Pramoedya –
yang tujuh kali berturut-turut dicalonkan menerima Hadiah Nobel bidang
kesusastraan – adalah manusia biasa. Ya, manusia yang memiliki berbagai
kelemahan di balik kelebihan yang begitu menggetarkan bukan hanya
novelis, melainkan juga sebagai pejuang keadilan dan kebebasan
berekspresi. Kesaksian dari sang adik tersayang itu bisa memberikan
latar belakang lebih komplet dan mendalam untuk menikmati karya-karya
sastra Pramoedya, termasuk tetralogi Pula Buru: Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca.<br />“Saya merasa berkejaran dengan
waktu. Kini saya sudah 76 tahun. Mungkin tak banyak lagi waktu bagi
saya. Namun saya tak akan berhenti menulis. Masih akan ada buku yang
saya tulis, termasuk lanjut Pram dari Dalam,” ujar Soesilo Toer.<br />Ya,
itulah nama lelaki tua yang masih pengkuh itu. Soesilo, kelahiran Blora
tahun 1937, adalah lulusan Universitas Patric Lumumba (S2) dan Institut
Plekhanov (S3) – keduanya di Uni Soviet (sekarang Rusia). Menjadi
penulis, dosen, bahkan rektor pernah dia alami. Kini dia, yang juga
pernah berjualan apa saja, terlebih setelah keluar dari tahanan Orde
Baru – tanpa pembuktian kesalahan, berkait dengan peristiwa politik
1965, bangga menyebut diri berprofesi sebagai pemulung. Mungkin dialah
satu-satunya orang bergelar doktor yang menjadi pemulung. “Saya memulung
apa saja. Saya memulung kata-kata menjadi tulisan. Saya memulung mur,
baut, gunting, pisau, palu, arit, atau apa saja yang saya temukan di
jalan. Saya ingin, nanti, para peringatan tujuh tahun meninggalnya Pram,
memamerkan semua hasil perburuan saya,” ujar dia, tanpa bermaksud
bercanda.<br />“Namun saya belum menjadi pemulung profesional. Kalau Anda
ingin membantu saya menjadi pemulung profesional, buanglah kalung atau
cincin emas Anda dan biarlah saya menemukannya. Menemukan emas sebagai
hasil memulung, itulah pertanda sebagai pemulung profesional. Pemulung
adalah manusia yang mampu menciptakan nilai tambah absolut dari
ketiadaan modal sama sekali,” kata dia, saat syukuran peringatan hari
lahir Pramoedya (6 Februari 1924) di Blora, Minggu, 10 Februari lalu.<br />Peringatan
hari lahir Pram sekaligus syukuran penerbitan buku Pram dari Dalam itu
dihelat di rumah tua warisan Mastoer, sang bapak. Acara bertajuk
“Mengenang Pram dari Dalam” itu dihadiri para pembaca dan penggemar
karya Pram dari berbagai kota. Ya, berdatangan dari Cepu, Randublatung,
Kradenan, Ngawen – semua kota-kota kecamatan di Kabupaten Blora, serta
dari Rembang, Pati, Kudus, Semarang, Yogya, dan lain-lain. Di antara
kebanyakan kaum muda itu terselip pula beberapa lelaki dan perempuan
sepuh. Mereka adalah eks tahanan di Pulau Buru, yang dekat dengan
Pramoedya saat berada di pulau pengasingan tersebut.<br />Pada malam itu,
mengemuka kesaksian mereka mengenai perjumpaan dengan Pram atau dengan
karya sang novelis. Bambang Soekotjo dari Pati, misalnya, menceritakan
kedekatan yang terjalin dengan Pram sewaktu di Pulau Buru. Budi Maryono,
penulis cum penerbit, berkisah tentang perjumpaan sembunyi-sembunyi
dengan karya-karya Pram pada masa Orde Baru berjaya serta perjumpaan
dengan Pram secara fisik yang amat membekas dalam kenangan.<br />Berkisah
pula Muhamad Burhanudin, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Semarang (Unnes), yang datang bersepeda motor sendirian menembus
hujan lebat dari Yogyakarta ke Blora semata-mata untuk menghadiri
perhelatan sederhana itu. Ada pula suami-istri muda, yang sedang
merintis sebuah perpustakaan publik di Semarang, Afida Mashitoh dan Asep
Mufti. Mereka menyatakan amat terinspirasi oleh karya-karya Pram. Dan,
lewat pembacaan atas karya-karya Pram pula mereka bisa memahami sejarah
bangsa ini secara utuh. Sejarah yang hadir tidak secara sepotong-potong,
sejarah yang hadir dengan “tulang dan daging dan darah”.<br />Malam makin
larut. Dan ketika acara ditutup, rumah tua itu tak segera tutup pintu
pula. Belasan anak muda dari berbagai kota masih mengobrol dengan tuan
rumah, Soesilo Toer. Sebagian menggeletakkan tubuh di atas tikar di
ruang tengah, tempat semula mereka berdiskusi: tertidur, kelelahan.<br />Rumah
yang selama bertahun-tahun dianggap angker, malam itu riuh oleh
percakapan: tentang dunia tulis-menulis, tentang perlawanan terhadap
ketidakadilan, tentang harapan hari esok lebih baik di negeri ini. Dan,
Soesilo Toer menjadi bagian tak terpisahkan dari geriap anak muda untuk
terus menjalani hidup sebagaimana semestinya manusia: tidak memakan
sesama.<br />***<br /><b>DAN</b>, soal kearifan tentang tanaman, izinkan
saya perkenalkan Mbah Lastipah, tetangga saya, lewat kisah tentang
sepenggal hari dalam kehidupannya.<br /><br /><b>Daun Waru Mbah Lastipah</b><br /><br /><b>QIRAAH</b> dari masjid memecah kesunyian. Mbah Lastipah bangkit dari dipan, mendekati meja, mengangkat kendi, dan minum seteguk-dua.<br />Lalu,
perlahan-lahan mengambil peralatan mandi dari pojok rumah gedeknya,
membuka pintu, keluar ke pekarangan. Perempuan tua itu melangkah
terbungkuk-bungkuk, tanpa kasut menapaki jalanan kampung. Dia menembus
kabut dini hari, menuju sendang di tepian kali.<br />Jarak dua ratus meter
dari rumah ke sendang terasa jauh bagi perempuan delapan puluhan tahun
itu. Sebentar dia berhenti, menggerendeng entah apa, lalu kembali
melangkah. Pelan, pelan seperti siput.<br />Di sendang, dia mencopot
pakaian dan mandi seraya berdiri. Kaku persendian membuat dia tak bisa
jongkok lagi. Usai bebersih diri, dia menapaki jalanan licin, kembali ke
rumah. Ketika azan masih menggema, dia duduk berselonjor kaki di dipan:
salat subuh.<br />Usai berdoa tanpa suara, dia melipat mukena. Tanpa
gegas dia keluar, mengambil sapu lidi dari samping rumah. Beberapa
langkah dia berhenti, menepuk-nepuk sebatang pohon waru di pekarangan
rumah. Di sebelah kakinya bertumpuk daun waru kering setinggi pinggang.<br />Dia
meniti wot di atas selokan. Di jalan, seraya menyalangkan mata dia
menyapu perlahan-lahan. Dalam kesamaran pagi buta, tubuh renta itu
seperti timbul-tenggelam. Dia suntuk dalam pekerjaan, menyapu jalanan.<br />Dia
punguti daun-daun waru dari pekarangan rumah tetangga, dari jalanan,
dan dia tumpuk di bawah pohon. Dari hari ke hari gundukan daun makin
tinggi. Dia tak pernah membakar dedaunan itu. Dia biarkan dedaunan itu
jadi rabuk, jadi pupuk.<br />Mbah Lastipah menunaikan pekerjaan itu tanpa bayaran. Setiap pagi, setiap hari, bertahun-tahun. Entah sejak kapan.<br />Malam-malam,
ketika kantuk menyerang, acap dia menangis sendirian. Dia sesali tubuh
renta yang tak kuat lagi bekerja seharian, sehingga selalu ada daun waru
tersisa, terserak di jalanan, di pekarangan rumah tetangga.<br />***<br />“Siapa Mbah Lastipah?” tanya saya, seusai mendengar kisah dari Pak Pi, karib saya di kampung.<br />“Dia tinggal di seberang jalan dari rumah saya,” jawab Pak Pi dengan wajah keheranan.<br />“Oh,
dia….?” Ya, ya, saya kenal sosok perempuan tua itu. Namun, tak pernah
tahu namanya. “Hampir tiga tahun kau tinggal di kampung ini. Dan tak
mengenal tetangga yang berumah sepelemparan batu dari rumahmu?” sergah
Kluprut, jauh di relung hati. “Tak bermalu!”<br />Saya tercenung.<br />Ya,
kecuali pendengaran yang melemah dan tubuh yang merenta, Mbah Lastipah
sepenuhnya sehat. Nalar, rasa, dan karsa perempuan sebatang kara itu
hidup sesungguh benar hidup. Dan, terus menguarkan kearifan.<br />Kearifan
yang bertolak belakang dengan, misalnya, akrobat para kader berbagai
partai politik yang melakukan vandalisme kontrakehidupan berskala masif:
memaku pohon untuk memajang segala poster dan spanduk. Dan, hoopla,
ruang publik pun disesaki sampah visual!<br />Daun-daun waru yang ditumpuk
di bawah pohon oleh Mbah Lastipah adalah sampah organik. Proses alami
mengubah sampah itu jadi humus, penyubur tanah.<br />Sampah visual yang
ditebar para calon anggota parlemen adalah sampah anorganik; nyaris
kalis dari proses penguraian di tanah. Kelak, usai “pesta demokrasi”,
sampah itu berubah menjadi racun dan mengurangi tingkat kesuburan tanah.<br />Laku
Mbah Lastipah, setiap hari, bertahun-tahun, memang cuma memberikan
kontribusi kecil bagi kelestarian lingkungan. Tidak sebesar, misalnya,
kontribusi Sariban, yang setiap hari, bertahun-tahun, secara sukarela
mencabuti paku dari batang pepohonan di Kota Bandung. Juga tak sedahsyat
tekad dan tindakan Badri, yang setiap hari, bertahun-tahun, menanam
pohon di mana pun, di sebuah kawasan di Jawa Barat. Namun, sekecil apa
pun tindakan Mbah Lastipah, bukankah itulah laku prokehidupan?<br />Sebaliknya,
lihatlah ulah para calon anggota parlemen yang terhormat menjelang
pemilihan umum ini. Memang tak sampai berbilang tahun, namun sungguh
tindakan mereka telah memberikan kontribusi lebih besar bagi perusakan
alam, perusakan lingkungan. Vandalisme kontrakehidupan!<br />Mbah Lastipah berbuat tanpa mengharap pujian, tanpa mengharap bayaran. Dia bertindak tanpa kata, tanpa koar.<br />Dia
memang buta huruf, tetapi tak buta kesadaran: terus berbuat sesuatu,
menjaga keseimbangan alam, keberlangsungan kehidupan. Setiap pagi,
setiap hari, bertahun-tahun. Entah sampai kapan.<br />Seraya tersenyum
kecut, menekan malu, saya menarik simpulan: Mbah Lastipah, perempuan
renta itu, sesungguh benar jauh lebih terhormat daripada siapa pun calon
anggota parlemen. Dialah pengibar panji-panji prokehidupan. Bukan saya.
Bukan sampean.<br />***<br />Mbah Lastipah sudah pergi, kembali ke haribaan
Illahi. Dan untuk meneladani kearifan perempuan sederhana itulah, saya
bertekad terus-menerus mempromosikan air kendi: kepada siapa pun, di
mana pun, kapan pun. Dalam sebuah tulisan, saya gemakan semangat untuk
secara takzim bertasbih bersama alam itu – sebagai wujud terima kasih
atas karunia Sang Mahacinta: tanah-air, yang menyatu secara kasatmata
sekaligus secara simbolik dalam air kendi.<br />Simaklah….<br /><br /><b>Kelangan Wedang, Kelangan Klasa</b><br /><br /><b>AKU</b>
kelangan wedang. Saya suwe saya angel golek legen, banyu tebu, wedang
cara, wedang blung, wedang rondhe, wedang alang-alang, wedang jahe,
wedang kopi, wedang teh, lan sapanunggalane. Yen ta bisa mrangguli
kanthi gampang, wujude wis dikemas dening pabrik kanthi cara instan,
sakdek-saknyet. “Gampang, gak prelu kangelan,” ujare Kluprut.<br />Wedang
ngilang mbaka sithik mbarengi saka manca gumrujuk inuman sing katelah
soft-drink, minuman ringan. Banjur mlebu inuman kanggo nambah daya
kekuwatane awak. Ana uga merek lokal, sing jare bisa nambah greng,
nambah jos. Embuh apa sing greng, apa sing jos.<br />Rasa kelangan rada
kalipur nalika ana sing gawe teh botol. Teh botol (banjur teh kothak)
kuwi wujud nyata daya pangripta sing ora gampang kegiles kapitalisme
global.<br />Kelangan wedang, aku banjur kelingan banyu kendhi. Nanging
rasa kelangan malah ndandra, ngambra-ambra. Saiki, kendhi uga langka,
kesingkir, kesingkur. Amarga saiki sapa wae lan ing ngendi wae padha
gawe sumur bor, murih gampang gawe banyu mineral lan banyu isi ulang.
Ora mligi tumrape wong kutha, ing padesan uga wis lulut manut ngombe
banyu mineral utawa banyu isi ulang. Sendhang, belik, tuk, sumber banyu
saya asat. Ora kopen.<br />Kita bakal kelangan kendhi, bakal kelangan
banyu kendhi. Mula kanthi blakasuta, thokleh, aku gawe palagan: mungsuh
swastanisasi banyu. Lan, kuwi dakwujudake kanthi laku nyata: ora tuku
lan ngombe banyu mineral sing dikemas. Aku milih ngombe banyu kendhi.<br />Neng
ngendi lan kapan wae, yen disuguh banyu mineral ora bakal dak-ombe, ora
bakal dakgape. Malah kepara sing nyuguh dak-ece: apa ora kuwat tuku
kendhi? Apa rumangsa kelangan drajat amarga ngombe banyu kendhi? Kerep
wae nalika jejagongan dak-enggo srana promosi kendhi lan banyu kendhi.<br />“Halah!
Ya, pilih tuku lan ngombe banyu mineral. Murah, gampang, praktis, lan
sehat. Hari gini, jaman moderen, kok dhemen kangelan,” celathune Kluprut
karo cengengesan.<br />Banyu mineral pancen murah. Ngombe banyu mineral
pancen gampang, ora prelu kangelan. Nanging apa ya mengkono satemene
sing kudu kedadeyan?<br />Biyen, dhek cilik, kuwajibanku ngisi kendhi sing
cumawis sanjabane pager ngarep omah. Sapa wae wong liwat sing ngelak,
bisa ngombe banyu kendhi kuwi. Lan, kluwarga sing nyawisake kendhi kaya
ngono kuwi dudu amung kulawargaku. Meh saben omah pinggir dalan
nyawisake banyu kendhi.<br />Saiki, sapa sing isih gelem kangelan nyawisake banyu kendhi? Sapa sing isih gelem kangelan ngombe banyu kendhi?<br />Kamangka
sapa wae sing kanthi sadhar ngombe banyu kendhi ing saben dinane,
pawongan kuwi wis milih: mehak wong cilik, asah-asih-asuh marang Ibu
Pertiwi. Banyu kendhi wujud nyata manunggaling banyu lan lemah,
tanah-air. Kendhi simbul usaha ekonomi rakyat.<br />Mula, sapa gelem
ngombe banyu kendhi, samesthine uga gelem ngopeni sumbering banyu,
sumbering panguripan: sendhang, kali, sumur, belik, tuk, lan
sapanunggale. Sabanjure uga bakal duwe kawigaten marang wit-witan,
tetanduran, tetanen, tundhane marang lestarining alam. Duwe kesadharan
ekologis, duwe kesadharan marang pangrembakane ekonomi kerakyatan.<br />Apamaneh
yen ngelingi: banyu minangka kaskayaning nagara sing kudu kaolah lan
kagunakake murih kasampurnaning urip sapepadha. Ora kena dihaki dening
pribadi-pribadi. Wondene, nyata-nyata, pamarentah wis ngedol banyu
marang pribadi sing duwe modhal gedhe, kapitalis. Kuwi pehak sing iwut
golek bathi sing akeh lan luwih akeh maneh, nyugihake diri pribadi,
tinimbang ngopeni sumber banyu, ngopeni wit-witan, ngopeni alam.<br />“Halah,
ora usah sok pahlawan!” grenengane Kluprut karo mbesengut. “Wong
nyatane para priyagung, sarjana sujana, nayaka praja, padha ora nggagas
bisa apa ora marisake alam sing endah marang anak-putu. Nyatane apa wae
wis didol, sapa wae wis dodolan.”<br />Tanpa nggape Kluprut, aku maca
alon-alon murih rumesep ing ati, tumancep ing pikir “Sajak Tikar Plastik
Tikar Pandan”. Puisi kuwi kaanggit April 1988 dening Widji Thukul,
kanca lawas sing durung kadenangan papan panggonan lan pawongane nganti
dina iki – sawise diculik sadurunge taun 1998.<br /><br /><i>tikar plastik tikar pandan</i><br /><i>kita duduk berhadapan</i><br /><i>tikar plastik tikar pandan</i><br /><i>lambang dua kekuatan</i><br /><br /><i>plastik bikinan pabrik</i><br /><i>tikar pandan dianyam tangan</i><br /><i>plastik makin mendesak</i><br /><i>tikar pandan bertahan</i><br /><br /><i>kalian duduk di mana?</i><br /><br />Para
sedulur, ayo lungguh klasa pandhan, jejagongan kanthi suguhan banyu
kendhi lan grontol, kaerut, utawa gedhang goreng minangka nyamikan.
Sakwise kelangan wedang, aku ora kepengin kelangan, banyu kendhi, ora
kepengin kelangan klasa pandhan.<br />***<br /><b>NAMUN</b>, maaf, tiba-tiba
kuping saya berdenging. Mendengking suara lengking penuh duka. Habis,
habis sudah segala kekayaan melimpah ruah. Tandas, tumpas, segala apa,
tanpa pernah bisa memakmurkan anak negeri ini. Dan, lihatlah, Ibu
Pertiwi: menangis tanpa henti.<br /><br /><i>Kulihat Ibu Pertiwi</i><br /><i>Sedang bersusah hati</i><br /><i>Air matanya berlinang</i><br /><i>Bak intan yang terkenang</i><br /><br /><i>Hutan gunung sawah lautan</i><br /><i>Simpanan kekayaan</i><br /><i>Kini Ibu sedang lara</i><br /><i>Merintih dan berdoa</i>.<br /><br /><br />Tembang
terakhir itu, mengingatkan kita: betapa kekayaan berlimpah bisa menjadi
tidak berkah ketika tidak dikelola secara amanah. Ketika nafsu
menguasai lebih besar ketimbang nafsu memelihara, nafsu merawat. Maka,
pilihan untuk terus merawat kehidupan adalah dengan menanam: menanam
pepohonan, menanam kebajikan, sembari terus mengharap rida Tuhan.<br />Salam, salam!<br /><br /><br /><br />Semarang, 22 Mei 2013: 01.29<br /><br /><br />* <i>Rangkuman
tulisan ini saya dedikasikan untukmu, Kiai Budi, untuk mengiringi
perjalananmu: menebar benih cinta, menebar benih kebajikan….</i></span></a></div>
<br /></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-87315660617819589882014-04-30T07:18:00.002-07:002014-04-30T07:34:05.026-07:00Oleh:Alfathri Adlin<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">Seperti
halnya istilah ‘budaya’, istilah politik pun termasuk dalam ‘omnibus’,
yaitu istilah yang bisa dipakai untuk apa saja sehingga maknanya pun
menjadi kosong, seperti penanda tanpa petanda, dan sering mengalami
kelatahan pemakaian. Istilah politik berasal dari kata ‘polis’ (negara
kota di Yunani), kemudian melalui bahasa Indo-Eropa menjadi istilah
politik seperti banyak dipakai sekarang. Ada <span class="text_exposed_show">juga
istilah ‘politikos’ yang artinya segala urusan mengenai polis, sedang
istilah politike adalah seni dan pengetahuan untuk mengembangkan polis.
Definisi paling umum dari politik adalah ‘tatanan hidup bersama’ dan ini
bisa dijadikan landasan awal untuk mencermati apa perbedaan antara ilmu
politik dan filsafat politik serta mengapa kedua disiplin ini saling
membutuhkan dan melengkapi satu sama lain.<br /> <br /> Ilmu politik, bukan
dalam pengertian politike episteme, merupakan kajian yang mengkaji
gejala politik secara sistematik berdasarkan fakta dan pengalaman
empirik langsung. Wilayah ini bisa dikatakan tidak melakukan evaluasi
normatif atas suatu sistem politik atau tata pemerintahan dan lebih
berurusan dengan regularitas gejala tata pemerintahan, lebih fokus pada
urusan pola dan pernyataan faktual. Sementara filsafat politik, seperti
halnya ciri pemikiran filsafat yang dipaparkan oleh Isaiah Berlin,
berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang memunculkan teka-teki dan
tidak bisa dengan begitu saja di cari jawabannya pada kamus, misalnya,
karena terkait perkara-perkara yang mendasar, fundamental dan bersifat
umum. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan kategori pengetahuan
“empirik-faktual” mau pun “logis-formal”, karena tidak bisa semudah itu
dimasukkan ke dalam salah satu keranjang dari kedua kategori pengetahuan
tersebut, tidak secara langsung menunjukkan ke arah mana dan dengan
prosedur apakah pertanyaan itu bisa dicari jawabannya (apakah melalui
data observasi atau melalui kalkulasi murni, lepas dari pengetahuan
faktual), maka menjadi tugas filsafat untuk menjawabnya. Pertanyaan
semacam itu bisa membingungkan dan bisa mengganggu orang-orang yang
terbiasa berkecimpung di wilayah praktis dikarenakan tidak menunjukkan
atau menggiring mereka ke jawaban yang jelas atau pengetahuan jenis apa
pun yang berguna untuk langsung diterapkan. Ada suatu sifat dasar yang
beragam dari pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut, sebagiannya
tampak seperti pertanyaan tentang fakta, sebagian lainnya adalah
pertanyaan tentang nilai. Satu-satunya ciri yang sama dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah kesemuanya tidak bisa dijawab oleh
observasi atau pun kalkulasi, oleh metode deduktif mau pun induktif,
dan sebagai hal lazim krusial dari hal ini, orang-orang yang melontarkan
pertanyaan ini berhadapan dengan kebingungan sejak awal, ke mana harus
mencari jawabannya. Terlebih lagi sebagian dari pertanyaan ini dikenal
bersifat sangat umum dan berkaitan dengan permasalahan prinsip dasar,
dan yang lainnya, walau tidak bersifat umum dengan sendirinya, dengan
segera akan memunculkan atau menggiring ke arah pertanyaan mengenai
prinsip dasar. <br /> <br /> Filsafat politik mencoba menjawab berbagai
pertanyaan di seluruh wilayah politik yang tak bisa dijawab oleh
pengetahuan-pengetahuan empirik, mendekati berbagai perkara dalam
wilayah politik tadi secara mendasar, secara filosofis, melalui
keketatan logika, argumentasi logis formal dan bisa
dipertanggungjawabkan di wilayah. Seperti kata Isaiah Berlin, “Evaluasi
tentang nilai (normatif) yang dilarang masuk lewat pintu-depan ilmu
politik, sosiologi, atau ekonomi, biasanya diselundupkan masuk melalui
pintu-belakang ilmu-ilmu itu” yaitu Filsafat, maka karena itulah,
Filsafat Politik selalu melakukan evaluasi normatif atas suatu tata
pemerintahan dan sistem politik. Karena itulah, Ilmu politik akan kerdil
tanpa didukung oleh Filsafat Politik, dan juga sebaliknya; terlebih
refleksi filosofis yang tidak menemukan realitas konkretnya sebagai
pijakan akan mudah berubah menjadi lamunan semata.<br /> <br /> Seperti
telah dikemukakan di atas, kata politik berasal dari sebuah istilah dari
bahasa Yunani, yaitu ‘polis’ yang secara semantik artinya adalah ‘hidup
bersama’. Namun, hidup bersama di sini bukanlah berdasarkan ras, etnis,
agama atau pun perbedaan gender, melainkan komunitas hidup bersama yang
dibentuk oleh konstitusi. Kenapa politik disebut sebagai hidup bersama?
Karena itu merupakan perpindahan dari kondisi ‘hidup tidak bersama’.
Itu premisnya. Bahkan dalam filsafat politik Yunani disebutkan bahwa
orang-orang yang tidak hidup bersama adalah orang-orang yang tidak punya
tata negara, tidak hidup berdasarkan hukum, tidak hidup berdasarkan
konstitusi, tidak hidup berdasarkan apa yang disebut sebagai gagasan
“civility”. Dan kata “civility” itu juga berasal dari kata “civis” yang
artinya adalah “warga negara”. Karena itu, hidup bersama adalah hidup
yang punya tata negara, dan orang yang hidup di dalamnya disebut sebagai
warga negara. Dan dalam filsafat politik Yunani ada istilah “barbar”
untuk membedakan dengan orang-orang yang hidup di dalam polis.<br /> <br />
Ketika berbicara soal negara dan politik, maka tahap awalnya selalu
dibicarakan terlebih dahulu ihwal “state of nature”, atau keadaan alami.
Bahwa kita butuh negara karena kalau dalam keadaan alami, tak ada
hukum, siapa pun boleh merampas, memperkosa, membunuh orang lain. “State
of nature” itulah yang selalu menjadi landasan kenapa negara
diperlukan. State of nature menjadi titik tolak untuk menjelaskan
masyarakat sipil (civil society) karena dengan menggunakan logika
negatif itulah kita bisa memahami apa itu tata negara sebagai tata hidup
bersama beserta signifikansinya dan kebaikannya bagi kehidupan
bermasyarakat; terlebih karena filsafat politik sangat peduli dan
memperhatikan dampak baik mau pun buruk dari politik sebagai tata hidup
bersama. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan semacam oposisi biner, bahwa
segala hal itu memiliki pasangan yang berkebalikan seperti
laki-laki/perempuan, terang/gelap, Barat/Timur, dan seterusnya.
Bahwasanya suatu hal akan akan lebih terjelaskan dan terpahami justru
dengan menjelaskan dan membandingkannya juga kepada ketiadaannya
(absent) dan kehadiran kelawanannya. <br /> <br /> Keadaan alami tidak harus
berupa suatu kondisi nyata empiris, tetapi cukup sebagai kondisi
kemungkinan (hypothetical condition), suatu kondisi yang mungkin saja
terjadi apabila tidak ada tata negara. Thomas Hobbes juga memberikan
ilustrasi dari sejarah, yaitu suatu tradisi di Persia. Ketika raja
mangkat, maka rakyat harus menjalankan kekacauan (atau ketiadaan hukum
yang berlaku di masyarakat) selama 5 hari sehingga dengan demikian
rakyat akan belajar mengalami bagaimana keadaan alami yang begitu gelap
dan betapa mengerikannya keadaan tersebut ketika siapa pun bebas
merampok, membunuh, menjarah dan lain sebagainya. Dengan cara seperti
itu, maka diharapkan rakyat akan belajar bagaimana menjadi penjaga yang
andal bagi raja mereka. Dalam keadaan alami, kelangsungan diri
(self-preservation) menjadi sentral, dan dalam kondisi seperti inilah
maka manusia bisa menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini
lupus).<br /> <br /> Keadaan alami ini juga pernah dialami di Indonesia
ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, ketika di banyak tempat, terutama di
Jakarta, orang ramai menjarah dan merusak dan bahkan memperkosa
perempuan dari etnis Tionghoa. Dampak dari runtuhnya Orde Lama mau pun
Orde Baru dalam beberapa hal mirip dengan dampak yang terjadi ketika
suatu negara dilanda peperangan, di dalamnya siapa pun bisa menjadi apa
pun. Maka setelah kerusuhan Mei ’98 yang menyerupai keadaan alami itu,
maka wajah perpolitikan di Indonesia menjadi tidak karuan, dari mulai
gembala domba hingga selebritis semuanya bisa menjadi politikus tanpa
kompetensi atau pengalaman politik sedikit pun. Atau juga seperti yang
sering terjadi di negara-negara Afrika sehingga muncul akronim “T.I.A”
yang merupakan singkatan dari “This is Africa”, sebuah akronim yang
pertama kali populer di Afrika Selatan untuk menunjukkan keadaan alami
yang diakibatkan oleh perang berkepanjangan serta pencarian dan
perebutan tambang berlian.<br /> <br /> Dalam keadaan alami maka, seperti
diungkapkan oleh Thomas Hobbes, tak mungkin akan berkembang industri,
tak akan ada pengelolaan hasil bumi, tak ada pengetahuan yang
berkembang, tak tumbuh budaya literasi, singkatnya tak akan ada
sendi-sendi yang membentuk dan menyangga peradaban manusia seperti yang
ada dalam masyarakat sipil. Singkatnya, keadaan alami bisa dibayangkan
seperti kehidupan di hutan yang tak akan memungkinkan lahirnya peradaban
dari para penghuni di dalamnya, sementara negara itu bisa dibayangkan
seperti sebuah kota yang merupakan buah dari peradaban hasil dari
masyarakat sipil. <br /> <br /> Karena dalam keadaan alami (state of nature)
setiap orang tampaknya bebas untuk melakukan apa saja, maka untuk
mengatur kebebasan individual semacam itu diadakanlah kontrak sosial
bahwa setiap individu menyerahkan haknya—dengan syarat individu lain pun
menyerahkan kebebasannya—kepada otoritas yang akan menjamin keamanan
individu-individu tersebut. Dari situ, muncullah otoritas politik atau
negara yang berdaulat, dalam arti otoritas yang tak perlu bertanggung
jawab kepada otoritas lain di atasnya. Hal ini nantinya akan memunculkan
dilema dan ketegangan abadi antara “kebebasan warga” dengan “otoritas
negara”: sejauh mana kebebasan individu harus dijaga tanpa begitu saja
meniadakan otoritas negara.<br /> <br /> Dalam analisinya tentang arti
penting negara, Hobbes mengemukakan suatu gagasan resolutif pertama
dengan membayangkan seolah-olah masyarakat dibubarkan (dissolved) yang
berarti membayangkannya hidup dalam keadaan alami, dalam keadaan yang
ganas, yang menurut Hobbes: “seakan-akan menyembul keluar dari bumi, dan
tiba-tiba seperti jamur berkembang biak tanpa mengenal satu sama lain.”
Setelah masyarakat dibubarkan, maka Hobbes pun memulai pembahasannya
dari unsur terkecil dari masyarakat, yaitu manusia sebagai individu, dan
Hobbes menghabiskan 16 bab awal bukunya untuk membahas tentang manusia,
begitu juga B. Herry-Priyono menyatakan bahwa pembahasan Filsafat
Manusia itu disampaikan sebelum Filsafat Politik. Dengan menggamit
pemikiran Galileo tentang ‘gerak’ (motion), Hobbes mulai menelaah
kompleksitas manusia dan memaparkan bahwasanya hasratlah yang senantiasa
menggerakkan manusia untuk mencari felisitas. Namun, untuk menyalurkan
hasrat mencapai felisitas tersebut dibutuhkan kekuasaan, yang bahkan
ditumpuk, sehingga terjadilah kompetisi di antara individu karena semua
individu pun menghasratinya. Bagi Hobbes, manusia adalah serigala bagi
yang lainnya (homo homini lupus). Kompetisi ini merupakan kesiagaan
untuk berperang yang dipicu oleh tiga hal,yaitu perolehan, pertahanan
bagi rasa aman, dan kejayaan atau reputasi.<br /> <br /> Dari manusia
sebagai individu, Hobbes meningkatkan analisisnya ke tingkatan
pembentukan Hukum Alami (lex naturalis), ketika nalar menemukan
cara-cara menuju perdamaian yang dengan itu akan tercapailah
persetujuan. Hukum alami adalah prinsip yang secara alamiah menyimpulkan
pelarangan bagi siapa pun untuk “menghancurkan hidupnya sendiri, atau
meniadakan sarana untuk mempertahankan hidupnya sendiri, dan juga
merampas apa yang menurut pertimbangannya dapat menjadi sarana
mempertahankan hidup.” Hasrat untuk mempertahankan kelangsungan hidup
sendiri ini lahir dari ketakutan manusia akan kematian. Hukum alami ini
memiliki pokok sentral, yaitu, (1) siapa pun harus mencegah perang, dan
(2) untuk mencegah perang semua orang harus menyerahkan hak-haknya
sejauh orang lain juga menyerahkan hak-haknya, inilah yang disebut
sebagai kontrak, lalu (3) setiap orang wajib mematuhi perjanjian apa pun
yang telah di buat. Dengan menyerahkan hak-haknya tersebut, maka,
menurut Hobbes, “Kawanan manusia dipersatukan dalam satu Pribadi, dan
itu disebut Negara, atau dalam bahasa Latin Civitas. Melalui proses
inilah dilahirkan Leviathan Agung.”<br /> <br /> Maka, pada tahap
berikutnya, Hobbes memasuki tahap kompositif akhir, yaitu ketika Orang
atau Instansi yang disebut sebagai Negara itu lahir, Leviathan Agung,
‘Raja Orang-orang Congkak’, yang merupakan penjelmaan dan perpanjangan
dari hasrat-hasrat manusia yang bersatu membentuk satu Pribadi bernama
Negara tersebut. Setiap orang adalah pembentuk Negara yang tercipta dari
apa yang dilakukan oleh kekuasaan yang berdaulat itu sendiri;
mengeluhkan tentang kekuasaan yang berdaulat berarti mengeluhkan apa
yang diciptakannya sendiri. Sedang mengenai bentuk Negara itu sendiri,
Hobbes memaparkan bahwa perbedaannya terletak dalam kadar kedaulatan;
jika berada di tangan satu orang akan disebut Monarki, di tangan dewan
akan disebut Demokrasi, jika dewannya hanya terdiri dari beberapa orang
maka akan disebut Aristokrasi.<br /> <br /> Menurut John Stuart Mills,
negara bisa membatasi kebebasan warga jika dan hanya jika kebebasan itu
mengancam kebebasan orang lain. Pembatasan ini diperlukan sebagai
instrumen untuk mencapai sesuatu yang lain, yaitu pencapaian
‘kebahagiaan’ sebagai maksimalisasi kenikmatan dan minimalisasi rasa
sakit. Namun, negara tidak boleh membatasi kebebasan berpikir dan
berpendapat, karena jika pendapat salah mau pun benar di beri ruang
untuk beradu, maka masyarakat mempunyai kesempatan untuk meninjau ulang
mana pendapat yang salah dan mana yang benar. Singkatnya, bagi Mills,
setiap orang itu bebas dan setara.<br /> <br /> Kaum Marxis mengkritik cara
pandang kaum liberal yang mencoba menghapuskan berbagai perbedaan dan
mengubahnya menjadi kesetaraan status warga negara, dan bagi kaum Marxis
itu hanyalah ilusi, sebab itu tidak lebih dari emansipasi politik saja,
hanya di atas kertas saja, maka yang dibutuhkan adalah bukan semata
emansipasi politik, tapi juga emansipasi manusia meliputi ekonomi,
kultural, gender dan lain sebagainya. Sementara kaum komunitarian
mengkritik dengan mengemukakan pandangan tentang manusia sebagai makhluk
sosial, dengan identitas dan kesadaran yang tak mungkin di cabut dari
komunitas tempat dia hidup.<br /> <br /> Ada pun apabila “otoritas negara”
yang ditiadakan maka itu adalah anarkisme, sementara apabila “kebebasan
warga” yang ditiadakan maka itu adalah otoritarianisme. Pemutlakan salah
satu kutub itu justru menunjukkan ketidakmatangan dalam politik dan
merupakan penyakit tata negara. Kedua ini akan selalu bertegangan,
abadi, dan B. Herry-Priyono menyebutnya sebagai tegangan eksistensial.
Titik tengah di antara kedua tegangan ini bisa terjadi, walau tidak
sepenuhnya stabil, meski pun merupakan indikasi kematangan dalam politik
namun sulit tercapai, karena titik tengah itu membosankan, karena,
misalnya, bukankah lebih menarik untuk melihat ketegangan antara muslim
liberal dengan muslim radikal?</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-23807886248793156082014-04-30T07:16:00.003-07:002014-04-30T07:16:56.323-07:00Oleh:Alfathri Adlin<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">Bagi
yang pernah membaca pemikiran Michel Foucault, setidaknya mengetahui
istilah “Governmentality” yang sebenarnya itu bukan gagasan yang
orisinal dari Foucault, karena istilah tersebut sudah menjadi bagian
dari sejarah pemikiran dan literatur filsafat politik sejak abad ke 3,
yaitu Agustinus hingga Abad Pertengahan dan seterusnya.
“Governmentality” adalah suatu cara untuk mengelola hidup bersama<span class="text_exposed_show">.
Dalam kondisi “state of nature”, seseorang diandaikan statusnya bukan
sebagai warga negara karena negara belum ada, lalu dia keluar dari
kondisi asali itu dan masuk ke dalam tata negara dan diandaikan sebagai
“civil society” atau “society of the civis” atau “masyarakat warga
negara”. Masyarakat warga negara itu punya hukum, punya konstitusi, dan
mereka yang menjadi bagian dari “hidup bersama” ini disebut sebagai
“citizen” alias “warga negara’.<br /> <br /> Sebelum adanya tata negara,
apakah ada hal yang lain? Apakah tata negara itu abadi? Tidak. Karena
yang abadi “apabila manusia hendak berpindah dari kehidupan di hutan
(state of nature) ke peradaban (civilization)” adalah governmentality.
Governmentality adalah seni untuk mengatur. Kenapa sampai harus
mengatur? Karena manusia hendak berpindah dari “hutan” ke “peradaban”.
Tidak mungkin ada suatu peradaban yang tidak memiliki tata aturan. Tidak
mungkin sama sekali. Karenanya, seni untuk mengaturnya itu disebut
dengan istilah governmentality. Dan governmentality ini pernah dilakukan
oleh agama, pernah dilakukan oleh etnik, pernah juga dilakukan oleh
raja-raja, pernah dilakukan oleh kekaisaran, dan kemudian dilakukan oleh
tata negara modern. Perpindahan ini ditandai oleh apa yang disebut
sebagai perjanjian Westfalia (1648). Lalu selanjutnya ada apa? Mungkin
saja akan ada terbentuk governmentality yang lain. Karena itu, tata
negara yang kita kenal saat ini adalah salah satu bentuk
governmentality. Maka, kembali kepada pertanyaan “apakah tata negara
yang sekarang kita kenal ini abadi atau tidak”, maka dalam perspektif
filsafat politik dinyatakan bahwa “tata negara modern hanyalah bagian
dari perjalanan sejarah akan kebutuhan adanya governmentality, dan
governmentality itu sendiri adalah kebutuhan untuk mengatur perpindahan
kehidupan hutan (state of nature) ke peradaban (civilization)”. Karena
itu, governmentality bukanlah bagian dari tata negara modern, tapi tata
negara modern adalah bagian dari governmentality.</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-61216581513823279392014-04-30T07:12:00.002-07:002014-04-30T07:12:10.425-07:00Oleh:Alfathri Adlin<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span data-ft="{"tn":"K"}">Belakangan ini di
Indonesia acapkali muncul demonstrasi menuntut dihapuskannya demokrasi
dan menuntut pemberlakuan negara Islam. Gerakan-gerakan semacam itu
mengandung kontradiksi dalam pergerakannya sendiri, yaitu, sambil
menolak dan mencaci-maki demokrasi, keberadaan dan kebebasannya untuk
bersuara menolak demokrasi justru dijamin oleh demokrasi. Menghina dan
menolak demokrasi sambil menikmatiny<span class="text_exposed_show">a.
Ada apa dengan demokrasi? Sebagaimana kita tahu, Platon pun mengkritik
demokrasi, terutama demokrasi agregatif, karena terbukti demokrasi
semacam itu telah membunuh gurunya, yaitu Sokrates, manusia paling bijak
di seantero Yunani. Sekali lagi, ada apa dengan demokrasi?<br /> <br />
Demokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh demos, ada pun demos
ini sendiri memiliki dua arti, yaitu bisa “rakyat” (people) atau “massa
beringas, vulgar dan tidak becus” (mob). Dan bentuk yang paling lazim
dari demokrasi adalah berupa akumulasi suara mayoritas hasil ‘pemilihan’
(voting) sebagai tolok ukur dari apa yang dikehendaki rakyat, sehingga
dengan demikian, suara mayoritas itu akan menjadi pijakan untuk mencari
apa yang baik bagi tata negara, bagi kebaikan bersama (common good) dan
ini merupakan sebentuk pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat. Karena
itulah, dalam hal ini demokrasi merupakan sebentuk ‘tindakan politik’
(political acts) karena terkait langsung dengan ‘tatanan hidup bersama’
atau ‘politik’.<br /> <br /> Namun, permasalahan yang lazim muncul dalam
demokrasi semacam ini adalah apakah orang-orang menjatuhkan pilihan
karena “selera pribadi” (preference) atau karena “kehendak bagi kebaikan
umum”? Terlebih lagi apabila “tindakan politik” dalam demokrasi itu
dilakukan dengan kriteria “pilihan pasar” dan/atau “kriteria sektarian”.
Tindakan seseorang masuk ke bilik suara adalah tindakan sakral karena
pilihan yang dijatuhkan oleh seseorang dalam bilik suara itu akan
menjadi keputusan ihwal “kebaikan bersama”, dan dua kriteria barusan
jelas akan cenderung merusak demokrasi. Ini bisa kita lihat contohnya di
negara kita sendiri, Indonesia.<br /> <br /> Pramono Anung, Wakil Ketua DPR
RI dari Fraksi PDI Perjuangan dalam disertasi doktoral di Unpad Bandung
mengungkapkan bahwa untuk menjadi anggota legislatif periode 2009-2014,
seorang caleg bisa menghabiskan biaya antara Rp. 300 juta hingga Rp. 6
milyar. Murah mahalnya biaya politik ini sangat tergantung kepada
ketenaran sang caleg; semakin tenar dia, maka semakin murah biaya yang
harus dikeluarkan. Maka, ini bisa menjelaskan fenomena kenapa banyak
selebritis, juga pengusaha berduit, yang terjun ke politik, dan bukannya
mereka yang sejak lama berkecimpung di dunia politik dan aktivisme,
karena tanpa dibayar pun berita dan infotainment akan gencar
memberitakannya dan menjadi sarana kampanye gratis.<br /> <br /> Selain itu,
demokrasi juga membutuhkan penyebaran dan penumbuhan kesadaran serta
wacana politik di ruang publik agar tumbuh empati dan partisipasi untuk
memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, yang menjadi
ajakan bagi kesediaan berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah
bersama, dan itu bisa ditumbuhkan oleh kekuatan budaya literasi. Di
negara-negara maju di Barat, surat kabar minggu menjadi semacam perayaan
wacana politik dan budaya yang mendalam. Sementara di Indonesia, surat
kabar minggu malah diisi dengan berita sosialita, gaya hidup, iklan
serta ulasan apartemen dan komoditi baru, plus gosip.<br /> <br /> Terkait
hal ini, Daoed Joesoef, mantan Mendikbud masa Orde Baru menyatakan bahwa
“Manusia perseorangan mungkin bisa bertahan hidup tanpa menjadi seorang
pembaca, tanpa membiasakan diri untuk membaca, tanpa berbudaya baca.
Namun sebuah ‘demokrasi’ hanya akan berkembang, apalagi survive, di
suatu masyarakat yang para warganya adalah pembaca, adalah
individu-individu yang merasa perlu untuk membaca, bukan sekadar
pendengar dan gemar berbicara.” Terlebih dengan maraknya media sosial,
yang selain memang punya pengaruh politis juga, namun harus disadari
dampak ‘kedangkalan’ (the shallow) karena menyediakan informasi yang
sepenggal-sepenggal dan click activism beserta status keluh kesahnya
plus komentar-komentar yang menyertainya. Jauh hari sebelumnya, Soren
Kierkegaard sudah menyatakan: “Orang-orang menuntut kebebasan bicara
sebagai keompensasi bagi kebebasan berpikir yang jarang mereka
manfaatkan.”<br /> <br /> Dan Yudi Latif pun menandaskannya sebagai berikut:
“Dunia kelisanan adalah dunia pemusatan yang mengarah pada elitisme.
Dalam tradisi kelisanan hanya ada sedikit orang yang memiliki akses
terhadap sumber informasi. Kelangkaan ini menganugerahkan privilese
khusus kepada sedikit elite yang membuatnya dominan secara politik.
Adapun dunia keberaksaraan adalah dunia penyebaran. Perluasan kemampuan
literasi dan jumlah bacaan mendorong desentralisasi penguasaan
pengetahuan. Desentralisasi ini secara perlahan memerosotkan nilai
sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme. Elitisme mengandung
mentalitas narsistik yang berpusat pada diri sendiri, tanpa empati dan
kesungguhan mengajak partisipasi. Egalitarianisme mengandung kepekaan
akan kesederajatan hak, oleh karenanya berusaha mencegah timbulnya
dominasi dengan menggalakkan partisipasi. Tak heran, dalam negeri dengan
tradisi literasi yang kuatlah demokrasi bisa tumbuh dengan kuat. Athena
(Yunani) sering dirujuk sebagai ”ibu demokrasi” karena berakar pada
tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet. Peradaban Yunani
dan Romawi adalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas
aktivitas baca-tulis masyarakat.”</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-70955565678711234772014-04-30T07:05:00.003-07:002014-04-30T07:05:34.995-07:00TIGA BERPAYUNG KECEWA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">TIGA BERPAYUNG KECEWA<br /> <br />
DAFTAR 300-an tokoh Aceh itu membuat gempar Tanah Rencong. Itulah
nama-nama yang dinilai melawan pemerintah pusat. Operasi penangkapan pun
terjadi. Berdasarkan “daftar hitam” itu, Jaksa Tinggi Sunarjo memburu
mereka dan menjebloskan mereka ke penjara.<br /> <br /> Daftar nama itu diperoleh pemerintah dari Mustafa pada 1953. Mustafa adalah utusan Kartosoewirjo—pemimpin Negara Islam Indon<span class="text_exposed_show">esia.
Dia ditangkap di Jakarta sepulang mengunjungi Daud Beureueh di Aceh.
Aparat menemukan pula dokumen pengangkatan Daud Beureueh sebagai
Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh yang ditandatangani Kartosoewirjo.<br /> <br />
Dua kali Mustafa Rasjid atau Abdul Fatah setidaknya bertemu dengan Daud
Beureueh. Pertemuan itu juga disaksikan Hasan Saleh, salah satu
pemimpin militer Aceh. “Seru juga saya berdebat dengannya, disaksikan
Teungku Daud Beureueh,” kata Hasan dalam bukunya, Mengapa Aceh Bergolak.
“Rupanya ia lebih banyak menguasai bidang politik daripada agama.”<br /> <br />
Penangkapan beberapa tokoh Aceh menjadi pemicu gerakan Aceh melawan
pusat. Pada 21 September 1953 meletus perang antara masyarakat Aceh
pimpinan Beureueh dan pemerintah pusat. Ini ironis. Sebab, pada Mei di
tahun yang sama, di hadapan peserta Kongres Ulama di Medan, Beureueh
menyatakan keputusannya mengadakan kerja sama erat dengan pemerintah
untuk menegakkan amar makruf nahi munkar. Membela yang benar, menjauhi
yang salah.<br /> <br /> Perasaan tidak puas dan kekecewaan rakyat Aceh
terhadap pemerintah pusat sebenarnya sudah bergejolak pascakemerdekaan.
Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh, organisasi bentukan Beureueh,
menuntut otonomi dengan menjadikan Aceh provinsi. Tuntutan itu tidak
dipenuhi. Pemerintah Republik Indonesia Serikat pada 1950, yang membagi
wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi, menjadikan Aceh kabupaten dan
bagian dari Provinsi Sumatera Utara.<br /> <br /> Saat perjuangan
kemerdekaan, Beureueh menjabat gubernur militer wilayah Aceh, Langkat,
dan Tanah Karo. Dia dikenal sebagai ulama karismatis. Majalah Indonesia
Merdeka, dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953, menulis bagaimana
Beureueh mampu “menyihir” orang lewat ceramahnya berjam-jam yang biasa
dilakukannya di masjid.<br /> <br /> Abu—demikian Daud Beureueh biasa
dipanggil—mendirikan Persatuan Ulama-ulama Seluruh Aceh pada 1939. Van
Dijk, dalam bukunya, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, menyebut watak
organisasi Persatuan Ulama mirip Muhammadiyah. Organisasi ini juga
bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Quran dan hadis.
Persatuan Ulama menggembleng rakyat untuk melawan Hindia Belanda.<br /> <br />
Daud Beureueh memiliki mimpi Aceh menjadi negara Islam yang besar dan
jaya. “Kami mendambakan masa kekuasaan Sutan Iskandar Muda ketika Aceh
menjadi negara Islam,” kata Beureueh, seperti dikutip Boyd R. Compton
dalam bukunya, Kemelut Demokrasi Liberal.<br /> <br /> Pasca pembagian
kekuasaan di masa kemerdekaan pada akhirnya membuat hubungan pusat dan
daerah tegang. Tidak hanya Aceh yang tak puas, hal yang sama muncul juga
di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar alias Abdul
Qahhar Mudzakkar mengangkat senjata melakukan perlawanan terhadap pusat.
Kahar sebelumnya adalah pemimpin Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan
dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Kahar marah kepada pusat karena,
antara lain, tuntutan agar anak buahnya diterima menjadi tentara
nasional tanpa proses seleksi ditolak.<br /> <br /> Pada Agustus 1951, Kahar
mendapat tawaran dari Kartosoewirjo melalui utusan Buchari, Wakil Ketua
Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Abdullah Riau Soshby. Kahar
menerima tawaran dan pada 7 Agustus 1953 ia pun memproklamasikan
penggabungan gerakannya dengan Negara Islam Indonesia. Ia menjadi
panglima Divisi Hasanuddin Negara Islam Indonesia. Adapun Syamsul Bachri
ditunjuk sebagai Gubernur Militer Sulawesi Selatan.<br /> <br />
Kartosoewirjo merencanakan Negara Islam Indonesia berbentuk kesatuan
dengan rotasi tiga imam: Kartosoewirjo, Daud Beureueh, dan Kahar
Muzakkar. Kahar adalah imam pertama pengganti Kartosoewirjo. Berdasarkan
faktor usia, semestinya Beureueh yang menjadi imam pengganti pertama.
Rotasi model ini ditolak Beureueh.<br /> <br /> Menurut dia, sistem imam tak
memberikan rencana yang jelas mengenai pembagian kekuasaan atau
struktur negara. Protes Beureueh terhadap Kartosoewirjo sebenarnya tak
semata perihal imam ini. Dia kerap mengkritik kebijakan Negara Islam
Indonesia Jawa Barat. Dalam pidato Majelis Syura pada 1960, misalnya,
Beureueh menyebut sistem militer Negara Islam Indonesia sebagai sistem
bobrok. Beureueh menunjuk Kartosoewirjo telah menghilangkan Dewan Imamah
atau pemimpin yang dikuasai para ulama.<br /> <br /> Kartosoewirjo
membentuk Dewan ini pada Agustus 1948 dengan melibatkan sejumlah ulama
besar, seperti Sanusi Partawidjaja, Kiai Haji Gozali Tusi, dan R. Oni
Mandalatar. Pemimpin atau imam dipegang Kartosoewirjo sebagai panglima
tertinggi. Pascaagresi militer Agustus 1949, Kartosoewirjo mengganti
Dewan Imamah menjadi Komandemen Tertinggi.<br /> <br /> Lalu Negara Islam
Indonesia pun dibagi menjadi lima wilayah: tiga di Jawa serta dua
lainnya di Sulawesi Selatan dan Aceh. Tiap wilayah dijabat panglima atau
komandan. Organisasi model militer ini pun menghilangkan struktur
Majelis Syura yang juga diatur dalam konstitusi Negara Islam Indonesia.
Kelompok Jawa Barat memandang struktur militer dibutuhkan saat perang.
Sementara Aceh memandang prinsip sebuah negara tak dapat dihilangkan
dalam suasana apa pun.<br /> <br /> Perbedaan pendapat terus berlanjut. Pada
Januari 1955, Aceh mengeluarkan struktur pemerintah dengan presiden
Imam Kartosoewirjo dan sebagai wakil presiden Daud Beureueh. Beureueh
mengembalikan dua ulama yang sempat bergabung dengan Dewan Imamah.
Selain itu, dia mengumumkan Aceh sebagai bagian dari negara bagian atau
negara konstituen Negara Islam Indonesia. Kartosoewirjo tak setuju
dengan tindakan Beureueh. Pada 7 Maret 1957, Kartosoewirjo mengirim
surat, menegur Beureueh. Dia menyatakan perubahan itu belum saatnya.<br /> <br />
Meski Kahar tak banyak melakukan protes atas kebijakan Kartosoewirjo
seperti Beureueh, secara mendasar terdapat perbedaan ideologi di antara
keduanya. Kahar ingin wilayah kekuasaannya mengikuti negara Islam model
kekhalifahan pasca-Rasulullah. “Kahar mengubah istilah imam menjadi
khalifah,” kata anak sulung Kahar, Hasan Kamal Qahhar Mudzakkar, kepada
Tempo. Selain itu, Kahar menggunakan istilah “Darul Islam” untuk
menggantikan sebutan Negara Islam.<br /> <br /> Kahar sangat tegas menentang
terjadinya bidah dan khurafat dalam Islam. Menurut Hasan, sikap ini
berbeda dengan Kartosoewirjo. “Mungkin karena pemahaman agama
Kartosoewirjo yang berbeda,” katanya. Menurut buku Al-Chaidar, Pemikiran
Politik S.M. Kartosoewirjo, pada akhir 1955, Kahar mengeluarkan Piagam
Makalua yang menggambarkan sifat gerakan yang berusaha melenyapkan
praktek-praktek tradisional. Dia ingin rakyat meninggalkan gelar adat,
seperti andi, daeng, gedebagus, teuku, dan raden. Gelar haji pun
dilarang karena dianggapnya bentuk feodalisme.<br /> <br /> Kahar pun
melakukan perombakan organisasi sosial dan ekonomi negara. Rakyat
dilarang memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari
bahan mahal seperti wol atau sutra, memakai minyak rambut, hingga makan
dan minum dari makanan dan minuman yang dibeli di kota seperti susu,
cokelat, dan mentega. “Darul Islam ingin menciptakan ragam masyarakat
yang sama derajat dan puritan,” kata Hasan.<br /> <br /> Karakter dan gaya
yang berbeda dari tiga imam ini pada akhirnya membuat gerakan yang
mereka pimpin berbeda pula nasibnya. Gerakan Aceh pimpinan Beureueh
berakhir damai dengan pemerintah tanpa ada tokoh penting yang ditembak
mati. Ulama terkemuka itu turun gunung pada 1962 dan meninggal pada 1987
dalam usia 91. Adapun soal kematian Kahar ada dua versi. Ada yang
mengatakan dia tewas tertembak di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara,
dalam Operasi Kilat pada 3 Februari 1965 dan ada yang menyatakan ia
tidak pernah tertembak. Yang pasti jenazahnya memang tak pernah
ditemukan. Karena itu, ujar Hasan, “Keluarga tak berani menyebut ayah
itu almarhum.”<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-23278136221170121882014-04-30T07:04:00.003-07:002014-04-30T07:04:49.526-07:00JALUR KOMANDO PRAKTIS DI ERA REVOLUSI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">JALUR KOMANDO PRAKTIS DI ERA REVOLUSI<br /> <br />
Karto menggagas sendiri sistem “pemerintahan”-nya. Ia mengatur
administrasi pemerintah, negara, dan militer. Semula, melalui Maklumat
Nomor 1, dia memisahkan urusan NEGARA Islam Indonesia, menurut Kanun
Azazi, berbentuk djumhuriah, yakni republik Islam yang dipimpin oleh
seorang imam. Tapi kenyataannya, struktur negara semacam ini bersifat
teokrasi dan Sekarm<span class="text_exposed_show">adji Maridjan
Kartosoewirjo menjadi pemimpin tunggal. Karto mengangkat dirinya sebagai
imam bagi umat Islam di seluruh Indonesia.<br /> <br /> Pemimpin
pemerintahan sipil sekaligus bertugas sebagai komandan pertahanan di
daerah masing-masing. Sementara itu, pemimpin militer memimpin
pertempuran.<br /> <br /> Setahun kemudian, atau dua bulan setelah Negara
Islam diproklamasikan, pada 3 Oktober 1949, maklumat itu direvisi
menjadi Maklumat Komandemen Tertinggi Nomor 1, yang menyatukan urusan
politik dan militer. Tujuannya mencegah dualisme kepemimpinan dan
pertentangan yang mungkin disebabkan oleh perasaan superior
antargolongan. Misalnya golongan militer yang merasa lebih tinggi
ketimbang sipil atau sebaliknya.<br /> <br /> Menurut Kartosoewirjo,
organisasi mesti praktis dan sesuai dengan tuntutan pergolakan revolusi.
Dengan demikian, kewajiban dapat dilaksanakan dengan cepat dan tegas.
Intinya, ahli politik harus “dimiliterkan”, dan ahli militer
“dipolitikkan”. Seorang kepala daerah yang telah “dimiliterkan” bisa
menginstruksikan pasukan bersenjata menghadapi keadaan yang muncul
tiba-tiba. Demikian pula sebaliknya. <br /> <br /> STRUKTUR PEMERINTAHAN NEGARA ISLAM INDONESIA BERDASARKAN MAKLUMAT KOMANDEMEN TERTINGGI NOMOR 1 KOMANDEMEN TERTINGGI<br /> <br />
Imam merupakan pemimpin umum secara politik dan militer, sebagai
panglima tertinggi. Adapun pemimpin harian dipegang oleh kepala staf
umum atau generale staff.<br /> <br /> KW 1:<br /> Priangan Timur (berpusat di Tasikmalaya, meliputi Jakarta, Purwakarta, dan Cirebon)<br /> <br /> KW 2:<br /> Jawa Tengah<br /> <br /> KW 3:<br /> Jawa Timur<br /> <br /> KW 4:<br /> Sulawesi Selatan dan sekitarnya<br /> <br /> KW 5:<br /> Sumatera<br /> <br /> KW 6:<br /> Kalimantan<br /> <br /> KW 7:<br /> Serang-Banten, Bogor, Garut, Sumedang, Bandung<br /> <br /> KOMANDEMEN WILAYAH (KW)<br />
Terdapat tujuh Komandemen Wilayah. Panglima Komandemen Wilayah memimpin
secara politik dan militer di tingkat wilayah atau setara dengan
provinsi. Dia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan Wakil II Panglima
Komandemen Wilayah yang bisa menggantikan panglima jika panglima
berhalangan. Adapun kepengurusan harian dijalankan oleh Kepala Staf
Komandemen Wilayah.<br /> <br /> KOMANDEMEN DAERAH<br /> Dipimpin oleh seorang
Komandan Komandemen Daerah. Ia memiliki dua wakil, yakni Wakil I dan
Wakil II Komandan Komandemen Daerah, yang bisa menggantikan pemimpin
mereka jika pemimpin berhalangan. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala
Staf Komandemen Daerah.<br /> <br /> KOMANDEMEN KABUPATEN<br /> Dipimpin oleh
Komandan Komandemen Kabupaten. Jika berhalangan, perannya bisa
digantikan Wakil I atau Wakil II. Pemimpin harian dipegang oleh Kepala
Staf Komandemen Kabupaten.<br /> <br /> KOMANDEMEN KECAMATAN<br /> Dipimpin
oleh seorang Komandan Komandemen Kecamatan, dan dibantu oleh seorang
wakil. Pengurus harian dijalankan oleh Kepala Staf Komandemen Kecamatan.<br /> <br />
Sistem pemerintahan Negara Islam Indonesia juga mengenal kepala desa
atau lurah di posisi paling bawah, yakni pemegang kekuasaan di tingkat
desa. Malah di level terendah ini gerakan memperluas pengaruh dan
meningkatkan dukungan masyarakat lebih efektif. Di sebuah area yang baru
dikuasai, misalnya, langsung dibentuk pemimpin pemerintahan dengan
“ketua”-nya lurah. Karena area kekuasaannya sempit—terbatas pada daerah
yang baru direbut—lurah tentu punya semangat berekspansi memperluas
wilayahnya menjadi kecamatan.<br /> <br /> *SUMBER: PINARDI, DALAM SEKARMADJI MARIDJAN KARTOSOEWIRJO, 1964<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-25144936895796957292014-04-30T07:03:00.003-07:002014-04-30T07:03:59.461-07:00LUBANG PELURU DI MENARA MASJID<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">LUBANG PELURU DI MENARA MASJID<br /> <br />
KABAR itu berembus dari mulut ke mulut: kelompok Darul Islam akan
menyerbu. Malam sehabis isya pada 17 April 1952, Kampung Cipari,
Wanaraja, Garut, Jawa Barat, senyap. Sebagian penduduk kampung itu
meninggalkan rumah. Mereka berkumpul di kompleks Pesantren Darussalam
milik KH Yusuf Tauziri.<br /> <br /> Salaf Sholeh terus mengajar beberapa santri yang mengaji di rumahnya. Ia be<span class="text_exposed_show">lum
mengungsi. Rumahnya hanya 50 meter dari pesantren. Sekalian berjaga,
pikirnya. Berusia 18 tahun ketika itu, ia tiba-tiba mendengar ledakan
dan suara tembakan. Dari gorden jendela yang ia buka, terlihat semburat
merah di langit. “Serangannya mendadak,” katanya kepada Tempo.<br /> <br />
Ia memperkirakan penyerang datang lewat tengah malam. Ternyata, kelompok
Darul Islam pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo datang lebih
cepat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Sekitar 3.000 penyerang mengurung
desa. Pesantren Darussalam jadi sasaran. Beberapa rumah di sekitarnya
dibakar. Sholeh dan seisi rumah melompat dari jendela, lari menuju
pesantren.<br /> <br /> Di dalam kompleks pesantren, Yusuf Tauziri, paman
Sholeh, mengatur komando menahan serangan. Ia berdiri di puncak menara
masjid, lalu melempar granat. Para santri di bawah bersiaga dengan
senapan dan batu. Bentrok berlangsung sampai pukul tiga dinihari. Masjid
30 x 70 meter itu menjadi benteng terakhir Kiai Yusuf dan para
santrinya. “Desingan pelurunya masih terdengar sampai sekarang,” tutur
Sholeh.<br /> <br /> Tak mudah bertahan dari gempuran Darul Islam. Menurut
Sholeh, jumlah penyerbu lima kali lipat dari penyokong pesantren.
Konsentrasi para pengawal juga pecah karena harus menjaga pengungsi
perempuan dan anak-anak. Senjata mereka pun tak cukup. Kiai Yusuf dan
pengawalnya hanya memiliki tujuh pucuk senapan dan dua peti granat.
Karena kurang peluru, Kiai Yusuf memerintahkan anak buahnya hanya
menembak sasaran yang mendekat.<br /> <br /> Suara salawat dan takbir
bergema di dalam masjid. Tangisan dan teriakan anak-anak terdengar.
Kepanikan memuncak ketika penyerbu berusaha membobol tembok barat masjid
dengan granat. Usaha itu gagal karena tembok terlalu tebal, sekitar 40
sentimeter dengan fondasi batu satu setengah meter.<br /> <br /> Serangan
mulai surut lewat tengah malam. Pertahanan laskar Pesantren Darussalam
tak bisa ditembus. Tentara Siliwangi pun datang membantu Kiai Yusuf.
Namun pasukan bantuan tak dapat masuk lingkungan pesantren. Tank mereka
tertahan di tikungan jalan, sekitar 1,5 kilometer dari masjid.<br /> <br />
Menjelang subuh penyerang mundur. Penduduk yang bertahan di masjid dan
madrasah baru berani keluar setelah matahari meninggi. Semua jendela
madrasah pecah kena peluru. Banyak pengungsi terluka. Kepulan asap dari
rumah yang dibakar masih terlihat. Dari 50 rumah semipermanen di sekitar
masjid, hanya tiga yang utuh.<br /> <br /> Dalam pertempuran itu, empat
pengawal pesantren dan tujuh penduduk Cipari tewas. Kiai Bustomi, kakak
ipar Yusuf, juga menjadi korban. Ia ditembak ketika hendak berlindung di
masjid. Serbuan ini menimbulkan kengerian penduduk Cipari. Mereka
menemukan lusinan mayat di sawah dan empang ikan. Bahkan air kolam di
sekitar pesantren pun berwarna kemerahan.<br /> <br /> Peristiwa itu
menghantui penduduk, terutama perempuan dan anak-anak. Mereka ketakutan
setiap kali mendengar langkah kaki orang di luar rumah pada malam hari.
Temuan mayat juga membuat banyak warga Cipari enggan bersawah. Mereka
pun tak mau makan ikan. “Selama dua tahun ikan kami tak laku dijual,”
ujar Sholeh.<br /> <br /> Kiai Yusuf mulai membenahi pesantren dan desa.
Cipari kembali pulih. Peristiwa malam itu dianggap mukjizat. Aksi Yusuf
di puncak menara dianggap heroik. Kini, jalan Garut-Wanaraja sepanjang
enam kilometer menuju pesantren diberi nama Jalan KH Yusuf Tauziri.<br /> <br /> Yusuf, pemimpin pesantren, sasaran penyerbuan malam itu, bekas sahabat Kartosoewirjo.<br /> <br /> **************************<br /> <br />
Persahabatan itu sudah terjalin sekitar 20 tahun. Kiai Yusuf mengenal
Kartosoewirjo ketika menjadi anggota Dewan Sentral Partai Sarekat Islam
Indonesia (PSII) pada 1931-1938. Peneliti Jepang, Hiroko Horikoshi, dari
Cornell University, Amerika Serikat, menyebutkan hubungan mereka akrab.
Yusuf pun menjadi salah seorang penasihat Kartosoewirjo.<br /> <br />
Keluarga keduanya juga bahu-membahu dalam perjuangan melawan penjajah di
Jawa Barat. Istri Kartosoewirjo, Dewi Siti Kalsum, bergaul akrab dengan
adik-adik perempuan Kiai Yusuf yang memimpin seksi wanita Gerakan
Pemuda Islam Indonesia Garut.<br /> <br /> Kepada Hiroko, Kiai Yusuf
bercerita tentang perbedaan pendapatnya dengan Kartosoewirjo. Pada awal
1940, Kartosoewirjo mengusulkan lembaga Suffah dalam kongres Komite
Pembela Kebenaran. Komite ini merupakan pecahan PSII yang memilih jalan
nonkooperatif dengan Belanda.<br /> <br /> Dalam kongres itu, Kartosoewirjo
memperkenalkan konsep hijrah, sama pengertiannya dengan hijrah Nabi
Muhammad dari Mekah ke Madinah. Ia meminta setiap anggota menyumbangkan
2.500 kencring (2.500 sen atau 25 gulden) serta bergabung ke Suffah.<br /> <br />
Berbeda dengan Kartosoewirjo, Kiai Yusuf berpendapat belum saatnya
hijrah total. Alasannya, persiapan belum matang. Ia mengusulkan uang
ditanamkan di bidang pertanian. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk
membantu pendidikan para calon ulama dan pemimpin. Kartosoewirjo lalu
mendirikan lembaga Suffah pada Maret 1940.<br /> <br /> Kiai Yusuf
sebenarnya secara tak langsung masih mendukung Suffah. Pada awal
pendiriannya, ia mengirimkan dua anak laki-laki sebagai pengajar. Ia pun
memasukkan keponakannya sebagai pelajar.<br /> <br /> Pada Februari 1948,
Kartosoewirjo mengadakan konferensi Darul Islam pertama di Cisayong,
Tasikmalaya. Pertemuan itu membentuk struktur organisasi gerakan
perlawanan, yang dipertegas dalam konferensi kedua di Cipeundeuy,
Cirebon. Kartosoewirjo makin mematangkan gagasan negara Islam yang
terpisah dari republik ini.<br /> <br /> Kiai Yusuf dan pengikutnya
menganggap gagasan mendirikan negara Islam dengan meninggalkan Republik
terlalu jauh. Pesantren Darussalam dianggap melawan Imam Kartosoewirjo.
Apalagi tempat ini selalu menjadi tempat berlindung penduduk yang tak
mau memberikan hartanya kepada tentara Darul Islam.<br /> <br /> Pesantren
pun menjadi target. Pada 1949-1958, pasukan Darul Islam menyerang Desa
Cipari lebih dari 46 kali. Kartosoewirjo berniat menghabisi Kiai Yusuf
sekeluarga serta pengikutnya dengan serangan besar-besaran pada April
1952. Kepungan di Desa Cipari tak membuyarkan Pesantren Darussalam.<br /> <br />
Menara masjid itu masih berdiri hingga kini, menjadi saksi keteguhan
Kiai Yusuf. Bekas tembakan dibiarkan di dinding menara bergaris tengah
sekitar satu meter dan tinggi 20 meter ini. Banyak penduduk memanjat
menara. “Mereka hanya ingin tahu, sekalian berdoa,” ujar Sholeh.<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-6619346630041429582014-04-30T07:02:00.004-07:002014-04-30T07:02:58.133-07:00DODOL GARUT DAN SUSU BUBUK DALAM GUBUK<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">DODOL GARUT DAN SUSU BUBUK DALAM GUBUK<br /> <br />
GUBUK kecil di tengah hutan itu dibuat dari dedaunan hingga setinggi
orang dewasa. Tapi di dalamnya ada makanan yang jarang ditemui Sersan
Ara Suhara di rumah orang biasa saat itu: dodol garut, jeruk garut, dan
susu.<br /> <br /> Ketika melihat ada seorang kakek bersarung dan berbaju di
samping makanan mewah itu, Ara, prajurit Batalion Infanteri 328/Kujang
Siliwangi, la<span class="text_exposed_show">ngsung berpikir kakek itu
pasti orang penting. Mungkinkah ia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
yang ia buru selama ini? Ara pun bertanya, memastikan: “Pak Karto?”<br /> <br /> Si kakek merangkul Ara. “Iya, Nak,” katanya mengakui.<br /> <br />
Jawaban Kartosoewirjo itu tak hanya mengakhiri perburuan Ara selama
berhari-hari untuk menemukan Kartosoewirjo sekaligus menunjukkan
keberhasilan strategi perang wilayah tentara Indonesia.<br /> <br /> Dengan
taktik itu, tentara Indonesia menyekat-nyekat daerah perlawanan,
sehingga Kartosoewirjo sulit bergerak. Operasi ini bernama Brata Yuda,
tapi lebih dikenal sebagai Operasi Pagar Betis. Digelar mulai April
1962, operasi ditargetkan kelar setengah tahun, tapi baru tiga bulan
dilangsungkan Ara sudah menangkap Kartosoewirjo.<br /> <br /> Salah satu
kunci sukses operasi ini adalah keterlibatan rakyat sipil sehingga
kepungan terhadap DI/TII sangat rapat dan bisa dikatakan tak tertembus.
Keterlibatan rakyat ini yang membuat operasi lebih dikenal sebagai
Operasi Pagar Betis.<br /> <br /> Dalam operasi, militer meminta para pemuda
dan pamong desa di sekitar wilayah operasi bersiaga. “Mereka yang
berangkat diinstruksikan untuk membawa bekal logistik sendiri
secukupnya,” kata Abdul Mahmud Latif, warga Desa Cilampung Hilir,
Leuwisari, Tasikmalaya, yang saat operasi digelar berusia 25 tahun.<br /> <br />
Sebagai pemuda, ia ikut menjadi pagar betis. “Tiga hari saya di sana,”
katanya. Di lokasi yang ditentukan, Mahmud, para tetangganya, dan
tentara membuat sejumlah tenda mengelilingi hutan di sekitar Galunggung.<br /> <br />
Toto Toriah, nenek yang saat masih muda menemani suaminya yang menjadi
pengikut Kartosoewirjo, Adang, saat ini 82 tahun, mengungkapkan masalah
pagar betis ini bagi pasukan Kartosoewirjo. “Sulit sekali makanan
masuk,” kata Toto, yang sekarang tinggal di Desa Linggarsari, Sariwangi,
Tasikmalaya. Sebelumnya, warga yang bersimpati kepada mereka terkadang
mengirim beras, jagung, gula, atau garam.<br /> <br /> Di luar makanan itu,
pasukan Kartosoewirjo juga belajar hidup dengan memanfaatkan apa saja
yang ada di hutan. Pasukan Kartosoewirjo mengandalkan makanan
bongborosan, seperti pisang, honje, kapulaga, jahe, atau lengkuas
sebagai bahan makanan setiap hari. “Singkong rebus tambah gula merah
ataupun garam mungkin menjadi menu favoritnya,” kata suami Toto, Adang.<br /> <br />
Mereka juga berburu burung, kancil, atau ikan untuk lauk. Sayuran
kegemaran lain adalah daun reundeu. “Daun ini bisa langsung dimakan bila
keadaan perut prajurit sudah tidak kuat menahan lapar,” kata Adang.<br /> <br />
Para tentara DI/TII juga gemar merokok. Favorit mereka adalah Escort,
merek rokok nonkretek populer di Indonesia sejak zaman Belanda hingga
1970-an. Jika sudah kehabisan rokok, tutur Dudung, 85 tahun, rekan Adah
Djaelani, ia tidak segan-segan meminta kepada Raden Oni Syahroni, kepala
Resimen I DI/TII yang terkenal. “Beliau terkadang hanya memberi kami Rp
5,” kata Adah. “Itu sudah cukup bagi kami untuk membeli rokok.”<br /> <br />
Tapi Operasi Pagar Betis menghentikan hubungan mereka dengan dunia
luar. Pemerintah Jakarta pun menawarkan amnesti bagi pasukan DI/TII yang
menyerah pada 1961. Dengan posisi tertekan kuat sekaligus diberi jalan
keluar yang bagus, yakni amnesti, kekuatan DI/TII mulai berkurang.<br /> <br />
Para pejabat kelompok pemberontak ini mulai satu per satu menyerahkan
diri. Yang terakhir, Mei 1962, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang
komandan wilayah, juga menyerahkan diri di pos pagar betis Gunung
Cibitung. Praktis sejak saat itu Kartosoewirjo tinggal ditemani
segelintir pengikut setianya.<br /> <br /> Operasi ini juga memaksa istri
dan anak kelompok Kartosoewirjo terpisah dari induknya. Salah satunya
Sardjono, anak Kartosoewirjo yang saat itu baru lima tahun dan diasuh
Musti’ah.<br /> <br /> Sardjono menuturkan ia beserta rombongan perempuan
dan anak-anak itu hanya makan daun-daunan seadanya di hutan. “Kami sudah
tidak makan seminggu, di gunung buahnya pahit semua,” katanya
mengenang.<br /> <br /> Selain itu, pasukan pengawal mereka merasa bahwa
mereka malah menjadi beban. Akhirnya diputuskan para perempuan itu turun
gunung alias menyerah. Si komandan dan pasukannya akan mencoba membuat
kontak dengan induk pasukan.<br /> <br /> Selain pagar betis yang dijaga
warga sebagai benteng pasif, tentara juga aktif memburu pasukan
Kartosoewirjo seperti yang dilakukan Ara dan Kompi C yang dipimpin
Letnan Dua Anda Suhanda—tempat Ara bertugas. Kompi ini berpatroli dari
desa ke desa dan hutan ke hutan. Saat beristirahat dan menginap di
Joglo, Majalaya, setelah tiga hari berpatroli dengan berjalan kaki,
mereka mendengar ada penggarongan. Aksi itu terjadi di Desa Pangauban,
beberapa kilometer sebelah barat Joglo.<br /> <br /> Mereka mengikuti jejak
penggarong yang ternyata memutari Gunung Rakutak. Saat pertama mengejar,
mereka memulai dari Pangauban di barat Rakutak. Tapi hari berikutnya
mereka sampai Sungai Ciharus, tempat mereka kehilangan jejak.<br /> <br />
Ara meminta izin atasannya, Suhanda, untuk menyeberang sungai dan
mencari sendiri jejaknya. Setelah berapa lama, ia menemukan jejak itu.
Ia segera menjadi pelacak hingga sampai ke lembah Geber di sekitar
Gunung Rakutak, tempat ia menemukan sepasukan anak buah Kartosoewirjo.<br /> <br />
Setelah menunggu sejumlah rekan datang, Ara merangsek maju. Ia sempat
menembak salah satu penjaga pos pengintai. Ia sempat berhadapan dengan
Aceng Kurnia, dan salah satu tangan kanan Kartosoewirjo itu kemudian
angkat tangan. Tidak terjadi banyak perlawanan karena kelompok
Kartosoewirjo sudah kehabisan amunisi.<br /> <br /> Agak jauh, sekitar 50
meter dari tempatnya berdiri, tampak gubuk tanpa dinding. Di depan gubuk
itu ada pemuda yang ternyata, tiada lain, adalah Dodo Muhammad Darda,
salah satu putra Kartosoewirjo. Di dalam gubuk Ara menemukan makanan
mewah dan Kartosoewirjo yang tergeletak sakit.<br /> <br /> Ara—meninggal
pada Juni silam tapi sudah menuliskan ceritanya dalam satu buku yang
disimpan keluarganya—menuturkan bahwa Kartosoewirjo mengaku sudah tahu
Ara bakal datang. Kartosoewirjo bahkan mengatakan tahu istri Ara sedang
mengandung dan akan punya anak laki-laki.<br /> <br /> Ara tidak pernah
melupakan kejadian pada 4 Juni itu. Anak yang tengah dikandung istrinya
itu kemudian lahir dan, seperti “ramalan” Kartosoewirjo, laki-laki. Ara
memberi nama anak itu Asep Sekar Ibrahim. Ibrahim dari nama Panglima
Kodam Siliwangi saat itu, yakni Ibrahim Adjie. Sekar? Ara mengambil dari
nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-54036717653766824402014-04-30T07:02:00.000-07:002014-04-30T07:02:00.734-07:00SIDANG KILAT KAWAN SOEKARNO<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">SIDANG KILAT KAWAN SOEKARNO<br /> <br />
MARKAS Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat di Gambir,
Jakarta Pusat, 14 Agustus 1962. Hari itu, sidang pertama Imam Besar
Negara Islam Indonesia Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dimulai. Sebuah
pengadilan khusus dibentuk. Namanya Mahkamah Angkatan Darat dalam
Keadaan Perang untuk Jawa dan Madura. Wartawan dilarang masuk.<br /> <br /> Seperti laiknya persidangan milite<span class="text_exposed_show">r,
TNI Angkatan Darat memilih tiga perwira sebagai majelis hakim: Letnan
Kolonel Ckh Sukana, BcHk, sebagai ketuanya, didampingi dua anggota,
Mayor Inf Rauf Effendy dan Mayor Muhammad Isa. Tentara juga menentukan
jaksa penuntut umum sendiri: Mayor Chk Sutarjono, BcHk. Bahkan anggota
tim pembela Kartosoewirjo juga diangkat oleh tentara: empat orang
pengacara dipimpin Wibowo, SH.<br /> <br /> Tentara hanya butuh dua bulan
untuk mempersiapkan sidang besar ini. Kartosoewirjo ditangkap pada awal
Juni 1962 dan langsung dibawa ke Jakarta untuk persiapan persidangan.
Sardjono, putra bungsunya, mengaku keluarganya sama sekali tidak diberi
tahu. “Kami ditahan di Bandung, tidak bisa ke mana-mana,” katanya, dua
pekan lalu. “Kami baru tahu vonis Bapak setelah sidang selesai.”<br /> <br />
Dalam buku Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang disusun Pinardi pada
1964, disebutkan bahwa bahan-bahan persidangan disiapkan oleh Komando
Daerah Militer Siliwangi dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Buku ini
bisa dibilang sumber sahih informasi dari tentara soal persidangan
Kartosoewirjo. Kepala Staf Angkatan Bersenjata ketika itu, Jenderal
Abdul Haris Nasution, menulis sambutan dalam buku tersebut.<br /> <br />
Karena sidang dinyatakan tertutup, sulit memperoleh gambaran mengenai
jalannya sidang dari media massa ataupun sumber tak berpihak lain.
Sumber resmi tentara—yang banyak dikutip koran-koran—menyebutkan bahwa
pada sidang perdana, Kartosoewirjo ditanyai soal kejelasan identitas dan
perkara yang dia hadapi. “Jangan sampai yang dihadirkan di sidang ini
adalah Kartosoewirjo tukang cukur, bukan Kartosoewirjo pemimpin
gerombolan,” kata salah satu pengacara, pembela terdakwa.<br /> <br /> Jaksa
menuntut Kartosoewirjo—yang saat disidangkan berusia 55 tahun—dengan
pasal berlapis. Dia dituduh hendak menggulingkan pemerintah yang sah,
memberontak melawan Negara Republik Indonesia, dan merencanakan
pembunuhan atas Presiden Soekarno. Untuk menguatkan dakwaannya, jaksa
Sutarjono menghadirkan enam saksi—semuanya anak buah Kartosoewirjo di
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.<br /> <br /> Mereka adalah Djaja
Sudjadi alias Widjaja (Menteri Keuangan Negara Islam Indonesia),
Mardjuki (Bupati Tasikmalaya NII), Asbar (Komandan Resimen Tentara Islam
Indonesia), Agus Abdullah (perwira berpangkat brigadir jenderal di
TII), Sanusi Fikrap, dan Kamil Ali. Dua yang disebut terakhir adalah
tersangka yang tersangkut insiden percobaan pembunuhan Presiden Soekarno
saat salat Idul Adha di Istana Merdeka pada 14 Mei 1962.<br /> <br />
Keenam saksi memberikan keterangan yang memberatkan Kartosoewirjo.
Mereka mengakui peran sang Imam dalam mengatur dan mengendalikan operasi
perlawanan NII di hutan-hutan Jawa Barat. Sejumlah peristiwa diangkat
khusus, misalnya penyerangan di Garut pada Juli 1961 dan bentrok di
Sumedang pada November 1961. Pada dua insiden penyerangan tentara
Kartosoewirjo ke desa-desa di sekitar wilayah gerilya mereka itu, TNI
mengklaim ada ratusan warga yang menjadi korban.<br /> <br /> Jaksa juga
menyoroti peran Kartosoewirjo dalam rencana pembunuhan Soekarno. Salah
satu saksi, Asbar, mengaku mendapat perintah langsung dari
Kartosoewirjo, yang dikuatkan dengan sebuah gigi junjungannya itu. “Gigi
itu dianggap sebagai jimat dan tanda kepercayaan Kartosoewirjo untuk
melaksanakan perintah itu,” kata jaksa, sebagaimana terungkap dalam
risalah sidang yang dimuat media. Asbar kemudian meneruskan perintah itu
kepada Mardjuki, Bupati Tasikmalaya dalam struktur NII. Dalam sidang,
Mardjuki membenarkan adanya perintah itu.<br /> <br /> Selain oleh tiga
peristiwa itu, dakwaan atas Kartosoewirjo diperkuat dengan laporan
kerugian dan korban jiwa selama pemberontakan DI/TII. Jaksa menyebutkan,
pada periode 1953-1960 saja, ada 22.895 orang yang tewas serta 115.822
rumah yang musnah, dan negara dirugikan hampir Rp 650 juta.<br /> <br /> Tak
begitu dijelaskan bagaimana angka-angka itu diperoleh. Namun, dalam
risalah persidangan, dinyatakan bahwa pemberontakan Kartosoewirjo
mengganggu upaya pemerintah Orde Lama mencapai Tri-Program: pemenuhan
sandang-pangan, penjagaan keamanan, dan operasi perebutan Irian Barat.
“Biaya yang seharusnya digunakan untuk operasi Irian Barat jadi
digunakan untuk memulihkan keamanan akibat pemberontakan gerombolan
ini,” kata hakim dalam putusannya.<br /> <br /> Tak tercatat ada saksi
meringankan dalam persidangan ini. Namun, ketika diminta membela diri,
Kartosoewirjo dilaporkan menyangkal tuduhan bahwa ia melawan Negara
Republik Indonesia dan merencanakan pembunuhan Soekarno. Dia hanya
menerima tuduhan pertama: menyerang pemerintah yang sah. “Dari Ibu, saya
diberi tahu bahwa jaksa memang mengejar tuntutan ketiga: terlibat
pembunuhan presiden, karena ancaman hukumannya mati,” kata Sardjono
mengenang.<br /> <br /> Pembelaan dan penyangkalan Kartosoewirjo diabaikan
majelis hakim. Dalam sidang tertutup, didampingi tim pembela yang tidak
dia pilih sendiri, Kartosoewirjo memang terpojok. “Alat bukti dan
keterangan saksi cukup untuk mengabaikan penyangkalan terdakwa,” kata
ketua majelis hakim Letnan Kolonel Sukana.<br /> <br /> Saking tertutupnya,
berita mengenai persidangan Kartosoewirjo sama sekali tak ada di
halaman-halaman koran. Baru pada Sabtu, 19 Agustus 1962, dua hari
setelah vonis dibacakan, Harian Pikiran Rakjat menulis kabar soal vonis
hukuman mati untuk Kartosoewirjo.<br /> <br /> Diletakkan di bagian bawah
halaman pertama, koran yang terbit di Bandung, Jawa Barat, itu juga
memasang foto kecil Kartosoewirjo dengan rambut awut-awutan. Keterangan
foto yang bertulisan “Pendam VI” alias Penerangan Kodam VI Siliwangi
menandakan sumber informasi utama berita itu hanya berasal dari tentara.<br /> <br />
Dalam berita itu, Kartosoewirjo dilaporkan menghadapi sidang pembacaan
vonis dengan tenang. Dengan kemeja putih lengan panjang, celana biru,
dan sepatu hitam, dia tampak klimis. “Rambutnya, yang panjang saat
ditangkap, sudah dipotong,” tulis koran itu. Sejumlah pejabat tinggi
hadir dalam sidang tersebut. Ada Menteri Kehakiman Sahardjo, Kepala Staf
Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution, Ketua Mahkamah Agung
Wirjono Prodjodikoro, dan Jaksa Agung Kadarusman.<br /> <br /> Setelah palu
hakim diketuk, barulah Kartosoewirjo bereaksi. Wajahnya pucat pasi dan
tangannya gemetar. “Dua polisi militer sampai harus memapahnya ke luar
sidang,” tulis Pikiran Rakjat. Pengacaranya, Wibowo, sempat berujar akan
meminta grasi sebelum sidang kilat itu ditutup.<br /> <br /> Tapi Sardjono
punya cerita lain soal akhir sidang ayahnya. Menurut dia, Kartosoewirjo
sempat ditanya apa wasiat atau permintaannya yang terakhir. “Dia minta
bertemu perwira terdekatnya, namun ditolak hakim,” katanya. Lalu
Kartosoewirjo mencoba meminta jenazahnya nanti dikuburkan di makam
keluarganya di Malangbong, Garut. Ini juga ditampik. “Akhirnya,
terakhir, Bapak cuma minta bertemu keluarga,” ujar Sardjono. Ini pun tak
dikabulkan.<br /> <br /> Setelah eksekusi, keluarga Kartosoewirjo hanya
mendapat kiriman barang-barang pribadinya. Ada piyama bermotif
kotak-kotak cokelat, jam tangan Rolex, pulpen Parker, tempat rokok cap
Kuda, dan gigi palsu.<br /> <br /> Dalam buku biografinya yang ditulis Cindy
Adams, Soekarno berujar tentang hukuman mati Kartosoewirjo,
“Menandatangani hukuman mati tidaklah memberikan kesenangan kepadaku.
Ambillah, misalnya, Kartosoewirjo. Di tahun 1918, dia kawanku yang baik.
Di tahun 20-an, di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan
bermimpi bersama-sama,” katanya. Namun putusan harus diambil. “Seorang
pemimpin harus bertindak, tanpa memikirkan betapapun getir jalan yang
ditempuh,” ujar Soekarno.<br /> <br /> Pada 5 September 1962, Kartosoewirjo
dieksekusi di depan regu tembak, setelah permohonan ampunnya ditolak.
Dia ditembak bersama lima anak buahnya, yang dituduh terlibat percobaan
pembunuhan presiden. Sebagian dari mereka yang dieksekusi hari itu
bersaksi memberatkan Kartosoewirjo dalam persidangan sebulan sebelumnya.<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-33334906582780570542014-04-30T07:01:00.003-07:002014-04-30T07:01:13.955-07:00MASIH MISTERI SETELAH 45 TAHUN<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">MASIH MISTERI SETELAH 45 TAHUN<br /> <br />
PERAHU kayu bercat biru dengan tudung terpal di bagian tengah itu
melaju membelah laut menuju Pulau Onrust, meninggalkan tepian Muara
Kamal di Jakarta Utara. Dua buah mesin tua berkekuatan masing-masing 40
tenaga kuda meraung di bokong kapal pada Selasa siang akhir Juli lalu.<br /> <br /> Di bawah tudung itu, Sardjono Kartosoewirjo, 53 tahun, duduk bersila di bagian lantai kapa<span class="text_exposed_show">l
yang sedikit lebih tinggi. Tak ada kursi di perahu yang kini melaju ke
utara itu. “Ini pertama kalinya saya ke sana.” Sardjono mengenakan baju
hangat lengan panjang berwarna cokelat bergaris kuning serta celana
hitam dan sepatu karet sewarna. Ia membawa tas berisi baju koko dan
kopiah putih.<br /> <br /> Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai
Pulau Onrust, sekitar 14 kilometer dari tepi utara daratan Kota Jakarta.
Selain di Muara Kamal, dermaga yang bisa digunakan ada di Marina Ancol
dan Muara Angke.<br /> <br /> Onrust dalam bahasa Belanda berarti tanpa
istirahat (sibuk). Pada pertengahan abad ke-16, di pulau ini terdapat
galangan kapal yang lumayan besar. Ia melayani ratusan kapal, terutama
milik kongsi dagang Belanda (VOC) Saat itu, Onrust dikuasai Pangeran
Jayakarta, kemudian dipinjamkan untuk jangka waktu tertentu kepada VOC.<br /> <br />
Pulau ini dilengkapi gudang-gudang untuk menyimpan muatan kapal yang
sedang diperbaiki. Belakangan, pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial
Belanda membangun tak kurang dari 35 barak haji bagi penduduk yang
hendak berangkat ke Mekah. Pulau ini lantas menjadi tempat karantina
jemaah yang kembali sebelum pulang ke rumah.<br /> <br /> Ketika itu, Onrust
masih seluas sekitar 12 hektare dan penuh dengan pepohonan besar.
Kayunya banyak digunakan untuk pembuatan kapal. Sebuah benteng segi lima
sempat dibangun Belanda di sini sebagai pertahanan menghadapi Inggris.
Juga sebuah penjara. Westerling, perwira Belanda yang dikenal karena
pembunuhan puluhan ribu warga Sulawesi, sempat ngendon di sini sebelum
melarikan diri.<br /> <br /> Beberapa tokoh Partai Komunis Indonesia juga
sempat dipenjarakan di sini. Nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
tertoreh di salah satu sudut gedung museum yang belakangan dibangun
pemerintah Indonesia. Gedung itu tadinya rumah dokter dan perawat yang
bertugas mengurusi kesehatan jemaah haji. “Namanya tertulis di dalam
semacam pigura,” kata Muhammad Giri, cucu Kartosoewirjo, yang pernah
datang sekitar tahun 2000.<br /> <br /> *********************<br /> <br />
PERAHU melamban mendekati dermaga kecil Pulau Onrust. Dadang, pemilik
kapal yang merangkap nakhoda, meminta dua adiknya yang menjadi anak buah
kapal menstabilkan perahu dengan berpegangan pada perahu lain yang
sedang ditambat.<br /> <br /> Tak ada petugas yang berjaga di pulau yang
hampir tidak berpenghuni ini. Hanya ada dua warung mi instan dan sebuah
bangunan semipermanen dari kayu di sisi timur, yang ditempati para
nelayan yang sedang beristirahat. Sebuah tugu hitam berbentuk batu besar
menyambut setiap orang yang datang. Di permukaannya tertulis ringkasan
sejarah pulau.<br /> <br /> Sardjono berjalan perlahan menapaki konblok.
Seseorang yang baru saja kelar memancing memberitahukan arah menuju
makam. “Di depan bangunan itu, lalu belok kiri,” katanya. “Butuh waktu
sekitar 20 menit untuk mencapai makam.”<br /> <br /> Melewati pemakaman
Belanda, Sardjono sempat berhenti sebentar. Di bawah pohon besar di
tengah makam, ia lalu mengeluarkan baju koko dan melepaskan baju
hangatnya. Setelah bersalin, ia kembali berjalan mengikuti petunjuk arah
tadi.<br /> <br /> Di sisi barat pemakaman ini terdapat pemakaman pribumi,
yang melintang dari utara ke selatan. Ini berbeda dengan pemakaman
Belanda, yang memanjang dari timur ke barat. Di sisi paling barat
kompleks pemakaman pribumi ini, ada bangunan dari bambu beratap asbes.
Bangunan tua itu miring dan bambunya sudah menghitam.<br /> <br /> Di sisi
kiri pintu masuk terdapat plang berwarna biru bertuliskan informasi
bahwa ada tokoh Darul Islam yang dimakamkan di dalam. Pada sisi kanan
bangunan, botol-botol kosong air bunga mawar tergeletak. Pohon-pohon
pinus tumbuh menaungi makam ini. Di bagian dalam pondok bambu ini
terdapat dua makam, yang permukaannya telah dilapisi porselen biru.<br /> <br />
Sardjono lalu melangkah masuk ke tengah makam dan menghadap ke makam
sebelah kanan. Makam ini tidak memiliki batu nisan. Hanya ada batu apung
yang dibungkus kain putih. Sedangkan pada kuburan di sebelahnya
terdapat papan nisan bertulisan “H”—Hasan. Ia lalu berjongkok memegang
batu nisan dengan tangan kiri dan mulai berdoa.<br /> <br /> Sekitar 15
menit kemudian, ia usai berdoa. “Setelah 45 tahun terpisah,” katanya
tenang. “Ini anugerah yang tidak ternilai bagi saya.” Sardjono terpisah
dengan ayahnya saat ia masih berusia sekitar lima tahun. Ketika itu,
Kartosoewirjo tertangkap pasukan Siliwangi saat bergerilya di hutan
perbukitan.<br /> <br /> *********************<br /> <br /> PADA suatu hari 1-2
tahun setelah kabar eksekusi Kartosoewirjo diterima keluarga, datang
seorang lelaki membawa sepucuk surat. Surat berkops tentara itu
merupakan laporan tentara kepada Presiden Soekarno mengenai lokasi
eksekusi Kartosoewirjo, yaitu di Pulau Ubi. “Saat itu Umar
Wirahadikusumah menjadi Pangdam Jaya,” kata Sardjono meyakini surat itu.<br /> <br />
Keluarga kemudian berembuk untuk mendatangi pulau yang terletak
dua-tiga kilometer di sebelah utara Pulau Onrust itu. Meski mereka
meyakininya, niat ini akhirnya diurungkan. Alasan utamanya adalah
keluarga masih khawatir bahwa surat itu merupakan jebakan aparat untuk
mengetahui seberapa besar sebenarnya kekuatan para pengikut sang Imam.<br /> <br />
Ini adalah satu informasi dari sekian banyak informasi yang diterima
keluarga mengenai keberadaan Kartosoewirjo setelah ditangkap militer.
Ada orang yang mengaku melihat sang Imam di Jawa Tengah atau Jawa Timur.
“Ada yang mengaku bertemu beliau di Banten.” Namun informasi tentang
makam di Pulau Ubi dan belakangan berubah menjadi Pulau Onrustlah yang
diyakini keluarga.<br /> <br /> Menurut Muhammad Giri, sang cucu, informasi
mengenai keberadaan makam tidak pernah dibicarakan secara terbuka di
dalam keluarga. “Saya juga hanya mendengar kalau orang tua bicara,”
katanya. Ia pun mencari informasi di Internet. “Saya baca adanya di
Pulau Onrust,” kata Giri, yang sempat datang bersama 20-an temannya
sambil bertamasya.<br /> <br /> Menurut Kepala Unit Pelaksana Teknis Pulau
Onrust Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Husnison
Nizar, informasi mengenai makam ini memang disampaikan di dalam museum
di pulau itu. Namun ia juga mengakui bahwa hingga saat ini belum ada
penelitian ataupun dokumen resmi yang mendukung hal itu. “Baru sebatas
keyakinan masyarakat,” katanya.<br /> <br /> Menurut wartawan senior Alwi
Shahab, makam Kartosoewirjo memang terletak di Pulau Onrust. Informasi
ini ia peroleh dari Solichin Salam, penulis buku Bung Karno Putra Fajar,
yang terbit pada 1966. Menurut Alwi, Solichin sempat menanyakan hal ini
langsung kepada Bung Karno.<br /> <br /> Makam itu, menurut Alwi, adalah
salah satu dari dua makam yang dinaungi pondok bambu tersebut. “Belum
tahu yang kiri atau yang kanan,” katanya. Makam itu ada dua untuk
menghindari penyembahan atau sesajen yang terkadang dibawa masyarakat.
Sesajen merupakan hal terlarang dalam ajaran Islam. “Jadi makamnya
disamarkan,” ujarnya.<br /> <br /> Sardjono berharap pemerintah
memperhatikan kejelasan makam ini karena menyangkut rangkaian sejarah
bangsa. “Lebih baik jika ada tes genetik,” katanya. Jika hasil tes
menunjukkan positif bahwa itu makam sang ayah, Sardjono ingin melakukan
satu bakti terakhir. “Pesan beliau agar dimakamkan di makam keluarga.”<br /> <br />
Di salah satu sisi pulau, sehabis berziarah, Sardjono membaca puisi
yang dipersembahkan untuk sang ayah, Kematian Adalah Sebuah Misteri. Di
bawah rintik hujan, ia berteriak:<br /> <br /> Kuburmu dicari<br /> Jejakmu diselusuri<br /> Ajaranmu dikaji<br /> Mujahid tidak pernah mati.<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-3350126984116616162014-04-30T06:59:00.004-07:002014-04-30T06:59:59.091-07:00DUA TAHAP REVOLUSI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">DUA TAHAP REVOLUSI<br /> <br />
TAK banyak buku atau risalah yang ditulis Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Selama 13 tahun bergerilya di hutan-hutan Tasikmalaya, ia
memang membawa mesin tik sebesar meja. Tapi ia hanya menulis
pikiran-pikirannya tentang cita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia
dalam bentuk pedoman dan artikel pendek, yang dimuat koran Fadjar Asia
pada 1930-an.<br /> <br /> Karena itu, meski ada tujuh<span class="text_exposed_show">
buku yang menghimpun buah pikirannya, setiap buku menyuarakan hal sama.
Sementara Soekarno atau Tan Malaka merumuskan ideologinya secara
runtut, bahkan lebih dari rumusan traktat akademik, tulisan-tulisan
Kartosoewirjo lebih seperti propaganda. Kalimatnya lincah meski dengan
nada rendah.<br /> <br /> Ada memang ia menyelipkan info terbaru seperti
penemuan planet Pluto pada 1930 ketika membahas perjalanan Nabi dari
Masjidil Aqsa ke Sidratulmuntaha. Menurut Kartosoewirjo, tujuh lapis
langit tujuh lapis bumi yang disebut Quran tak lain dari susunan planet
di antariksa yang berjumlah tujuh buah. Informasi itu ia peroleh karena
mendengarkan siaran radio di seluruh dunia dari radio Zenit yang memakai
52 baterai kering, yang ia bawa ke mana pun pergi.<br /> <br /> Dalam buku
Haluan Politik Islam (1946), Kartosoewirjo membayangkan sebuah negara
yang damai sentosa dan hukum Tuhan tegak mengatur hajat hidup orang
banyak, dalam nama Negara Islam Indonesia. Untuk mencapainya, menurut
dia, dibutuhkan dua tahap revolusi.<br /> <br /> Tahap pertama adalah
revolusi nasional, yaitu pengusiran penjajah dari bumi Indonesia.
Revolusi ini selesai pada 1945 ketika Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan. Setelah itu, masuk revolusi tahap kedua, yakni “revolusi
sosial”. Pada masa inilah Indonesia harus berada di jalan Tuhan dengan
mencontoh perjalanan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad.<br /> <br /> Ia
menyamakan kondisi Mekah sebelum Nabi hijrah dengan Indonesia sebelum
1945: jahiliah, tak ada tuntunan, dijajah dan diperangi ideologi lain.
Nabi pun hijrah ke Madinah untuk mencapai kegemilangan. Di Madinah umat
muslim mencapai masa keemasan. Agar Indonesia sama seperti periode
Madinah, menurut Kartosoewirjo, rakyat Indonesia juga harus hijrah di
semua lini: politik, sosial, ekonomi.<br /> <br /> Caranya dengan jihad
fisabilillah, bukan jihad fillah atau jihad yang hanya mengekang hawa
nafsu. Jihad itu, menurut Kartosoewirjo, harus dirumuskan dan dilakukan
secara cermat di semua sektor. Karena jihad adalah menegakkan hukum
Tuhan yang sulit, dan bertempur dengan ideologi-ideologi lain,
satu-satunya jalan adalah berperang. “Perang menghadapi negara Pancasila
menjadi wajib hukumnya,” tulisnya dalam Perdjalanan Soetji Isra’ dan
Mi’raj Rasoeloellah (1953).<br /> <br /> Tapi, sebelum bisa berjihad dan
hijrah, rakyat Indonesia harus beriman dulu, yakin bahwa hukum-hukum
Allah adalah hukum terbaik untuk mengatur perikehidupan. Kartosoewirjo
menyebut periode ini sebagai periode “revolusi individu”. Para cerdik
cendekia seperti dia dan kadernya harus mendorong revolusi individu ini
seraya melakukan revolusi sosial. Tiga konsep inilah—iman, jihad,
hijrah—yang kemudian menjadi basis ideologi Darul Islam dalam mencapai
Negara Islam Indonesia dan ia sebagai imamnya.<br /> <br /> Maka ia bergerilya masuk hutan menentang pemerintahan yang dipimpin Soekarno, negara yang kemerdekaannya juga dia perjuangkan.<br /> <br />
Kartosoewirjo selalu menghubungkan apa yang terjadi di Indonesia dengan
peristiwa yang menyertai hijrah Nabi. Medio 1947, ketika mengumumkan
“perang suci” menghalau Belanda, ia menyamakannya dengan proklamasi Nabi
memerangi kaum Quraish. Begitu pula Revolusi Gunung Cupu pada 17
Februari 1948, dan terakhir proklamasi Negara Islam Indonesia pada 7
Agustus 1949.<br /> <br /> Ia percaya, peristiwa di zaman Nabi dan
kejadian-kejadian yang dia alami bersama pengikutnya “sama-sama di luar
dugaan dan perhitungan manusia”. Dalam Sikap Hidjrah (1936),
Kartosoewirjo yakin rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam akan
sukarela menerima negara Islam sebagai bentuk baru pengganti republik.
Keyakinan yang terbukti keliru.<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)<br /> <br />
*Dengan ini, semua posting ihwal sejarah Kartosoewirjo beserta DI/TII
berakhir sudah. Sampai jumpa dalam pelajaran sejarah Indonesia lainnya.
Jangan sekali-kali melupakan sejarah, dan jangan mau jadi korban yang
bagai kerbau di cucuk hidungnya oleh doktrin dan ideologi import
berkedok agama. Wassalam.</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-54913464159174333892014-04-30T06:59:00.000-07:002014-04-30T06:59:00.385-07:00ASIMILASI SETELAH EKSEKUSI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="userContent" data-ft="{"tn":"K"}">ASIMILASI SETELAH EKSEKUSI<br /> <br />
PAGI masih terang-terang tanah. Di tengah hawa dingin perbukitan
Tambakbaya, Kecamatan Cisurupan, Garut, Jawa Barat, Ika Kartika,
Komalasari, dan Sardjono berjalan terseok-seok menuruni lereng. Ditemani
Musti’ah, sang pengasuh, tiga anak Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
itu berusaha mencapai pos tentara yang sudah di depan mata. Masih
terngiang ucapan pengawal yang seb<span class="text_exposed_show">elumnya mengiringi mereka. “Kalian turun, serahkan diri ke pagar betis.”<br /> <br />
Kedatangan anak-anak itu mengagetkan tentara dan warga yang tengah
berjaga di sebuah lahan terbuka. Keempatnya ditangkap dan dibawa ke
markas Batalion 328 Siliwangi di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah
diberi pertolongan, mereka menjalani serangkaian interogasi. Awalnya
Musti’ah mengaku sebagai orang tua ketiga anak itu. Menjelang malam baru
penyamarannya terbongkar. Sorak-sorai pun membahana. “Tentara gembira
setelah mengetahui siapa kami ini,” kata Sardjono Kartosoewirjo, yang
saat itu baru berusia lima tahun.<br /> <br /> Penyerahan diri Sardjono,
kini 53 tahun, dan dua saudarinya berjarak sebulan dari Maklumat
Kartosoewirjo pada 6 Juni 1962. Dalam pengumuman yang dikeluarkan dua
hari setelah Kartosoewirjo ditangkap di Gunung Rakutak, Kabupaten
Bandung itu, sang Imam memerintahkan pengikutnya menghentikan
tembak-menembak dan kembali ke pangkuan Republik Indonesia. “Kami turun
selain menaati maklumat juga lantaran logistik menipis,” ujar Sardjono,
bungsu dari 12 bersaudara buah pernikahan Kartosoewirjo dengan Dewi Siti
Kalsum.<br /> <br /> Peristiwa itu pula yang mengawali babak baru kehidupan
keluarga Kartosoewirjo setelah bertahun-tahun hidup di tengah rimba.
Sardjono ingat, selepas masa penyidikan, mereka mulai merasakan hidup di
kawasan urban: Bandung. <br /> <br /> Ketiga anak Karto dan Musti’ah
ditempatkan di Wisma Siliwangi, Jalan Ciumbuleuit 134. Di tempat itu
mereka mendapat perlakuan baik, makanan layak, dan pelayanan medis.
Mereka juga dibekali sejumlah uang. Namun mereka tak bebas penuh. “Kami
jadi semacam tahanan rumah. Penginapan dijaga ketat dan pergaulan
dibatasi,” kata Sardjono.<br /> <br /> Di tempat itu pula Sardjono dan kedua
kakaknya bertemu kembali dengan kedua orang tua mereka setelah
terpencar sekian lama. Belakangan diketahui, “penahanan” di Wisma
Siliwangi terkait dengan pengadilan Kartosoewirjo di Mahkamah Angkatan
Darat dalam Keadaan Perang. Pada akhir persidangan, Kartosoewirjo
divonis melakukan makar dan berencana membunuh Presiden. Ia dihukum
mati, 5 September 1962. <br /> <br /> Sepeninggal Kartosoewirjo, pemerintah
bersikap lunak kepada Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Setelah
beberapa bulan tinggal di Ciumbuleuit, mereka pun dipindahkan ke sebuah
rumah di Jalan Banda 21, tak jauh dari Gedung Sate. Di sinilah keluarga
gerilya ini mulai membaur dengan masyarakat. Sardjono menuturkan, ketika
itu tempat tinggal mereka tak lagi dijaga ketat. Fasilitas yang
diberikan lumayan banyak, di antaranya mobil dan sopir. Anak-anak bebas
ke luar rumah untuk bergaul dengan warga sekitar. “Saya sering bermain
bola dengan anak-anak sekitar situ,” ujar Sardjono.<br /> <br /> Para
tetangga bersikap baik. Sekalipun mengetahui Sardjono dan kedua kakaknya
anak pemimpin gerakan yang dicap gerombolan pemberontak, warga tak
pernah mempersoalkannya. Rupanya, penempatan keluarga Kartosoewirjo di
tengah kota ialah cara Kodam Siliwangi mengetahui sejauh mana reaksi
masyarakat. “Belakangan saya tahu dari tentara, ini persiapan kami untuk
bebas,” ujar Sardjono.<br /> <br /> Namun segala kenyamanan ini tak
menghilangkan keresahan Dewi Siti Kalsum dan anak-anaknya. Proses
asimilasi terasa tak sempurna. Silaturahmi dengan sanak famili terdekat
malah tak terjalin. Sewaktu Dewi memilih pulang ke kampung halamannya di
Malangbong, Garut, tak satu pun kerabat mau menjemput lantaran takut.
Sialnya lagi, tanah warisan ayahnya, Kiai Ardiwisastra, tersisa kurang
dari separuhnya. Sebagian dikuasai saudara, selebihnya diserobot
tentara.<br /> <br /> Setelah lama menunggu, datanglah Titi Aisyah, sepupu
Dewi. “Bibi saya itu berani datang lantaran suaminya perwira TNI,” ujar
Sardjono. Titi, menurut Sardjono, tak lain dari ibunda penyanyi Raden
Terry Tantri Wulansari alias Mulan Jameela. Di Malangbong,
perlahan-lahan mereka menata kehidupan.<br /> <br /> Jejak Kartosoewirjo dan
keluarganya di Bandung kini lenyap tak berbekas. Wisma Siliwangi di
Ciumbuleuit yang sempat mereka tempati telah dihancurkan sejak 1999. Di
lahan 500 meter persegi yang ditutupi pagar seng itu tak lagi ada sisa
bangunan. Sedangkan rumah di Jalan Banda kini dijadikan tempat kursus
bahasa Inggris.<br /> <br /> Kisah itu makin pudar lantaran juga tak ada
catatan di Kodam Siliwangi. Kepada Tempo, Mayor Paiman, Kepala Badan
Pelaksana Sejarah Dinas Pembinaan Mental, mengatakan catatan yang ada
hanya seputar penumpasan pemberontakan DI/TII. “Hanya ada sejarah yang
umum,” katanya.<br /> <br /> (Diambil dari Edisi Khusus Majalah Tempo no 25/39 : 16 Agustus 2010)</span></span></div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-16638674562144131852014-04-23T00:55:00.002-07:002014-04-23T00:55:19.862-07:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div>
<h2 class="_5clb">
soal tubuh perempuan...</h2>
</div>
<div class="mts _50f8">
10 November 2011 pukul 22:39</div>
<div class="mts _50f8">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTcansZtyJYnS9oG6V0JOlj2Vp9wJ1YKBr3rudm6Z5insULZfAp6-cOGTsw0Rz3JnclKIxWdxHQ2m8aqpbBMIRmrqo_tWEzQPDUP0Ax_ArI_v17ufLVL2F4VBAdpyvhSt5Dr_dS0s0bJFN/s1600/tubuh.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="www.solusimobil.com" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTcansZtyJYnS9oG6V0JOlj2Vp9wJ1YKBr3rudm6Z5insULZfAp6-cOGTsw0Rz3JnclKIxWdxHQ2m8aqpbBMIRmrqo_tWEzQPDUP0Ax_ArI_v17ufLVL2F4VBAdpyvhSt5Dr_dS0s0bJFN/s1600/tubuh.jpg" height="400" title="www.solusimobil.com" width="287" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">www.solusimobil.com</td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"> </td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"> </td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"> </td></tr>
</tbody></table>
<div class="mts _50f8">
<strong>Tubuh Perempuan: Medan Pertempuran Antarpedagang</strong><br />
<br /><strong></strong>
<br /><strong></strong>
<strong>Catatan Gunawan Budi Susanto(Kang Putu)</strong><br />
<strong><br /></strong>
<strong><br /></strong>
<strong>TUBUH </strong>perempuan sesungguh benar adalah medan pertempuran antarpedagang. Tubuh perempuan adalah ranah paling <em>kumedol</em> sebagai medan komodifikasi tak henti-henti dari kapitalisme global.<br />
Dalam
perspektif ini, segala tetek bengek identitas (personal, lokalitas,
kultural, lebih-lebih nasional) yang dilekatkan pada kebertubuhan
perempuan sesungguhnya cuma kecap, kemasan, imagologi.<br />
Alih-alih mandiri mengelola tubuh sebagai sang diri (<em>the self</em>) untuk bisa membedakan dan dibedakan dari yang lain (<em>liyan, the others</em>),
perempuan dikanalisasi dalam arus tunggal kesadaran yang maujud: harus
(menjadi) cantik. Aspek kefisikan itu jauh lebih menonjol ketimbang
batiniah – entah itu soal religiositas, kecerdasan, kepedulian, atau
kepekaan nurani. Bahkan sebenarnya segala yang menyentuh aspek batiniah
pun diprofankan dan ditunggalwujudkan ke dalam formula keseolah-olahan:
bahwa kecantikan mengandung segalanya, bahwa kecantikan adalah
segalanya. Namun, celaka, kecantikan itu sebenarnya adalah kecantikan
dalam pulasan kultur kapitalisme global.<br />
Eksotisme oriental dalam
jagat model, misalnya, adalah salah satu instrumen paradoksal untuk
berjualan. Maka, jika Tiara Lestari atau siapa pun perempuan yang
dianggap punya wajah “khas” oriental, ketimuran, bisa menyeruak ke dalam
dunia model internasional sesungguhnya adalah bagian dari rancang
bangun dan pengemasan dagangan. Ya, perempuan diniscayakan untuk membeli
segala kosmetik, alat kebugaran, produk “kesehatan”, tetek bengek <em>toiletries</em>,
pelangsing tubuh, penurun berat badan, pengencang pinggang, pembesar
payudara, pemutih dan pelembut kulit, segala busana, aksesori, tata
rambut, bacaan, gaya hidup, dan seterusnya. Perempuan diniscayakan untuk
mengonsumsi semua itu jika tak ingin disebut <em>ndesit</em>, tidak modis, tidak trendi, tidak gaul, tidak <em>sophisticated</em>.<br />
Lihatlah,
berbagai-bagai reklame yang mempergunakan tubuh perempuan (atau citraan
ketubuhan perempuan) sebagai penyampai pesan. Perangsang nafsu
konsumtif bagi perempuan untuk membentuk dan "merapikan" tubuh itu
membombardemen, terutama dalam tayangan televisi. Dan, hal itu tidak
cuma muncul dalam slot iklan. Nyaris semua produk televisi membidik
perempuan sebagai medan tempur antarpedagang.<br />
Ilustrasi cukup
menarik tergambar melalui iklan "ATM Bersama" di televisi. Seorang
perempuan gendut duduk di bangku taman. Lalu, datang perempuan lain yang
langsing. Si gendut menyatakan ingin bertubuh selangsing si lain, yang
serta merta mengeluarkan semacam ikat pinggang vibrator pengurang lemak
di perut dan pinggang. Si gendut menyatakan uang kontannya tak mencukupi
untuk membeli alat itu. Si langsing menyahut, "Kan ada ATM Bersama?" Si
gendut pun mengambil uang di ATM Bersama, dan memakai alat penghilang
lemak melingkari perutnya seraya makan cemilan dan berkata, "Buat <em>nyenengin</em> suami."<br />
Adegan
komikal yang "melecehkan" -- betapa tak indah dan cantik sang perempuan
bertubuh tambun -- itu tidak untuk menjual peralatan penghilang lemak.
Namun, mewartakan kepada para nasabah bank betapa mudah dan mengenakkan
mempunyai ATM Bersama. Ya, bahkan produk perbankan pun dijual dengan
mempergunakan (pencitraan kecantikan) tubuh perempuan sebagai medan
pertempuran.<br />
Dan, hal itu tidak spesifik. Hampir semua produk
menjual citra (keindahan) perempuan, meski misalnya ditujukan kepada
pasar lelaki. Contoh reklame lain: mobil disandingkan sekaligus
ditandingkan dengan tubuh perempuan cantik. Citra keluwesan dan
keanggunan (tubuh) perempuan itu adalah juga keluwesan dan keanggunan
(bodi) mobil merah menyala. Dan, lelaki yang diniscayakan membeli mobil
itu digiring untuk berimajinasi memiliki dan menaiki mobil seindah
perempuan yang bergaun merah menyala. Atau sebaliknya, sang lelaki
maskulin berimajinasi bisa memiliki perempuan seanggun mobil tersebut?
Jadi, identitas macam apa yang dilekatkan pada ketubuhan perempuan
dalam, paling tidak, kedua ilustrasi tersebut? Apalagi, bukankah sponsor
penyelenggaraan kontes Puteri Indonesia adalah produsen kosmetik?
Bukankah produsen kosmetik adalah garda terdepan pengeksploitasi tubuh
dan keperempuanan sebagai medan berjualan?<br />
Tentu bukan "hil yang
mustahal" jika suatu perusahaan kosmetik memproduksi sekaligus krim
pemutih dan pencokelat kulit. Krim pemutih diperuntukkan bagi pasar
domestik dengan pencitraan berdasar konstruksi kecantikan ala Eropa.
Krim pencokelat diekspor ke Eropa dengan pencitraan bahwa sang pemakai
adalah perempuan kelas menengah ke atas yang punya mobilitas tinggi:
mampu menjemur diri, mencokelatkan tubuh, di bawah terik matahari negeri
tropis nan eksotis.<br />
Bukankah kedua krim itu, pemutih dan
pencokelat kulit, bisa-bisa dinilai sebagai wahana pelecehan terhadap
konsep (asali) dan konstruksi kecantikan perempuan dari ranah lain,
Papua misalnya? Pada saat yang sama, kedua produk itu telah menafikan
"identitas kultural" keperempuanan dan mendorong konsumen menjadi "satu
paket": objek yang diposisikan untuk manda saja dipercantik dalam
pulasan kosmetik kapitalisme global. Wow!<br />
Jadi, dalam perspektif ini, ungkapan "wanita adalah tiang negara" sebenarnya cuma lipstik. Kosmetik. Produk jualan-jualan.<br />
Lalu,
apa dan mana hak perempuan untuk mengelola tubuhnya sendiri? Apalagi
bila intervensi yang hegemonik terus-menerus memborbardemen kesadaran
bahwa perempuan harus cantik, secantik bintang sebuah sabun mandi,
semolek Puteri Indonesia – kecantikan dan kemolekan ragawi semata? Masih
adakah ruang dialogis bagi perempuan untuk menentukan pilihan pribadi
di luar arus besar komodifikasi kapitalistik tersebut?.</div>
<div class="mts _50f8">
</div>
<div class="mts _50f8">
</div>
<div class="mts _50f8">
<span class="timelineUnitContainer"></span></div>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-50709203960703627992014-04-23T00:46:00.004-07:002014-04-23T00:48:50.585-07:00<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFAXrXJHJg5WcrGGwPsDjIeN3XamADzGLb3hebDSvAeH-LwdS6cNwZCo3Naxzkwqnd4oEAZNjdO4e1k3oKNkInAnuKbw4qUGlB92Z6CqRZkBnrBv8kYer4jTBue0RgJe2t7sNeQP8gkOtV/s1600/0.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhFAXrXJHJg5WcrGGwPsDjIeN3XamADzGLb3hebDSvAeH-LwdS6cNwZCo3Naxzkwqnd4oEAZNjdO4e1k3oKNkInAnuKbw4qUGlB92Z6CqRZkBnrBv8kYer4jTBue0RgJe2t7sNeQP8gkOtV/s1600/0.jpg" height="160" width="320" /></a></div>
<br />
<h1 class="name post-title entry-title" itemprop="itemReviewed" itemscope="" itemtype="http://schema.org/Thing">
<span itemprop="name">Bara Perlawanan Petani di Urutsewu</span></h1>
<b><i>Angga Yudhi, Pegiat di Suluh Pergerakan</i></b><br />
<br />
Pukul 10.00 pagi itu, cuaca di Desa Setrojenar sangat cerah.
Aktivitas warga, yang kebanyakan bertani, pagi itu tersela. Warga datang
berbondong-bondong ke kantor kecamatan Buluspesantren guna menghadiri
sosialisasi pemagaran lahan di wilayah pesisir selatan oleh TNI AD. Di
depan kantor kecamatan tampak sekelompok serdadu TNI AD berpakaian
loreng-loreng dengan menenteng senjata laras panjang. Mereka berjaga di
beberapa sudut gedung kantor kecamatan serta di pinggir jalan. Tampak
beberapa polisi juga hadir dalam acara tersebut. Di dalam ruang
pertemuan yang tak bertembok di kantor kecamatan itu, warga memenuhi
kursi-kursi yang disediakan, bahkan tak sedikit warga berada di luar
ruangan. Acara sosialisasi itu dihadiri antara lain oleh pejabat Pemda,
ketua BPN, dan Dandim Kabupaten Kebumen<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYLQMIqdP8eR123sQTTbaWOzXG6LoiZtl5JLuD1GTXEoPHS-iphAo9RWvsMGxbwBzL_joZgu-Ke_IxoGfRHmh2YlH69Peiu5knvUVDy0vZPlVnCOkW5FueA8VCnJXtQvs-18JjHWxsjcQf/s1600/1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgYLQMIqdP8eR123sQTTbaWOzXG6LoiZtl5JLuD1GTXEoPHS-iphAo9RWvsMGxbwBzL_joZgu-Ke_IxoGfRHmh2YlH69Peiu5knvUVDy0vZPlVnCOkW5FueA8VCnJXtQvs-18JjHWxsjcQf/s1600/1.jpg" height="213" width="320" /></a></div>
<i style="line-height: 1.5em;">Penyerobotan tanah rakyat atas nama
sosialisasi pembangunan dan penertiban barang milik negara oleh TNI AD
di Desa Setrojenar (foto dokumentasi Social Movement Institute)</i><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioWFmD1hD43rpl1ohOswlrzCSsEugRI6m9Kmcv3bz1JyQ1zY_MckrGXM00-zYP3xR7rtPKlUSID2zRLqxaUczBcChyphenhyphenaKAWucFdcGPl2LABmAcyACSZHCquomQy4f4dwi8E7rehFQQIef4G/s1600/IMG_7695-Large.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEioWFmD1hD43rpl1ohOswlrzCSsEugRI6m9Kmcv3bz1JyQ1zY_MckrGXM00-zYP3xR7rtPKlUSID2zRLqxaUczBcChyphenhyphenaKAWucFdcGPl2LABmAcyACSZHCquomQy4f4dwi8E7rehFQQIef4G/s1600/IMG_7695-Large.jpg" height="213" width="320" /></a></div>
<i style="line-height: 1.5em;"> </i><i style="line-height: 1.5em;">Prajurit TNI AD berjaga di kantor kecamatan saat pertemuan dengan warga(foto dokumentasi Social Movement Institute)</i><br />
<br />
<br />
Acara tersebut sebenarnya buntut dari tidak tuntasnya sengketa lahan
di Urutsewu. Militer melalui TNI AD mengklaim tanah di pesisir selatan
sebagai tempat latihan militer yang kepemilikannya berada pada negara.
Warga menolak klaim sepihak tersebut. Selama ini warga memiliki bukti
Buku C Desa serta Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang
berarti mereka membayar pajak atas tanah yang mereka miliki. Selain itu,
beberapa warga juga memiliki sertifikat tanah. Namun, klaim TNI AD
semakin menjadi-jadi dengan rencana pembangunan pagar pembatas di
sepanjang bagian selatan Urutsewu tersebut. Konflik pun tak
terhindarkan. Di akhir pertemuan, warga bersikukuh untuk menolak
pemagaran karena menyalahi hak kepemilikan warga atas tanah di pesisir
selatan.<br />
Lahan yang membentang antara Kali Lukulo di desa Ayamputih Kecamatan
Buluspesantren di sebelah barat dan Kali Mawar di Desa Wiromartan,
Kecamatan Mirit di sebelah timur itu biasa disebut sebagai Urutsewu.
Jarak antar dua kali tersebut kurang lebih 22,5 kilometer. Warga yang
terlibat dalam konflik berasal dari tiga kecamatan yang mencakup kurang
lebih lima belas desa, yaitu Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong
(Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan Ambal Resmi, Kaibon
Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit Petikusan,
Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan (Kecamatan
Mirit). TNI AD mengklaim lahan sepanjang 22,5 kilometer dan 500 meter
dari bibir pantai sebagai tanah negara yang penggunaannya dipasrahkan
kepada TNI AD sebagai tempat latihan militer. Bahkan dalam Peraturan
Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kebumen ditegaskan
bahwa wilayah selatan sebagai wilayah Hankam (Pertahanan dan Keamanan).<br />
Paling tidak sejak sebelum kemerdekaan republik diikrarkan, tanah
Urutsewu sudah digunakan untuk latihan militer. Pertama-tama adalah
militer kolonial Belanda yang menggunakannya dari tahun 1937 sampai
kedatangan Jepang. Selepas hengkangnya militer Belanda, militer Jepang
lalu menggunakannya untuk latihan militer dari 1942-1945. Namun, tanah
Urutsewu sudah <i>dilangsir</i> (pemetaan dan pengadministrasian tanah) sejak tahun 1922, hasil dari penyatuan beberapa desa pada tahun 1922. Di tahun 1932 <i>klangsiran</i>
dilakukan kembali oleh Mantri Klangsir di bawah pemerintah kolonial
Belanda dengan partisipasi warga Urutsewu. Tanah tersebut dipetakan
berdasarkan nilai gunanya untuk menentukan besaran pajak yang akan
dipungut.<br />
Namun hasil <i>klangsiran</i> tanah pada tahun 1932 itu justru
melahirkan klaim tanah oleh pihak kolonial Belanda di sepanjang pesisir
selatan karena pada saat yang bersamaan ditentukan pula tanah milik
Belanda yang disebut sebagai “tanah kumpeni” dengan menancapkan patok
sepanjang pesisir Urutsewu yang berjarak <span style="text-decoration: underline;">+</span>150-200 meter. Patok yang berkode Q dan masih berdiri sampai sekarang ini dikenal oleh warga sebagai <i>Pal Budheg</i>. Di masa itu, semua tanah yang berada di utara <i>Pal Budheg</i>
diakui sebagai tanah rakyat dan di bagian selatan sebagai “tanah
kumpeni”. Klaim atas tanah di bagian selatan oleh pihak Belanda
sebenarnya ditentang oleh warga Urutsewu karena tanah di pesisir selatan
pun digunakan oleh warga untuk menambang garam. Maka warga yang berada
di utara tetap membayar sewa atas penggunaan tanah di selatan kepada
pemiliknya yang sah. Penolakan warga atas klaim pihak Belanda bahkan
berujung pada perusakan gudang garam milik Belanda.<br />
<br />
<br />
<b style="line-height: 1.5em;">Bercokolnya TNI AD di Urutsewu</b><br />
<br />
TNI AD mulai masuk ke Urutsewu
pada tahun 1982 dengan dibangunnya mess Dislitbang TNI AD di Desa
Setrojenar Kecamatan Buluspesantren. Bangunan tersebut berada di atas
tanah desa dan beberapa warga. Pada saat yang hampir bersamaan, TNI AD
juga melayangkan surat peminjaman tanah Urutsewu kepada kepala-kepala
desa setempat. Tanah yang dipinjam tersebut diperuntukkan bagi latihan
militer. Belakangan, peminjaman tersebut tidak lagi terjadi seturut
dengan klaim kepemilikan tanah oleh TNI AD. Selain membangun mess, TNI
AD juga membangun pos latihan di wilayah pesisir. Pos yang bertingkat
tiga itu masih berstatus sebagai milik Mihad, warga Desa Setrojenar,
dengan sertifikat yang dikeluarkan pada tahun 1969.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAJl1XciAPGXyU2xHQXj79hufa8weR-jznfDZBArYp7sOFPZ_erlMcKmVCx7MsHjrhed21QmjBPSmhxDgOxy_X6rsFv0M9TOb41JPRqUVSRVAhmmqeI7eDSDlHWCWikKdkk6nkvecF6rAT/s1600/2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAJl1XciAPGXyU2xHQXj79hufa8weR-jznfDZBArYp7sOFPZ_erlMcKmVCx7MsHjrhed21QmjBPSmhxDgOxy_X6rsFv0M9TOb41JPRqUVSRVAhmmqeI7eDSDlHWCWikKdkk6nkvecF6rAT/s1600/2.jpg" height="213" width="320" /></a></div>
<i>Mess Dislitbang TNI AD di Desa Setrojenar Kecamatan Bulupesantren (foto dokumentasi Social Movement Institute)</i><br />
<br />
<br />
Pada tahun 1998 TNI AD melakukan pemetaan atas tanah di Urutsewu.
Pemetaan yang sepihak itu dilakukan oleh Serma Hartono (NRP: 549021)
yang kemudian ditandatangani oleh kepala desa. Hasil pemetaan yang
dibubuhi tandatangan beberapa kepala desa tersebut belakangan menjadi
acuan kepemilikan tanah oleh TNI AD. Peta versi TNI AD itu memang
bermasalah. Surat resmi kronologi konflik Urutsewu yang dikeluarkan oleh
Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPKKS) dan Urutsewu Bersatu
(USB) menyatakan bahwa pemetaan tersebut tidak sekalipun bisa dijadikan
bukti pengalihan kepemilikan dari warga ke TNI AD. Belum lagi, pemetaan
tersebut sudah tidak sah sejak awalnya. Pasalnya, yang berwenang
mengukur tanah dan melakukan pemetaan adalah BPN (Badan Pertanahan
Nasional) bukan TNI AD.<br />
Permasalahan terus berlanjut. Pada tahun 2006, TNI AD mengklaim
wilayah pesisir selatan yang berjarak 500 meter dari bibir pantai
sebagai tanah Hankam. Klaim tersebut muncul dalam surat Camat
Buluspesantren Nomor 621.11/236 tertanggal 10 November 2007 perihal
tanah TNI. Entah bagaimana, surat yang muncul dari hasil musyawarah
perihal permasalahan tanah TNI pada 8 November 2007 di pendopo Kecamatan
Buluspesantren yang dihadiri oleh Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV
Purworejo, Dislitbang Buluspesantren, Kepala Desa Ayamputih,
Setrojenar, dan Brecong, Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) 3 desa,
mantan Kades (2 desa), dan warga masyarakat 3 desa itu, menghasilkan
klaim tanah TNI AD atas pesisir selatan. Di sisi lain, hasil audiensi
dengan BPN Kebumen bersama DPRD Kabupaten Kebumen, 13 Desember 2007,
menunjukkan bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan
TNI belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.<br />
<br />
<b>Pembangunan Jalan Lintas Selatan-Selatan</b><br />
<br />
<b> </b>Pada tahun 2007 juga permasalahn tanah di Urutsewu bertambah rumit
dengan rencana pemerintah membangun Jalan Lintas Selatan Selatan (JLSS).
Rencana tersebut sudah meruap sejak beberapa tahun sebelumnya. Isu yang
berhembus, Jalan Daendels yang semula hanya selebar kurang lebih 5
meter akan diperlebar hingga kurang lebih tiga kali lipat. Pelebaran
jalan sebagai upaya pembanguan jalan lintas selatan tak pelak
mengakuisisi lahan milik warga Urutsewu. Patok-patok yang telah ditanam
di sepanjang Urutsewu memperlihatkan batas-batas tanah yang akan
diakuisi oleh pemerintah. Selama ini penetapan patok dipandang
bermasalah oleh warga di Urutsewu. Pasalnya, pemerintah mengklaim Jalan
Deandels pada awalnya memang selebar yang dipatok untuk jalan lintas
selatan seperti saat ini tampak di sepanjang jalan tersebut. Hal itu
berarti warga tidak sedikit pun berhak atas tanah itu.<br />
Warga kecewa karena merasa dikangkangi secara sepihak. Mereka mulai
memperkuat barisan. Pertemua-pertemuan antar warga mulai digalakkan.
Mereka menentang upaya pemerintah (khususnya dinas PU) mengakuisi tanah
sah mereka tanpa ganti rugi. Maka pada tahun 2006 lahirlah Korjasena
(Korban Jalur Lintas Selatan). Sebuah organisasi yang mewadahi segala
aksi penentangan akuisi tanah. Khususnya mereka yang tanahnya masuk
dalam rencana pelebaran jalan. Korjasena diketuai oleh Seniman, warga
Desa Petangkuran Kecamatan Ambal. Ia juga sosok yang cukup getol
memperjuangkan hak-hak warga atas tanah mereka yang sah. Memang, ruang
gerak Korjasena masih terbatas di Kecamatan Ambal saja. Hal itu karena
isu yang muncul ketika itu adalah baru sebatas pelebaran jalan. Namun,
dapatlah dibilang Korjasena adalah embrio dari gerakan dan aksi warga
yang lebih luas yang melibatkan tiga kecamatan dengan isu yang terus
berkembang di kemudian hari. Baik dalam hal latihan TNI, masuknya
perusahan tambang pasir besi hingga perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW).<br />
Di saat pembebasan lahan untuk pelebaran jalan masih bermasalah, TNI
AD justru memperlebar luas tanah yang diklaim dari 500 meter dari bibir
pantai menjadi 1000 meter. Buntutnya, TNI AD bisa meminta ganti rugi
atas tanah yang terkena proyek pelebaran jalan. Surat Gubernur Jawa
Tengah kepada Pangdam IV Diponegoro perihal Permohonan ulang aset
pengganti tanah TNI AD memperkuat dugaan tersebut. Benar saja, TNI AD
tidak sungkan-sungkan memasang pathok 1000 meter dari bibir pantai yang
diklaim sebagai tanahnya. Warga tidak terima. Pathok-pathok tersebut
dicabuti warga. Panglima Kodam IV mengancam akan melakukan pemathokan
ulang serta menindak tegas bagi yang mencabut pathok yang ada. Bagi
warga, klaim TNI AD tersebut tidak berdasar sama sekali. Selain itu,
klaim TNI AD mencederai hak-hak warga atas tanah tersebut. Namun,
perjuangan warga menuntut hak atas tanah mereka semaikin terjal ketika
Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen
disosialisasikan pada 13 Desember 2007. Pasalnya, Raperda RTRW dengan
jelas menyatakan kawasan di antara Sungai Mawar dan Lokulo yang berjarak
1000 meter dari bibir pantai adalah wilayah Pertahanan dan Keamanan
(Hankam). Warga semakin tidak terima dengan Raperda RTRW tersebut.<br />
Sebelumnya pada tahun 2006 lahir Forum Paguyuban Petani Kebumen
Selatan (FPPKS) yang juga diketuai oleh Seniman. Jika Korjasena banyak
berkutat pada aksi-aksi formal semisal dengar pendapat di DPRD, FPPKS
sudah mulai melancarkan aksi-aksi ekstra parlementer. Dari unjuk rasa
hingga blokade jalan desa. Isu utama bermuara pada kepemilikan tanah.
Warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani itu, menuntut pengakuan
hak mereka atas tanah. Maka dari itu setiap penggunaan lahan mereka,
baik sebagai bagian proyek pelebaran jalan maupun latihan TNI harus
bermula dari pengakuan negara akan hak warga sebagai pemilik tanah.<br />
<br />
<br />
<b>Rencana Penambangan Pasir Besir oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC)</b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
Di tahun 2011 mulai berhembus isu penambangan pasir besi di
Desa Wiromartan Kecamatan Mirit. Izin eksplorasi sudah turun. Lahan yang
akan ditambang adalah 591,07 ha, dengan 317,48 ha diantaranya adalah
tanah milik TNI AD. Pada bulan April 2012 beberapa alat berat penegruk
pasir dan mesin pemisah bijih besi masuk ke areal persawahan. Rupanya
izin eksploitasi sudah diteken. Bahkan beberapa areal sudah dikeruk
hingga sedalam tujuh meter. Pasirnya akan dijadikan sampel. Warga mulai
resah. Mereka tidak sudi lahan pertanian mereka dikeruk dan dijadikan
areal penambangan pasir besi. Mereka mulai mengadakan pertemuan dan urun
rembug. Kesimpulannya, mereka harus membentuk wadah pergerakan. Maka
lahirlah Perwira (Persatuan Warga Wiromartan) di awal tahun<b> </b>2012. Widodo Sunu didaulat sebagai ketua.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfXo2dpjmRkVym-7mrtQlFWNGShUlUbP893HisDbi_AyoDqhlwWyPoDM4__j8jAWrGRYVc6o0l62JcjWSsOz3aO1OT_5ktwbvdavlFVGpl0M-Ly88iJlKSovHZ-NTMGc1D10EGupcfC1w-/s1600/3.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfXo2dpjmRkVym-7mrtQlFWNGShUlUbP893HisDbi_AyoDqhlwWyPoDM4__j8jAWrGRYVc6o0l62JcjWSsOz3aO1OT_5ktwbvdavlFVGpl0M-Ly88iJlKSovHZ-NTMGc1D10EGupcfC1w-/s1600/3.jpg" height="240" width="320" /></a></div>
<i>Plang milik PT Mitra Niagatama Cemerlang di Desa Wiromartan Kecamatan Mirit (foto dokumentasi Social Movement Institute)</i><br />
<br />
Namun ternyata, usaha penambangan pasir besi oleh PT MNC mendapat
dukungan dari TNI AD. Surat Kodam IV Diponegoro, kepada PT Mitra
Niagatama Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008, tanggal 25 September
2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di Kecamatan Mirit
untuk Penambangan Pasir Besi memperkuat temuan tersebut. Rupanya, isu
penambangan pasir besi menjalar ke desa-desa sebelah seperti
Tlogopragoto dan Miritpetikusan. Mereka memutuskan untuk membangun
jejaring guna memperkuat barisan. Belakangan di pertengahan 2012 Sunu
bertemu Seniman sang ketua Korjasena dan FPPKS. Keduanya bersepakat
untuk menggabungkan seluruh Urutsewu dalam satu wadah pergerakan. Memang
FPPKS telah mendaulat dirinya mewakili seluruh Urutsewu. Namun gaungnya
tidak begitu disambut di Kecamatan Mirit. Ketakutannya, isu latihan TNI
justru akan menyusahkan mereka yang berada di Kecamatan Mirit. Padahal
mereka tidak secara langsung terkena imbasnya.<br />
Namun, itu tidak berlangsung lama. Perda RTRW menetapkan sepanjang
Urutsewu yang berarti pesisir selatan di tiga kecamatan itu adalah
wilayah Hankam. Belum lagi di saat yang hampir bersamaan terbit surat
izin eksploitasi dari Kodam Diponegoro kepada PT MNC, segalanya menjadi
lebih terang. Semua desa di pesisir selatan yang mencakup tiga kecamatan
itu harus bersatu. Toh pada akhirnya isu kepemilikan tanah menjadi tali
simpul perlawanan warga di tiga kecamatan itu. Aksi mobilisasi massa
pun lebih besar jika bersatu. Namun atas pertimbangan agar terbangun
suatu fraksi perlawanan baru maka dibentuklah USB (Urut Sewu Bersatu)
pada bulan Juni 2012. Lagi-lagi Widodo Sunu didaulat sebagai ketua.<br />
Dengan berdirinya USB, semangat perlawanan semakin menebal dan lebih
taktis. Melalui USB usaha pembentukan organisasi masyarakat desa di
sepanjang Urutsewu didorong. Hasilnya, hampir setiap desa memiliki ormas
desa. Beberapa di antaranya adalah Laskar Dewi Renges, Parlemen,
Katean, Selongan, Staman dan lain-lain. Melalui ormas desa ini pula USB
mendorong lahirnya sosok-sosok yang akan memimpin desa. Tidak heran jika
pemilihan lurah selalu diusahakan agar sosok-sosok yang akan tampil
adalah mereka yang benar-benar membela kepentingan warga. Hasilnya ada
sekitar tujuh desa yang dipimpin lurah yang memiliki tekad kuat membela
hak-hak warga. Sebagai contoh di Wiromartan sendiri ada Widodo Sunu.
Petangkuran dilurahi oleh Muhlisin. Tlogopragoto dilurahi oleh Guntoro.<br />
Perjuangan rakyat Urutsewu menuntut pengakuan hak-haknya semakin
terjal ketika TNI AD pada awal tahun 2014 ini mulai memagari wilayah
Urutsewu. Padahal, pemagaran tersebut ditentang oleh warga karena tanah
tersebut milik warga. Kepemilikan tanah secara sah berada di tangan
mereka. Namun, TNI AD ngotot. Pemagaran tetap dilakukan, setelah
beberapa kali sosialisasi yang dilakukan oleh TNI AD bersama
pejabat-pejabat daerah. Kengototan TNI AD dalam melakukan pemagaran atas
tanah warga, jelas menunjukan bahwa masih kuatnya kekuasaan militer
dalam urusan publik. Tentu saja di sisi lain, indikasi adanya <i>kong-kalikong</i>
antara militer dan pemilik modal menunjukkan bahawa negara ini juga
masih dikubangi oleh unsur-unsur dari kekuasan lama yang semakin liat di
tengah proses demokratisasi Indonesia.</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-71977376486183561702014-03-08T15:46:00.002-08:002014-03-08T15:46:50.035-08:00Oleh:Hendi Jo<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
ADA APA DENGAN ORANG KAMPUNG? Saya masih ingat kejadian itu. Sekitar 3
tahun silam, seorang kawan yang sudah lama tinggal di Eropa, datang
berkunjung ke rumah saya. Kami banyak ngobrol soal ini dan itu, termasuk
gaya hidup di Eropa yang menurutnya sangat futuristik,” Lo tahu ga, Hen
saking modern-nya Eropa, itu yang namanya kloset nyiram sendiri begitu
kita buka pintu kamar kecilnya,”ujar teman saya tersebut dalam nada yang
terkagum-kagum (dan bisa jadi bangga).<br /> <br /> Saat asyik ngobrol,
tiba-tiba lewatlah seorang lelaki perpenampilan sangat sederhana di
depan halaman rumah saya. Ia lantas menyapa saya dan menganggukan
kepala, tanda sikap menghargai. Bagi saya, sikap tetangga saya itu
sungguh berharga dan manis. Dan itu yang saya lihat dan rasakan dari dia
selama ini.<br /> <br /> “Siapa tuh, Hen?”tiba-tiba teman saya bertanya dalam nada yang (saya tahu) meremehkan.<br /> “Pak Tikno, tetangga saya, memang kenapa?”<br /> <br /> “Orangnya kayaknya kampungan ya?” Eh dia malah balik bertanya.<br /> <br />
Saya selalu tidak paham dengan pernyataan seperti itu. Kalau dia
kampungan, memang itu salah? Ada apa dengan orang kampung sehingga harus
dicibir seolah-olah penghuni neraka yang nonggol tiba-tiba di dunia dan
harus cepat dienyahkan?<br /> <br /> Rupanya inilah penyakit jiwa
masyarakat modern. Dalam The McDonaldization of Society, George Ritzer
menyebut ciri-ciri manusia modern sebagai pengagung rasionalitas. Begitu
rasionalnya masyarakat modern hingga mereka kerap “mengeksekusi”
sesuatu berdasarkan nalarnya semata atau perspektif yang kadang
ironisnya justru irasional. “Sehingga menjatuhkan dirinya pada situasi
yang justru dia kecam,”ujar sosiolog ternama tersebut.<br /> <br /> Jujur
saja, saya tidak pernah memiliki masalah dengan orang kampung . Bahkan
bagi saya, orang kampung adalah bentuk dari masyarakat yang masih murni
(terlepas dari pengaruh modernisasi yang mulai membunuh kemurnian
mereka). Mereka adalah orang yang setia kepada etika purba yang lebih
harmonis (menurut saya). Dan karena itulah, saya sangat tidak setuju
terhadap penggunaan kata “kampungan” itu dalam bahasa kita. Itu mirip
kata "black" dalam kamus bahasa Inggris yang selalu diartikan peyoratif<br /> <br />
Sesungguhnya, kalau kita mau berani menengok silsilah, semua orang di
dunia ini awalnya adalah orang kampung. Kerajaan Majapahit yang besar
luar biasa itu asalnya berasal dari sebuah kampung bernama Maja, lalu
Paris yang sekarang glamour pun dulu tak lebih sebagai kampung kumuh
yang kemudian dibangun orang-orang Frank. Begitu juga New York dan
Amsterdam yang dulu terdiri dari ghetto-gheto (kampung Yahudi),
sejarahnya adalah kampung. Jadi sejarah kota-kota besar di dunia ini
pada hakikatnya adalah kampung.<br /> <br /> Kota memang menjadi tempat
segala perkembangan mutakhir ada. Tapi bukan berarti kampung menjadi
buruk. Tanpa kampung, kota tak lebih hanya sebidang tanah yang tak
memiliki fungsi apa-apa laiknya orang sakit yang tak memakai busana.
Tidak ada yang salah menjadi orang kampung, seperti tidak ada salahnya
menjadi orang kota. Kecuali kalau orang-orang kota sudah bisa
memproduksi sendiri beras, buah-buahan, bumbu rempah-rempah, kayu dan
material-material penting lainnya, silakan “orang-orang kota” menghardik
orang yang berbeda dengan diri mereka sebagai “kampungan”.<br /> <br />
Lantas dari mana asalnya “sikap sok kota” tersebut muncul? Saya curiga
ini peninggalan politik segregasi khas Hindia Belanda. Untuk
mengabadikan dominasi dan hegemoni penjajahan, para ahli strategi budaya
politik Belanda dengan ciamik menanamkan “kehinaan” menjadi orang
kampung dan keinginan luar biasa menjadi seperti orang kota (saat itu
orang-orang kota terdiri dari bangsa Belanda dan para priyayi). Artinya
inilah upaya pencerabutan identitas sistematis yang berujung pada
kemalasan untuk melawan dan berkreasi sebagai sebuah bangsa mandiri<br /> <br />
“Bangsa yang inferior adalah sekumpulan manusia yang tidak percaya diri
dan selalu berlindung pada kebesaran kaum yang menjajahnya dengan
bersikap seperti laiknya kaum penjajah,”kata Gayatri Spivak dalam Teori
Post Kolonial. (hendijo).</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-13049306702019703852014-03-07T16:48:00.004-08:002014-03-07T16:48:54.415-08:00Indonesiakoe...<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div style="text-align: justify;">
TAHUKAH ANDA JIKA EMAS DI IRIAN DIBAGI RATA RAKYAT INDONESIA ,AKAN KEBAGIAN TIGA TON SETIAP JIWA ???</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Negara Terkaya di Dunia Itu Ternyata adalah Indonesia</div>
<div style="text-align: justify;">
Banyak sebenarnya yang tidak tahu dimanakah negara terkaya di planet
bumi ini, ada yang mengatakan Amerika, ada juga yang mengatakan
negera-negara di timur tengah. tidak salah sebenarnya, contohnya
Amerika. negara super power itu memiliki tingkat kemajuan teknologi yang
hanya bisa disaingi segelintir negara, contoh lain lagi adalah
negara-negara di timur Tengah.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Rata-rata negara yang tertutup gurun pasir dan cuaca yang menyengat itu
mengandung jutaan barrel minyak yang siap untuk diolah. tapi itu semua
belum cukup untuk menyamai negara yang satu ini. bahkan Amerika,
Negara-negara timur tengah serta Uni Eropa-pun tak mampu menyamainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan inilah negara terkaya di planet bumi yang luput dari perhatian warga
bumi lainya. warga negara ini pastilah bangga jika mereka tahu. tapi
sayangnya mereka tidak sadar "berdiri di atas berlian" langsung saja
kita lihat profil negaranya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Wooww… Apa yang terjadi? apakah penulis (saya) salah? tapi dengan tegas
saya nyatakan bahwa negara itulah sebagai negara terkaya di dunia. tapi
bukankah negara itu sedang dalam kondisi terpuruk? hutang dimana-mana,
kemiskinan, korupsi yang meraja lela, kondisi moral bangsa yang kian
menurun serta masalah-masalah lain yang sedang menyelimuti negara itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
baiklah mari kita urai semuanya satu persatu sehingga kita bisa melihat kekayaan negara ini sesungguhnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
1. Negara ini punya pertambangan emas terbesar dengan kualitas emas terbaik di dunia. namanya PT Freeport.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Apa saja kandungan yang di tambang di Freeport? ketika pertambangan ini
dibuka hingga sekarang, pertambangan ini telah mengasilkan 7,3 JUTA ton
tembaga dan 724,7 JUTA ton emas. saya (penulis= suranegara) mencoba
meng-Uangkan jumlah tersebut dengan harga per gram emas sekarang, saya
anggap Rp. 300.000. dikali 724,7 JUTA ton emas/ 724.700.000.000.000 Gram
dikali Rp 300.000. = Rp.217.410.000.000.000.000.000 Rupiah!!!!! ada
yang bisa bantu saya cara baca nilai tersebut? itu hanya emas belum lagi
tembaga serta bahan mineral lain-nya. Seharusnya nama kota di sana itu
bukan Tembagapura tapi Emaspura.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Lalu siapa yang mengelola pertambangan ini? bukan negara ini tapi
AMERIKA! prosentasenya adalah 1% untuk negara pemilik tanah dan 99%
untuk amerika sebagai negara yang memiliki teknologi untuk melakukan
pertambangan disana. bahkan ketika emas dan tembaga disana mulai menipis
ternyata dibawah lapisan emas dan tembaga tepatnya di kedalaman 400
meter ditemukan kandungan mineral yang harganya 100 kali lebih mahal
dari pada emas, ya.. dialah URANIUM! bahan baku pembuatan bahan bakar
nuklir itu ditemukan disana. belum jelas jumlah kandungan uranium yang
ditemukan disana, tapi kabar terakhir yang beredar menurut para ahli
kandungan uranium disana cukup untuk membuat pembangkit listrik Nuklir
dengan tenaga yang dapat menerangi seluruh bumi hanya dengan kandungan
uranium disana. Freeport banyak berjasa bagi segelintir pejabat negeri
ini, para jenderal dan juga para politisi busuk, yang bisa menikmati
hidup dengan bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
2. Negara ini punya cadangan gas alam TERBESAR DI DUNIA! tepatnya di Blok Natuna.</div>
<div style="text-align: justify;">
Berapa kandungan gas di blok natuna? Blok Natuna D Alpha memiliki
cadangan gas hingga 202 TRILIUN kaki kubik!! dan masih banyak Blok-Blok
penghasil tambang dan minyak seperti Blok Cepu dll. DIKELOLA SIAPA?
EXXON MOBIL! dibantu sama Pertamina.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
3. Negara ini punya Hutan Tropis terbesar di dunia. hutan tropis ini
memiliki luas 39.549.447 Hektar, dengan keanekaragaman hayati dan
plasmanutfah terlengkap di dunia.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Letaknya di pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi dan. sebenarnya jika
negara ini menginginkan kiamat sangat mudah saja buat mereka. tebang
saja semua pohon di hutan itu makan bumi pasti kiamat. karena bumi ini
sangat tergantung sekali dengan hutan tropis ini untuk menjaga
keseimbangan iklim karena hutan hujan Amazon tak cukup kuat untuk
menyeimbangkan iklim bumi. dan sekarang mereka sedikit demi sediki telah
mengkancurkanya hanya untuk segelintir orang yang punya uang untuk
perkebunan dan lapangan Golf. sungguh sangat ironis sekali.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
4. Negara ini punya Lautan terluas di dunia. dikelilingi dua samudra,
yaitu Pasific dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan
yang tidak dimiliki negara lain.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Saking kaya-nya laut negara ini sampai-sampai negara lain pun ikut memanen ikan di lautan negara ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
5. Negara ini punya jumlah penduduk terbesar ke 4 didunia. dengan jumlah
penduduk segitu harusnya banyak orang-orang pintar yang telah
dihasilkan negara ini, tapi pemerintah menelantarkan mereka-mereka.
sebagai sifat manusia yang ingin bertahan hidup tentu saja mereka ingin
di hargai. jalan lainya adalah keluar dari negara ini dan memilih
membela negara lain yang bisa menganggap mereka dengan nilai yang
pantas.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
6. Negara ini memiliki tanah yang sangat subur. karena memiliki banyak
gunung berapi yang aktif menjadikan tanah di negara ini sangat subur
terlebih lagi negara ini dilintasi garis katulistiwa yang banyak
terdapat sinar matahari dan hujan.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Jika dibandingkan dengan negara-negara timur tengah yang memiliki minyak
yang sangat melimpah negara ini tentu saja jauh lebih kaya. coba kita
semua bayangkan karena hasil mineral itu tak bisa diperbaharui dengan
cepat. dan ketika seluruh minyak mereka telah habis maka mereka akan
menjadi negara yang miskin karena mereka tidak memiliki tanah sesubur
negara ini yang bisa ditanami apapun juga. bahkan tongkat kayu dan batu
jadi tanaman.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
7. Negara ini punya pemandangan yang sangat eksotis dan lagi-lagi tak
ada negara yang bisa menyamainya. dari puncak gunung hingga ke dasar
laut bisa kita temui di negara ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Negara ini sangat amat kaya sekali, tak ada bangsa atau negara lain sekaya INDONESIA! tapi apa yang terjadi?</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Untuk EXXON MOBIL OIL, FREEPORT, SHELL, PETRONAS dan semua PEJABAT
NEGARA yang menjual kekayaan Bangsa untuk keuntungan negara asing,
diucapkan TERIMA KASIH.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Dan untuk rasa terima kasih untuk Kemerdekaan Indonesia yang ke 67
tahun, kami pemuda-pemudi Indonesia memberikan penghargaan
sebesar-besarnya kepada pejuang yang telah mengorbankan darah dan air
mata mereka untuk bangsa ini</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Sumber : https://www.facebook.com/groups/entebe/permalink/722408461123742/</div>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-4664485760264241182014-03-05T14:21:00.004-08:002014-03-05T14:21:45.421-08:00KH.Maimoen Zoebair<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
KH. Maimoen Zubair:<br /> <br /> Jika manusia ingin berkembang ilmunya, maka
dia harus mau belajar dan membaca. Kemudian untuk mengetahui kualitas
keilmuannya, dirinya harus mau diuji. Karena dengan ujian atau ikhitibar
dapat menjadikan seseorang lebih spesifik dalam memahami suatu kajian
ilmiah dalam bidang tertentu. Dengan ikhtibar seseorang bisa mengetahui
seberapa besarkah kemampuan yang dia miliki. Sehingga, dari hasil
ujiannya ini dia dapat berkaca. Jika baik akan berusaha menambah
kebaikannya. Jika hasilnya buruk, maka akan berusaha untuk membenahinya.<br /> <br />
Tentang permasalahan ikhtibar atau ujian ini telah dicontohkan oleh
Nabi Khidir kepada Nabi Musa. Waktu itu, Nabi Musa ditanya oleh kaum
Bani Israil tentang siapa yang lebih alim? Nabi Musa menjawab bahwa
dirinyalah yang paling alim. Namun, jawaban Nabi Musa atas klaim untuk
dirinya ini mendapat teguran dari Allah. Allah berfirman kepadanya bahwa
Dia mempunyai hamba yang lebih alim dari pada Nabi Musa. Yaitu, Nabi
Khidir. Sehingga, hal ini mengharuskan Nabi Musa untuk berguru
kepadanya.<br /> <br /> Dalam berguru kepada Nabi Khidir, Nabi Musa diberi
suatu syarat yang harus dipenuhinya. Yaitu, Nabi Musa tidak boleh
berkomentar terhadap tindakan yang dilakukan oleh Nabi Khidir di saat
Nabi Musa menyertainya. Ternyata, Nabi Musa gagal dalam memenuhi syarat
yang telah ditentukan oleh Nabi Khidir.<br /> <br /> Nabi Musa gagal dalam
memenuhi syarat yang telah diinginkan oleh Nabi Khidir meskipun dalam
zahirnya Nabi Musa kelihatan lebih mulya dari pada Nabi Khidir. Memang
begitulah Allah. Terkadang menciptakan seseorang yang dilihat secara
zahirnya dia itu tidak mulya. Namun, secara batinnya dia adalah orang
yang mulia. Maka dari itu, hendaknya seseorang janganlah sombong dengan
sesuatu yang dia miliki. Sehingga, dirinya merasa paling baik.<br /> <br />
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa dengan Nabi
Khidir ini adalah pentingnya seseorang mempunyai dua ilmu. Yaitu, ilmu
Syariat dan ilmu Hakikat. Ilmu syariat sebagaimana yang telah diajarkan
oleh Nabi Musa. Sedangkan ilmu Hakikat sebagaimana yang telah diajarkan
oleh Nabi Khidir.<br /> Ilmu Hakikat ini cahayanya langsung dari Allah.
Jika kedua ilmu ini kumpul, maka inilah yang disebut dengan Majmaal
Bahrain, tempat berkumpulnya dua lautan. Yaitu, lautan Syariat dan
lautan Hakikat.<br /> <br /> Masalah ikhtibar juga pernah dicontohkan oleh
Imam as-Syafii ketika berguru dengan Imam Waki'. Kalau dilihat secara
nasab, Imam Syafii itu lebih mulia bila dibandingkan dengan Imam Waki'.
Imam Syafii masih keturunan bangsa Quraisy yang merupakan suatu kebilah
yang paling mulia. Sedangkan Imam Waki' hanyalah orang Ajam. Akan
tetapi, mengapa Imam Syafii mau mengadukan hikayahnya kepada Imam Waki'
padahal dirinya mempunyai guru utama. Yaitu, Imam Malik. Imam Syafii
berkata dalam Syairnya:<br /> <br /> شكوت الى وكيع سوء حفظ # فارشدنى الى ترك المعاصى<br /> فأخبرنى بـأن العلـم نـــــور # ونور الله لايعطى لعــاصى<br /> <br />
Tentang keinginan Imam Syafii berguru dengan Imam Waki' ini telah
mendapatkan komplain oleh keluarganya. Mengapa Imam Syafii yang masih
berdarah Quraisy mau berguru dengan orang yang bukan Quraisy? Akhirnya,
terjawablah kemusykilan keluarga Imam Syafii ketika dirinya beradu ilmu
dengan Imam Waki' dalam masalah ilmu Gramatika Arab. Imam Syafii
mengetahui Arab berdasarkan Habitatul Arab (lingkungan Arab). Sedangkan
Imam Waki' mengerti bahasa Arab itu berdasarkan kedalaman ilmunya
mengenai ilmu Gramatika Arab. Ketika melihat kehebatan Imam<br /> Waki' ini, keluarga Imam Syafii sudah tidak isykal lagi.<br /> <br />
Dari ceritanya Imam Syafii dengan Imam Waki' ini dapat diambil menjadi
sebuah pelajaran bahwa yang diutamakan dalam berguru adalah ke-alim-an,
bukan masalah nasab atau derajat yang lainnya. Buanglah kesombongan kita
ketika hendak belajar menuntut ilmu agama. Jangan lihat dengan siapa
engkau berguru. Apakah dengan orang yang derajatnya mulia atau tidak?
Yang terpenting adalah ilmu yang telah disampaikan oleh seorang guru
tadi. Ingatlah, meskipun bahasa Arab itu adalah milik orang Arab, akan
tetapi orang yang mengarangnya bukanlah orang Arab. Karangan ilmu nahwu
datangnya dari Imam Sibaweh yang bukan orang Arab.<br /> Kealiman
seseorang dijadikan sebagai pondasi utama. Inilah yang mengantarkan kita
untuk lebih mengenal Allah dan mendekati-Nya. Jangan lihat apakah dia
itu tamatan dari Makkah atau Yaman.<br /> <br /> Ketika Imam Ghazali berada
di daerah Tuz (suatu kawasan yang masuk daerah Uzbekistan), beliau
mengarang kitab yang terakhir dalam masa hayatnya. Yaitu, kitab Minhajul
Abidin. Kitab ini disyarahi oleh Mbah Ihsan Jampes dengan nama kitab
Sirajut Thalibin. Mbah Ihsan ini bukanlah orang Arab. Namun, dirinya
dapat mensyarahi kitab yang berliteratur Arab. Padahal untuk berbicara
bahasa Arab saja, Mbah Ihsan tidak bisa. Hal ini sebagaimana yang telah
disaksikan oleh Syaikhina Maimoen Zubair ketika masih kecil yang pernah
diajak oleh kiai Zubair untuk sowan kepada Mbah Ihsan. Inilah kedalaman
Mbah Ihsan dalam masalah ilmu agamanya. Inilah kealiman Mbah Ihsan yang
telah mengikuti jejaj-jejak ulama salaf.<br /> <br /> Amirul Ulum<br /> Sarang, 11 Januari 2013.<br />
Catatan: artikel ini disarikan dari ceramah Syaikhina Maimoen Zubair
pada saat ada acara persiapan Ikhtibar I Muhadloroh PP. Al-Anwar tahun
ajaran 1434.<br /> (Sumber: Mas Ustadz <a class="profileLink" data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=100001248845371" href="https://www.facebook.com/BAGGIOJEPORO">Ahmad Sudrajat</a>).<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgm8-uhXj8VT-BYCWOYtktYFsTgCl-OAeXwgFFxxPU_-KJN-Ymy6w8VbEpEssFPnjTSTmLTsKiqL9MDj9FhJQb92D8oI1dKt5dVf62MV_I7KFKvu_FfQTsNDD4T7mms3880hGOfamBWeSrG/s1600/KH.Maimoen+Zoebair..jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="KH.Maimoen Zoebair" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgm8-uhXj8VT-BYCWOYtktYFsTgCl-OAeXwgFFxxPU_-KJN-Ymy6w8VbEpEssFPnjTSTmLTsKiqL9MDj9FhJQb92D8oI1dKt5dVf62MV_I7KFKvu_FfQTsNDD4T7mms3880hGOfamBWeSrG/s1600/KH.Maimoen+Zoebair..jpg" height="320" title="KH.Maimoen Zoebair" width="297" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">KH.Maimoen Zoebair</td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-49770389105170104852014-03-03T16:25:00.003-08:002014-03-03T16:25:34.484-08:00Oleh:Hendrajit,Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
"Islam Salafi/Wahabi Alat Pecah Belah Rusia dan Islam"<br /> <br /> Penulis : <a class="profileLink" data-hovercard="/ajax/hovercard/user.php?id=794904160" href="https://www.facebook.com/mas.hendrajit">Mas Hendrajit</a>, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) <br /> <br />
Islam Salafi/Wahabi yang melekat dengan Kerajaan Arab Saudi sejak awal
berdirinya, selalu dijadikan garda depan dalam menjalankan Politik Belah
Bambu di negara-negara berpenduduk Islam. Negara Adidaya Rusia dengan
20 juta umat Islam atau 20 persen dari seluruh penduduk Rusia yang
berjumlah 142 juta, nampaknya juga telah menjadi sasaran politik belah
bambu ala Amerika dan Israel.<br /> <br /> Arab Saudi, Islam Salafi, dan RENCANA ODED YINON<br /> <br />
Aspek penting yang mencuat dari aksi teror di Volgograd-Rusia Akhir
2013 lalu, adalah keterlibatan kelompok Islam radikal Chechnya yang
mendapat dukungan penuh dari kelompok Wahabi yang berbasis di Arab
Saudi. Bagi kita di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
hal ini merupakan perkembangan yang cukup memprihatinkan.<br /> <br />
Karena dengan demikian, terkesan Islam bukan merupakan agama yang damai
dan penuh toleransi. Melainkan agama yang mendukung tindakan kekerasan,
aksi bersenjata dan bahkan aksi teror. Seraya pada saat yang sama, aksi
teror Volgograd bertujuan menciptakan suasana yang tidak harmonis antara
Pemerintah Rusia pimpinan Presiden Vladimir Putin dan komunitas Islam
di Rusia, maupun antara Rusia dengan negara-negara Islam di seluruh
dunia.<br /> <br /> Kasus aksi teror di Volgograd membuktikan adanya upaya
untuk menjatuhkan kredibilitas Islam sebagai agama pembawa perdamaian
dan rasa toleransi kepada umat manusia di seluruh dunia. Dan pada saat
yang sama, mengupayakan adanya konflik atau benturan antara Pemerintah
Federal Rusia dengan para pimpinan elit politik di beberapa wilayah
berpenduduk mayoritas Islam di wilayah-wilayah yang berada dalam
kedaulatan Rusia. Antara lain, Chechnya. Pertanyaannya adalah, siapa
yang memainkan peran aktif untuk menjatuhkan kredibilitas Islam seraya
mengadu-domba antara Pemerintah Rusia dan umat Islam di negri Beruang
Merah tersebut?<br /> <br /> Nampaknya, kita harus kembali merujuk pada
RENCANA ODED YINON, strategi yang digunakan Israel dan negara manapun
yang memandang perkembangan Islam sebagai sebuah ancaman, untuk
menciptakan konflik di dalam tubuh umat Islam atau organisasi-organisasi
Islam, dengan menggunakan Islam berhaluan Salafi/Wahabi yang berhaluan
keras dan radikal, sebagai pion yang dimainkan untuk menerapkan skema
dan skenario permainan Israel tersebut.<br /> <br /> Mengapa Amerika dan
Israel kemudian ikut terlibat dan bahkan berperang sebagai dalang utama
skema ODED YINON tersebut? Untuk menerapkan taktik menciptakan konflik
internal di dalam tubuh umat Islam untuk berkelahi satu sama lain, maka
Israel tidak mungkin bermain sendiri. Perlu dukungan strategis dari
Amerika. Karena Amerika kemudian terlibat dalam Skema Oded Yinon, maka
kemudian negara Paman Sam ini melibatkan Arab Saudi, negara satelit
buatan Amerika dan Inggris sejak 1922, sebagai benteng sekaligus basis
kekuatan Amerika dan Inggris di kawasan Timur Tengah.<br /> <br /> Di
sinilah, kemudian Islam berhaluan Salafi/Wahabi kemudian menjadi
instrument ideologis/teologis yang dimainkan AS dan Israel, untuk
memecah-belah soliditas umat Islam di kawasan Timur Tengah dan bahkan
dunia internasional. Sebab Islam Salafi atau Wahabi sudah melekat dengan
haluan keislaman Kerajaan Arab Saudi. Karena sejak awal berdirinya Arab
Saudi yang direstui Amerika dan Inggris, Dinasti Saud kemudian
berkolaborasi dengan Abdul Wahab, yang menganut garis Islam radikal
sehingga kemudian Arab Saudi hingga sekarang menganut paham Islam
Wahabi.<br /> <br /> Alhasil, dalam setiap fenomena adanya Islamisasi
negara-negara di kawasan Asia dan Afrika atau yang di Indoensia kerap
disebut Arabisasi Islam atau Ekspor Islam Arab, sejatinya merupakan
manuver kelompok atau jaringan Islam berhaluan Wahabi atau pada konteks
yang lebih luas disebut Islam Salafi.<br /> <br /> Alhasil, oleh Amerika dan
Israel, Arab Saudi kemudian ditetapkan sebagai garda terdepan/Frontline
state dalam memuluskan rencana ODED YINON. Dan gerakan salafi yang "tak
sadar telah dimainkan oleh Israel" menjadi boneka-boneka oded yinon
dengan dalih pemurnian akidah islam menghantam gerakan Islam baik dari
kalangan Mahzab ahlu sunnah wal jamaah (di Indonesia, Nahdlatul
Ulama/NU) maupun madzhab Syiah.<br /> <br /> Dalam kasus Indonesia, gerakan
Islam Salafi/Wahabi ini selalu berbenturan dengan komunitas Islam
tradisional Nahdlatul Ulama yang menganut Mahzab ahlu sunnah wal jamaah
yang notabene merupakan mahzab yang dianut mayoritas umat Islam di
Indonesia. NU sebagai representasi dari umat Islam Indonesia yang
bersenyawa dengan budaya nusantara dan lebih mengutamakan aspek
spiritualitas atau kedalaman batin dari agama daripada Islam sebagai
ideologi, sangat menentang keras proses Arabisasi Islam di Indonesia
yang berdalih untuk memunrnikan ajaran Islam sesuai ajaran Nabi
Mohammad.<br /> <br /> Meskipun penganut mahzab Wahabi/Salafi di Indonesia
masih relatif kecil, namun watak agresif dan militan kelompok ini
dipandang sebagai ancaman nyata karena berpotensi bisa menghancurkan
kredibilitas Islam ala Indonesia yang bersifat damai dan penuh tolerasi
baik kepada agama-agama lain maupun terhadap aneka ragama mahzab dan
tradisi di dalam tubuh umat Islam Indonesia itu sendiri.<br /> <br />
Karenanya, adanya fenomena keterlibatan kelompok-kelompok Islam radikal
yang terkait dengan gerakan separatisme Chechnya di Rusia, sudah barang
tentu amat memprihatinkan bagi berbagai elemen masyarakat di Indonesia,
termasuk Global Future Institute.<br /> <br /> Apalagi dalam beberapa
tulisan kami terdahulu, terungkap bahwa kebijakan strategis pemerintahan
Presiden Putin terhadap umat Islam di Rusia pada dasarnya sangat
kooperatif dengan merangkul semua elemen-elemen strategis Islam dalam
rangka bersatunya Rusia sebagai negara berdaulat.<br /> <br /> Kebijakan Pro Islam Putin di Rusia<br /> <br />
Merangkul dan mendukung Islam di Rusia, berarti perdamian. nampaknya
itulah yang menjadi pedoman politik Presiden Putin dalam memberi arah
kebijakan strategis dalam merangkul Islam di Rusia.<br /> <br /> Terlepas
fakta bahwa kelompok gerakan separatisme Islam Chechnya yang bermaksud
memisahkan diri dari Republik Federasi Rusia ternyata didukung secara
diam-diam oleh Inter Service Intelligence (ISI), badan Intelijen
Pakistan yang sudah bersekutu cukup lama dengan badan intelijen Amerika
CIA sejak perang dingin hingga kini, Putin nampaknya tidak kehilangan
akal sehatnya untuk menyadari bahwa warga muslim Rusia saat ini
berjumlah 20 juta orang atau 15% dari sekitar 142 juta orang Rusia.
Suatu jumlah yang cukup besar, bahkan untuk keberadaan sebuah negara
bangsa sekalipun.<br /> <br /> Maklum, sejak bubarnya Uni Soviet, Islam
menjadi agama kedua terbesar di Rusia, dan menjadi agama yang terpesat
pertumbuhannya di Rusia, bahkan lebih pesat dibandingkan di Eropa.
Sekadar informasi, Islam di Rusia telah ada sejak kurun waktu yang cukup
lama. Pengaruhnya tidak saja terlihat dalam perkembangan keagamaan,
melainkan juga dalam bidang sosial budaya dan perpolitikan.<br /> <br />
Islam di Rusia sejak abad ke 7 menyebar di jazirah Rusia. Komunitas
Muslim terkonsentrasi di daerah antara Laut Hitam dan Laut Kaspia dan di
beberapa negara federasi, serta sejumlah kota seperti Samara, Nyzny
Novgorod, Tyumen, dan St Petersburg. Sedangkan sebagian besar penduduk
tersebar di daerah sekitar Sungai Volga (Tartastan), pegunungan Ural,
beberapa wilayah Siberia dan Kaukasus Utara.<br /> <br /> Dan satu lagi catatan penting, di Rusia hingga kini ada lebih dari 4000 masjid.<br /> <br />
Bisa dimengerti jika Putin dan para penentu kebijakan Rusia, kemudian
menempuh sebuah langkah yang cukup strategis, yaitu melakukan kebijakan
pro-Islam seperti mendukung pengembangan tempat ibadah dan pendidikan
Islam di Rusia.<br /> <br /> Bukan itu saja. Di tingkat dunia internasional,
Putin mencetuskan gagasan bahwa Rusia harus ikut serta dalam kegiatan
Organisasi Konferensi Negara-negara Islam (OKI), sekalipun hanya sebagai
peninjau. Dan perjuangan tersebut akhirnya berhasil terwujud dengan
diterimanya Rusia sebagai peninjau tetap pada pertemuan Organisasi
Konferensi Islam di Kuala Lumpur Malaysia pada 2003 lalu. Dan yang cukup
membanggakan, Putin sendiri hadir pada momen bersejarah tersebut.<br /> <br />
Melihat kenyataan tersebut, bisa dimengerti jika ada beberapa kalangan
di dalam negeri Rusia dan bahkan di Chechnya itu sendiri, yang justru
memandang positif keberhasilan Putin menumpas gerakan separatis Islam
ala Al-Qaeda dan Taliban. Karena itu berarti momentum bagi warga muslim
Rusia untuk diperhitungkan Putin sebagai salah satu kekuatan pemersatu
yang cukup penting bagi Republik Rusia Bersatu. Bahkan di Chechnya,
Putin telah mengondisikan agar warga muslim menjadi kekuatan utama yang
menyatukan masyarakat Chechnya.<br /> <br /> Kenyataan ini nampaknya bukan
sekadar angan-angan. Karena disamping Chechnya, Putin sebagai pemimpin
tertinggi Republi Federasi Rusia agaknya sadar betul bahwa Hingga kini
terdapat sembilan republik Islam dalam naungan negara Federasi Rusia,
yaitu Adegia, Bashkortastan, Dagestan, Ingushetia, Kabardino-Balkariya,
Karachaevo-Cherkhesia, Osetia Utara (sekalipun di daerah ini juga
bermukim umat Kristiani), Tatarstan, dan Chechnya. Baik di Rusia maupun
di negara-negara yang mengitarinya (eks Uni Soviet) kini tercatat lebih
dari 6.000 perkumpulan Islam yang aktif.<br /> <br /> Menyadari kenyataan
ini, wajar jika Putin membuat kebijakan pro Islam dengan melibatkan
mereka dalam berbagai kegiatan nasional Rusia sehingga kaum muslim Rusia
merasa memiliki peran penting seperti saudaranya, etnis Rusa, dalam
pembangunan negeri warisan Tsar tersebut.<br /> <br /> Pertimbangan Putin ya
itu tadi, mendukung dan mengakomodasi aspirasi dan kepentingan warga
Muslim Rusia berarti menciptakan perdamaian.<br /> <br /> Bisa kita
simpulkan, kesan adanya keterlibatan Islam dalam gerakan separatism
Chechnya hakekatnya merupakan aksi sekelompok orang yang tergabung dalam
“Kelompok-Kelompok Islam jadi-jadian” yang tidak mencerminkan kondisi
sesungguhnya kondisi umat Islam di Rusia yang pada kenyataannya tetap
harmonis dengan mayoritas penduduk Rusia yang menganut agama Kristen
Ortodoks.</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-30349052634282243842014-02-28T04:29:00.001-08:002014-02-28T04:29:06.799-08:00Sajak Gunawan Budi Santoso (Kang Putu)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
SAJAK BIJAK SOAL KEBIJAKSANAAN<br /> <br /> kebijaksanaan hari ini<br /> : pijak sana pijak sini.<br /> <br /> kebijakan sang penguasa<br /> : injak siapa saja, injak sampai mati.<br /> <br /> dan begitulah<br /> apa pun menjadi bisa dan boleh dilakukan<br /> sambil mengucap mengabdi pada ibu pertiwi<br /> tak lupa menjual segala kekayaan negeri ini<br /> pada korporasi maharaksasa<br /> dari dunia lain di bumi<br /> <br /> kalau ada yang melawan<br /> bungkam dengan segala cara<br /> tak perlu ragu mengenyahkan mereka<br /> jika perlu: culik, bunuh, dan perkosa<br /> <br /> itulah pelajaran berharga<br /> dari rezim satu ke rezim berikutnya<br /> sembari bilang merdeka<br /> terus saja menggadaikan negara<br /> pada para baginda dari negeri manca<br /> <br /> serukan saja: merdeka, merdeka aku yang punya!<br /> <br /> Gebyog, 28 Februari 2014: 16.16<br />
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhb_Hi4R5Sw2YNmJPCIC7YQQ59UXe7auYT5ZT-2UvXHm_Eng5ZBTYwcr-FBnRNbUIYDwoabLwhbSXdt9mdTxSsVbToUIpD4dlLfno9jNYl5WKQ8wMCj5I3zSdwfMBHg1_87U3yIMGPCu-pl/s1600/Kang+Putu.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="Gunawan Budi Santoso" border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhb_Hi4R5Sw2YNmJPCIC7YQQ59UXe7auYT5ZT-2UvXHm_Eng5ZBTYwcr-FBnRNbUIYDwoabLwhbSXdt9mdTxSsVbToUIpD4dlLfno9jNYl5WKQ8wMCj5I3zSdwfMBHg1_87U3yIMGPCu-pl/s1600/Kang+Putu.jpg" height="240" title="Gunawan Budi Santoso" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gunawan Budi Santoso</td></tr>
</tbody></table>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1931954109952994171.post-90298839716963991402014-02-25T01:31:00.002-08:002014-02-25T01:31:09.816-08:00Oleh:J Kristiadi<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span class="hasCaption"><br /></span>
<div class="text_exposed_root text_exposed" id="id_530c5e86164879065385175">
INGAR-bingar
elite politik dalam kenduri akbar yang saling berebut kekuasaan
menjelang Pemilu 2014 tidak pernah menyurutkan semangat melemahkan
lembaga-lembaga yang dianggap dapat membendung hasrat dan ambisi eksesif
mereka meraih kekuasaan. Beberapa peristiwa akhir-akhir ini mempertegas
niat tersebut.<br /> <br /> Pertama, hasrat memandulkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tajuk penyempurnaan UU KUHP. Un<span class="text_exposed_show">tuk
mewujudkan tekad itu, disusupkan beberapa pasal yang menghilangkan
ketentuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, penghapusan
penyelidikan, perizinan, pengaturan penahanan, serta penyidikan, dan
sebagainya. Dengan harapan, mereka makin leluasa menjarah kekayaan
negara. Ketentuan-ketentuan tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja
institusi yang selama ini berhasil membuat koruptor belingsatan dan
jungkir balik, mencoba lolos dari ancaman penjara. Dorongan nafsu
menguras kekayaan negara mengabaikan keresahan publik dan masukan KPK
sebagai pengguna UU itu.<br /> <br /> Kedua, memperkuat cengkeraman kuku
kekuasaan kepentingan di Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang seharusnya
independen dan sangat bermartabat tersebut kini menjadi ajang perebutan
pengaruh politik. Lebih tragis lagi, MK mengabulkan uji konstitusi UU
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi yang semangatnya ingin
menyelamatkan MK. Ketentuan dalam UU yang diharapkan dapat membebaskan
MK dari intervensi kepentingan politik, yakni tidak menjadi anggota
partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum
diajukan sebagai calon hakim konstitusi, dibatalkan MK dengan dalih
membela hak asasi dan hak konstitusional anggota parpol. Kasus skandal
korupsi akbar Akil Mochtar tidak berarti semua anggota parpol
berkelakuan buruk.<br /> <br /> (J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS.)</span></div>
</div>
<div class="blogger-post-footer">Cerpen Puisi Catatan </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/01544231601920318435noreply@blogger.com0