Daftar Blog Saya

Jumat, 31 Mei 2013

Puisi Janat Tajri

Kebanyakan orang memasang harga
aku heran bagaimana mereka bisa tidur di malama hari
jika harga lebih di utamakan dari kejujuran
bagaimana tingginya tumit sepatu mereka yang sesungguhnya tak membuat mereka nyaman
atau mungkin bagaimana tebal jas-jas mereka yang sesungguhnya membuat tubuh mereka kepanasan di musim panas...

berhentilah sejenak,,,
coba mainkan music
tentu bukan music patah hati atau mungkin music kemalasan
segera putar lagu-lagu pendobrak
buat dunia berdansa
buat dunia penuh makna

bukan!
ini bukan tentang uang
kita tak bicarakan tetang uang
kami tak butuh uangmu saat ini
ini tentang cinta
ini tentang kekasih berwujud nada

hentikan sejenak ambisi tentang harga
tentang uang
tentang kejayan diri
tentang kekuasaan

coba pegang erat tanganku
bernyanyilah bersama para sobat
pasti tidurmu malam ini lebih tenang
atau siangmua hari ini lebih membiru dan cerah
lupakan kepenatan
lepaskan sepatu tinggimu
lepaskan jas tebalmu
ini saatnya ,,,bebaskan diri kita....

Kamis, 30 Mei 2013

Sajak Emha Ainun Najib

Sudah Kubuang-buang

SUDAH kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir

Sajakku beranak-pinak
Dikungkung tuhan sendirian
Perih cintaku berteriak-teriak
Takut ditolak keabadian

Sudah kubuang-buang tuhan
Sudah kulupa-lupakan
Sampai ingat dan lupa
Lenyap jaraknya

Sampai tahu tak atau menjelma
Baginya tak beda
Sampai gugur mainan ada tiada
Yang menghimpitku di tengahnya

Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja tuhan
Makin saja Tuhan

Puisi Anwar Sanuji

GELOJOH

Cuma angka angka yang ada di batok kepala
Selebihnya tiada guna
Tak peduli atas,tengah,bahkan bawah
Gelojoh tetap menggerayah dan merayah

Hai,sebetulnya kamu ini apa?
Disebut manusia lagak perangaimu seperti fauna
Disebut fauna wujud nyatamu manusia
Hai,sebetulnya kamu ini apa?

Gelojoh tidak pernah loyo
Di surau surau dia menjelma ngengat menjelma rayap
Menggerogoti mengerokoti dengan lahap
Gelojoh sangat telaten hingga menjadikanya laten

Gelojoh.Jangan anggapa kami bodoh
Kami ini manusia karenamu menderita
Jangan tanya.Disebelum palu arit terangkat
Lebih baik kau minggat.

Rabu, 29 Mei 2013

Puisi Bungalan Banyu

KENANGAN BAPAK

I

Usiaku terlambat memahami
Kasihmu kerapkali kutolak, karena kuanggap sedang membujuk
Tak pernah berpura-pura untuk dihormati
Tak suka berbasa-basi hanya untuk menunjukkan engkau benar

Aku pernah terjatuh, Bapak, dan engkau mengangkatku
Delapan belas tahun hangat pelukanmu tetap membara
Aku adalah puteri, permatamu - katamu berulangkali
Aku tersenyum mengingat...
Dan rasanya sakit, harus mengenang betapa hebat
pengaruh kasih dan ajaran di usia kanak-kanak dan remaja

Sebagai perempuan, katamu, aku harus lebih kuat,
Berlari lebih kencang, berpikir lebih tangkas
Katamu, aku mungkin lemah, tetapi sebenarnya istimewa, kuat
tak terkalahkan siapa pun

Benarkah? Kusadari, keistimewaan itu selalu hidup
dalam pertarungan nasib, perjodohan, bahkan rezeki
Puteri kesayanganmu telah dewasa, Bapak
Dan aku seperti anak kecil menemukan sejumlah keasyikan
yang ditanamkan tanpa tersadari
Aku merindukan tatapan mata kuat,
kharismatik, meredam kegundahan
Aku rindukan getar suara tanpa pretensi membelenggu,
tetapi membebaskan pikiran dan jiwa

II

Wajah itu terbayang dalam derai air hujan
Wajah itu tersembunyi dalam langkah kaki-kaki kecil malam
Wajah mereka-reka, timbul tenggelam menyapa tanpa kata
Wajah diam di ujung waktu dan malam

Bapak, kusebut namamu tiap kali aku terjatuh
Menganyam kenangan lama bermanja-manja
Merajuk didongengkan cerita lama tentang keluarga
Merangkai kembali ceceran kisah, teledor kugenggam berlama-lama

Kuingin jujur, Bapak bagiku pahlawan
Walaupun sering ada ketegangan, perselisihan
Tersenyum, ketulusan memahami
Dengan kesejukan, bukan kekakuan
Lebih sering berbagi soal masa remaja denganmu
Bebas berekspresi, tak pernah kau larang, hanya sesekali disentil
Selalu hadir di saat luka dan senangku

III

Engkau adalah pahlawanku, Bapak
Dunia pertama lelaki yang kukenal
Dunia keras yang mengelilingi
Engkau tandai bagian hidupku sebagai perempuan,
bagaimana menggambar nasib, menantang dunia
Kau ajarkan menata kelembutan jadi kekuatan
Menjaga hati tetap kokoh tak tertandingi bisikan sesat

Jika, engkau ada di sisiku sekarang,
aku hanya ingin berkata:
"Engkau besar di mataku, karena kesederhanaan,
kejujuran dan kepedulian memahami cara berpikirku."

Kutelusuri lorong waktu
jejak perjalanan, hanya untuk menandai
kapan berhenti temukan pengganti dirimu

Kenangan Bapak, 3 Mei 2013

Puisi A.Mustofa Bisri (Gus Mus)



HANIEN*

mestinya malam ini
bisa sangat istimewa
seperti dalam mimpi-mimpiku selama ini

kekasih, jemputlah aku
kekasih, sambutlah aku

aku akan menceritakan kerinduanku
dengan kata-kata biasa
dan kau cukup tersenyum memahami deritaku
lalu kuletakkan kepalaku yang penat
di haribaanmu yang hangat

kekasih, tetaplah di sisiku
kekasih, tataplah mataku

tapi seperti biasa
sekian banyak yang ingin kukatakan tak terkatakan
sekian banyak yang ingin kuadukan
diambil alih oleh airmataku

kekasih, dengarlah dadaku
kekasih, bacalah airmataku

malam ini belum juga
seperti mimpi-mimpiku
selama ini
malam ini
lagi-lagi kau biarkan sepi
mewakilimu.

Rembang, 1999.

Selasa, 28 Mei 2013

Puisi Anwar Sanuji

PUISI BALASAN

Ketika semua kata merayap

Senyap dan diam-diam kupahat

Wajahmu tambat di hati

Pun di jiwaku

Dan

Ketika bahasa tak lagi percaya kepada kata

Apakah yang masih bisa kita ucapkan?

:cinta

Dan ketika wajahmu tak lagi

Menampakkan kening,

Mata

Hidung

Mulut

Apakah yang masih bisa untuk ku kecup?

:doa

Puisi Anwar Sanuji

untuk Ahmad Safi'i.

PUISI PERKAWINAN

Di ikat dalam janji suci
Menyatupadukan dua qolbi
Searah setujuan berkelindan
Di atas bumi yang bernama dunia;terentang
Di lembaran anyar bentar terpapar
Perkawinan adalah kanfas
Yang menunggu harus di lukisi
Untuk elok dengan warni warna
:menyala

Sujilah
Tekatlah
Sulamlah
Cindai yang kau sematkan
Hiasilah dengan manik manikam

Di lembaran yang masih kusam
Mereka menunngumu untuk persemaian.

Puisi Anwar Sanuji

TENANGLAH SAYANG

Jalani hidup
tenang-tenang tenanglah seperti karang
Sebab persoalan bagai gelombang
Tenang-tenang tenanglah sayang

Tak pernah malas
Persoalan yang datang hantam kita
Dan kita tak mungkin untuk menghindar
Semuanya sudah suratan

Ohhh..
Matahari masih setia menyinari rumah kita
Takan berhenti
Takan berhenti
Menghangati hati kita

Sampai tanah ini inginkan kita kembali
Sampai kejenuhan mampu merobek-robek hati ini

Sebentar saja
Aku pergi meninggalkan pembelah langit
Punguti bintang untuk kita jadikan hiasan

Berlomba kita dengan sang waktu
Jenuhkah kita jawab sang waktu
Bangkitlah kita tunggu sang waktu
Tenanglah kita jawab sang waktu

Seperti karang
Tenanglah

Senin, 27 Mei 2013

Sajak Chairil Anwar

Doa
Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling

Buah karya Chairil Anwar, 1943

Minggu, 26 Mei 2013

Puisi Anwar Sanuji

KANDAS

ada saat mulai resah meluap luap
berpaut dengan getaran hati
menggebu gebu mengharu biru

dilangkahkanya kaki dengan gontai;berjalan
menemuinya di tidur malam
di dalam ruangan berdinding berhijab kelam

ditemuinya,ditawarkanya rasa
berapa banyak kau minta?hanya diam
jangan kau paksa dia memunguti kelam yang suram dengan hanya diam

semua dia telah sudah pendam
sepadan dengan apa yang dirasakan
jangan kau paksa dia memunguti kelam yang suram dengan hanya diam

mengapa ini terjadi
siapa yang membisiki
hingga semuanya terurai burai?

apakah hanya kerna merasa iri?
melihat tempayan tempayan yang telah di isi terisi
apakah hanya kerna merasa iri?

hati tlah menemu sukar untuk sejenak sadar
tergelepar dan tercabar hambar
dipelataran tempatnya melukis dan menggambar

mengapa ini terjadi
siapa yang membisiki
hingga semua terurai burai?

sadar,mulai sadar
semua ini tak mungkin dia kejar
berjalanlah sambil belajar menggambar

masih hanya diam
dan olehnya terpendam
di tidur malam.

Sajak W.S. Rendra

SAJAK ORANG KEPANASAN

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu

Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu

Karena kami terlantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu.

Sabtu, 25 Mei 2013

Puisi Gus Mus

BILA SENJA
~ Gus Mus ~

Bila senja kesetiaan yang sayu
Semakin tak berdaya
Melawan dendam malam
Engkau bawa aku kedalam
Pembaringan kepasrahan
Dan Kau selimuti aku
Dengan harapan
Cerah pagi.
Tapi mimpi-mimpi
Yang berututan
Masih datang pergi
Menyesatkan
Arah sujudku
Maka gamitlah
O, gamitlah tanganku
Cuma damai yang kumau
Kini Cuma Kau.

Puisi Anwar Sanuji

NYANYIAN MUSIM KEMARAU PANJANG

Biarlah kita menikmati musim kemarau panjang ini seorang diri.Biarlah.
Mereka tidak akan sanggup melihat daun daun berguguran,terik yang berarti,tumbuh tumbuhan yang mati,hewan hewan kehausan mencari minum kesana kemari.
Mereka tidak akan sanggup.Biarlah kita menikmati musim kemarau panjang ini seorang diri.

Jangan kita mengharap hujan.Jangan!
Hujan akan datang dengan sendiri setelah kemarau pergi.Membasahi,menumbuhkan,menghijaukan,menyuburkan,menghasilkan.
Mari kita ambil gubang tempayan yang sudah dia sediakan air.Berikanlah air itu kapada burung burung kemarau yang kehausan.Biar bisa terbang tak tertanggungkan;mengabarkan kapan tiba akan segera turun hujan.

Hujan akan merindukan kemarau panjang.

Puisi Sitok Srengenge


ONOMATOPE

Aku ingin meniru
bunyi-bunyi purbamu
gaung dari balik gaun

Huruf mati dan hidup
tak pernah cukup

Tapi kita, katamu, mengerti
bahwa tak hanya hati
punya cara bercakap
dengan senyap

Bahkan puisi pamflet
paling cerewet
butuh sunyi
spasi

Apalah kata
ketika kita
tak ada

Apalah kita
andai kata
tak ada

Kita
kata
hanya anasir
wahana tafsir

Aku takjub
pada degup
segala yang luput
dari sekap sebut
sebelum lenyap

Yang bermakna
walau tak bernama
tak terjangkau
seperti kau

1987

Jumat, 24 Mei 2013

Catatan Kelana Delapan Penjuru Angin


ADAKAH MAKHLUK LAIN SELAIN KITA /UFO / SETI / ALIEN ?

Jangan merasa PD bahwa kita manusia hidup sendiri,
Jangan menganggap bila Tuhan hanya menciptakan satu makhluk saja dan kehidupannya,yakni hanya berupa manusia dan satu alam dunia saja.

Ternyata Tuhan juga menciptakan makhluk-makhluk hidup dan alam lainnya.

Sebagaimana Tuhan menciptakan manusia dan alamnya serta kehidupannya,maka Tuhan juga menciptakan Malaikat berikut alamnya dan kehidupannya.
Juga ada makhluk Jin,Iblis dan alamnya beserta kehidupannya.
Juga ada makhluk hewan berikut alamnya beserta kehidupannya.
Dan juga ada tumbuhan beserta alamnya beserta kehidupannya.,
Serta ada makhluk halus berikut alamnya beserta kehidupannya..

Maka sebagaimanaTuhan menyempurnakan Kalimat-Nya (kitab-Nya),yang terakhir dalam Al-Qur’an yang mengandung lebih dari 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) huruf),

Demikianpula setidaknya kita dapat meyakini bahwa makhluk beserta alam dan kehidupan yang Tuhan ciptakan juga tentu lebih dari 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuhribu) jenis makhluk,alamnya berikut kehidupannya.

Di dalam hamparan alam semesta angkasa raya dengan jumlah planet,Galaxy serta bintang-bintang yang jumlahnya lebih dari bilyund an ini,maka kita tak sendirian.


MAKHLUK ANGKASA LUAR / UFO / SETI  / ALIEN ?
ADA!

Al-Qur’an dengan nyata menyebutkannya,diantaranya :

(QS An-Nahl:8).
(QS Asy-Syuura:29)
(QS An-Nahl:49)

UFO=UNIDENTIFIED FLYNG OBJECT,
(Benda/makhlukangkasa yang tak teridentifikasi)

Al-Qur'an telah jelas mengisyaratkan adanya makhluk angkasa luar tsb,

Al-Qur'an menyebutnya :

MLT= Makhluqoti Ma Laa Ta'lamuun .
(Makhluk ciptaan selain kita yg tak/belum kita ketahui )


Kini para ilmuwan dunia mengakui kebenaran informasi dalam Al-Qur’an tersebut yang memicu dilakukannya terus menerus penyelidikan,pengkajian serta explorasi-ekplorasi kehidupan lain di tempat lain angkasa raya.

Bahkan secara matematis oleh Prof. Frank Drake di tahun 1960-an telah menyusun rumus  SETI (Search of Extra TerrestrialInteligence/Pencarian Kehidupan yang cerdas di luar Bumi) di Green Bank,Virginia Barat.

Ini hasil rumus tentang adanya kehidupan lain selain manusia :

N = R* × fp × ne × fl × fi × fc × L

-N jumlah peradaban di dalam galaksi kita, yang memungkinkan kita bisa melakukan kontak.;
-R* =rasio pembentukan bintang di dalam galaksi kita
-fp =fraksi dari bintang-bintang yang mempunyai planet
-ne =rata-rata jumlah planet yang berpotensi punya penunjang hidup per-bintang(yang mempunyai planet)
-fl =fraksi dari yang di atas dimana ada kehidupannya berkembang
-fi =fraksi dari yang di atas dimana kehidupannya mengembangkan kecerdasan
-fc =fraksi dari peradabaan yang mengembangkan teknologi, yang bisa mengirimkan sinyal tentang keberadaannya, ke luar angkasa
-L =rentang waktu peradaban tersebut untuk mengirimkan sinyal ke luar angkasa.

Pada tahun 1961, Prof. Drake mempergunakan pendekatan angka-angka sebagai berikut:

R* = 10/tahun (10 bintang terbentuk dalam setahun)
fp = 0.5 (setengah dari setiap bintang terbentuk punya planet)
ne = 2 (2 planet per bintang memungkinkan adanya kehidupan)
fl = 1 (100% dari setiap planet mengembangkan kehidupan)
fi = 0.01 (1% dari setiap kehidupan mengembangkan kecerdasan)
fc = 0.01 (1% yang bisa berkomunikasi)
L = 10000 tahun (hanya bisa terjadi komunikasi setelah 10000 tahun, setelah sinyal dikirimkan)
Maka N = 10 × 0.5 × 2 × 1 × 0.01 × 0.01 × 10,000 = 10.

Sehingga diketemukan, ada 10 object statistik peradaban lain di luar sana dengan asumsi perhitungan pada 10.000 bintang.
(Bayangkan di angkasa luar sana terdapat lebih dari bilyund an bintang)


Dengan pengetahuan penuh bahwa mereka semua makhluk yang telah diciptakan oleh-Nya,sesungguhnya semua diperintahkan untuk mengabdi kepada-Nya,....
Maka,jika kita sebagai manusia yang diharapkan Tuhan sebagai makhluk yang dimuliakan-Nya tetapi tidak mau mengabdi kepada-Nya,sungguh kita adalah makhluk yang lebih hina dari mereka...

Salam MLT,

Kamis, 23 Mei 2013

Puisi Chairil Anwar

Chairil Anwar
DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di bawah ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Rabu, 22 Mei 2013

Puisi Anwar Sanuji

SEDULUR SEJATI

tersembunyi di atas bumi
rijalulgaib menyelubungi prahmana
menyemat budi mengukuh qalbi

peribudi inti perisai sejati
ibadat luhur dari maujud yang subur
tutur ratna cempaka dari Juwita

sedulur sejati cagak haluan hidup
inti peri menuju uhrowi
wejangan dari penjaga kali mengabah Gusti

salik
suluk
luhur

sedulur sejati
:wejangi
Anwar Sanuji

Puisi Rasta Noe


TOPENG

wajah2 itu berterbangan
mengenakan topeng berwarna warni
pakaiannya rapi membungkus kebusukan
berlari-lari
menaburkan senyum ambisi
mencari kesempatan
dalam celah kepicikan
berlomba-lomba
mencari simpati dari pendengki
tak ada diskusi
semua mencaci
walau lainnya mati
tetap tak peduli...

Selasa, 21 Mei 2013

Catatan Kelana Delapan Penjuru Angin


*JANGANLAH DIKERJAIN OLEH PEKERJAAN,TAPI KITALAH YANG HARUS MENGERJAKAN PEKERJAAN*

Tulisan ini tidak untuk melemahkan semangat dalam menjalani aktifitas pekerjaan dan kehidupan berusaha sehari-hari,namun justru sebagai "Obat Kuat" dalam mensikapinya.

Selama melintasi segala sudut arah di Delapan Penjuru Mata Angin,banyak kurasakan dan kusaksikan bila kehidupan manusia sehari-harinya selalu dalam liputan kesulitan,susah payah,terseok-seok,seruduk sana seruduk sini,terjang sana terjang sini,dalam upaya mencari rejeki,uang dan harta benda duniawi.

"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam SUSAH PAYAH"
 (QS.Al Balad:4)
Makna relief agung diatas adalah :
-Bukannya Tuhan yg membuat manusia itu dalam susah payah,tetapi manusia itu sendiri yg memilih tenggelam dalam kesusah payahan.

Sementara dalam hal mendapatkan kedamaian,ketenangan,ketenteraman batin,maka jarang manusia merasakan dan memperolehnya.
Jika adapun itu hanya terasakan sesaat.
Penyebabnya adalah,karena dalam hal urusan mengingat kepada Tuhannya begitu sangat lalai bahkan secara otomatik menjadikan terbengkelai,lupa,tak punya waktu dan tak pernah menyisakan waktunya untuk Dia, Tuhan,Rabb Sang Penguasa kehidupan yang sesungguhnya Sang Pemberi ketenteraman dan penghidupan.

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai."
(QS. Ar Ruum:7)

Maka saksikanlah suasana jalanan,di pasar-pasar,dipertokoan,dipabrik-pabrik,begitu banyak suasana persaingan nafsyu yang menimbulkan sakit hati.

-Sakit hati dijalanan yg selalu macet,panas,terburu-buru dan harus sodok sana sodok sini dalam bersaing mencari celah yang lowong sedikit...tak peduli dg yg lain,yg penting urusan sendiri tercapai...hingga langgar lampu merah pun tak peduli...

-Sakit hati,kesal,gundah,gondok di suasana pabrik,sering dicaci maki atasan,sedikit-sedikit dapat peringatan,belum dari rekan-rekannya yg lain yang usil,yang sirik dan dengki dg kita,yang dijelek-jelekin,yang difitnah,dsb....
Sungguh itu bikin sakit hati terus,sementara lainnya puyeng krn gajinya ga cukup memenuhi kehidupan.

-Di suasana pasar yang semrawut,bau amis,berkotor-kotor,terburu-buru,bersaing harga,mikirin tukang pungut uang,sampah,dll,membuat stress dan putus asa.

Setelah di renungi dari rangkaian rasa sakit hati,stress,gundah yang terurai diatas,ternyata sesungguhnya ujung-ujungnya kita hanyalah sekedar memburu hasil upah/uang yg hanya sebesar 50,000 an Rupiah saja,yg didapat seharian dg rasa yg sangat suntuk,dalam jiwa yg penuh emosional.

-Dan ketika kita pulang ke rumah hasil uang yg hanya sebesar itu tinggal utuh bersih  hanya seebsar 20,000-25,000 Rupiah.
Karena ternyata dijalanan seharian telah dikeluarkan utk beli makan minum 15,000,buat beli rokok 12,000,buat bayar parkir 3,000,kadang terpaksa sisihkan buat para pengamen atau pengemis 2,000...

-Belum kadang kesal lagi karena ban motor kempes harus isi angin dan terpaksa keluarkan Rp.2,000,-
-Sampai dirumah masih ada lagi ditodong untuk jajan bakso Rp.5000,-

-Sampe dirumah anak bini hanya kebagian sisa Rp.20,000,- an.

-Buat beli beras Rp.7,000,-
-Sayuran,tempe tahu,kangkung Rp.7,000,-

Sisa tinggal Rp.6,000,-

-Nah,terjadi berantem,cekcok suami istri karena saat yg sama si suami minta sisanya dibeliin kopi buat obat stress,namun istri minta dibeliin jepitan rambut dan pewarna kuku,seharga Rp.10,000,-

Mabuk,mabuk deh...

Begitu seterusnya setiap hari,uang habis bahkan kurang utk memenuhi hajat hidup,..sementara malam sudah letih cape sakit hati,tapi harus segera istirahat utk bisa bangun esok hari dg urusan yg sama...

Maka,tak kan pernah selesai sampai kiamat,kita hidup dalam merugi tanpa hidayah,petunjuk mendapatkan tuntunan hidup penuh damai dan ikhlas.

"Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam KERUGIAN",
(QS.Al ´Ashr:2)

-Dan apakah kita berpikir orang yang hari-harinya mendapat hasil lebih dari Rp.50,000,- itu juga terbebas dari emosi dan hidup dalam puas tenang?

Ternyata tidak juga !

Sekaya apapun,sebanyak apapun hasil uang yg diperoleh,orang tetep saja dalam hari-harinya selalu diburu perasaan was-was,kurang waktu,kurang banyak dan kurang puas.

-Bahkan bagi mereka yg kaya,yg pejabat,yang Bos,yg bertitle pangkat...semuanya mengalami rasa yg sama...rasa was-was dan rasa tak pernah puas...injak sana injak sini,tekan sana tekan sini...yg semuanya menguras jiwa dan membuat sakit hati.Karena semua itu didorong oleh tamaknya nafsyu jiwa.

-Disamping itu,INGAT !
"Saat kita dalam kaya harta benda,ada kewajiban untuk menyedekahkan SEBAGIAN dari harta yang kita miliki kepada para insan lain disekeliling kita yg sangat membutuhkan",bukan untuk dinikmati sendiri,INGAT bahasa perintah Tuhan adalah "SEBAGIAN",artinya "MINIMAL SEPAROH",BAHKAN JIKA IKHLAS SAMPAI 75 %,maka itu yg akan lebih disorot oleh Tuhan."

(Maka,lihatlah yg terjadi krn sebagian besar manusia itu kebalik,yg disedekahkan dg ikhlas hanya 10 % saja bahkan hanya 1 %...sedangkan yg 99 % ditumpuk utk senang-senang pribadi sampai mati).
-Bandingkan dg laku perbuatan para Nabi dan Rasul,Sahabat,atau coba tengok Madame Dewi Siti Khadijah,yg rela meludeskan semua harta bendanya utk jalan kemaslahatan-Nya....

Lantas,

ADAKAH HARI-HARI YANG PENUH KETENANGAN DAN ENJOY MENJALANI HIDUP DENGAN PENUH RASA SYUKUR ATAS KARUNIA ILAHI?
ADAKAH HARI -HARI KITA ,"TIDAK DIKERJAI OLEH PEKERJAAN TETAPI MENGERJAKAN PEKERJAAN?"

Ternyata ada,semua ada ilmunya...semua ada prosesnya...semua ada caranya.
Semua berpangkal dari "CARA SIKAP"

-Ketika pada akhirnya uang bersih yg dibawa pulang hanya sekitar puluhan ribu saja,maka ga perlu capai-capai,ngotot-ngotot menguras energi dan emosi berebut,bersaing terburu2 di jalanan,di kegaduhan dan di kehiruk pikukan.

-Cukup berdiam dirumah buka warung kopi,mie rebus,dan usaha2 home industri lainnya dirumah saja,
Maka biarpun pendapatannya kecil,tapi pada akhirnya kesampaian juga dapat uang bersih walau hanya Rp.20,000,- an saja.
Tanpa panas..tanpa emosi,tanpa sakit hati menguras keringat dijalanan yg pengab.

-Syukuri apa yg didapat walau kecil tapi membuat hati tenteram dan aman .

"Sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang selalu BERSYUKUR".
(QS.Al Qamar:35)

-Banyak mengingat Tuhan disetiap langkah,nafas saat beraktifitas,dengan menjadikan semua itu sebagai ibadah.
-Kemudian sambil berpikir utk mengembangkan uang dari rumah dimulai dari yg ringan-ringan.
-Sedikit hasil tapi jika diperbanyak maka peluang mendapatkan rejeki lebih,insyaAlloh akan dibukakan pintu-pintunya oleh Tuhan.
-Kemudian kita cari orang yg bisa dipercaya dan diajak bekerja sama untuk joint bagi hasil dalam usaha.
-Luangkan waktu mengaji,mengingat Tuhan,beribadah,berbuat baik sama tetangga,kerabat handai tolan,sambil nongkrong dirumah berternak unggas,pelihara ikan atau apapun yg bisa menghasilkan rejeki,maka insyaAlloh Tuhan akan berikan hidup itu penuh dg damai dan tanpa sakit hati.

Maka,bagi yg telah terlanjur menjalani hidup di tengah hingar bingarnya kota besar yg penuh persaingan keras,
Yang jadi pegawai,yang jadi buruh,yang jadi pesuruh dan apapun,

Maka tetap lakukan saja aktifitas sehari-harinya dg ikhlas,tenang,tidak "ngoyo"/ngotot" dan yakin akan suatu pemikiran bahwa sebanyak berapapun uang yg dapat kita hasilkan,maka ujung-ujungnya hanya untuk isi perut dan kepuasan sesaat.
Selebihnya paling hanya memenuhi kebutuhan sekunder seperti renovasi rumah,perabotan/peralatan rumah tangga.
Yang pada ujung-ujungnya kita tak sadar badan semakin tak berdaya dan tua dan akhirnya meninggal.
Hasil keringat kita,emosi kita,pemenuhan kekayaan perabotan yg kita tumpuk sepanjang hidupnya ternyata tak ikut dan tak akan dinikmati di liang kuburan tempat jasad kita meleleh melebur menjadi tanah.

-Maka apapun harimu,apapun statusmu,apapun keadaan yg tengah kita hadapi,sedang apa dan menjadi apa,tetaplah dalam semangat berusaha dan berupaya mencari uang sesanggup dan semampu kita bertindak dan melangkah,
sambil terus belajar ilmu bagaimana mencari rejeki,bergaul dg komunitas yg bemanfaat,berpikir,dalam hati dg penuh ketenangan dan keikhlasan.

-Dan kemudian "JANGANLAH MENGGALI LOBANG MASALAH SENDIRI"
Yakni,bertindak,berkeinginan sesuai batas kemampuan.

Salam kedamaian.

Puisi Anwar Sanuji

BACALAH AKU

puisi ini aku ciptakan untukmu

dirimu yang kemilau di ujung alam

dengan desiran pasir yang turun di atap rumahku, aku termangu dalam angan semu

aku memikirkan dirimu, jangan kau tinggal dan kau gantungkan sepenggal sejarah ini

kenanglah,meskipun pelangi,mendung,petir tlah nampak,namun tak juga kunjung hujan

dirimu kasih, bacalah aku

beginilah aku apa adanya

aku bukan mereka,dia,dan kalian

aku adalah aku yang menyatu dengan sejatiku

tersebit cinta jangan dirundung

lemparkan dan lontarkan

sekali dengan tegas aku ucapkan

bacalah aku
:Anwar Sanuji.

Puisi Anwar Sanuji

BACALAH AKU

puisi ini aku ciptakan untukmu

dirimu yang kemilau di ujung alam

dengan desiran pasir yang turun di atap rumahku, aku termangu dalam angan semu

aku memikirkan dirimu, jangan kau tinggal dan kau gantungkan sepenggal sejarah ini

kenanglah,meskipun pelangi,mendung,petir tlah nampak,namun tak juga kunjung hujan

dirimu kasih, bacalah aku

beginilah aku apa adanya

aku bukan mereka,dia,dan kalian

aku adalah aku yang menyatu dengan sejatiku

tersebit cinta jangan dirundung

lemparkan dan lontarkan

sekali dengan tegas aku ucapkan

bacalah aku

Puisi Anwar Sanuji

Anwar Sanuji
SENDU SEMBURAT

malam ini pengap,melokap,dia di perangkap
pikiranya mengabur terbawa kesiur angin musim panas
di bawah kaki langit,budi terombang ambing
berdebu,lusuh tak terbasuh menyakal jiwa

prakala;dia bercerita tentang cinta
tentang yang terbelenggu diantara debu
tentang musim kemarau yang berdesut santer
budi terombang ambing,jiwanya terpelanting

losong,tidak berpenghuni,hampa berongga
tidak mengandung arti,tidak ada yang menjabatnya;terluang
budi tercenung,jiwanya termenung termangu
nun jauh disana dia melihat ainunjariah

budi dan jiwanya segera beranjak
menunjal,menjejakkan kaki menyongsong remah remah
mencoba menudung apa yang dirundung
sebelum urung dihadang gunung
:membubung

Minggu, 19 Mei 2013

Emha Ainun Najib

Syair Tukang Bakso

Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu seseorang.

"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya, betul!"

"Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..."

"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain lagi.

"Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!" sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso.
Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk
menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur isri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... masya allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!"

Puisi Sitok Srengenge


KOTA TUA

Debu-debu menyulam sayap dengan riuh jalanan
berhamburan dan hinggap di gedung-gedung kusam
burung-burung yang bungkam tentang letup senapan
berguguran sebagai kenangan

Barangkali kau tak pernah tahu
akulah satu di antara beribu butir debu itu
angin iseng menerbangkanku ke ranah asing
di rumpang ruang temali rindu pantang melenting

Lalu aku menukik ke lubuk lukamu
seperti hujan dini hari yang kuyup oleh air matanya sendiri
kudamba geliatmu merekahkan rahim musim semi
demi kutemu celah untuk melesapkan sisa ilusi

Pada tiap kerut kulitmu kubaca kisah dan lambang
gema suara yang dilupakan, gurat-gurat riwayat usang
lampu yang padam di tepi kolam
kali yang tersumbat lendir hitam

Ombak bergiring-giring serupa serdadu Istana Waktu
meninggalkan busut-busut pasir sepanjang pesisir
alun racun dari tahun ke tahun dalam tubuhmu
menimbun maut sebutir demi sebutir

Mungkin waktu tak mengarus, tapi menggenang
tak membuat kehadiran aus, tapi membusuk pelahan
ia bukan dermawan, segala keceriaan yang ia tawarkan
kelak harus kita tebus dengan kesedihan

Bacalah hitungan hutang pada kaca memburam
lubang angin yang menjerat udara bagai tawanan
kereta yang melaju jauh, menghindar dari jangkau ajal
ternyata cuma berputar dan kembali ke stasiun awal

Mereka memberimu mimpi pualam
agar kau lena bagai remaja di suatu Sabtu malam
berbaringlah, akan kulekapkan kupingku di pusarmu
ingin kusimak sayup suara para pelintas masa lalu

Di jalan lengang: kecipak kaki hantu berlari kecil
dihardik hujan Januari, cuaca menggigil di tudung kandil
regang rantai dan pedal sepeda, sengal kanal, kelepak lelawa
ketipak ladam kuda, derap uap tapioka, keluh peluh para pekerja

Cahaya murung di ruang dansa yang suwung
di bawah lelangit lengkung dan lelampu gantung
masih bergema gesekan sepatu pada lantai bebongkah batu
sentuhan kulit pipi dan pinggul, gemerisik gaun, dengus cerutu

Bercak merah kecoklatan pada tembok yang krowak
anggur yang tumpah di perjamuan atau jejak darah budak
di balik jendela kaca yang pecah, jalan setapak berlumut
merentang jebakan ke entah, mungkin ke sarang maut

Berdirilah, sesaat lagi, sebelum kau runtuh
bersama seluruh kenangan yang tak sanggup kaurengkuh
biar cahaya suar menggambar tubuhku di tubuhmu
dan ngengat waktu mengerati bagian lembab bayangku

Relakan segala yang luruh, mereka tak bisa kembali
bahkan ingatan tak pernah utuh dan tak abadi
sebagian mungkin tersemat di bait-bait ini
semoga selamat dan bangkit berkali-kali

1989

Jumat, 17 Mei 2013

Emha Ainun Najib


  • Manusia dan Pemimpin Sepertiga

    Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.
    Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
    Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yakni ketercerahan moral.

    Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.

    Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik.
    Wallahua'lam.

    Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan.
    Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
    Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.

    Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya.
    Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
    Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang, cerah spiritual melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena masyarakat kita sedang shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya masing-masing.

    Yang pasti, dari manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi kasih sayang dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.
    fff

Emha Ainun Najib

Nyata dan Tidak Aneh

Kalau Anda menggenggam sebutir telor, dan beberapa puluh detik kemudian telor itu menjadi matang...

Kalau Anda mengikat roda kereta api, dan tali pengikat itu Anda gigit kemudian roda itupun terangkat dan Anda ayun-ayunkan...

Kalau ayam Anda dicuri oleh maling, dan Anda nge-sot : "Kalau dalam waktu sehari semalam ayam tak dikembalikan, si maling akan lumpuh!" -- sehingga ia lumpuh benar-benar...

Kalau Anda mengisikan jarum, pisau atau keranjang ke dalam perut seseorang yang Anda benci atau cemburu...

Kalau Anda letakkan telapak tangan dua sentimeter di atas meja dan Anda angkat meja itu tanpa menyentuhnya...

Kalau anda memangkas nyala api dan membelah air...

Kalau Anda memimpin rapat penting semalam suntuk, dan pada saat yang sama Anda beredar bersama kelompok siskamling...

Kalau Anda mengucapkan Assalamu'alaikum kepada seekor anjing dan anjing itu menjawab dengan gerak tubuhnya, atau Anda ,menatap mata harimau sehingga ia berlari tunggang langgang...

Kalau anda tahu persis siapa tamu yang sejam lagi datang ke rumah Anda dan mengerti maksud buruk atau baik yang di bawanya...

Kalau Anda mengobrol dengan Ibunda yang bertempat tinggal 300 km dari rumah domisili Anda...

Kalau Anda menggerakkan pasukan lebah untuk menyerbu musuh yang hendak memasuki wilayah Anda...

Kalau Anda mengembara semalaman dengan Khidir penggembala utama para wali Allah yang selalu hidup tersembunyi...

Itu tidak aneh. Itu nyata dan tidak aneh.
Itu wajar dan rasional. Itu lumrah dan ilmiah, meskipun ilmu yang kita ketahui belum tentu mampu menerangkannya, meskipun pengetahuan yang kita kuasai belum tentu sanggup membeberkannya.

Manusia itu lebih tinggi kemampuannya dibanding alam. Manusia memiliki rahasia kemampuanyang mengatasi alam. Apabila hijab rahasia itu terbuka, maka manusia bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga sekaligus berarti ia menapak ke maqam lebih tinggi yang semestinya memang ia tempuh.
Manusia bahkan adalah mahluk Allah yang lebih tinggi derajat kemakhlukannya dibanding para malaikat yang kita kenali sebahai gaib.

Tetapi, kalau kemampuan dan rahasia, difestivalkan, dilombakan: itulah yang aneh. Apa haknya untuk memamerkan barang yang bukan miliknya? di mana muka manusia ditaruh dihadapan Tuhannya ketika ia memamerkan dan mantakaurkan anuugrahNya?
Hanya siswa-siswi Taman Kanak-kanak yang masih pantas untuk pamer gaya dan suara.
Sesudah bernyanyi, semua teman-teman bertepuk tangan. Tetapi ketika berangkat dewasa, anak-anak itu belajar tahu bahwa suara itu bukan miliknya. Tak seorang manusia pun bisa menentukan atau memilih warna suaranya, bentuk tubuhnya, cakep-tidak wajahnya, dimana ia lahir, menjadi anak siapa atau putra daerah mana.
Allah yagn menentukan dan memilihkan.

Tetapi kita memang tanpa malu-malu, di dunia ini, menjual milik-milik Allah itu untuk kepentingan pribadi, dengan anggapan seolah-olah diri kita ini seluruhnya adalah hak milik kita.

Kamis, 16 Mei 2013

Puisi Widji Tukul

Gunungbatu - Wiji Thukul


gunungbatu
desa yang melahirkan laki-laki
kuli-kuli perkebunan
seharian memikul kerja
setiap pagi makin bungkuk
dijaga mandor dan traktor
delapan ratus gaji sehari
di rumah ditunggu
gunung batu
desa yang melahirkan laki-laki
pencuri-pencuri
menembak binatang di hutan lindung
mengambil telur penyu
di pantai terlarang
demi piring nasi
kehidupan sehari-hari
gunungbatu
desa terpencil jawa barat
dipagari hutan
dibatasi pantai-pantai cantik
ujung genteng, cibuaya, pangumbhan
sulit transportasi
-jakarta dekat-
sulit komunikasi
sejarah gunungbatu
sejarah kuli-kuli
sejak jaman kolonial
sampai republik merdeka
sejarah gunungbatu
sejarah kuli-kuli
gunungbatu
masih di tanah air ini
november 87

Puisi Emha Ainun Najib

Dimana Rasa Malu Itu

Berbebas ria tanpa ikatan halal.
Sungguh tak bisa diterima akal.
Cinta hanya kedepankan syahwat.
Tanpa sedikitpun menoleh syariat.

Benar.
Tuhan mencipta cinta sebagai rahmat.
Setiap makhluk berhak mereguk nikmat.

Tapi caranya itu lho.
Mbok ya ajari diri bermartabat.
Kita ini manusia.
Kita ini makhluk mulia.
Kita bukan hewan ghairu nathiq.
Kita hewan binnathiq.
Kita ini punya akal.
Untuk bisa membedakan.
Mana itu maksiat.
Mana itu sesat.

Bedakan cara mereguk cinta.
Banyak cara mulia.

Apa iya kita mau disamakan binatang.
Asal suka.
Asal cinta.
Asal reguk nikmat.
Tanpa melihat rambu-rambu syariat.

Selanjutnya itu terserah anda.

Puisi Emha Ainun Najib

Di Bayangan Merapi

Tuhan Pengasuh alam dan manusia
Jika gunung berapi memuntahkan lahar
Engkau mengambil alih muntahan itu
dan kalau Engkau yang melahari kami
pasti Engkau sertakan juga makna yang tak terperi

Tuhan Penyantun siang dan malam
Jika gunung berapi menghembuskan hawa panas
Engkau mengambil alih hembusan itu
dan kalau Engkau yang memanasi kami
pasti panas itu datang disertai arti

Tuhan Pembimbing gelap dan terang
Jika gunung berapi menghantamkan kehancuran
Engkau mengambil alih hantaman itu
dan kalau Engkau yang menghantam kami
pasti Engkau janjikan juga rahmat dan kasih

Tuhan Pengurus segala kesedihan dan kebahagiaan
Ambil-alihlah pikiran kami agar menjadi jernih
Ambil-alihlah hati kami agar membening
Ambil-alihlah kesadaran kami, agar seluruh makna
bencana ini menjadi awal kebangunan kami

Puisi Emha Ainun Najib


Kafilah 190 juta

Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala
Astaga!
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala

Aku sapa mereka dan bertanya:
"Gerangan apa yang tampak di cakrawala?"
Serempak terdengar jawaban dari mulut mereka:
"Jakarta teguh beriman, Yogyakarya berhati nyaman
Solo berseri, Semarang kota atlas, Salatiga..."

Kafilah 190 juta
Betapa, O, betapa
Kafilah 190 juta cintaku
Bersepakat untuk menempuh
Perjalanan yang berjejal-jejal
Dan penuh sesak

Kulambaikan tanganku dan kutegur :
''Perjalanan macam apakah gerangan
yang kalian tempuh, saudara-saudaraku?"
Bergema jawaban dari seluruh barisan:
"Perjalanan jangka panjang!
Perjalanan bertahap-tahap!"

Kafilah 190 permata jiwaku
Bersepakat untuk mengubah
Perjalanan yang sendiri-sendiri
Menjadi perjalanan bersama-sama

Aku bisikkan ke telinga sebagian mereka:
"Bersama-sama duduk dan bersama-sama berdirikah
kalian dalam perjalanan bahagia ini?"
Dengan berbisik pula sebagian anggota rombongan itu
menjawab: "Sebagian dari kami berhak untuk duduk,
sebagian yang lain berkewajiban untuk berdiri"

Kafilah 190 juta
Berderap langkahnya
Berderak suara kakinya
Lagu-lagu kekompakan mereka bagai hujan
Nyanyian kebulatan tekad mereka bagai sejuta akar tunjang
menancapi tanah di hutan dan ladang-ladang

Tergiur hatiku hendak bernyanyi bersama mereka
Sehingga demi menyatukan nada dan irama, kupastikan
dulu aransemen dengan bertanya:
"Lagu apakah sebenarnya yang kalian dendangkan?"
Orang-orang itu menjawab dengan teguh dan tatapan
mantap ke depan: "Lagu persatuan dan kesatuan"
"Kenapa ada kudengar nada yang agak tidak sama
antara satu barisan dengan lainnya?" kataku
"Karena sebagian kami menyanyikannya dengan raing
gembira, sementara sebagian yang lain melagukannya
dengan tangis dan deraian air mata"

Kafilah 190 juta
Berjuta kaki berjalan
Berjuta kaki berduyun-duyun
Berjuta kaki berayun-ayun

Kepada kaki yang berjalan aku bertanya:
"Berapa tahap lagikah perjalananmu akan tiba?"
Dengan agak malu-malu kaki itu menjawab:
"Kami belum tiba pada jenis pertanyaan itu
Yang kami urus barulah bagaimana mengulur-ulur
perjalanan ini tidak dengan hutang demi hutang"

Kepada kaki-kaki yang berduyun-duyun aku kemukakan
rasa bangga: "Betapa nikmatnya manusia yang membangun!"
Tapi mereka menjawab: "Kami belum membangun, kami
sedang dibangun untuk dijadikan batu-bata pembangunan"

Kepada kaki yang berayun-ayun aku lontarkan rasa
cemburu: "Alangkah nyaman mengayunkan langkah
ke hari depan!"
Tapi yang ini pun menjawab: "Kaki kami terayun-ayun
loncat dari tanah, sawah dan kebun kami; sesudah
tiba-tiba saja hadir siluman yang membelinya dengan
paksa, dengan harga yang mereka sendiri pula yang
menentukannya"

kafilah 190 juta
Bergemuruh!
Bagai putaran baling-baling mesin kemajuan
Di tengah barisan demi barisan berderap
Di tengah 190 juta langkah berderak

Aku berteriak: "Wahai, betapa gegap gempita suara kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Yang bersuara ini hati kami,
sedangkan mulut kami terbungkam!"
Aku berteriak: "Wahai, betapa riang gembira
perjalanan kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Tentu saja, karena tangis
kesengsaraan sedalam apa pun harus kami ungkapkan
dengan penuh keriangan!"...

Puisi Rasta Noe

Terduduk di sejenak sore
Ayu Senja mencari
Rasa mengurai
Di rasakannya
Hanya asa belaka
Ayu Senja
Di tariknya nafas panjang
Di tepi kali
Napsu
Lama ia buang
Antara bunga-bunga bersemi
Kabut cinta usang, cinta hilang
Merasa sejenak takut
Ayu Senja
Meninggalkan bekas duduknya
Angin turut
Ayu Senja
Melangkah
Mengikuti nyanyiannya

RN

Puisi Emha Ainun Najib

Hati Semesta

Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan

Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan

Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

Minggu, 12 Mei 2013

Puisi Wahyu Handayani

MENGEJA AL-FALAQ: 1-5

Sebuah penjagaan total,
Dari Sang Penguasa subuh dan gulitanya malam,
Atas segenap angkara yang muncul lewat buhul-buhul,
Terletup di kengerian hasad.

Lantunan kepasrahan adalah penjagaan terindah,
Berawal dari puncak kecintaan dalam ketawadhu'an,
Menyatu dengan keheningan gapura malam hingga di perbatasannya, menjelang subuh!
Di sebuah sujud panjang,
Dan, nafas penuh cinta yang ditarikan dalam putaran lagu-lagu bening.

Wahyu Handayani

Sabtu, 11 Mei 2013

Jimat Kalimasada

JIMAT KALIMASADA
Oleh Anis Sholeh Ba’asyin

Kalimasada, dalam tradisi dikenal sebagai bentuk pengucapan lain untuk kalimah syahadah, sejajar dengan pengucapan sekaten untuk syahadatain. Tapi, berbeda dengan pembentukan istilah sekaten, istilah kalimasada konon punya akar yang lebih panjang, karena istilah ini sudah ada sebelum Islam.
Istilah Kalimasada konon berasal dari kata Kalimahosaddha. Istilah ini ditemukan dalam naskah Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 atau abad ke-12, pada masa pemerintahan Maharaja Jayabhaya di Kerajaan Kadiri. Istilah tersebut adalah bentukan dari Kali-Maha-Usaddha, yang artinya "obat mujarab Dewi Kali".
Kali adalah salah satu dewi yang populer dalam agama Hindu, dikenal juga sebagai Dewi Durga dan selalu diasosiasikan sebagai penyebar penyakit, kematian dan kerusakan.
Kecuali dihubungkan dengan Dewi Kali, salah satu kisah pewayangan Jawa menceritakan versi lain asal-usul terciptanya pusaka Jamus Kalimasada. Pada mulanya terdapat seorang raja bernama Prabu Kalimantara dari Kerajaan Nusahantara yang menyerang kahyangan bersama para pembantunya, yaitu Sarotama dan Ardadedali. Dengan mengendarai Garuda Banatara, Kalimantara mengobrak-abrik tempat tinggal para dewa.
Batara Guru raja kahyangan meminta bantuan Resi Satrukem dari pertapaan Sapta Arga untuk menumpas Kalimantara. Dengan menggunakan kesaktiannya, Satrukem berhasil membunuh semua musuh para dewa tersebut. Jasad mereka berubah menjadi pusaka. Kalimantara berubah menjadi kitab bernama Jamus Kalimasada, Sarotama dan Ardadedali masing-masing menjadi panah, sedangkan Garuda Banatara menjadi payung bernama Tunggulnaga.
Satrukem kemudian memungut keempat pusaka tersebut dan mewariskannya secara turun-temurun, sampai kepada cicitnya yang bernama Resi Wyasa atau Abyasa. Ketika kelima cucu Abyasa, yaitu para Pandawa membangun kerajaan baru bernama Amarta, pusaka-pusaka tersebut pun diwariskan kepada mereka sebagai pusaka yang dikeramatkan dalam istana.
Dalam Kakawin Bharatayuddha dikisahkan perang besar antara keluarga Pandawa melawan Kurawa. Pada hari ke-18 panglima pihak Kurawa yang bernama Salya bertempur melawan Yudhistira. Salya yang bersenjata pusaka Aji Candrabirawa, dihadapi oleh Yudhistira yang melemparkan kitab pusakanya yang bernama Kalimahosaddha ke arah Salya. Kitab tersebut berubah menjadi tombak yang menembus dada Salya.
***
Kalimasada selalu dihubungkan dengan jimat atau jamus, sehingga berbunyi Jimat Kalimasada atau Jamus Kalimasada. Jimat adalah serapan dari bahasa Arab ‘azima, kurang lebih bermakna sesuatu yang bisa memberi kekuatan, sesuatu yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya dari bala dan penyakit. Sementara Jamus bermakna serat atau surat.
Dalam cerita pewayangan versi Jawa, Prabu Yudhistira mengamanatkan Jimat Kalimasada tersebut kepada Sunan Kalijaga. Dikisahkan bahwa Prabu Yudhistira baru bisa meninggal setelah diwejang oleh Sunan Kalijaga tentang makna sejati Jimat Kalimasada.
Cerita pewayangan versi ini tampaknya tidak sekedar disikapi sebagai sekedar mitos, tapi kemudian benar-benar dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi banyak pihak yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Salah satunya muncul dalam Babad Diponegoro. Dalam Babad yang konon ditulis oleh Pangeran Diponegoro ini, cerita tersebut dipakai sebagai salah satu argumen untuk melawan Belanda. Atas dasar cerita tersebut, Pangeran Diponegoro menegaskan bahwa Jawa adalah milik bangsa Jawa yang keturunan Pandawa dan berpusaka Kalimasada, oleh karena itu Belanda sama sekali tak berhak atasnya.
Nah, kalau dalam cerita pewayangan Jimat Kalimasada pernah dipakai oleh Prabu Yudhistira untuk mengalahkan keangkara-murkaan Salya beserta raksasa-raksasa ciptaan Aji Candrabirawa-nya; apakah saat ini Jimat Kalimasada sekali lagi dapat kita gunakan untuk melumpuhkan raksasa-raksasa hasil perkawinan negara adi daya dan kapitalisme global yang sedang mencengkeram kita? Atau, jangan-jangan Jimat Kalimasada itu malah sudah tak kita rawat lagi?

Puisi Anwar Sanuji

INSIDEN MAYA

Kali ini ada sukar dia menerka
Cerita kemarin di subuh masih terngiang
Berdenging dan menempel di kedua cuping

Langutpun seakan melenyap.Sekarang
Bagai candra aditya kembar
Awampun musykil menerka ketulenanya

Basirahnya menyamar mengabur meluntur
Sedang bayang bayangnya menyekah di gumpalan darah
Insiden maya membuncahkan arah

Hai,,ini bukan dolanan,ini tiga seuntai
Lambang dari langut yang tlah lurut
Lebih baik menganjur surut daripada kusut tak berbuntut

Kabut
Lurut
Hanyut.

Puisi Wahyu Handayani

GONG

Sheba:
Suara cinta adalah lagu yang menghias semesta,
Ketundukan pada Sang Penguasa,
Alun bahagia melintas segala cuaca jiwa,
Merubah luka jadi bahagia,
Di jejak berbunga seiring lantunan dzikir hati membaluti pikir.
Bersuka dalam DIA!

Sheba:
Apalagi yang harus dipinta?
Segala bahagia adalah jalanNYA.
Aroma lagu syahdu meranum lewat waktu,
Hening.

Sheba:
Mari bernyanyi dan menari dalam DIA,
Di sujud dan sajadah panjang kehidupan,
Karena DIA.

Gong:
Aku tunduk!
DIA!

Wahyu Handayani.

Puisi Wahyu Handayani


MEMETIK MALAM

Sheba:
Malam ini ranum,
Harumnya buah-buah merekah,
Rindu yang datang!
Serupa buahnya bintang-bintang.

Dhrepa:
Kujelang engkau,
Rasa tersakral yang kupintal dari serat-serat waktu,
Yang kubentang untuk menjaring ranumnya rindu,
Padamu! Padamu!

Aku dan kamu! Ranumnya rindu! Memetik malam! Segerombol bintang!

Wahyu Handayani

Emha Ainun Najib

Suluk Tuhu Linglung

Merasuki sastra
Sungguh bisa bikin bingung
Yang diolah senantiasa gagasan
Ilmu diuraikan
Lafal dihitung-hitung
Benar salah dipersoalkan.
Maka bukanlah tanda orang berpengetahuan
Jika terpana hanya dalam laku
Merasa malu untuk mengulang bertanya
Seakan telah ia temukan segala

Terlebih yang belum yakin benar ia
Terbelenggu hanya oleh tata krama
Sembahyang sunnah dan fardhu tak putus-putusnya
Agar tertabiri ketidaktahuannya
Puasa dan sedekah
Juga zakat fitrah-nya
Dijadikan berhala yang dipuja-puja
Sungguh mereka yang sedemikian terlena
Belum seberapa baktinya
Pengetahuannya masih biasa-biasa saja.

Sepedati penuh kertasnya
Tiada lain yang diperbincangkan
Kenapa sedemikian sesat
Memeluk titipan tanpa sisa
Terlena karena dipercaya
Padahal itu tak benar-benar disadarinya
Nabi, wali, mukmin, sirna
Hancur, lebur, luluh, musnah, hilang
Namun tak dicapainya kekosongan.

Syari'at itulah tirai
Karena ruh idhafi-lah yang hakiki.
Syahadat, shalawat,
Nabi dan wali, dalam tauhid
Ditaburi
Oleh tirai.
Ma'dum, ma'lum, tasbih,
Tahlil dan shalawat
Dijadikan tirai yang menutupi.

Jumat, 10 Mei 2013

Lautan Cinta Bertasbih


"YANG CANTIK ITU BUKAN AKU"

Engkau mencari pendamping wanita yang cantik?
Sayang sekali itu bukanlah aku.
Aku hanyalah wanita yang berwajah biasa.

Engkau mencari pendamping wanita yang manis?
Sayang sekali itu bukanlah aku.
Aku hanyalah wanita yang berwajah sederhana.

Engkau mencari pendamping wanita yang kaya?
Sayang sekali itu bukanlah aku.
Aku hanyalah wanita yang tak punya apa-apa.

Engkau mencari pendamping wanita yang punya kedudukan?
Sayang sekali itu bukanlah aku.
Aku hanyalah wanita yang tak bertahta.

Akan tetapi..

Jika Engkau mencari wanita yang mau dibimbing.
Jika Engkau mencari wanita yang mau dijadikan makmum.
Jika Engkau mencari wanita yang mau mengabdi kepada suami.
Jika Engkau mencari wanita yang mau berbakti kepada suami.

Itu baru ada padaku.
Karena begitulah adanya saya.
Aku ingin dibimbing oleh suami.
Aku ingin menjadi makmum yang baik.
Aku ingin mengabdi dengan tulus.
Aku ingin berbakti dengan ikhlas.

Karena ridha suami adalah segalanya bagi setiap isteri.

Puisi Janat Tajri

Hey Pak Tua...
bolehkah sejenak aku menyapamu
sungguh matahatiku rindu
mataku tak mampu melihatmu
wajahmu mulai tersamarkan

pak tua
pak tua
pak tua

kau dulu sering bercerita
kisah hidup yang penuh luka
kau ajarkan aku bagaimana mampu tersenyum
meski dunia memintaku menangis
pak tua ....
kau dimana
mengapa aku tak dengar suara serakmu
pak tua dimana kau sekarang
mengapa tanganmu tak lagi membelai kepalaku
pak tua sekarang kau dimana
menagapa ku tak mampu menyentuh wajah lugumu
pak tua bisakah aku bicara padamu sebentar

kau kah di sana
di langit yang membiru
di tengah dunia dan taman yang hijau

kau kah di sana
yang kulukis dengan lukisan bayang semu
pak tua
matamu indah dengan keluguan
pak tua
air matamu ketulusan
bagaimana aku tak menangis
bagaimana aku tak merintih

kau tak lagi mampu ku sentuh
kau kah disana
di langit yang membiru.

Puisi Anwar Sanuji

INAMORATA

Suaramu,,
Merdu
Mendayu
Lirih
Bergumul
Bergelut senda

Inamorata
Hanya kini,
Suaramu
Kulekap
Kudekap
Berpagutan
Berkelindan

Ya,hanya suaramu
Menyeruak lantang
Seperti melantung
Hanya suaramu,
Menganjur kedalam seluruhku
Oh,,amboi.

Inamorata
Ayolah,buka suraumu!
Yang menyaput
Jangan satu pintu
Dua pintu
Agar aku dapat menganjur ke dalamnya
Kedalamanya
Agar aku dapat menyeka
Mushaf yang bersalut
Meyemburatkannya
Membaca
Mengkaji
Memupahami
Dan mengamalkannya

Inamorata
Saya berangkat
Saya berdoa
:damal

Menujumu.

Puisi Anwar Sanuji

RENJANA

Magiku adalah manifestasimu
Tualang
Berhinggapan
Menyinggahi bergumpal gumpal darah
Menyelami disetiapnya
:membahana

Terbahana
Menyeka kedurjanan
Menyeka sekakar

Oh,,renjana
Di riwayat ini kau meriwayat
Menjalar bening

Oh,,renjana
Kau begitu sekah begitu segak
:bernas

Merancunglah bersinambung
Kau jembatan upajiwaku untuk kematian

Renjana,,
Ah,,denganmu aku merasa di atelana.

Puisi Beno Siang Pamungkas

4 of a kind
Kami berumah di dalam kartu.
Kartu yang bisa memendam dan memeram perasaan.
Sepanjang musim,  membuka kartu dan memasang taruhan.
Menyorongkan hidup  yang dangkal dan mulai membosankan.
Setiap kartu yang terbuka, selalu menawarkan beragam makna.
Dua kartu bisa menjadi apa saja.  
2012

Puisi Bungalan Banyu

S U M U R


I

Mengajarkan sesuatu,
tetapi tak pernah kau mengerti
Menginginkan menjadi sesuatu,
namun tak mungkin memuaskanmu

Perjalanan sudah sampai di tepi senja,
mengapa hidup masih di ujung ketakpahaman
mengolah jiwa merapuh, menjadi serpihan?

Beribu-ribu malam kau cari tempat bertepi
Kerinduan pada gumpalan awan melayangkan mimpi
Keriuhan yang tak usai dalam satu genggaman
Kegemparan tak berpangkalujung di kedipan mata

Terjebak imajinasi dan akal pikiran - kau anggap bentuk gelisah,
karena kecerdasan membaca tanda-tanda hidup
Enyahkan renggutan malam atas resah
Kalahkan kegetiran membaca nasib
Pencarian atas kemerdekaan berpikir, egaliterianisme,
hak asasi, tak membuat lebih lembut dan santun
Kegelisahan tetap menjadi tumor, gemar mencemooh kearifan semesta

Ada hal-hal di luar akal pikiran, kau anggap kesesatan, klenik
Semua hal harus dalam lingkaran logikamu
Dan astaga! Orang-orang mendaulatmu sebagai pejuang,
karena dianggap berumah di cakrawala,
dunia ideal yang tak kunjung kau genggam,
tetapi disembah sebagai berhala
Kau kobarkan semangat kebaruan dan kebangkitan,
di sisi lain kau kibarkan hedonisme, snobisme dan hipokrisi
Kau selipkan cemooh kesahajaan mengatasnamakan kesetaraan
Kau bungkam nurani untuk sekedar terlihat perkasa dan pintar
Kau berangus ketakutan pada akhir zaman dengan mengutak-atik takdir
Tumor itu beranak-pinak menyebut dirinya pemuja kebebasan!

II

Lubang
Panjang
Lengang
Tiada berujung

Dalam
Kelam
Senyap
Gelap

Ujung
Lorong
Langit
Bumi

Awal
Akhir
Tanpa dasar!


Ujung tanya, 7 dan 10 Mei 2013

Puisi Bungalan Banyu

BERGURU PADA REMBULAN
DAN MATAHARI

I

Dan aku melayang bagaikan kupu-kupu di paruh waktu
Berselimut jaring laba-laba
Setia melayang mengitari rembulan dan matahari
Pusat segala misteri sejak lahir hingga kelak aku mati

Aku risau dengan kebebasan, guru
Ketika lahir ingin bebas bicara, tanpa pembatasan
Bebas keluarkan uneg-uneg, tak peduli reaksi orang
Ternyata yang kukira kebebasan, justru dianggap cemooh oleh yang lain

Ketika dewasa ingin bebas berimajinasi, menggambar apa pun
Berasumsi tentang nasib orang lain
Tetapi aku marah ketika yang lain membedah imajinasiku,
kuanggap merampas hak dan kemerdekaanku
Kulanggar keyakinan sendiri atas nama kebebasan
Aku malu pada rumput, embun, angin dan hujan, saksi
perjalanan hidup yang kutoreh dalam catatan harian

Aku ingin bebas, tanpa melanggar kebebasan yang lain
Ukuran dan nomor bajuku tak selalu cocok buat mereka
Dan aku tak bisa terima penolakan itu, karena berasumsi paling benar
Guru, aku ingin tahu batas, ketika ternyata aku tak bebas lagi....

II

Tak ada guru sejati bagimu, sebelum kau kalahkan amuk di jiwa
Dan aku bukan guru, apalagi orang pintar yang mengerti segala hal
Semua yang kau ketahui sudah digenggam,
tetapi tak pernah kau mengerti apalagi dipahami
Kau hanya perlu kebebasan membaca tanda-tanda alam
Kearifan alam raya tersembunyi jauh di bawah yang kau lihat,
kau rasa, kau raba, kau dengar....

Matamu belum terbiasa melihat yang tak pernah kau lihat
Telingamu hanya mau mendengar yang ingin didengar
Hatimu cuma ingin merasakan yang disukai
Pikiranmu hanya menjangkau sejauh seberapa panjang hidungmu
Kau ingin bebas, ketika seharusnya membatasi
Kau tolak perbedaan, ketika persamaan sulit diterima
Kau dambakan nilai-nilai privasi, tetapi kau gemar menggunjing orang lain

Aku ingin menyepi dari keriuhanmu
Aku ingin belajar banyak arti kemerdekaan berpikir,
pembatasan hak dan kewajiban
Ketika aku berpikir tentang kemerdekaan dan pembatasan,
aku tak pernah merasa merdeka, bahkan terbelenggu
Aku malu pada keterbatasan untuk menjadi sempurna

Dan aku melayang bagaikan kupu-kupu di paruh waktu
Berselimut jaring laba-laba
Setia melayang mengitari rembulan dan matahari
Pusat segala misteri sejak lahir hingga kelak aku mati

Berguru pada tanya, 11 Mei 2013

Senin, 06 Mei 2013

Cerpen A.Mustofa Bisri (GusMus)


"Mbok Yem"

Oleh: A. Mustofa Bisri

Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan kelompoknya.

Ini anak saya yang belajar di Mesir;” katanya bangga. “Sudah empat tahun tidak pulang.”

Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.

“Pak, kita beruntung ya,” katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. “Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita.” Lalu ditujukan kepadaku, “Bukan begitu, Nak Mus?”

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.

“Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana,” katanya lagi. “Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem.”

“Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah,” tukas ibuku. “Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini.”

“Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu.”

Orang-orang pada ketawa.

“Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita,” kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. “Terima kasih!” aku menyambut teh panas yang disodorkan.

“Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?” tanya yang lain.

“Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain,” kataku, “tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari.”

“Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir,” kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. “Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab.”

“Kamu ini bagaimana,” Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. “Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan.”

“Ya, saya tahu,” sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. “Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja.”

“Enak saja!”

“Sudah, sudah,” kata ibuku memotong. “Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!” ***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo –anggota rombongan yang paling tua– sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak “bukit manusia” dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. “Apakah itu Jabal Rahmah?”

“Ya, itulah Jabal Rahmah.”

“Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?”

“Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya.”

“Apa kita akan ke sana?”

“Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk.”

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.

“Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?”

“Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan.”

“Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!”

Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. “Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia.”

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama –Dhuhur dan Asar– dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah… Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain. *** Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy’aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

“Jangan jauh-jauh!” terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus –orang Mesir– sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, “Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?”

“Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina,” aku mencoba menyabarkan si penggerutu.”Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap.”

Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, “Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!” Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.

“Tenanglah, Mbok Yem,” bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. “Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya.”

“Iya, Mbok,” adikku ikutan membujuk. “Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah.”

“Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain,” aku menimpali. “Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi.”

Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. “Mbah Joyo itu penyelamatku!” desisnya berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu. *** Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir, dll).

Mbok Yem langsung menjerit, “Mbah Joyo!” dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, “Alhamdulillaaaah!”

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.

“Sudah dulu, Mbok Yem,” tegur ketua rombongan, “nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu.” Kemudian kepada Mbah Joyo, “Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?”

“Iya, Mbah,” sela yang lain, “Sampeyan salah masuk bus ya?!”

“Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?” tanya yang lain lagi.

“Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?”

Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. “Lihat, kan saya sudah pakai piyama!” Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.

“Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar.”

“Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?”

“Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya.”

“Ajaib!” ***

Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. “Mumpung Mbah Joyo tidur,” katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS –sekarang “diperhalus” istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial– dan Mbah Joyo adalah “langganan”-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

“Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,” kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. “Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.”

Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku. ***